Kematian Musa
Musa dipanggil dan diutus Allah untuk membebaskan bangsa Israel. Semula, ia berusaha menolak perutusan tersebut, namun akhirnya ia pasrah dan menerimanya. Ia pun melaksanakannya dengan sepenuh hati melewati berbagai kesulitan dan kepahitan : kerasnya situasi alam di padang gurun dan perlawanan dari bangsanya sendiri yang suka menggerutu, tidak puas, dan memberontak. Akhirnya, ia berhasil memimpin bangsa Israel sampai di gerbang tanah terjanji. Namun, tiba-tiba impian akan kesuksesan menjalankan tugas terhenti begitu saja. Ia tidak boleh memasuki tanah terjanji. Sebelum benar-benar meninggalkan bangsanya, Musa mengadakan suksesi kepemimpinan bangsa. Meskipun tidak diperkenankan memasuki tanah terjanji, Musa diperbolehkan memandanginya dari puncak gunung Nebo. Di situlah juga akhirnya Musa mati.
Tradisi tentang kematian Musa yang dominan dalam Pentateukh adalah bahwa Musa mati sebelum memasuki Kanaan. Namun ada tulisan non-biblis yang melaporkan bahwa Musa memasuki tanah Kanaan. Di luar persoalan historisitas kisah, narasi Pentateukh yang diterima sekarang menggambarkan jalinan kisah kematian Musa secara kompleks dan ambigu, terutama soal penyebab tidak diperbolehkannya Musa memasuki tanah terjanji. Bagian ini mencoba untuk mengurai jalinan kisah kematian Musa. Dengan demikian, gambaran ketokohan Musa yang ditampilkan dalam keseluruhan narasi Pentateukh akan makin jelas.
12.1 Apakah Musa mati sebelum memasuki tanah terjanji ?
Telaah dalam bagian ini menggunakan analisis historis kritis. Analisis ini lebih mau melihat pada tahap perkembangan tradisi manakah Musa dikisahkan tidak memasuki tanah terjanji. Tujuannya bukanlah untuk menemukan Musa historis namun untuk mendapatkan kejelasan soal tahap-tahap perkembangan refleksi akan ketokohan Musa dengan berfokus pada masalah kematiannya.
12.1.1 Kesaksian Hecataeus
Ul 34 mengisahkan kematian Musa di gunung Nebo di dataran Moab, pintu gerbang tanah terjanji. Meksipun demikian, sebuah tulisan dalam bahasa Yunani dari Hecataeus menyebutkan bahwa Musa menyeberangi sungai Yordan dan menetap di Yerusalem[1]. Hecataeus adalah sejarawan Alexandria yang hidup sejaman dengan Ptolomeus I (306-283 sM). Dalam Aegyptica, ia menuliskan sejarah asal muasal bangsa Yahudi. Dalam salah satu bagian buku itu, ia menerangkan mengapa para budak Ibrani diusir dari Mesir dan bagaimana Musa memimpin perjalanan sekelompok orang menuju Yerusalem, mengorganisir bangsa Israel ke dalam suku-suku, menyusun ibadat, hakim-hakim dan tentara[2].
Tulisan Hecataeus itu tidak menampilkan sentimen anti-semit yang menjadi ciri khas karya-karya dalam bahasa Yunani tentang bangsa Yahudi. Karena itu, tulisan tersebut bisa dilihat sebagai laporan obyektif atas pemahaman akan pribadi Musa dari kelompok tertentu jemaat Yahudi Alexandria pada masa itu (sekitar tahun 300 sM)[3]. Tulisan Hecataeus itu dibuat pada saat yang hampir bersamaan dengan penerjemahan Kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani di Alexandria. Maka, ketidaksesuaiannya dengan narasi Pentateukh yang ada sekarang bukanlah soal ketidaktahuan atau kesalahan namun soal akses langsung pada tradisi Musa yang ‘resmi’. Nyatanya, beberapa catatan Hecataeus paralel dengan tradisi P. Namun, ada satu titik penting ketidaksesuaian antara Hecataeus dengan tradisi P, yaitu soal masuknya Musa ke tanah terjanji. Menurut P, Musa mati di gunung Nebo di seberang sungai Yordan. Sedangkan menurut Hecataeus, Musa masuk ke tanah terjanji, membangun bait Allah di Yerusalem dan mengorganisasikan kehidupan bangsa Israel[4]. Perbedaan itu bisa terjadi karena berbagai hal. Namun, melihat fakta adanya beberapa catatan yang paralel dengan tradisi P, kemungkinan Hecataeus mendapatkan kisah Musa dari tradisi Musa yang lebih tua dari pada narasi Pentateukh yang ada sekarang[5]. Kemungkinan tersebut membawa pada permasalahan perkiraan zaman yang agak mungkin untuk menentukan kapankah mulai adanya narasi tentang tidak diperkenankannya Musa masuk ke tanah Kanaan dan untuk tujuan apa perubahan narasi itu dibuat.
