Header Ads

Terang Sabda

Peristiwa Sinai : Kepengantaraan Musa dan relasinya dengan Allah


Bangsa israel menyembah patung lembu emas.

Perjanjian Sinai merupakan titik balik sangat penting yang menandai tanggung jawab moral bangsa Israel yang telah dipelihara dan dituntun Allah selama dalam perjalanan di padang gurun[1]. Karena itu, pemberontakan sebelum Sinai tidak ditanggapi dengan hukuman tertentu, sedangkan pemberontakan setelah Sinai selalu memancing Allah untuk menghukum secara keras. Dimensi kepengantaraan Musa dan relasinya dengan Allah nampak jelas dalam narasi peristiwa Sinai (Kel 32-34). Narasi Perjanjian Sinai disimpulkan dengan kisah tentang kemurtadan Israel yang menyembah lembu emas, kepengantaraan Musa, dan pembaharuan penegasan otoritas Musa. Musa kembali pada bangsanya, mengalami transfigurasi karena kedekatan relasinya dengan Allah. Musa pun harus mengenakan selubung untuk menutupi mukanya supaya bisa meneruskan pekerjaannya tanpa membuat bangsa Israel takut.

8.1 Pemberontakan pertama dan kepengantaraan Musa
Tindakan pemberontakan bangsa Israel dalam Kel 32 tidak bisa begitu saja disamakan dengan narasi gerutuan. Tema gerutuan sangat terkait dengan pemberontakan terhadap kepemimpinan Musa dan peristiwa keluaran dari Mesir beserta makna teologisnya. Sebaliknya, isu yang secara eksplisit dikatakan dalam Kel 32 adalah tiadanya kepemimpinan bangsa setelah sekian lama Musa berada di gunung Allah. Tiadanya kepemimpinan Musa dianggap bangsa Israel sebagai situasi yang tragis : jauh dari Mesir, kehilangan pemimpin, dan berada di tengah padang gurun. Maka, mereka mencari pengganti lain yang lebih efektif[2]. Perhatian utama bukanlah soal mengganti Allah, namun Musa sebagai pemimpin keluaran : “Buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia” (Kel 32:1).


Setelah selesai membuat ilah pesanan bangsa Israel, Harun menyatakan : “Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!” (Kel 32:4). Harun dan bangsa Israel memang tidak menolak kategori historis Allah pembebasan. Mereka juga tidak menolak fakta pembebasan dari Mesir. Mereka tetap mengakui kebaikan dan tindakan agung Allah. Allah keluaran tidak diganti dengan allah lain, apalagi membuatnya menjadi Allah kosmis[3]. Maka, kejahatan Harun dan bangsa Israel dalam Kel 34 adalah mencoba menggambarkan Allah keluaran dalam bentuk yang bisa dibuang dan dikendalikan. Ini adalah kemurtadan terhadap Yahwe. Kedaulatan, transendensi dan kekudusan Allah diidentifikasikan dengan gambaran buatan tangan manusia. Padahal mereka baru saja menyepakati perjanjian resmi yang salah satu klausulnya melarang mereka membuat gambaran Allah (Kel 20:4).


Narator beralih dari suasana pesta pengukuhan allah baru Israel menuju ke gunung, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Pergilah, turunlah, sebab bangsamu yang kaupimpin keluar dari tanah Mesir telah rusak lakunya” (Kel 32:7). Di sini, ada permainan subyek dan penerapan sifat semua kelengkapannya : “bangsamu yang kaupimpin keluar dari tanah Mesir.” Allah mengatakan bahwa bangsa itu adalah milik Musa dan Musalah yang membawa mereka keluar dari Mesir sehingga ia bertanggung jawab atas sikap-perilaku mereka.

Pemberontakan itu membuat Allah memaklumkan pada Musa rencanaNya : “Telah Kulihat bangsa ini dan sesungguhnya mereka adalah suatu bangsa yang tegar tengkuk. Oleh sebab itu biarkanlah Aku, supaya murka-Ku bangkit terhadap mereka dan Aku akan membinasakan mereka, tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar” (Kel 32:9-10). Pernyataan Allah ini merupakan ancaman hukuman dan sekaligus juga janji[4]. Kalimat yang sama disampaikan Allah pada Abraham dalam Kej 13:14-17. Allah ingin menyingkirkan bangsa yang jahat ini dan mulai lagi dengan Musa, yang akan menjadi Abraham baru.

