Pedoman Katekese 2020
Secara berkala, Gereja Katolik menerbitkan dokumen referensi yang memaparkan dasar-dasar teologis dan pastoral karya kateketik Gereja universal. Dokumen tersebut ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam katekese, katekumenat, pembinaan iman dan evangelisasi, terutama para uskup, katekis pertama di keuskupannya. Dokumen pertama, "Pedoman Katekese Umum" (General Catechetical Directory) yang diterbitkan pada tanggal 18 Maret 1971, digantikan dengan "Petunjuk Umum Katekese" (General Directory for Catechesis) yang diterbitkan pada tanggal 15 Agustus 1997. Keduanya diterbitkan oleh Konggregasi untuk para klerus. Disetujui oleh Paus Fransiskus pada tanggal 23 Maret 2020, dokumen terbaru, yaitu "Pedoman Katekese" (Directory for Catechesis), diterbitkan pada tanggal 25 Juni 2020 oleh Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru.
Daftar Isi
BAGIAN PERTAMA - KATEKESE DALAM MISI GEREJA UNTUK EVANGELISASI
Bab I - Wahyu ilahi dan Peyampaiannya [11-54]
Yesus mewartakan ‘Injil keselamatan’ [15-16]
3. Penerusan Pewahyuan dalam iman Gereja [22-37]
4. Evangelisasi di dunia masa kini [38-54]
Bab II - Identitas Katekese [55-109]
Katekumenat sebagai sumber inspirasi untuk katekese [61-65]
Katekese inisiasi Kristen [69-72]
Katekese dan pembinaan berkelanjutkan dalam kehidupan kristiani [73-74]
4. Tugas katekese [79-89]
Memasukkan dalam perayaan Misteri iman [81-82]
Membina kehidupan di dalam Kristus [83-85]
Mengajar berdoa [86-87]
Menghantarkan pada kehidupan berjemaat [88-89]
Bab III - Katekis [110-129]
2. Uskup sebagai katekis pertama [114]
3. Peran Imam dalam katekese [115-116]
4. Peran Diakon dalam katekese [117-118]
5. Orang-orang "Hidup Bakti" dalam pelayanan katekese [119-120]
6. Katekis awam [121-129]
Bab IV - Pembinaan Katekis [130-156]
2. Komunitas kristiani sebagai tempat istimewa bagi pembinaan [133-134]
3. Kriteria-kriteria pembinaan [135]
4. Dimensi-dimensi pembinaan [136-150]
Pengetahuan: pembinaan alkitabiah-teologis dan pemahaman akan manusia dan konteks sosialnya [143-147]
Pengetahuan terapan: pembinaan pedagogis dan metodologis [148-150]
6. Pusat pembinaan [154-156]
BAGIAN KEDUA - PROSES KATEKESE
Bab V - Pedagogi Iman [157-181]
2. Pedagogi iman dalam Gereja [164-178]
Bab VI - Katekismus Gereja Katolik [182-193]
Identitas, tujuan dan audiens Katekismus [184-186]
Sumber dan struktur Katekismus [187-189]
Makna teologis-kateketis dari Katekismus [190-192]
Bab VII - Metodologi dalam Katekese [194-223]
Keragaman metode [195-196]
2. Pengalaman manusiawi [197-200]
3. Memori [201-203]
4. Bahasa [204-217]
Bab VIII - Katekese dalam Kehidupan Manusia [224-282]
Katekese dengan keluarga [229-230]
Katekese tentang keluarga [231]
Situasi-situasi baru keluarga masa kini [233-235]
3. Katekese yang sesuai dengan realitas kaum muda [244-256]
Katekese bersama dengan remaja [248-249]
Katekese bersama dengan kaum muda [250-256]
5. Katekese bersama dengan orang lanjut usia [266-268]
6. Katekese bersama dengan penyandang disabilitas [269-272]
7. Katekese bersama dengan para migran [273-276]