12.1.2 Manakah tradisi yang bertanggung jawab atas perubahan itu: P atau D?
a) Tradisi P : Musa berdosa memukul batu
Tradisi P ditulis sekitar tahun 520 sM. Sebagai serangan gencar yang paling sistematis terhadap teologi D, P paling dicurigai mengeliminasi Musa, ikon teologi D[6]. Dalam kisah P tentang kematian Musa, Musa tidak diperbolehkan memasuki tanah terjanji karena ia dan Harun tidak loyal pada Tuhan dalam peristiwa di Meriba (Ul 32:51; Bil 20:1-12). Bil 20:1-12 menampilkan tafsiran P atas episode Massa-Meriba yang berasal dari tradisi J (Kel 17) yang tidak menyebut tindakan Musa memukul gunung batu sebagai dosa melawan Tuhan. Dalam kisah P, episode ini menjadi dosa Musa karena ia memukul gunung batu padahal ia diperintahkan untuk bicara padanya. P bahkan menggarisbawahi ketidaktaatan Musa dengan mengulanginya dalam Bil 27:12-14 dan Ul 32:48-52. Berulangnya tema kesalahan Musa ini membuat P dianggap paling bertanggung jawab atas kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji. Namun meskipun demikian, sebenarnya kontribusi P pada kisah kematian Musa terbatas soal kesalahan (: dosa) Musa[7]. Tersangka utama yang paling bertanggung jawab atas kisah kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji adalah tradisi Deuteronomis yang muncul hampir seabad sebelumnya[8].
b) Tradisi D : Kepentingan istana Yerusalem pada zaman Yoyakim
Figur Musa merupakan figur yang penting selama pemerintahan Raja Yosia dan Yoyakim. Berdasarkan paralelisme antara Musa dengan Yosia (Ul 34:10 // 2Raj 18:5), T.W. Mann berpendapat bahwa kisah tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah Kanaan muncul tidak lama setelah kematian prematur Yosia (sekitar tahun 609 sM)[9]. Karena itu, dihubungkannya figur Yosua dengan kisah Musa dan tradisi Keluaran pastilah baru terjadi pada akhir abad VII sM. Hal itu diperkirakan terjadi pada tahun 601 sM, yaitu ketika Yehuda memberontak melawan Babylonia. Yosua dihubungkan dengan kisah Musa dan tradisi Keluaran karena Raja Yoyakim (anak kedua Yosia yang menjadi raja menggantikan kakaknya yang ditawan di Mesir) perlu menampilkan diri sebagai penerus ayahnya. Sebelumnya, Yosia memerlukan figur Musa sebagai pemberi hukum untuk melegitimasi penerapan reformasi hukumnya yang didasarkan pada kitab hukum ‘yang ditemukan’ di bait Allah (2Raj 22) [10]. Kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji pun disejajarkan dengan kematian prematur Yosia di Megido. Dengan demikian, sebelum kematian prematur Yosia, Musa tidak dikisahkan mati sebelum memasuki tanah Kanaan[11]. Kegagalan yang dikenakan pada Musa itu dibuat dalam konteks eksekusi Yosia oleh Nekho (2Raj 23:30). Musa mati sebelum menyelesaikan tugasnya seperti yang terjadi pada Yosia dan dengan demikian memberi jalan pada penggantinya, Yosua. Masuknya Yosua dalam kisah Musa dan tradisi Keluaran melegitimasi penggantian Yosia oleh Yoyakim.
12.1.3 Reputasi ketokohan Musa
Kisah tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah Kanaan tidak berasal dari tradisi P. Tradisi P lebih menunjukkan dosa Musa, khususnya dalam peristiwa di Meriba. Kisah tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah Kanaan berasal dari tradisi D yang dibuat demi kepentingan istana Yerusalem. Hipotesis ini menunjukkan tahap perkembangan ketokohan Musa secara historis. Dengan demikian, kisah kematian Musa sebelum memasuki tanah Kanaan tidak menghancurkan reputasi ketokohan Musa yang dibangun dalam keseluruhan Pentateukh. Namun, analisis semacam itu belumlah lengkap. Bagian selanjutnya akan melengkapinya dengan menelaah kisah kematian Musa sebelum memasuki tanah Kanaan dari narasi Pentateukh yang diterima sekarang ini.
