Krisis bangsa dan pertolongan dari Allah
Serangkaian kisah setelah keluarnya bangsa Israel dari Mesir mengisahkan pertolongan Allah pada Israel di hadapan krisis-krisis tertentu yang dihadapi oleh bangsa Israel di padang Gurun[1]. Pola tradisi ini meliputi : (1) Deskripsi dari krisis tertentu yang meliputi serangan musuh (Kel 14; 17), kehausan (Kel 15; 17), dan kelaparan (Kel 16); (2) Bangsa Israel mengeluh pada Musa; (3) Musa menyampaikan keluhan itu pada Tuhan; dan (4) Solusi atas krisis. Kosa kata khas tradisi ini meliputi kata kerja :”berseru” (c•`aq atau tsa’aq)[2]. Tindakan “berseru” tidak dengan sedirinya berarti negatif. Seorang beriman mempunyai hak istimewa untuk mengeluh di hadapan Allah, dan dengan demikian, juga di hadapan Musa. Kata kerja ini mau menggambarkan permohonan pada Allah akan pertolonganNya di hadapan berbagai krisis yang dialami bangsa Israel.
6.1 Penyeberangan Laut Merah (Kel 14:3 – 15:21)
Keluaran dari Mesir menemui hambatan pertama : terjebak di tepi Laut Merah. Untuk terus berjalan, bangsa itu terhalang oleh air laut. Namun untuk mundur dan mencari alternatif jalan lain, bangsa itu ditekan kejaran tentara Mesir. Firaun telah mengubah pikirannya dan memutuskan untuk mengejar bangsa Israel ke padang gurun. Di sini, tema hati Firaun yang dikeraskan, yang khas P, muncul kembali[3]. Peristiwa Laut Merah bukanlah pengulangan tulah dan akibatnya. Tanggapan Musa pada pengejaran itu juga bukan pengulangan negosiasi. Musa harus menanggapinya dengan membela bangsanya berhadapan dengan bahaya yang menghimpit. Musa telah memimpin bangsa itu menuju pembebasan dari perbudakan Mesir. Sekarang, ia harus membela kebebasan itu di hadapan krisis.
Tradisi J memperjelas tanggapan atas krisis yang dihadapi bangsa Israel[4]. Mesir dan perbudakan adalah masa lalu. Krisis yang dihadapi sekarang ini adalah tantangan baru bagi kebebasan bangsa itu. Berhadapan dengan krisis itu, bangsa Israel berseru : “Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru (wayyic•`áqû) kepada TUHAN” (ay 10). Tidak ada nuansa negatif dalam seruan itu, tidak ada tanda kemurtadan tanpa iman. Bangsa itu menghadapi suatu krisis. Dan sebagai bangsa yang setia mereka menyerukan keluhan mereka pada Allah (Mzm 77:2; 107:6.28; bdk Kel 3:9) dan memohon pertolonganNya. Seruan bangsa Israel itu sangat kontras dengan pertanyaan penuh gerutuan pada Musa dalam ay 11. Dan hal itu juga kontras dengan pilihan pelayanan pada orang Mesir dalam ay 12. Ay 15 menunjukkan bahwa seruan pada Allah diantarai oleh Musa. Kepengantaraannya berhadapan dengan krisis membuat seruan bangsa itu didengar oleh Allah. Allah menanggapi seruan itu dengan menginstruksikan supaya Musa menyelesaikan krisis itu. Menjadi jelaslah bahwa bagi tradisi J bantuan pada bangsa itu bukanlah hanya karya Musa. Musa tidak dapat menyelamatkan bangsanya dari kematian yang mengancam mereka.
