Header Ads

Terang Sabda

Pemberontakan Miryam dan Harun (Bil 12:1-15)

Musa bertemu dengan Zippora

Perlawanan terhadap kepemimpinan Musa tidak hanya berasal dari bangsa Israel pada umumnya namun juga dari lingkaran dalam : Miryam dan Harun, saudari dan saudara Musa sendiri. Meskipun masih problematis[1], kisah ini nampaknya terdiri dari berbagai lapisan sejarah tradisi perlawanan pada kepemimpinan Musa. Dalam bentuknya yang sekarang, narasi ini disajikan untuk menonjolkan keutamaan Musa sebagai pemimpin bangsa[2].

10.1 Kesulitan cara pandang ketidaksatuan teks Bil 12:1-15
Ada beberapa kejanggalan yang muncul dalam kisah ini[3]. Pertama, ada dua subyek, Miryam dan Harun, namun subyek kerja “mengatai” (waTTüdaBBër) adalah orang ketiga feminim tunggal. Seolah-olah salah satu nama telah ditambahkan kemudian. Kedua, protes tersebut awalnya muncul karena perkawinan Musa dengan orang asing, perempuan Kush, namun kemudian yang menjadi inti protes itu sendiri terkait dengan perkara lainnya. Poligami adalah hal yang umum pada waktu itu maka tidaklah luar biasa bahwa Musa mengambil istri lain. Protes itu juga tidak mengatakan bahwa Musa telah melakukan kesalahan karena mengambil perempuan asing sebagai istri dan bukannya perempuan dari bangsanya sendiri. Yang diserang justru prinsip dasar otoritas Musa. Kejanggalan lain muncul pada saat tibanya penghukuman Allah : hukuman hanya ditimpakan pada Miryam, sedangkan Harun bebas dari hukuman.

Beberapa penafsir berpendapat bahwa tradisi yang membentuk Bil 12 :1-15 paling tidak terdiri dari tiga tahap perkembangan[4]. (i) Yang tertua adalah kisah celaan terhadap Musa karena ia menikahi perempuan Kush. Pemberontakan ini dilakukan oleh Miryam. Ay 1 yang dimulai dengan kata kerja imperfek orang ketiga feminin tunggal menunjukkan dengan jelas bahwa Miryam sendirilah subyeknya. Karena itu, kesimpulan bab yang termasuk tradisi awal ini menggambarkan hukuman Allah yang berupa penyakit kusta hanya menimpa Miryam (ay 10). (ii) Harun muncul dalam kisah tersebut sebagai bagian dari tahap perkembangan kedua. Di sini, ia dan Miryam bersama-sama mencela Musa atas sikapnya yang terlalu berani sebagai pemimpin bangsa dan mengklaim diri pantas atas kepemimpinan yang diungkapkan sebagai kepengantaraan atas sabda Allah bagi bangsa Israel (ay 2). Ketidaksatuan antara tahap pertama dan kedua muncul dengan sangat tajam dalam peran Harun yang ambigu. Ia jelas-jelas bersama dengan Miryam dalam pemberontakan melawan Musa. Namun ia berdiri di kejauhan hanya sebagai pengamat ketika hukuman Allah atas pemberontakan itu datang. (iii) Tahap perkembangan ketiga narasi tersebut berisi berbagai kisah posisi Musa di hadapan Allah dan bangsanya. Dalam teks yang ada sekarang, tahap ini berfungsi sebagai tanggapan atas pemberontakan itu. Tanggapan itu sendiri tidak berhubungan dengan tradisi pertama maupun kedua.

Cara pandang yang mulai dengan pengandaian akan ketidaksatuan teks ini menyulitkan penafsiran utuh atas teks. Dengan cara pandang macam ini, keutamaan Musa sebagai orang yang lembut hati (ay 3) dan setia dalam segenap rumah Tuhan (ay 7) bukanlah tanggapan yang tepat atas tantangan agresif terhadap kepemimpinannya[5]. G.W. Coats menawarkan cara pandang lain yang melihat bahwa kejanggalan-kejanggalan itu mempunyai peran tertentu dalam retorika asli teknik narasi teks tersebut[6]. Pola retorika macam itu tidak hanya berfungsi sebagai unsur keindahan dalam sastra kuno namun juga menjadi kunci untuk melihat dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh narator[7]. Cara pandang ini mau melihat jalinan makna dari penyusunan teks peredaksian terakhir.