12.2 MUSA TIDAK DIPERKENANKAN MEMASUKI TANAH KANAAN
Pentateukh masih mempertahankan catatan-catatan yang berbeda-beda tentang kematian Musa sebelum memasuki tanah Kanaan dan penyebabnya. Bil 27:12-33 menghubungkan tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah Kanaan dengan dosa Musa dan Harun di Meriba. Gambaran yang sama juga muncul dalam Bil 27:12-14 dan Ul 32:48-52. Ul 1:37 menyebutkan kemarahan Tuhan pada Musa namun tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Ul 3:26 menghubungkan dosa Musa dengan tindakannya mengutus para pengintai. Ul 31:2 menyatakan bahwa Musa mati sebelum menyeberangi sungai Yordan karena ia sudah terlalu tua. Namun sebaliknya, Ul 34:7 menekankan Musa yang belum hilang kekuatan fisiknya. Ul 34:1-12 tidak menawarkan satu pun alasan kematian Musa. S.D. Luzzato mengemukakan : “Musa melakukan satu dosa, namun para ekseget membebaninya dengan 13 dosa atau lebih, karena masing-masing dari mereka menemukan satu dosa baru”[12]. Mengingat hal itu, analisis berikut ini tidak dimaksudkan untuk menambahkan dosa baru pada Musa namun mau memetakan berbagai gambaran dalam jalinan kisah kematian Musa sebelum memasuki Kanaan dan penyebabnya.
12.2.1 Kematian yang dihubungkan dengan dosa
Gambaran yang paling populer dan tradisional dari kematian Musa sebelum memasuki tanah Kanaan adalah bahwa hal itu terjadi karena dosa Musa. Dalam gambaran itu, perlu juga ditelaah apa tepatnya dosa Musa yang membuatnya tidak boleh memasuki tanah terjanji.
a) Bil 20:1-12
Bagian ini merupakan hasil perkembangan penekanan tradisi P pada tanggung jawab individual (bdk Bil 14:26-35)[13]. Musa dan Harun tidak diperkenankan untuk memasuki tanah terjanji bukan karena dosa kolektif bangsa Israel melainkan sebagai tanggung jawab pribadi atas dosanya sendiri. Dengan demikian tujuan utama kisah ini jelas : menceritakan dosa Musa dan Harun yang membuat mereka tidak diperkenankan memasuki tanah terjanji. Namun, ada dua permasalahan yang kelihatan dalam kisah ini[14] : (1) mengapa Musa diperintahkan untuk mengambil tongkat itu jika tidak untuk menggunakannya?; dan (2) apakah dosa Musa?
Tongkat yang dibawa Musa “di hadapan Tuhan” (Bil 20: 9) adalah tongkat Harun yang ditempatkan di kemah (Bil 17:25-26). Episode Korah memberikan penjelasan mengapa Musa diperintahkan untuk membawa tongkat Harun[15]. Bil 17:10 menyebutkan bahwa tongkat ini disimpan supaya “… menjadi tanda bagi orang-orang durhaka, sehingga engkau mengakhiri sungut-sungut mereka dan tidak Kudengar lagi, supaya mereka jangan mati.” Tongkat itu adalah tanda peringatan akan bangsa Israel yang suka memberontak. Tongkat itu juga merupakan simbol keunggulan suku Lewi dan secara khusus imamat khusus wangsa Harun, yang telah ditegaskan dengan pemberontakan Korah. Karena itu, dalam Bil 20:8 Tuhan memerintahkan Musa untuk mengambil tongkat Harun sebagai tanda bagi bangsa Israel yang bersungut-sungut dan kemudian mengeluarkan air dengan berbicara pada gunung batu itu. Namun demikian, Musa menyuarakan keraguan akan kemampuannya menghasilkan air dari batu, dengan menyebut bangsa itu ‘orang-orang durhaka’ (hammörîm, Bil 17:25). Ia kemudian memukul gunung batu itu dengan tongkatnya dua kali[16]. Inilah dosa Musa : Ia tidak mematuhi perintah Tuhan. Allah memerintahkannya untuk berbicara pada batu karang itu. Namun ia malah memukulnya dua kali. Dengan tindakan tersebut, Musa menunjukkan kekurangpercayaannya pada struktur yang mesti diembannya. Allah mempersalahkannya sebagai tidak percaya dan, dengan demikian, tidak mampu menjadi pengantara kekudusan Allah di tengah-tengah bangsa Israel[17]. Itulah dosa Musa. Ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. Tanggung jawab tersebut berupa tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah terjanji.