Kisah Laut Merah dengan demikan tidak hanya sebuah kisah tentang perbuatan besar Musa. Memang dalam beberapa tradisi PL, misal Kidung Miryam dalam Kel 15:21, karya besar Allah dikerjakan secara langsung tanpa memberi satu pun peran pada Musa. Tradisi-tradisi itu harus diseimbangkan dengan kisah narasi tentang peristiwa yang sama. Allah betindak untuk menyelamatkan umatNya. Namun narasi Laut Merah dalam Kel 14 menggabungkan tradisi itu dengan figur Musa. Memang, masih Allah sendirilah yang bertindak. Namun dengan nada yang sama, Allah tidak menyelamatkan bangsanya dari kematian dengan intervensi langsung terpisah dari Musa. Musa bertindak sebagai pelayan yang mengikuti perintah Allah. Ia memungkinkan terjadinya penyelamatan Allah. Sebagai konsekuensinya, kesimpulan dalam ay 31 tidak menyoroti tindakan Allah sendiri. Keduanya berdiri bersama-sama : “Ketika dilihat oleh orang Israel, betapa besarnya perbuatan yang dilakukan TUHAN terhadap orang Mesir, maka takutlah bangsa itu kepada TUHAN dan mereka percaya kepada TUHAN dan kepada Musa, hamba-Nya itu.” Percaya pada Musa, seperti juga percaya pada Tuhan, tidak hanya soal menyetujui. Ini adalah komitmen untuk mematuhi, mengikuti sang pemimpin. Hal ini menandakan bahwa bangsa itu setia pada Musa dan Tuhan, persis seperti juga Musa menunjukkan kesetiaan dan pembelaan pada bangsanya. Tidak perlulah disimpulkan tentang tradisi mana yang lebih dahulu : peran Musa dalam Keluaran ataukah semata-mata tindakan Yahwe. Kedua sisi tradisi itu berdiri bersama-sama, saling melengkapi dan tidak saling berlawanan[5].
Hal itu didukung perbandingan antara gambaran peristiwa Laut Merah dengan tradisi perang suci[6]. Perbandingan ini muncul dalam teriakan penuh kepanikan orang Mesir dalam Kel 14:25 : “Marilah kita lari meninggalkan orang Israel, sebab Tuhanlah yang berperang untuk mereka melawan Mesir.” Perbandingan dengan perang suci menegaskan bahwa perang itu terjadi karena dikehendaki oleh Tuhan. Hal itu juga ditunjukkan oleh kata-kata Musa pada bangsa Israel dalam ay 13: “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.” Kemenangan itu adalah milik Tuhan. Namun sang pemimpin bertanggungjawab pada bangsanya dan dengan demikian mendorong mereka : “Janganlah takut, berdirilah tetap!” Kekuatan Allah dalam menyelamatkan bangsa itu tidak terpisah dari tindakan sang pemimpin. Sang pemimpin, dengan kekuatan Allah, mendapatkan kemenangan dalam peperangan.
6.2 Mara : air pahit menjadi manis (Kel 15:22-26)
Kisah pertolongan Allah bagi Israel di mata air yang disebut Mara (Kel 15:22-26) sangat berhubungan dengan peristiwa Laut Merah[7]. Keseluruhan narasi bernuansa positif. Pertanyaan dalam ay 24b : “Apakah yang akan kami minum?” bukanlah pertanyaan yang umum dalam tradisi pemberontakan. Bangsa Israel hanya meminta air. Tanggapan Musa atas permintaan itu pun dipengaruhi oleh kata kerja yang sama bagi pengantaraan yang digunakan dalam Kel 14 : ‘berseru-seru kepada Tuhan’ (wayyic•`áqû ´el-yhwh). Menghadapi krisis kekurangan air, Musa menjadi pengantara seruan bangsa Israel pada Yahwe[8]. Mengantarai berarti meminta sesuatu bagi orang lain. Kata ini menerjemahkan kata intercession yang berasal dari bahasa Latin inter-cedere, yang artinya adalah hadir atau berdiri di antara dua orang[9]. Kepengantaraan menunjukkan bahwa orang pertama meminta pada orang kedua atas nama orang ketiga. Musa bertindak dalam cara ini. Musa sang pemimpin bangsa itu mengantarai permohonan mereka pada Tuhan dan mendapatkan kekuatan untuk menghadapi krisis. Dan sebagai hasilnya, Allah menunjukkan padanya sebuah pemecahan atas krisis itu.