10.2 Bil 12:1-15 : legenda yang menonjolkan keutamaan Musa
Pola kesatuan teks Bil 15:1-15 yang diusulkan G.W.Coats diidentifikasikan dengan memberikan perhatian pada struktur dan genre dari teks yang kita terima[8]. Hipotesisnya : narasi seperti yang dipertahankan saat ini bukan lagi sebuah kisah yang dirancang terutama untuk mengisahkan peristiwa pemberontakan melawan Musa oleh Miryam atau pun Miryam dan Harun. Sebaliknya, narasi awal itu, disusun kembali dan diubah menjadi sebuah legenda. Sebagai sebuah legenda, narasi itu terfokus pada keutamaan Musa. Pemberontakan Miryam dan Harun menjadi latar belakang narasi ini, namun bukanlah subyek utamanya. Subyek utama narasi ini adalah status istimewa Musa di antara semua orang di dunia ini. Status istimewa Musa itu disebutkan dengan jelas dalam ay 3 (lembut hati) dan ay 7 (setia dalam segenap rumah Allah). Kedua ayat itu menjadi kunci penafsiran atas keutamaan Musa yang mau digambarkan oleh narasi ini.

a) Integritas kepemimpinan Musa
Narasi ini mengkaitkan keutamaan Musa dengan keutamaan para pemimpin bangsa Israel[9]. Keterkaitan itu muncul dalam Bil 12:7b : ‘Musa, seorang yang setia (ne´Ã©män) dalam segenap rumah-Ku’. Kata ne´Ã©män sebagai tanda keutamaan juga muncul dalam 1Sam 22:14 untuk menggambarkan integritas Daud sebagai orang yang setia di hadapan keinginan jahat Saul (bdk 1Sam 22:33; 3:20; Yes 7:9). Meski dalam bentuk gramatikal yang berbeda, ungkapan itu menggambarkan keutamaan Musa dalam Kel 17:12[10]. Gambaran tersebut juga muncul dalam Kej 39:1-6 meskipun kata yang digunakan juga berbeda[11]. Dalam Kej 39:1-6, Yusuf menunjukkan bahwa dirinya bertanggungjawab atas pengelolaan rumah Pothipar, tuannya, yang menjadi tanggungjawabnya. Meskipun istri tuannya mempersulit pelaksanaan tanggung jawab tersebut, ia tetap setia pada tugasnya. Dari ketiga paralel gambaran itu, ungkapan ‘setia (ne´Ã©män) dalam segenap rumah-Ku’ menunjukkan integritas Musa yang bisa dipercaya baik dalam kata maupun perbuatan. Integritas tersebut muncul dari tindakan-tindakan Musa yang mampu tetap setia pada apa yang menjadi tanggung jawabnya meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan.

Integritas Musa yang digambarkan dalam ay 7 dengan kata ne´Ã©män terkait erat dengan keutamaan Musa yang digambarkan dalam ay 3 : “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya (`änäyw), lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi” [12]. Dalam kaitannya dengan ay 7, kata `änäyw ini tidak dipakai pertama-tama untuk menunjuk pada sikap rendah diri, kurangnya keberanian atau pun tunduk. Tindakan Musa yang berdoa bagi Miryam di hadapan Allah (ay 13) jelas tidak berhubungan dengan sikap semacam itu[13].