b) Bil 27:12-33
Bil 27:12-14 mengintrodusir kematian Musa dengan perintah untuk naik ke gunung Abarim, yang terletak di utara laut Mati. Dari sana, ia bisa melihat tanah terjanji sebelum ia mati. Musa hanya boleh melihat negeri itu namun tidak boleh memasukinya. Ay 14b secara eksplisit menghubungkan hukuman ini dengan kesalahannya dalam peristiwa Meriba (Bil 20:2-13) [18]. Pengumuman yang berkaitan dengan kematian Musa tersebut (Bil 27:12-14) muncul kembali dalam Ul 32:48-52. Kisah ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab individual atas kesalahan[19]. Musa tidak diperkenankan memasuki tanah Kanaan sebagai hasil dari tindakannya sendiri. Hal ini berbeda dengan Ul 1:37; 3:23-29, di mana ia seakan harus berbagi kesalahan dengan kesalahan kolektif generasi pertama[20]. Bil 27:12-33 berakhir tanpa laporan tentang kematian Musa. Arah struktural awal dari unit kisah itu berangsur menghilang dalam kisah pentahbisan Yosua[21].
c) Ul 32:44-52
Ul 32:44-52 meringkaskan unsur tantangan dan peringatan yang ada dalam Kidung Musa (ay 44-47)[22]. Unit ini memberi peringatan bahwa ancaman kemurtadan dari sisi Israel begitu nyata (‘bukanlah perkataan hampa’) dan bahwa kesalahan melaksanakan peringatan itu bisa membahayakan kelanjutan menetapnya bangsa Israel di negeri itu. Dengan demikian, perikop ini menghubungkan antara berdosa terhadap Tuhan dan kepemilikan tanah[23]. Ay 48-52 kemudian mengutip pengumuman dari 31:21 bahwa Musa membawa bangsa itu menuju perbatasan dengan tanah terjanji. Tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah terjanji dikaitkan dengan peristiwa Meriba (Bil 20:1-13). Ul 32:51 secara eksplisit menyatakan bahwa penyebab tidak diperkenankannya Musa memasuki tanah Kanaan adalah ketidaksetiaannya (kurang beriman) pada Allah dan tidak memelihara kekudusan Allah di antara bangsa Israel. Tidak secara eksplisit tindakan apa yang membuat Musa disebut tidak setia dan tidak memelihara kekudusan. Yang jelas, dosa tersebut membuat Musa tidak bisa ambil bagian dalam kepemilikan tanah terjanji.
12.2.2 Kematian yang dihubungkan dengan usia
Secara geografis, sungai Yordan memisahkan tanah Kanaan dengan Moab. Moab adalah sebuah tanah datar dengan bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Di dekat Yeriko, berdiri sebuah gunung yang agak tinggi yang mempunyai dua nama, Fasga dan Nebo, meskipun demikian nama yang kedua lebih umum dikenal. Gunung tersebut berdiri di sisi sungai Yordan. Di belakangnya terbentang lembah Yeriko. Pada waktu hari terang, Yerusalem terlihat jelas dari puncak gunung Nebo[24]. Di sinilah Musa melihat karyanya yang tidak selesai dan menjemput kematiannya. Selain dihubungkan dengan dosa, kematian dan tidak masuknya Musa ke tanah terjanji juga dihubungkan dengan faktor usia. Pada usia 120 tahun, saat kematian Musa telah tiba (bdk Kej 6:3)[25]. Musa sendiri mengakui bahwa ia “tidak dapat giat lagi” (Ul 31:2). Pengakuan ini menunjuk pada kelemahan fisik karena usia tua. Namun berlawanan dengan itu, kematian terjadi ketika fisiknya masih kuat : “matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang” (Ul 34:7).
