Perjanjian Sinai dan konsekuensinya bagi Israel
Setelah melarikan diri dari Mesir, diselamatkan dan dituntun Yahwe mengatasi serangkaian krisis melalui hambaNya, Musa, sampailah bangsa Israel di kaki Gunung Sinai (Kel 19:2). Di sana, bangsa Israel mengakui dan menegaskan : Yahwe menjadi Allah mereka, mereka menjadi umat Yahwe (Kel 19-24). Relasi macam ini digambarkan dengan menggunakan analogi sosial-politik perjanjian[1]. Organisasi sosial kuno sebagian besar terdiri dari kumpulan klan dan suku yang tinggal di beberapa daerah negara-kota yang kecil. Dari waktu ke waktu, suatu negara-kota (misal, Asyur, Babylon) memperluas kekuasaannya dan menjadi sebuah kekaisaran. Hubungan antara berbagai kelompok yang berbeda ini harus diatur demi stabilitas kehidupan sosial dan politik. Untuk menjamin hal itu, diadakanlah perjanjian. Perjanjian adalah persetujuan atau janji antara dua pihak yang dengan sunguh-sungguh menyatakan di hadapan para saksi (biasanya dewa-dewi yang dianut) dan mengikatnya dengan sumpah yang dinyatakan secara lisan maupun melalui tindakan simbolis. Sebagai hasil dari perjanjian, ditegakkanlah sebuah relasi baru yang selalu diungkapkan dalam terminologi kekeluargaan. Tujuan perjanjian adalah syalom, damai, relasi yang utuh. Karena mengambil tempat di Sinai di bawah kepemimpinan dan perantaraan Musa, perjanjian Israel–Yahwe yang dianalogikan macam itu disebut sebagai perjanjian Sinai atau perjanjian Musa[2].
7.1 Kerangka dasar perjanjian Sinai
Deskripsi perjanjian Sinai dalam kitab Keluaran ditemukan dalam Kel 19-24. Kisah yang mengikuti, Kel 25-31, relatif berisi kumpulan terakhir hukum dan aturan-aturan ibadat[3]. Sedangkan kitab Ulangan mengkerangkakannya dalam tiga pembicaraan Musa. Kisah Perjanjian Sinai dan hukum-hukum yang mengikutinya secara umum terdiri dari tiga unsur : (1) tindakan Yahwe; (2) tanggapan Israel; dan (3) kewajiban Israel[4].
7.1.1 Tindakan Yahwe
Bangsa Israel dianugerahi Yahwe kehidupan baru yang tak terbayangkan sebelumnya : pembebasan dari perbudakan di Mesir, pertolongan ketika menghadapi krisis bangsa, dituntun melalui padang gurun di bawah kepemimpinan Musa. Hal ini diungkapkan dengan gambaran sayap rajawali sebagai sebuah simbol perlindungan Allah bagi umatNya di padang gurun (Kel 19:4; Ul 32:11-14). Ketika berada di gunung Sinai, mereka mendapatkan pengalaman baru akan Yahwe : penampakan Allah yang mempesonakan (Kel 19:16-18). Pilihan Allah atas Israel adalah inisiatif Allah sendiri. Pilihan itu tidak didasarkan pada kebesaran maupun status moral Israel (Ul 7:4; 9:4–6), namun semata-mata karena kasih Yahwe yang begitu besar (Ul 7:6–8).
7.1.2 Tanggapan Israel
Israel mengakui pemeliharaan khusus Yahwe pada mereka maka bersedia mengesahkan perjanjian. Perayaan penetapan ini digambarkan dalam Kel 24 di mana diadakan dua ritual penting : (a) ritual darah (Kel 24:6-8); dan (b) ritual perjamuan (Kel 24:11). Karena kehidupan manusia melekat pada darahnya (Im 7:11), berbagi darah berarti berbagi kehidupan, menjadi satu keluarga. Berbagi makanan juga mengungkapkan keberadaan dalam satu keluarga dan berbagi satu kehidupan (Mzm 41:10). Berbagi makan adalah bentuk yang umum dari penetapan perjanjian (Kej 26:30; 31:46.54). Maka, kedua ritual tersebut mengungkapkan makna dasar perjanjian : relasi kehidupan dan syalom antara Israel dan Allah. Perjanjian tersebut tidak hanya dibuat dengan leluhur mereka namun juga dengan semua dari mereka “hari ini” (Ul 5:1–3; 26:16–18). Maka, berulangkali Israel disebut “mendengar” atau “mengingat” perjanjian ini (Ul 5:1; 6:4; 4:9, 23; 5:15).