Kata sifat maskulin tunggal `änäyw berakar dari kata kerja ±¹nâ yang muncul beberapa kali dalam Kitab Suci Ibrani[14]. Kata kerja ini digunakan dalam konteks makna permusuhan dan hukuman : ‘tunduk’, ‘rendah hati’, dan ‘miskin’. Derivasi kata ±¹nâ dalam kata ±¦n¹ywâ dan `ánäwîm (Yes 29:19; 32:7; Am 8:4) menunjukkan konteks makna tersebut. Namun, di luar konteks yang terbatas itu, kata ±¹nâ mempunyai makna yang lebih luas. L. Delekat menunjukkan bahwa kata kerja ±¹nâ juga bisa diartikan sebagai ‘menjawab’ dan secara khusus juga menunjuk pada ‘menjawab dengan cara yang sangat khusus’[15]. Kata itu mengungkapkan jenis relasi yang terjadi antara tuan dan hambanya. Sang hamba mencurahkan dirinya sendiri dalam kepatuhan pada tuannya. Ia taat pada rencana tuannya pada dirinya sendiri : “Sebab TUHAN berkenan kepada umat-Nya, Ia memahkotai orang-orang yang rendah hati (`ánäwîm) dengan keselamatan” (Mzm 149:4). Kata `ánäwîm di sini parallel dengan Hasidim. Mereka bukan orang tertindas. Mereka setia pada Tuhan. Parallel yang sama muncul dalam Sir 1:27 : “Sebab kebijaksanaan dan pengajaran adalah ketakutan akan Tuhan, dan Allah berkenan pada kesetiaan dan hati lembut.”

Makna kata ±¹nâ yang ditunjukkan oleh Delekat merupakan konteks makna kata `änäyw dalam Bil 12:3. Dengan demikian kata `änäyw tersebut tidak menunjukkan kualitas pasif ‘tunduk’, ‘lembek hati’, ‘rendah diri’. Kualitas khas Musa sebagai `änäyw mau mengungkapkan peran dan integritas Musa sebagai hamba yang bertanggungjawab atas seluruh rumah Tuhan. Musa setia, taat dan melaksanakan dengan sepenuh hati tanggung jawab yang diberikan Tuhan padanya : mewujudkan rencana dan karya pembebasan Allah bagi bangsa Israel.

b) Bagaimana integritas kepemimpinan itu dilaksanakan ?
Kisah ini, dalam bentuk terakhirnya, merupakan sebuah legenda yang menjadi sarana untuk menampilkan keutamaan kepemimpinan Musa. Karena itu, beberapa kejanggalan, yang menurut analisa historis terjadi karena perkembangan sejarah tradisi kisah itu, memerlukan usaha penafsiran yang serius[16]. Sebab, dalam bentuk akhirnya, Bil 12:1-15 muncul sebagai sebuah legenda yang utuh. Masing-masing unsur struktur kisahnya memperlihatkan perubahan dari fokus pada oposisi terhadap kepemimpinan Musa pada penggambaran keutamaan Musa sebagai seorang pemimpin bangsa.

Keutamaan Musa yang ditunjukkan dengan kata kunci `änäyw dan ne´Ã©män dilaksanakan secara konkret dalam kepengantaraan Musa bagi musuhnya (ay 9-14) dan pada saat yang sama juga menegaskan otoritas Musa[17]. Dalam alur pemaknaan tersebut, Bil 12:1-15 bisa dibaca sebagai sebuah kesatuan[18]. (i) Titik ketegangan narasi tersebut muncul dalam ay 1-3. Laporan tentang konflik dalam ay 1-2 berlawanan dengan catatan tentang keutamaan Musa dalam ay 3 (`änäyw). Miryam dan Harun menantang posisi yang dipegang Musa. Namun narator menjamin bahwa Musa akan menanggapinya dengan penuh hormat. (ii) Ay 4-8, menaikkan ketegangan dengan memperkenalkan Tuhan sebagai hakim. Sabda Tuhan dalam ay 6-8 mempertegas catatan tentang keutamaan Musa dalam ay 3 : Musa adalah ne´Ã©män, orang yang setia dalam segenap rumah Tuhan. (iii) Ay 9-15 memecahkan ketegangan tersebut. Pemberontakan berakhir dengan hukuman Tuhan. Otoritas Musa mendapatkan penegasannya (ay 9-10). Namun, kisah belum berakhir. Harun memohon pada Musa supaya jangan menimpakan hukuman atas pemberontakan itu. Kata-kata Harun itu terdiri dari pengakuan atas kesalahan (ay 11b) dan juga permohonan untuk berbelas kasih pada Miryam (ay 11a.12). Meskipun Harun dan Miryam telah memberontak, Musa menanggapi permohonan itu dengan kepengantaraan. Tanggung jawab Musa terhadap orang yang dipimpinnya ternyata lebih besar dari pada keinginan untuk balas dendam[19]. Maka, “Berserulah Musa kepada Tuhan”. Ia memohon : “Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia!” Kepengantaraan itu menghasilkan kompromi : hukuman itu hanya akan berlangsung selama seminggu[20]. Setelah tenggang waktu yang tepat untuk pembersihan diri, Miryam kembali ke kemah dan bangsa Israel melanjutkan perjalanan mereka.