a) Kematian wajar : sudah waktunya dan sudah tidak kuat (Ul 31:2-15)
Ul 31:2 menggambarkan Musa pada saat kematiannya sebagai seorang yang sudah tua dan kehilangan kekuatannya tanpa mengacu pada dosa dan hukumannya[26]. Musa mengakui bahwa ia tidak lagi mampu memimpin. Sebagai tambahan atas gambaran ini, ay 2b menunjuk pada sabda Tuhan yang paralel dengan Ul 34:4. Musa tidak akan melintasi sungai Yordan. Namun dalam ayat selanjutnya yang paralel dengan Bil 27, narasi berganti pada pertanyaan tentang kepemimpinan bangsa Israel setelah menyeberangi sungai Yordan. Maka ditegaskan : Allah sendiri yang akan memimpin umatNya. KepemimpinanNya akan memberikan kemenangan Israel atas bangsa Kanaan. Kehendak ilahi ini secara praktis diwujudkan dalam kepemimpinan Yosua[27]. Ay 7 memperjelasnya : “engkau akan masuk bersama-sama dengan bangsa ini ke negeri yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyang mereka untuk memberikannya kepada mereka, dan engkau akan memimpin mereka sampai mereka memilikinya.” Ay 14 kembali pada Yosua sebagai pengganti Musa. Namun berlawanan dengan Bil 27:23, Tuhanlah yang menahbiskan Yosua.
b) Kematian tragis : sudah waktunya tapi masih kuat (Ul 34:1-12)
Unit kisah ini bisa dikatakan merupakan sebuah eulogy yang memuji Musa sebagai pemimpin bangsa yang tak ada bandingannya[28]. Perikop ini dimulai dengan naiknya Musa ke atas gunung untuk memandangi negeri yang dijanjikan Allah pada Israel. Musa tidak diperkenankan memasuki tanah terjanji itu (ay 4). Ay 5-8 melengkapi kisah ini dengan laporan eksplisit tentang kematian Musa. Musa mati sesuai dengan sabda Tuhan. Musa mati sendirian, terpisah dari bangsanya[29]. Dengan demikian, kematiannya terasa sangat tragis : “tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini”. Teks ini tidak memberi penjelasan ataupun alasan dari penolakan dan kematian tersebut. Tidak ada alusi pada dosa Musa (dan Harun) di Meriba. Teks hanya menyebutkan bahwa “Musa berumur 120 tahun ketika ia mati”. Penyebutan usia 120 tahun mengandaikan bahwa Musa sudah saatnya untuk mati (bdk Kej 6:3). Namun secara fisik ia belumlah pantas untuk mati : “matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Ia masih bisa meneruskan kepemimpinannya. Musa meninggalkan bangsanya ketika ia masih mampu memimpin mereka[30]. Namun, kesendirian kematian Musa tidaklah absolut. Subyek dari kata kerja wayyiq•Bör (dikuburkanNyalah), yang dalam bentuk imperfek orang ketiga tunggal, adalah Tuhan[31]. Tuhan sendiri hadir ketika Musa meninggal. Dan Tuhan sendiri yang menguburkannya. Hal itu menunjukkan bahwa kematian Musa tidak sama seperti kematian orang lain. Kehadiran Tuhan pada saat kematian Musa menegaskan bahwa kehidupan dan pelayanannya diterima Allah. Kehidupan Musa adalah milik Allah. Dan pada saat kematiannya, ia juga milik Allah[32].
Pujian atas kemampuan Musa membuat mukjizat merefleksikan gambaran pemimpin karismatik yang telah dikarunia kemampuan tersebut oleh Allah (ay 10-12). Ringkasan gambaran Musa dalam keseluruhan Kitab Ulangan itu menekankan kekuatan doa Musa (9:25-29), keberanian sekaligus komitmennya ketika bangsa itu menjadi kecil hati setelah mendengar laporan para pengintai (1:26-45), dan kepengantaraan Musa dalam menyampaikan hukum Allah yang menjadi dasar kehidupan bangsa Israel sebagai umat perjanjian[33].