7.1.3 Kewajiban
Perjanjian meliputi juga kewajiban. Namun kewajiban perjanjian bukanlah suatu hal yang dijatuhkan dari luar. Kewajiban perjanjian mengalir dari sifat dasar perjanjian itu sendiri : relasi dan kehidupan yang baru. Relasi yang baru berarti juga kehidupan yang baru. Dalam kehidupan baru itu, mengalirlah sikap perilaku hidup yang baru. Dalam konteks bangsa Israel, kehidupan baru itu dinyatakan dalam dua lingkup yang saling terkait. Lingkup pertama adalah relasi vertikal dengan Yahwe. Sekarang Israel menjadi milik Yahwe, maka mereka harus hidup sesuai dengan martabat sebagai umat dan milik khusus Yahwe (Kel 19:4-6). Karena itu, kewajiban pertama Israel adalah menyembah hanya pada Yahwe (Kel 20:2-3; Ul 6:4-5). Dengan demikian, dosa pertama dan mendasar melawan perjanjian adalah pemujaan berhala. Lingkup kedua kehidupan baru itu mencakup relasi horisontal dengan sesama. Iman kepada Yahwe mengalir ke dalam semua lingkup kehidupan, misal perhatian pada orang miskin, tertindas, dan orang asing (Ul 15:1-18), keadilan dalam sistem hukum (Ul 16:18-20) dan juga perekonomian (Ul 25:13-16). Aturan-aturan itu bahkan diperluas pada pemeliharaan lingkungan alam (Ul 20:19-20). Sejumlah besar hukum yang ditampilkan Pentateukh diberikan pada Musa di gunung Sinai (misal, 10 perintah dan hukum perjanjian [Kel 20-23]; hukum kekudusan [Im17-26]), adalah spesifikasi dari masa selanjutnya atas kedua lingkup dasar perjanjian tersebut.
7.2 Musa : pemimpin bangsa dan pengantara perjanjian
7.2.1 Permasalahan narasi perjanjian Sinai
B.S. Child menggambarkan beberapa permasalahan yang ada dalam narasi perjanjian Sinai, antara lain terkait dengan Musa yang berulang kali digambarkan naik dan turun gunung Sinai tanpa tujuan yang jelas; deskripsi tentang Allah yang berubah-ubah antara menetap di gunung itu dan hanya turun pada saat-saat tertentu saja; theophani juga digambarkan baik dengan gambaran asap gunung berapi dan api maupun dengan awan dan guntur pada waktu hujan badai[5]. Childs pun menyimpulkan bahwa ketegangan dan pengulangan yang terjadi dalam teks Kel 19 – 32 terjadi karena tradisi-tradisi yang berbeda itu telah dikombinasikan ketika masih dalam tahap penyebaran lisan. Salah satu dampak permasalahan itu adalah ambiguitas peran Musa. Kel 19 menunjukkan ketegangan internal dalam gambaran akan Musa dan relasinya dengan bangsa Israel. Di satu sisi, Musa memimpin bangsa itu menuju kaki gunung untuk menetapkan perjanjian antara mereka dan Allah. Namun bangsa itu mundur ketakutan dan memohon agar Musa mewakili mereka di hadapan Allah (20:18-20). Di sisi lain, tujuan theophani secara eksplisit dinyatakan untuk memberikan legitimasi pada Musa (19:9). Ambiguitas tersebut, menurut Childs, muncul karena dua konsep peran Musa dengan latar belakang setting yang berbeda itu sudah digabungkan sejak tahap tradisi lisan. Yang satu melegitimasi Musa dengan menunjuk pada permintaan bangsa itu supaya Musa menjadi pengantara mereka. Sedang yang lain menyelesaikan tujuan itu dengan mengacu pada maksud Allah sejak permulaan. Lalu, bagaimana kedua gambaran tugas Musa ini mau ditafsirkan?
7.2.2 Kunci penafsiran narasi Perjanjian Sinai
Teks kunci dalam menafsirkan dua peran Musa yang berbeda adalah Kel 19:9 dan Kel 20:18-22[6]. Dalam Kel 19:9, Tuhan memaklumkan maksudnya untuk melegitimasikan Musa di hadapan bangsa itu. Tujuan peristiwa itu adalah “... supaya dapat didengar oleh bangsa itu apabila Aku berbicara dengan engkau, dan juga supaya mereka senantiasa percaya kepadamu.” Persandingan kata yang sama muncul dalam Kel 14:31. Hal itu terjadi supaya bangsa itu percaya pada Tuhan dan pada Musa. Dengan demikian, bangsa Israel akan mengikuti sang pemimpin baik dengan penuh kepatuhan maupun kepercayaan. Dalam teks ini, hal itu secara eksplisit diarahkan pada Musa dan direncanakan untuk senantiasa menjamin kepatuhan bangsa itu pada kepemimpinan Musa. Tradisi ini juga sangat terkait dengan wajah Musa yang bersinar dalam Kel 34.