6.3 Sin : Burung puyuh dan manna (Kel 16:1-36)
Kel 16 tentang karunia Allah pada Israel berupa manna dan burung puyuh merupakan teks P[10]. Teks ini didominasi dengan persprektif tradisi gerutuan. Maka, ay 2 mulai dengan kata kerja ‘bersungut-sungut’ (lun) yang memberi nuansa pemberontakan. Ay 6-12 mengkisahkan tanggapan antisipatif dari Allah berupa konsesi pada permintaan para pemberontak. Memang, ramalan yang diberikan pada bangsa itu dalam ay 12 bernuansa positif karena seolah-olah mau menjawab kepengantaraan Musa yang memohon pertolongan. Terlebih ay 13-18 mengisahkan anugerah makanan tanpa isi negatif. Namun sebaliknya, ay 19-27 mencatat kemarahan Musa soal ketidakpatuhan bangsa itu.
Peristiwa manna dan daging itu seluruhnya adalah tindakan Allah. Tradisi P tidak menunjuknya sebagai tindakan Musa[11]. Manna yang disimpan sebagai kesaksian bagi generasi yang akan datang (Kel 16:33) menunjukkan perspektif yang sama. Penyimpanan itu mau mengingatkan akan pertolongan yang diberikan oleh Allah pada leluhur mereka bukannya pada tindakan Musa. Dalam narasi ini, Musa (dan Harun) lebih berperan sebagai penafsir sabda Allah bagi bangsa Israel.
6.4 Rafidim : air dari gunung batu, Masa dan Meriba (Kel 17:1-18:27)
Bentuk akhir teks Kel 17:1-7 menggambarkan tema gerutuan dengan pertanyaan pemberontakannya dalam ay 3. Pertanyaan yang disampaikan Musa pada Tuhan dalam ay 4 pun mencerminkan perlawanan penuh permusuhan : “Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!” Namun dalam kisah ini, ada juga nuansa positif. Posisi ini bisa diandaikan jika kata kerja ‘bertengkar’ (rib) dalam ay 2 tidak diartikan dalam nuansa negatif permusuhan[12]. Kata ini memang bisa punya konotasi bermusuhan seperti ditunjukkan oleh Kej 13:7 di mana bentuk kata benda dari akar katanya berarti perselisihan. Namun, tidak ada perselisihan dalam permintaan yang disampaikan dalam ay 2. Permintaan itu secara fungsional sama dengan permintaan dalam 15:24. Karena itu, tanggapan Musa dalam ay 4 dimulai dengan kata kerja kunci yang sama bagi tradisi positif tentang kepengantaraan : “Lalu berseru-serulah Musa kepada Tuhan” (wayyic•`aq möšè ´el-yhwh). Tanggapan Allah dalam ay 5 mendukung penafsiran yang melihat nuansa positif dalam kisah ini. Allah memberi perintah pada Musa untuk menyelesaikan krisis. Ia harus mengambil tongkatnya (ma††Ã¼kä) dan memukul batu karang di Meriba supaya keluar airnya. Dengan tongkatnya, Musa mengikuti perintah Allah dan dengan demikian memberikan air untuk menyelesaikan krisis.
6.5 Melawan bangsa Amalek (Kel 17:8-16)
Kisah peperangan melawan bangsa Amalek merupakan sebuah kisah legenda, yaitu narasi yang menekankan suatu kebajikan khas sang pahlawan dari pada peristiwa yang dikerjakan oleh sang pahlawan itu sendiri[13]. Salah satu tema utama yang khas legenda adalah peperangan[14]. Perikop Kel 17:8-13 menggambarkan suatu peperangan. Namun, fokus struktural kisahnya tidak menyoroti perang itu sendiri[15]. Perikop ini bukanlah sebuah laporan tentang peperangan. Ay 8 menggambarkan peperangan tersebut dalam istilah yang sangat umum : “Lalu datanglah orang Amalek dan berperang melawan orang Israel di Rafidim.” Kemudian kisah bergerak ke luar dari peperangan. Dalam ay 9, Musa memerintahkan pada Yoshua : “Pilihlah orang-orang bagi kita, lalu keluarlah berperang melawan orang Amalek, besok aku akan berdiri di puncak bukit itu dengan memegang tongkat Allah di tanganku.” Ay 10 melakukan hal yang sama. Ay 10a melaporkan peperangan dalam istilah yang umum. Namun ay 10b mengubah perhatian pendengar menuju puncak bukit. Ay 11 lalu memperjelas perhatian ke puncak bukit itu. Dengan tindakannya di puncak bukit, Musa mempengaruhi kemenangan dan kekalahan bangsanya. Dengan demikian, oleh tindakan Musalah kemenangan atas orang Amalek itu bisa diraih.