12.2.3 Kematian Musa karena bangsa Israel
Ul 1:37 dan 3:26 menyatakan dengan tegas bahwa Musa tidak diperkenankan memasuki tanah terjanji karena dosa bangsa Israel. Ul 3:26 menyatakan “TUHAN murka terhadap aku oleh karena (lümaº`an) kamu.” Preposisi lümaº`an tersebut muncul juga dalam Kej 18:24, “dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu ?” Preposisi tersebut tidak menunjuk pada penyebab kejadian namun lebih merupakan indikator perwakilan (agency) [34]. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh preposisi Big•lal yang muncul dalam Ul 1:37, “Juga kepadaku TUHAN murka oleh karena kamu.” Preposisi Big•lal yang juga muncul dalam Kej 39:5 menunjukkan bahwa rumah Pothipar diberkati demi Yusuf. Sebagai sebuah indikator perwakilan, penggunaan preposisi itu menunjukkan bahwa supaya bangsa Israel bisa masuk tanah terjanji, Musa harus tetap berada di luar tanah terjanji dan tidak diperkenankan untuk memasukinya [35]. Meski belum sampai pada refleksi akan kematian hamba Tuhan seperti yang dilukiskan dalam Yes 53, namun refleksi kematian Musa yang semacam itu nampaknya mengarah ke sana. Kematian hamba Tuhan dalam Kitab Yesaya itu mengakibatkan pemulihan bagi bangsa Israel. Refleksi atas kematian Musa oleh karena dosa bangsa Israel lebih menunjuk pada identifikasi Musa dengan bangsanya[36]. Hal ini berhubungan dengan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan kepengantaraan Musa, terutama Kel 32:32, “kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis”.
12.2.4 SUKSESI KEPEMIMPINAN BANGSA ISRAEL
Sebelum mati, Musa memohon pada Tuhan agar menunjuk seorang pengganti sebagai pemimpin bangsa (Bil 27:15). Tanpa seorang pemimpin, bangsa Israel seperti kawanan domba tanpa gembala. Tuhan menyatakan bahwa Ia sendiri akan menjadi gembala Israel. Kepemimpinan Allah itu secara nyata diwujudkan dalam kepemimpinan pengganti Musa, yaitu Yosua[37]. Yosua dipilih menggantikan Musa dan meneruskan kepemimpinannya membawa bangsa Israel memasuki tanah terjanji. Simbol penumpangan tangan pada pengganti Musa itu merupakan sebuah tindakan pengesahan dalam tugas (ay 19). Namun pengesahan itu juga meliputi pengalihan otoritas. Musa adalah pemimpin yang mempunyai otoritas untuk memimpin bangsa Israel. Otoritas itu diwariskan pada Yosua. Memang otoritas itu berasal dari Tuhan, namun pewarisan itu terjadi melalui perantaraan Musa (Ul 31). Sehingga, “Yosua penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa” (Ul 34:9). Meskipun Musa mati dan tidak memasuki tanah terjanji, namun karya pembebasan Allah tetap terus terlaksana.
Bil 27:20 menegaskan bahwa hanya sebagian saja dari otoritas Musa yang akan dialihkan pada Yosua : wünätaTTâ mëhô|d•kä `äläyw lümaº`an yiÅ¡•mü`û Kol-`ádat Bünê yiS•rä´Ã«l. Sang pengganti tidak bisa mengemban semua otoritas Musa. Namun, Bil 27:21 menegaskan bahwa kepemimpinan Yosua atas bangsa sama dengan kepemimpinan Musa[38]. Yosua memang menggantikan tempat Musa sebagai pemimpin bangsa Israel. Namun, ia tidak mempunyai semua kuasanya. Imam Eleazar akan meminta nasihat TUHAN baginya dengan sarana Urim. Eleazar adalah pelayan kekudusan/ibadat tertinggi. Namun, tidak seperti Musa, Eleazar dan Yosua tidak berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan sendiri. Ketika ada suatu kebutuhan untuk mengambil keputusan tertentu yang belum ditetapkan dalam hukum Musa, ia harus berkonsultasi dengan Allah dengan sarana Urim[39]. Urim menjadi sarana menangkap jawaban Allah (Keb 16:33). Jawaban yang dilihat oleh Eleazar itu kemudian akan disampaikan pada Yosua[40]. Kekhususan peran dan karakter Musa yang tak tergantikan oleh siapapun ditegaskan Ul 34:10, “Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel.”
12.3 Memaknai kematian Musa
Leon Wieseltier mengatakan : “Musa tidak mati seperti semua orang lainnya, namun seperti semua orang, Musa mati”[41]. Musa adalah manusia biasa yang mempunyai kelemahan dan akhirnya menjumpai nasib setiap manusia, mati. Namun kematian Musa adalah kematian yang istimewa sebagaimana digambarkan dalam kematian para pahlawan[42]. Dengan demikian, kematian Musa yang terhitung prematur, karena belum selesai melaksanakan perutusannya dan juga tidak sempat memasuki negeri yang berlimpah susu dan madunya yang dijanjikan pada bangsa Israel, tidak meruntuhkan dimensi kepahlawanannya dalam keseluruhan narasi Pentateukh.