Kel 20:18-20, di sisi lain, ada dalam perspektif yang berbeda : “Engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati.” Musa akan berdiri dalam suatu relasi otoritas-kepatuhan pada bangsanya. Tugasnya adalah menginspirasikan kepatuhan bangsa Israel pada Allah : “Musa berkata kepada bangsa itu: ‘Janganlah takut, sebab Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar kamu jangan berbuat dosa.’” Di sini, fokus utama adalah soal relasi antara bangsa Israel dengan Allah. Musa menjadi pengantara dalam relasi itu.
Dari kedua perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua gambaran tentang peran Musa itu saling melengkapi, tidak berlawanan. Yang satu menjamin kepercayaan bangsa itu pada Musa. Sedang yang lain menetapkan “takutnya” mereka pada Allah. Istilah-istilahnya paralel dan saling melengkapi. Lebih dari itu, gambaran yang satu nampak harmonis dengan tradisi tindakan Musa, sementara yang lain memberikan ungkapan pada tradisi tindakan hebat Allah. Tradisi yang terfokus pada tindakan hebat Allah demi kepentingan Israel melukiskan Musa sebagai otoritas pengantara bagi permasalahan bangsa Israel. Dalam posisi ini, fungsi tradisional Musa sebagai pemberi hukum muncul. Musa, sang pemimpin bangsa, meminta kepatuhan dari bangsa itu pada hukum-hukumnya. Hukum-hukum itu berasal dari Allah. Maka, dalam narasi Sinai ini Musa diposisikan sebagai pemimpin bangsa dan sekaligus juga wakil Allah bagi bangsa itu, pengantara perjanjian[7].
Ul 5:4-5 memperjelas pemahaman akan gambaran peran Musa dalam Kel 19-34. Penjajaran kedua ayat itu (Ul 5:4 dan Ul 5:5) menampakkan suatu ketegangan tertentu[8]. Dalam ayat 4, Allah dan bangsa Israel berbicara dengan berhadapan muka. Frase ‘berhadapan muka dengan muka’ menekankan terutama tidak adanya pengantara, padahal ay 5 menunjukkan hal sebaliknya. Musa bertindak sebagai pengantara. Selain itu, klausa dalam ay 5b memberi alasan bagi peran Musa dengan mengingat pada permohonan bangsa itu dalam Kel 20:18. Dalam permasalahan ini, perspektif Kel 19:9 dan Kel 20:18-20 memudahkan penafsiran. Di satu sisi, Tuhan bertindak sehingga bangsa itu akan mempercayai (dan mematuhi) Dia. Sisi ini berhubungan dengan Ul 5:4. Di sisi lain, peristiwa tersebut terjadi untuk menjamin kepercayaan pada Musa. Sisi ini berhubungan dengan Ul 5:5.
7.2.3 Hubungan tradisi tindakan hebat Allah dan tindakan Musa
Penjelasan relasi antara kedua gambaran tradisi yang berkaitan dengan bangsa Israel, Musa dan Allah meninggalkan paling tidak satu masalah : dalam hal apakah tradisi tindakan hebat Allah bisa melengkapi tradisi Musa sebagai pahlawan? Hubungan kedua tradisi ini tidak hanya dalam hal tindakan Allah yang dibandingkan dengan tindakan Musa. Namun, narasi ini lebih sebagai suatu bangunan tradisi tentang tindakan Musa yang dirancang untuk mendatangkan iman dan kepatuhan bangsa itu pada Allah. Tanpa kutub yang satunya, sosok dan karya Musa cenderung dilebih-lebihkan sehingga tradisi itu menjadi dongeng dan Musa menjadi allah. Tanpa kutub yang lain, gambaran tentang manusia akan jatuh menjadi gambaran doketis tentang alat Allah yang maha kuasa tanpa menunjuk pada kebebasan dan peran pribadi dari orang tersebut[9].