8. Katekese bersama dengan para emigran [277-278]
9. Katekese bersama dengan orang-orang terpinggirkan [279-282]
BAGIAN KETIGA - KATEKESE DI GEREJA-GEREJA PARTIKULAR
Bab IX - Jemaat Kristen sebagai Subyek Katekese [283-318]
2. Gereja-gereja Timur [290-292]
3. Gereja-gereja partikular [293-297]
4. Paroki [298-303]
5. Asosiasi, gerakan, dan kelompok umat beriman [304-308]
6. Sekolah Katolik [309-312]
7. Pengajaran agama Katolik di sekolah [313-318]
Bab X - Katekese di hadapan Konteks Budaya Kontemporer [319-393]
Konteks pedesaan [329-330]
Budaya lokal tradisional [331-335]
Kesalehan rakyat (pietas popularis) [336-340]
Katekese dalam hubungannya dengan Yudaisme [347-348]
Katekese dalam konteks agama-agama lain [349-351]
Katekese dalam konteks gerakan-gerakan religius baru [352-353]
Katekese dan budaya digital [359-370]
Transformasi antropologis [362-364]
Budaya digital sebagai fenomena religius [365-367]
Budaya digital dan masalah pendidikan [368-369]
Pewartaan dan katekese di era digital [370-372]
Katekese dan keutuhan pribadi manusia [379-380]
Katekese dan keterlibatan untuk kelestarian lingkungan [381-384]
Katekese dan keberpihakan pada orang miskin [385-388]
Katekese dan tanggung jawab sosial [389-391]
Katekese dan lingkungan kerja [392-393]
Bab XI - Katekese dalam Pelayanan untuk Inkulturasi Iman [394-408]
2. Katekismus-katekismus lokal [401-408]
PEDOMAN KATEKESE
DEWAN KEPAUSAN
UNTUK PROMOSI
EVANGELISASI BARU
Jalannya katekese dalam beberapa dekade terakhir ditandai oleh Seruan Apostolik Catechesi Tradendae. Teks ini tidak hanya merepresentasikan perjalanan yang dicapai sejak pembaruan oleh Konsili Vatikan II, tetapi juga merupakan sintesis dari kontribusi banyak uskup dari seluruh dunia yang berkumpul dalam Sinode tahun 1977. Menurut dokumen ini, katekese “memiliki tujuan ganda untuk mendewasakan iman awal dan mendidik murid Kristus yang sejati melalui pengetahuan yang lebih dalam dan lebih sistematis tentang pribadi dan pewartaan Tuhan kita Yesus Kristus.”[1] Ini adalah tugas berat yang tidak memungkinkan adanya pemilah-milahan secara kaku antara berbagai tahap yang terjadi dalam proses katekese. Meskipun cukup menuntut, tujuan Katekese tidaklah berubah terutama dalam konteks budaya beberapa dekade terakhir. Sekali lagi dengan mengacu pada teks dari St. Yohanes Paulus II, Katekese bermaksud “untuk mengembangkan, dengan bantuan Allah, iman yang masih awal, untuk menghantarkannya menuju kepenuhan dan untuk memelihara setiap hari kehidupan kristiani umat beriman. Hal ini menyangkut masalah memberi pertumbuhan, dalam hal tingkat pengetahuan dan kehidupan, benih iman yang ditaburkan oleh Roh Kudus dalam pewartaan pertama dan diteruskan secara efektif melalui Pembaptisan.”[2] Dengan demikian, Katekese tetap berakar pada tradisi kokoh yang menjadi ciri sejarah Kekristenan sejak awal keberadaannya. Dengan menyesuaikan diri seturut berbagai kelompok usia umat beriman, Katekese tetaplah merupakan aktivitas pembinaan khusus dari Gereja yang berusaha untuk membuat Injil Yesus Kristus selalu tetap aktual sehingga menjadi pendorong bagi kesaksian yang sesuai.