Kompleksitas narasi Pentateukh dalam menggambarkan tidak masuknya Musa ke tanah terjanji, penyebabnya serta kematiannya justru menunjukkan kebesaran Musa. (i) Musa digambarkan harus bertanggungjawab secara pribadi atas kesalahannya dalam memimpin bangsa Israel dengan tidak diperkenankan masuk ke tanah terjanji. Kesalahannya adalah tidak sepenuhnya melaksanakan perintah Tuhan sehingga ia dipandang tidak setia dan tidak menghormati kekudusanNya di tengah-tengah bangsa Israel. (ii) Selain itu, digambarkan juga bahwa Musa sudah berusia lanjut, sudah saatnya untuk mati. Secara fisik, ia sudah tidak cekatan lagi dalam menjalankan perutusannya memimpin bangsa Israel. Namun secara non fisik, kekuatannya belum hilang. Ia masih bersemangat dalam menjalankan perutusannya. (iii) Kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji juga digambarkan sebagai kematian demi bangsa Israel. Musa mati di luar tanah terjanji supaya bangsa Israel bisa masuk ke tanah terjanji. (iv) Sebelum mati, Musa mengadakan suksesi kepemimpinan supaya bangsa Israel tetap bisa terus berjalan memasuki tanah terjanji. Menutup kompleksitas itu, Ul 34:1-12 memuji seluruh kehidupan Musa. Peristiwa kematiannya sendiri dikisahkan dengan detil minimum : “Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN.”
12.4 Kesimpulan
Melintasi padang gurun menuju tanah terjanji, bangsa Israel dipimpin oleh Allah sendiri. Kepemimpinan Allah ini ditetapkan dalam perjanjian Sinai. Karena itu, bangsa Israel menjadi bangsa perjanjian yang dibebaskan dan dipimpin oleh Allah sendiri. Kepemimpinan Allah itu diwujudnyatakan di tengah-tengah bangsa Israel dalam kepemimpinan Musa. Maka, otoritas kepemimpinan Musa berasal dari Allah sendiri. Hal itu juga diperkuat dengan permintaan bangsa Israel sendiri supaya Musa menjadi pengantara mereka di hadapan Tuhan. Karena itu, sungut-sungut bangsa Israel dengan berbagai alasannya mencederai martabatnya sebagai bangsa perjanjian yang terikat pada syarat-syarat perjanjian. Demikian juga halnya dengan pemberontakan pada kepemimpinan Musa. Hal itu sama dengan menolak pembebasan dan kepemimpinan Tuhan. Dengan demikian, hukuman Tuhan atas sungut-sungut dan pemberontakan bangsa Israel sekaligus membenarkan dan juga menegakkan otoritas kepemimpinan Musa. Selain itu, Musa juga tampil dalam perannya sebagai pengantara. Ia membela bangsa Israel di hadapan hukuman Tuhan dan mempertaruhkan hidupnya sendiri.
Musa setia, taat dan melaksanakan dengan sepenuh hati tanggung jawab yang diberikan Tuhan padanya untuk memimpin bangsa Israel. Kualitas kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Musa adalah kepemimpinan yang kuat, efektif, dan bertanggung jawab. Karena kepemimpinannya berasal dari Allah, maka loyalitasnya ditujukan pada Allah. Loyalitas tersebut dinyatakan dalam loyalitas pada bangsa yang dipimpinnya. Ia terbuka pada kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Karena itu, kepemimpinannya yang meliputi segala segi kehidupan Israel didistribusikan dalam tata sosial dan yuridis. Tujuannya adalah supaya kehidupan bangsa Israel makin tertata dan menampakkan martabatnya sebagai bangsa perjanjian yang dibebaskan Tuhan. Yang menjadi tekanan dari tata sosial dan yuridis semacam ini bukanlah sisi kelembagaannya namun kepemimpinan Allah sendiri.
Kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji memperlihatkan kebesarannya sebagai pemimpin bangsa Israel yang mewujudnyatakan kepemimpinan Allah. Hal tersebut digambarkan dengan berbagai cara dalam Pentateukh. Musa mempertanggungjawabkan kesalahan pribadinya dalam memimpin bangsa Israel. Ia tidak memasuki tanah terjanji dan mengalihkan kepemimpinan bangsa Israel pada Yosua. Hal tersebut juga dipandang dalam kerangka kepentingan bangsa yang menjadi tanggung jawab Musa. Musa tidak memasuki tanah terjanji supaya bangsa Israel memasuki tanah terjanji. Usianya memang menunjukkan bahwa ia sudah saatnya untuk mati. Di luar faktor fisik itu, Musa masih menghidupi semangat kepemimpinannya. Meskipun demikian, ia tetap taat pada kehendak Tuhan. Kehidupan Musa adalah milik Allah. Demikian juga dengan kematiannya. Allah menerima seluruh pengabdian Musa. Maka, kematian Musa sebelum memasuki tanah terjanji mengatasi ukuran keberhasilan dan kegagalan pada umumnya.