Tanggapan Musa dalam Kel 32:11-13 menampakkan dimensi kepengantaraan Musa. Ia menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin bangsa Israel dengan membela mereka. Musa mengajukan tiga argumen untuk membela bangsanya[5]. Argumen pertama dikaitkan dengan karya Allah yang telah dikerjakan bagi bangsa Israel : “Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat?” (Kel 32:11). Argumen kedua dikaitkan dengan reputasi Allah di hadapan orang Mesir : “Mengapakah orang Mesir akan berkata: Dia membawa mereka keluar dengan maksud menimpakan malapetaka kepada mereka dan membunuh mereka di gunung dan membinasakannya dari muka bumi?” (Kel 32:12). Dan argumen ketiga dikaitkan dengan janji Allah pada para bapa bangsa : “Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu, sebab kepada mereka Engkau telah bersumpah demi diri-Mu sendiri dengan berfirman kepada mereka: ‘Aku akan membuat keturunanmu sebanyak bintang di langit, dan seluruh negeri yang telah Kujanjikan ini akan Kuberikan kepada keturunanmu, supaya dimilikinya untuk selama-lamanya’” (Kel 32:13). Namun kemudian, meskipun di hadapan Allah Musa membela bangsa Israel, di hadapan bangsa Israel Musa dengan tegas membela Allah : “Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!” (Kel 32:26).

Dimensi kepengantaraan Musa muncul kembali dalam ay 31-32. Musa yang tidak bersalah atas kemurtadan bangsanya, mengidentifikasikan dirinya sendiri secara penuh dengan bangsanya yang murtad itu : “Sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka … jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” Musa sebagai pengantara berdiri bagi bangsanya di hadapan Allah, dan bahkan menawarkan untuk berbagi nasib dengan bangsanya[6]. Ia menjadi pengantara dalam solidaritas dengan bangsanya. Kepengantaraan Musa memohonkan komitmen dari Allah yang penuh pengampunan dan belas kasih[7].

8.2 Tuhan berbicara ‘berhadapan muka’ dengan Musa
Kekuatan kepengantaraan Musa bagi bangsa Israel berakar pada keintiman relasinya dengan Allah[8]. Musa  mempertaruhkan posisinya sebagai pemimpin dan hidupnya sendiri untuk berunding dengan Allah demi kepentingan bangsanya. Risiko macam itu membutuhkan kepercayaan dan keterusterangan antara Allah dan Musa. Kel 33:11 dan Ul 34:10 menggambarkan mutu relasi Musa dengan Allah itu dalam gambaran pertemuan berhadapan muka antara Musa dengan Allah. Dalam teks Keluaran, relasi akrab itu juga terjadi di kemah pertemuan : “Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya”. Ungkapan ini sangat mendalam, meskipun dirumuskan sebagai suatu perbandingan. Bagi manusia, wajah merupakan sebuah sarana komunikasi karena melaluinya terpancarlah isi hati dan jiwa seseorang.

Ungkapan “berbicara berhadapan muka” menerjemahkan dengan setia kata Ibrani Pänîm ´el-Pänîm. Tuhan berbicara dengan Musa ‘seperti seorang bicara dengan temannya’ (rë`ëºhû), yaitu berhadapan muka, tanpa selubung atau jarak, merasakan kehadiran penuh persahabatan dalam wajah yang akrab[9]. Kata wajah (Pänîm) yang diterapkan pada Allah harus dibaca secara metaforis dan dipahami secara terbatas. Di sini, wajah (Pänîm) adalah kehadiran Allah yang dirasakan Musa seperti kehadiran seorang teman ketika berbicara berhadapan muka. Gambaran itu menunjukkan suatu relasi yang intim. Dengan demikian, kata Pänîm menyinggung pada personalitas relasi : Allah berbicara secara personal dengan Musa. Ia tidak berbicara secara personal dengan bangsa Israel namun melalui seorang pengantara. Dengan Musa ia bicara secara personal[10].