Pedoman Katekese ini terletak dalam kontinuitas dinamis dengan dua direktorium yang mendahuluinya. Pada tanggal 18 Maret 1971, St. Paulus VI menyetujui Pedoman Kateketik Umum yang disusun oleh Kongregasi untuk Klerus. Pedoman itu memungkinkan untuk pertama kalinya menyajikan secara sistematis pengajaran yang dihasilkan dari Konsili Vatikan Kedua (lih. CD 44). Tidak boleh dilupakan bahwa St Paulus VI menganggap semua ajaran konsili sebagai “katekismus agung zaman modern.”[3] Bagaimanapun juga, Dekrit Christus Dominus memberikan pedoman yang terperinci dan jelas tentang katekese. Para Bapa Konsili menyatakan :
Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran kristiani dengan cara yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman; artinya: menjawab kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang. [...] Hendaklah mereka berusaha menyebar-luaskan ajaran kristiani dengan mengerahkan pelbagai upaya, yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama kotbah dan pendidikan kateketis, yang memang selalu harus diutamakan [...]. Hendaknya para Uskup menjaga, supaya pendidikan kateketis, yang tujuannya ialah : supaya iman Umat diterangi melalui ajaran, dan menjadi hidup dan eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan seksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang-orang dewasa; supaya dalam memberikan pendidikan itu tetap diindahkan tata-susunan yang baik dan metode yang cocok bukan hanya mengenai bahan yang diolah, melainkan juga berkenaan dengan sifat perangai, bakat-kemampuan dan umur serta situasi hidup para pendengar; supaya pendidikan itu mengacu kepada Kitab Suci, Tradisi, Liturgi, Ajaran resmi dan kehidupan Gereja. Selain itu hendaklah para Uskup mengusahakan, supaya para katekis disiapkan dengan baik untuk tugas mereka, sehingga mereka mengenal ajaran gereja dengan jelas, begitu pula secara teoritis maupun praktis mempelajari kaidah-kaidah psikologis dan mata-pelajaran pedagogi. Hendaklah mereka mengusahakan juga, supaya pendidikan para katekumen dewasa diadakan lagi atau disesuaikan dengan lebih baik. (CD 13-14)
Sebagaimana yang dapat dicatat, pengajaran ini memberikan kriteria normatif untuk pembaruan katekese yang terus-menerus, yang tidak mungkin menjadi kegiatan yang terputus dari konteks sejarah dan budaya di mana katekese itu dilaksanakan. Salah satu tanda nyata dan konsekuensi pertama dari hal ini adalah didirikannya, pada tanggal 7 Juni 1973, Dewan Internasional untuk Katekese, sebuah badan di mana para pakar dari seluruh dunia membantu Dikasteri yang berwenang untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dari berbagai Gereja, sehingga katekese semakin disesuaikan dengan struktur gerejawi, budaya dan sejarah.
Pada peringatan tiga puluh tahun Konsili, tanggal 11 Oktober 1992, St Yohanes Paulus II menerbitkan Katekismus Gereja Katolik. Menurutnya, "Katekismus ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan katekismus lokal [...], namun dimaksudkan untuk mendorong dan membantu dalam penyusunan katekismus lokal baru yang harus memperhitungkan beragam situasi dan budaya."[4] Dan kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1997, Petunjuk Umum Katekese diterbitkan. Pekerjaan besar yang telah dilakukan sebagai kelanjutan dari penerbitan pedoman ini terlihat jelas. Dunia katekese yang luas dan beragam telah menerima dorongan positif lebih lanjut untuk menghidupkan studi-studi baru yang memungkinkan kita untuk lebih memahami kebutuhan katekese dalam hal pedagogi dan pembinaan, terutama dalam terang interpretasi baru tentang katekumenat. Banyak konferensi para Uskup, melalui berbagai badan pelayanan yang mulai muncul, telah menghidupkan program katekese baru untuk kelompok usia yang berbeda. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, dari orang muda hingga mereka yang telah berkeluarga, kita bisa menyaksikan adanya pembaruan katekese yang lebih luas.