Kepengantaraan Musa bagi Miryam dan Harun harus dimengerti secara langsung dalam hubungannya dengan keutamaan Musa dalam kisah ini. Keutamaan itu terfokus pada integritas kepemimpinan Musa di hadapan Allah. Keutamaan itu digambarkan dalam ay 8 sebagai posisi unik Musa yang memungkinkannya untuk berbicara ‘berhadap-hadapan’ dengan Allah[21]. Justru relasi macam inilah yang menjadikan Musa sebagai pengantara. Keberaniannya untuk berbicara pada Allah dengan permohonan macam itu merupakan tindakan yang menunjukkan keutamaan tersebut.

10.3 Konsekuensi teologis
Kesetiaan Musa pada tanggung jawabnya menunjukkan integritasnya sebagai seorang pemimpin bangsa. Ia tetap memenuhi tanggungjawab atas perutusannya itu meskipun dihadapkan pada perlawanan dari bangsanya, bahkan perlawanan dari saudari dan saudaranya, Miryam dan Harun. Perspektif atas Bil 12:1-15 tersebut mempunyai konsekuensi teologis yang eksplisit[22]. (i) Kualitas kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Musa bukanlah kepemimpinan yang kurang keberanian (penakut), lembek, tidak tegas; namun yang ditunjukkan adalah kualitas kepemimpinan yang kuat, efektif, bertanggung jawab. (ii) Kepemimpinan tersebut bukanlah jenis kepemimpinan yang keras hati, membisu, tidak peduli. Namun, kepemimpinan macam itu terbuka pada kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. (iii) Dalam lingkup kepemimpinan macam itu, loyalitas ditujukan pada Allah. Loyalitas pada Allah juga berarti loyalitas penuh tanggung jawab pada bangsa yang dipimpinnya. Musa tidak menunjukkan ketaatannya pada Allah dengan begitu saja membiarkan Miryam dihukum karena kesalahannya. Sebaliknya, ketaatannya muncul ketika ia berdiri berhadapan muka dengan Allah dan membela bangsanya.

[1] Martin Noth, A History of Pentateuchal Traditions, 30-32
[2] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 127
[3] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 58-59
[4] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, dalam David J.A. Clines, dkk (Ed), Art and Meaning : Rhetoric In Biblical Literature, JSOT, Sheffield 1982, 97
[5] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 99
[6] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 97
[7] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 97
[8] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 99
[9] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 100
[10] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 100
[11] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 100
[12] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 100
[13] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 101
[14] R. Laird Harris, dkk, The Theological Wordbook of the Old Testament, dalam BibleWorks for Windows, 2001 (aslinya diterbitkan oleh Moody Press of Chicago, Illinois 1980)
[15] L. Delekat, ‘Zum hebräischen Wörterbuch’, dalam Vetus Testamentum 14 (1964), 35-49 sebagaimana dikutip G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 101
[16] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 102
[17] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 102
[18] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 104
[19] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 128
[20] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 63
[21] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 104
[22] G.W. Coats, ‘Humility and Honor : A Moses Legend in Numbers 12’, 105-106

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.