Ketokohan Musa dalam Pentateukh
Bangsa Indonesia saat ini tengah dilanda krisis multi dimensi, mulai dari masalah moneter, moral, hukum, tata sosial, kerusakan lingkungan hidup, dll. Meskipun rezim otoriter sudah digulingkan, namun situasi tidak berubah menjadi lebih baik bahkan terasa makin tidak menentu. Bencana demi bencana datang silih berganti. Orang dipenuhi dengan keraguan dan kegelisahan. Bahkan para pemimpin negeri yang mempunyai kehendak baik sekalipun seakan tidak tahu mau berbuat apa. Dalam situasi semacam ini, seorang pemimpin harus berani membuat keputusan tanpa ada jaminan bahwa pilihannya tersebut akan menyalakan cahaya di tengah kegelapan. Dalam konteks inilah, ketokohan Musa dalam Pentateukh dapat memberi inspirasi dan pedoman bagi kepemimpinan zaman ini.
Seri tulisan ini hendak menelaah bagaimana tokoh Musa ditampilkan dalam Pentateukh. Dalam Pentateukh, ketokohan Musa digambarkan dengan beraneka ragam. Ia memimpin bangsanya dalam situasi masa transisi : dari perbudakan di Mesir, melintasi ganasnya padang gurun, dan menuju kebebasan di tanah terjanji yang berlimpah susu dan madunya. Ia mengakui ketidakpantasan dan keraguan akan kemampuannya sendiri (Kel 3:11). Dalam menjawab keberatan-keberatan Musa, Tuhan tidak menambahkan bakat-bakat pribadi Musa, namun justru menantangnya untuk jujur dan beriman : “pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan” (Kel 4:12). Dalam relasi dengan bangsanya, Musa merasakan perasaan yang ambivalen. Di satu sisi, ia mengasihi mereka dan mengidentifikasikan diri dengan mereka. Di sisi lain, ia juga mengalami keputusasaan, kemarahan, frustasi, dan bahkan ingin dibebaskan dari perutusannya. Sebagian rasa frustasi Musa berasal dari terlalu banyaknya pekerjaan yang diembannya. Menuruti nasihat mertuanya, Yitro, ia mendistribusikannya kepada beberapa tua-tua bangsa. Musa sendiri tidak masuk ke tanah terjanji, namun jelas bahwa ia memberikan seluruh hidupnya bagi bangsa yang dipercayakan padanya. Kekuatan Musa datang tidak hanya dari bakat dan talenta-talenta pribadinya, namun lebih-lebih dari kekuatan, kehadiran dan kedekatan relasinya dengan Allah yang menggerakkan hidupnya.
Seri tulisan ini secara khusus mengolah 10 unit kisah tentang Musa dalam Pentateukh. Masing-masing unit kisah diolah dengan menggunakan beberapa metode pendekatan Kitab Suci. Metode pendekatan utama pada masing-masing unit kisah berbeda-beda. Meskipun demikian, tetap diusahakan pendekatan yang seimbang secara sinkronis dan diakronis. Digunakannya berbagai metode pendekatan ini diharapkan makin memperkaya pemahaman dan pemaknaan akan ketokohan Musa.
Pemahaman dan pemaknaan yang mendalam akan ketokohan Musa dalam Pentateukh diharapkan dapat memberi inspirasi dan pedoman bagi kepemimpinan di zaman ini, khususnya dalam situasi Indonesia sekarang ini. Kepemimpinan seperti yang dikisahkan Pentateukh dalam tokoh Musa merupakan sebuah pelayanan dan tanggapan akan panggilan Allah. Karena itu, keefektifannya didasarkan pada janji Allah sendiri, “Aku akan menyertai engkau” (Kel 3:12). Janji yang sama diperbarui dengan cara yang istimewa oleh Kristus pada para muridNya : “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman!” (Mat 28:20).
Post a Comment