Pada tanggal 23 Maret 2020, Paus Fransiskus menyetujui Pedoman Katekese yang baru, di mana kami mendapatkan kehormatan dan tanggung jawab untuk menyampaikannya kepada Gereja. Pedoman ini merupakan tahap baru dari dinamika pembaruan katekese. Bagaimanapun juga, studi kateketik dan upaya terus-menerus dari berbagai Konferensi para Uskup telah menghasilkan pencapaian-pencapaian yang sangat signifikan bagi kehidupan Gereja dan pendewasaan umat beriman. Hal-hal itu membutuhkan sistematisasi baru.
Tinjauan sejarah singkat menunjukkan bahwa setiap Pedoman diterbitkan sebagai tindak lanjut dari dokumen-dokumen penting tertentu dari Magisterium. Pedoman yang pertama memiliki pengajaran konsili sebagai titik acuannya; Pedoman yang kedua mengacu pada Katekismus Gereja Katolik; Pedoman yang terbaru terkait erat dengan Sinode para Uskup tentang Evangelisasi Baru untuk Penerusan Iman Kristen dan juga Seruan Apostolik Evangelii Gaudium dari Paus Fransiskus. Meskipun masing-masing ditandai dengan perubahan konteks historis dan aktualisasi ajaran Magisterium, ketiga teks Pedoman Katekese tersebut memuat persyaratan umum yang sama, yaitu tujuan dan misi katekese. Pedoman pertama dan kedua dipisahkan oleh rentang waktu 26 tahun; sedangkan Pedoman kedua dan yang terbaru berjarak 23 tahun. Dalam beberapa hal, kronologi ini menunjukkan kebutuhan untuk menghadapi dinamika sejarah. Tinjauan yang lebih seksama pada konteks budaya menyoroti masalah-masalah baru masa kini di mana Gereja dipanggil untuk menghadapinya. Ada dua hal yang menonjol. Yang pertama adalah fenomena budaya digital, yang membawa serta dengannya hal kedua, yaitu globalisasi budaya. Keduanya begitu saling terkait sehingga membentuk satu sama lain dan menghasilkan fenomena yang menonjolkan perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan akan pembinaan yang memperhatikan setiap individu sering kali terabaikan ketika model pembinaan global diterapkan. Godaan untuk beradaptasi dengan bentuk-bentuk standardisasi internasional merupakan risiko yang tidak boleh dianggap remeh, terutama dalam konteks pembinaan untuk kehidupan beriman. Iman, pada dasarnya, diteruskan melalui perjumpaan interpersonal dan dipelihara melalui jalinan dalam komunitas. Kebutuhan untuk mengungkapkan iman melalui doa liturgis dan memberikan kesaksian melalui kekuatan cinta kasih, mewajibkan kita untuk melampaui fragmentasi dari berbagai inisiatif yang ada dan memulihkan kesatuan asli dari esensi kristiani. Hal ini menemukan fondasinya dalam Sabda Allah yang diwartakan dan diteruskan oleh Gereja dengan Tradisi yang hidup, yang tahu bagaimana menyambut dalam dirinya berbagai generasi umat beriman yang lama dan yang baru (bdk. Mat 13:52) yang tersebar di seluruh dunia.
Dalam beberapa dekade setelah Vatikan II, Gereja telah berulang kali memiliki kesempatan untuk merenungkan misi besar yang telah dipercayakan Kristus kepadanya. Dua dokumen secara khusus memberi perhatian pada perintah agung untuk mewartakan Injil ini. St. Paulus VI dengan Evangelii Nuntiandi dan Paus Fransiskus dengan Evangelii Gaudium menelusuri jalan yang menuntut komitmen setiap hari dari umat beriman untuk melakukan evangelisasi. “Gereja ada untuk mewartakan Injil,”[5] St. Paulus VI menyatakan dengan tegas; “Saya adalah perutusan,”[6] Paus Fransiskus mengulangi dengan kejelasan yang sama. Tidak ada alibi yang dapat mengalihkan perhatian dari tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap orang beriman dan seluruh Gereja ini. Oleh karena itu, hubungan erat antara evangelisasi dan katekese menjadi ciri khas dari Pedoman terbaru. Pedoman ini bermaksud untuk menyajikan jalan di mana dapat dilihat kesatuan erat antara pewartaan kerygma dan pendewasaannya.