Matinya Musa adalah matinya seorang hamba Tuhan. Ia lahir karena Tuhan melimpahkan kesuburan pada bangsanya. Ia bertahan hidup karena Tuhan menyelamatkannya. Ia bertumbuh dewasa dalam didikan Tuhan. Ia memimpin bangsa Israel karena panggilan dan perutusan Tuhan. Kepemimpinannya mewujudnyatakan kepemimpinan Tuhan sendiri. Relasinya dengan Tuhan memperkokoh integritas kepemimpinannya itu. Kematiannya pun sesuai dengan sabda Tuhan.
__________________________________________
[1] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, dalam Theological Review XXIV/1 (2003), 42
[2] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 43
[3] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 44
[4] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 46
[5] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 45
[6] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 48
[7] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 49
[8] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 50
[9] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 50
[10] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 50
[11] P. Guillaume, ‘Did Moses Die before Entering Canaan ?’, 53
[12] S.D. Luzzato apud Margaliot, “Het (‘)”, 375 n.2, sebagaimana dikutip W.H. Propp, “The Rod of Aaron and the Sin of Moses”, Journal of Biblical Literature 107/1, 1988, 19
[13] Thomas B. Dozeman, Numbers, II, The New Interpreter’s Bibble, Abingdon Press, Nashville 1998, 159
[14] W.H. Propp, “The Rod of Aaron and the Sin of Moses”, Journal of Biblical Literature 107/1, 1988, 21
[15] W.H. Propp, “The Rod of Aaron and the Sin of Moses”, 22
[16] W.H. Propp, “The Rod of Aaron and the Sin of Moses”, 22-23
[17] Thomas B. Dozeman, Numbers, II, 161
[18] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 149
[19] Thomas B. Dozeman, Numbers, II, 218
[20] Thomas B. Dozeman, Numbers, II, 218
[21] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 151
[22] Ronald E. Clements, Deuteronomy, II, The New Interpreter’s Bibble, Abingdon Press, Nashville 1998, 528
[23] Ronald E. Clements, Deuteronomy, II, 528-529
[24] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 136
[25] Brian Britt, Rewriting Moses : The Narrative Eclipse of the Text, T&T Clark International, London, 2004, 169
[26] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 152
[27] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 152
[28] Ronald E. Clements, Deuteronomy, II, 538
[29] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 152
[30] Hillel Barzel, ‘Moses : Tragedy and Cublimy’, dalam Kenneth R.R., dkk (ed) Literary Interpretations of Biblical Narratives, Nashville, Abingdon Press 1974, 120-140
[31] Brian Britt, Rewriting Moses : The Narrative Eclipse of the Text, 169
[32] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 152
[33] Ronald E. Clements, Deuteronomy, II, 538
[34] R. Laird Harris, dkk, The Theological Wordbook of the Old Testament, dalam BibleWorks
[35] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 153
[36] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 153
[37] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 150
[38] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 151
[39] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 135
[40] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 140
[41] Leon Wieseltier, Kaddish, New York, Alfred Knopf, 1998, 110, sebagaimana dikutip dalam Brian Britt, Rewriting Moses : The Narrative Eclipse of the Text, 169
[42] Steven Weitzman, Song and Story in Biblical Narrative, sebagaimana dikutip dalam Brian Britt, Rewriting Moses : The Narrative Eclipse of the Text, 165
musa secara fisik tidak masuk kanaan memang orang sering menyimpulkan itu sebagai bukti kegagalan musa, tapi di perjanjian baru yesus ketika diatas gunung bercakap-cakap dengan elia dan musa (keduanya dalam tubuh kemuliaan) dan percakapan ini di tanah kanaan, israel jadi tidak benar musa tidak melihat / masuk kanaan, ia justru melihatnya dalam tubuh kemuliaan dan malah bercakap-cakap dengan yesus yang adalah Allah sendiri, dulu musa tidakmasuk kanaan, tapi kini ia dimuliakan masuk kanaan dan bisa ngobrol dengan Yesus dan elia Allah Maha Ajaib bukan ????
ReplyDelete