8.3 Selubung Musa (Kel 34:29-35)
Pembicaraan personal dengan Allah membuat wajah Musa bersinar sehingga bangsa Israel ketakutan. Kel 34:29-35 mengkisahkan bagaimana Musa mendapatkan wajah yang bersinar dan mengapa ia perlu menyelubungi wajahnya. Episode tersebut berlangsung setelah pertemuan Yahwe dengan Musa di puncak gunung (Kel 34:1-28). Dan kemudian Kel 34:34-35 mengkisahkan bahwa kapanpun Musa akan masuk kemah pertemuan (mô`ëd) untuk bicara dengan Yahwe, ia melepaskan tudungnya untuk menerima pewahyuan dan kemudian mengkomunikasikannya pada Israel[11].

Kemuliaan adalah manifestasi Allah Israel yang tanpa rupa maupun bentuk. Kata Ibrani k¹bÅ“d berhubungan dengan akarnya : gagasan tentang bobot dan volume – seperti dalam bahasa Latin gravitas. Teks PL yang bicara tentang kemuliaan Allah menghubungkannya dengan cahaya yang berkilauan[12]. Perjumpaan pribadi antara Musa dengan cahaya kemuliaan Allah, yaitu kehadiran Allah sendiri, sedemikian mendalam sehingga Musa diubah : kulit wajahnya menyinarkan cahaya kemuliaan Allah[13]. Dengan demikian, selubung (mas•wè) menjadi simbol otoritas Musa yang berasal dari kedekatannya dengan Allah, dan dengan demikian sejajar dengan tongkat Allah sebagai simbol integritas pribadi Musa[14].

8.4 Kesimpulan
Episode kehidupan Musa dari peristiwa tulah-tulah sampai peristiwa Sinai menunjukkan bahwa kepemimpinan Musa tidak terlepas dari relasinya dengan Allah. Di satu sisi, tiap tindakan kepemimpinan Musa dilakukan dengan kebebasan sebagai seorang pribadi manusiawi. Namun di sisi lain, tiap tindakan kepemimpinan itu mewujudnyatakan kepemimpinan Allah dalam hidup Musa dan bangsa Israel. Kepemimpinan Musa pun menjadi kepemimpinan Allah. Otoritas kepemimpinan Musa tidak hanya berasal dari kuasa yang diberikan oleh bangsa Israel, namun juga berasal dari Allah. Karena itulah Musa disebut sebagai pengantara. Ia menjadi pengantara seruan bangsa Israel, pengantara perjanjian Yahwe–Israel, dan juga pengantara hukum Allah bagi Israel. Ia berdiri di antara bangsa Israel dan Allah. Dalam posisi itu, di satu sisi Musa tidak memisahkan diri dari bangsanya namun mengidentifikasikan diri bersama mereka dan mau berbagi ‘nasib’ dengan bangsanya di hadapan Allah. Di sisi lain, identifikasi itu tidak membuatnya permisif terhadap sikap dan perilaku bangsanya namun ia tetap memihak Allah di hadapan bangsa Israel. Integritas pribadi Musa menguatkan kharisma kepemimpinannya. Integritas pribadi itu dibangun berdasarkan relasinya dengan Allah. Kualitas relasi Musa yang digambarkan sebagai ‘berhadapan muka dengan Tuhan’ membuatnya mampu menghadirkan ‘cahaya kemuliaan Tuhan’ di tengah-tengah bangsa Israel, bangsa perjanjian itu.

[1] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 143
[2] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 84
[3] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 86
[4] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 88
[5] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 89
[6] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 112
[7] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 90
[8] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 112
[9] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 110
[10] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 111
[11] T.B. Dozeman, “Masking Moses and Mosaic Authority in Torah”, JBL (2000), 21-45
[12] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 108
[13] T.B. Dozeman, “Masking Moses and Mosaic Authority in Torah”, JBL (2000), 21-45
[14] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 131

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.