Fokus legenda dalam Kel 17:8-16 bukan hanya pada tindakan Musa yang membuat Israel memenangkan peperangan. Fokus kisah lebih soal ketahanannya di hadapan tugas yang melelahkan. Ketahanan itu, kemampuan untuk memikul tugas saat kekuatan manusiawi mulai memudar, adalah kebajikan yang menjadi pusat narasi. Maka, ay 12a melaporkan persoalan yang menantang kemampuan Musa untuk bertahan. Tangan Musa mulai capek, maka para pembantunya mendukungnya. Dukungan mereka tidak mengurangi kualitas ketahanan Musa. Lebih dari itu, dukungan mereka membuat sang pahlawan menyelesaikan tugas. Lalu, ay 12b menegaskannya, “tangannya tidak bergerak (´Ã©mûnâ) sampai matahari terbenam.” Dalam peperangan ini, Musa bertahan pada tugasnya sampai pekerjaan itu selesai. Ketahanan yang dipertunjukkan oleh Musa bukanlah sekedar integritas pribadi atau pun profesionalitas belaka. Lebih dari itu, ia melayani bangsanya. Ay 13 membuat hal ini menjadi jelas : “Demikianlah Yosua mengalahkan Amalek dan rakyatnya dengan mata pedang.” Ketahanan Musa yang setia merentangkan tangan membuat Yoshua bisa memenangkan peperangan. Ini bukanlah kisah Yoshua, meskipun Yoshua berperang dan memenangkan pertempuran itu. Ini adalah kisah tentang Musa, orang yang tulus hati (man of integrity) dan orang yang berkualitas (man of quality) yang tepat bagi kemajuan bangsanya. Perhatian khusus patut dilayangkan pada Ay 9. Di situ dikisahkan bahwa Musa harus pergi ke bukit dengan “tongkat Allah” (ma††Ã‹ hä´Ã©löhîm) di tangannya. Tongkat itu mewakili otoritas Musa, ketahanannya demi kemenangan atas musuh. Bahwa tongkat itu di sini disebut ‘Tongkat Allah’ menunjukkan bahwa otoritas Musa berasal dari Allah[16].
6.6 Musa : setia membela bangsa di masa krisis
Kisah-kisah tentang pertolongan Allah pada bangsa Israel berpusat pada tindakan Allah yang maha besar pada umatNya, seperti ditunjukkan oleh Mzm 105. Dalam kisah itu, Musa memimpin bangsanya melalui berbagai macam peristiwa di padang gurun dan memungkinkan mereka terus berjalan walaupun ada ancaman yang mengintai. Ia bertanggung jawab untuk memimpin bangsa itu keluar dari Mesir. Maka tanggung jawabnyalah juga untuk memenuhi kebutuhan mereka di padang gurun dan akhirnya membawa mereka menuju tanah terjanji. Penolakan dan gerutuan oleh bangsanya sendiri tidak mengurangi kualitas kepemimpinan Musa. Sebaliknya, Musa makin menunjukkan diri sebagai pemimpin bangsa yang setia membela bangsanya di hadapan krisis yang antara lain disebabkan oleh kelaparan, kehausan, dan musuh. Pembelaan itu muncul secara tajam dalam kepengantaraan Musa bagi bangsanya di hadapan Allah.
[1] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 109
[2] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 113
[3] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 113
[4] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 114
[5] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 115
[6] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 116
[7] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 117
[8] Dalam Seri tulisan ini, kata ‘pengantara’ menerjemahkan kata Intercessor. Peran Musa sebagai ‘pengantara’ (intercessor) ini terbedakan dengan perannya sebagai ‘pengantara perjanjian’ yang menerjemahkan frase Mediator of Covenant.
[9] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 74-75
[10] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 119
[11] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 119
[12] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 118
[13] Ron m. Hals, “Legend : A Case Study in Old Testament Form-Critical terminology”, CBQ 34 (1972) 166-176 seperti dikutip oleh G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 125
[14] Jan de Vries, Heroic Song and Heroic Legend (translated by B.J. Timmer), Oxford, London 1963, seperti dikutip oleh G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 125
[15] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 125
[16] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 126
Post a Comment