Perspektif yang seimbang dalam memahami tindakan manusia dan peran Allah membawa pemahaman yang lebih utuh akan peran Musa dalam narasi perjanjian Sinai. Di satu sisi, Musa berfungsi sebagai pemimpin bangsa. Tindakannya dalam peran itu membawa kepercayaan dan ketaatan bangsa Israel padanya. Di sisi lain, Musa dihadirkan sebagai orang pilihan Allah yang tugasnya adalah menginspirasikan kepercayaan dan kepatuhan pada karya Allah. Kepengantaraan berkaitan erat dengan fungsi yang pertama, meski tidaklah salah tempat di sisi yang kedua. Tanggung jawab sebagai pemberi hukum terkait dengan fungsi yang kedua, meski juga tidak salah jika ditempatkan pada fungsi yang pertama. Keduanya tidak saling berlawanan namun saling melengkapi[10].
7.3 Musa : pengantara hukum Allah
Kompleksitas hukum Israel sebagai klausul perjanjian Sinai terbentang dari Kel 19 menuju Bil 10. Dalam perluasan, perumusan kembali dan penambahan hukum itu selama beberapa generasi, fokus perhatian jatuh pada relasi Allah dengan umatNya. Namun di dalamnya Musa digambarkan sebagai pemberi hukum (lawgiver) yang berarti bahwa ia berperan sebagai pengantara hukum Allah (mediator of God’s law)[11].
Istilah seperti ‘perintah’ (mic•wâ) atau ‘ketetapan’ (Höq) dalam Pentateukh terikat secara langsung pada Yahwe (Ul 8:1.2; Kel 18:16). Namun, identifikasinya menunjukkan karakter ganda. Khususnya pada tahap tradisi selanjutnya, istilah ‘taurat’ (Tôrâ) menunjukkan karakter ganda. Istilah itu selalu dibangun dalam ikatan dengan Yahwe atau Elohim (Kel 13:1; Yos 24:26; Yes 5:24; Hos 4:6; Amos 2:4; Neh 8:8; dll). Namun juga memberi peran penting pada Musa (Neh 8:18; 9:3; 10:29; 2Taw 34:14; dll). Dalam beberapa dari teks ini, hubungan antara Taurat Musa dan otoritas Yahwe bersifat tautologis.[12] Taurat Musa mempunyai otoritas terutama karena itu adalah Taurat Tuhan (2Raj 14:6; 23:25; Neh 8:1.14; Ezra 7:6). Namun dalam peristiwa lainnya, Taurat Musa jelas-jelas mempunyai otoritas karena ia berasal dari mulut Musa (Yos 8:31-32). Dengan demikian, persandingan kata Tôrat möšè menjadi mengungkapkan bahwa hukum itu diidentifikasikan dengan kontribusi Musa (Yos 23:6; 1Raj 2:3; 23:25; Mat 3:22; 2Taw 23:18; 30:16; Ezra 3:2; 7:6; Neh 8:1.14; Dan 9:11.13). Dan dengan cara yang sama, mic•wat möšè dalam 2Taw 8:13 menunjukkan asal muasalnya dari mulut Musa. Musa sang pemberi hukum mengantarai sabda Tuhan pada umatNya. Namun pada saat yang sama tradisi mengingatkan sabda itu berbeda dengan kata-kata Musa sendiri sebab sabda itu berasal dari Allah[13].
Gambaran tradisional Musa sebagai pemberi hukum secara halus menunjuk pada Allah sebagai sumbernya. Maka dalam Hos 4:6, nabi Hosea menuduh bangsa Israel melupakan Tôrat ´Ã©löhʺkä. Dan dalam Amos 2:4, tuduhan itu disampaikan pada Yehuda karena menolak Tôrat yhwh. Dalam Kel 24, Musa memberikan hukum pada bangsanya dengan pidato lisan. Dengan tindakan itu, Musa mendapatkan kepatuhan bangsa Israel pada Allah. Kel 34 juga membuat gambaran yang sama. Pemberian hukum adalah bentuk eksternal dari penerapan otoritas yang dijalankan oleh Musa atas bangsa Israel. Hukum adalah sabda Allah. Dan otoritas ilahi menetapkan posisinya di antara bangsa itu. Musa menyampaikan hukum itu pada bangsa Israel[14].
[1] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, dalam D.N. Freedman, The Anchor Bible Dictionary, Volume I, Doubleday, New York 1992, 1183 - 1187
[2] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, 1183 - 1187
[3] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 130
[4] George E. Mendenhall - Gary A. Herion, “Covenant”, 1183 - 1187
[5] B.S. Childs, Exodus. A Commentary, Old Testament Library, London, SCM Press Ltd 1974, 349-350
[6] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 133
[7] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 135
[8] B.S. Childs, Exodus, 351
[9] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 136
[10] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 141
[11] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 141
[12] Pengulangan kata tanpa menambah kejelasan.
[13] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 142
[14] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 143
Post a Comment