Kriteria yang memotivasi refleksi dan penyusunan Pedoman ini didasarkan pada kata-kata Paus Fransiskus berikut ini : “Dalam katekese juga, kita telah menemukan ada peran pokok pewartaan pertama atau kerygma, yang hendaknya menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi dan seluruh upaya untuk pembaruan Gereja. [...] Pewartaan pertama ini disebut “pertama” bukan karena ada pada awal dan kemudian dapat dilupakan atau digantikan oleh hal-hal lain yang lebih penting. Pewartaan ini pertama dalam arti kualitatif karena merupakan pewartaan utama, yang harus kita dengar lagi dan lagi dengan berbagai cara, yang harus kita wartakan dengan satu atau lain cara melalui proses katekese, di setiap tingkat dan setiap saat. [...] Kita tidak seharusnya berpikir bahwa dalam katekese kerygma ditinggalkan demi pembinaan yang dianggap lebih “solid.” Tak ada yang lebih solid, mendalam, aman, dan bermakna dan penuh kebijaksanaan daripada pewartaan awal. Semua pembinaan Kristiani merupakan pendalaman kerygma, yang mendarah daging semakin mendalam dan terus-menerus menerangi karya katekese, sehingga memampukan kita memahami dengan lebih penuh makna setiap tema yang dikembangkan dalam katekese. Inilah pesan yang mampu menanggapi kerinduan pada Yang Tak Terbatas yang ada di dalam setiap hati manusia.”[7]
Kenyataan bahwa kerygma mempunyai tempat yang utama, yang menuntun kami untuk mengusulkan katekese kerygmatis, sama sekali tidak mengurangi nilai mistagogi atau pun kesaksian tentang cinta kasih. Hanya pola pikir yang dangkallah yang akan mengarahkan orang untuk menganggap pewartaan pertama hanya sebagai argumen yang dirancang untuk meyakinkan lawan bicaranya. Mewartakan Injil berarti memberikan kesaksikan tentang suatu perjumpaan, di mana fokusnya adalah Yesus Kristus, Putra Allah, yang berinkarnasi dalam sejarah umat manusia untuk menggenapi pewahyuan kasih keselamatan dari Bapa. Atas dasar inti iman ini, lex credendi menyerahkan dirinya kepada lex orandi, dan bersama-sama mereka membentuk cara hidup orang beriman untuk menjadi saksi cinta yang membuat pewartaan menjadi dapat dipercaya. Pada kenyataannya, setiap orang merasa terlibat dalam proses realisasi diri yang mengarah pada pemberian jawaban akhir dan definitif atas pertanyaan tentang makna.
Oleh karena itu, ketiga bagian dari Pedoman Katekese ini menguraikan jalannya katekese di bawah keutamaan evangelisasi. Para uskup, yang merupakan penerima pertama dokumen ini, bersama-sama dengan Konferensi para Uskup, Komisi Katekese, dan banyak katekis, akan dapat memverifikasi perkembangan sistematis yang telah ditulis di dalamnya, sedemikian rupa sehingga menjadi lebih jelaslah tujuan katekese, yaitu perjumpaan hidup dengan Tuhan yang mengubah hidup. Proses katekese dijelaskan dengan penekanan pada tatanan eksistensial yang melibatkan berbagai kategori orang dalam lingkungan hidup mereka. Tema pembinaan katekis cukup mendapat perhatian, karena pemulihan kembali pelayanan mereka dalam komunitas Kristen tampaknya cukup mendesak. Bagaimanapun, hanyalah katekis yang menghidupi pelayanannya sebagai panggilan yang dapat berkontribusi pada keefektifan katekese. Akhirnya, justru karena katekese berlangsung dalam terang perjumpaan, katekese memiliki tanggung jawab besar untuk bekerja sama dalam inkulturasi iman. Proses ini memberi ruang bagi penciptaan bahasa baru dan metodologi baru yang, dalam pluralitas ekspresinya, semakin membuktikan kekayaan Gereja universal.
Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, yang sejak 16 Januari 2013 ditunjuk untuk bertanggung jawab atas katekese melalui publikasi motu proprio Fides per Doctrinam, menyadari bahwa Pedoman Katekese ini masih memerlukan perbaikan. Kami tidak bisa mengklaim kelengkapannya, karena pada dasarnya Pedoman ini dimaksudkan untuk Gereja-gereja partikular supaya mendorong mereka untuk menyusun Pedoman mereka sendiri dan untuk mendukung mereka dalam proses tersebut. Penyusunan Pedoman ini melibatkan sejumlah ahli, yang mengungkapkan universalitas Gereja. Selama berbagai fase penyusunannya, naskah Pedoman ini juga diserahkan untuk dinilai oleh beberapa uskup, imam dan katekis. Banyak pria dan wanita telah terlibat dalam pekerjaan ini, yang kami harap akan terbukti menjadi kontribusi yang berharga pada masa ini. Tanpa retorika apa pun, kami berterima kasih kepada mereka semua secara pribadi dan mengucapkan terima kasih atas pekerjaan besar yang telah dilakukan dengan penuh kompetensi, semangat, dan murah hati.
Secara kebetulan, persetujuan untuk Direktori ini terjadi pada peringatan liturgi St. Turibius dari Mogrovejo (1538-1606), seorang santo yang mungkin tidak terlalu dikenal tetapi memberikan dorongan kuat untuk evangelisasi dan katekese. Mengikuti jejak St. Ambrosius, pada mulanya St. Turibius adalah seorang awam dan ahli hukum terkemuka. Lahir di Mallorca dari keluarga bangsawan, ia mendapatkan pendidikan di universitas Valladolid dan Salamanca di mana ia menjadi profesor. Ketika menjadi ketua pengadilan Granada, ia ditahbiskan menjadi uskup dan dikirim oleh Paus Gregorius XIII ke Lima, Peru. Dia memahami pelayanan episkopalnya sebagai penginjil dan katekis. Menggemakan apa yang dikatakan Tertullianus, ia senang mengulangi : “Kristus adalah kebenaran, bukan kebiasaan.” Dia mengulanginya terutama di hadapan para conquistador (: penakluk) yang menindas masyarakat Indian atas nama superioritas budaya, dan para imam yang tidak memiliki keberanian untuk membela kepentingan orang miskin. Sebagai misionaris yang tak kenal lelah, ia melakukan perjalanan ke seluruh wilayah Gerejanya, menemui terutama para penduduk asli untuk mewartakan Firman Allah kepada mereka dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Selama dua puluh lima tahun pelayanannya sebagai Uskup, ia mengorganisir sinode keuskupan dan provinsi, dan bertindak sebagai katekis dengan menerbitkan Katekismus dalam bahasa Spanyol, Quéchua, dan Aymara untuk penduduk asli Amerika Selatan. Karya evangelisasinya menghasilkan buah-buah yang tak terduga : ribuan penduduk asli menjadi percaya setelah bertemu Kristus dalam amal kasih Sang Uskup. Dialah yang menerimakan Sakramen Penguatan kepada dua orang kudus dari Gereja : St. Martin de Porres dan St. Rosa de Lima. Pada tahun 1983, St. Yohanes Paulus II mencanangkannya sebagai pelindung keuskupan-keuskupan Amerika Latin. Oleh karena itu, Pedoman Katekese yang baru juga ditempatkan di bawah perlindungan katekis agung ini.
Paus Fransiskus menuliskan : “Roh Kudus mencurahkan kekudusan di mana pun kepada umat Allah yang kudus dan setia. [...] Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah: dalam diri orangtua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan. Sering kali hal tersebut merupakan kekudusan dari “pintu sebelah”, mereka yang hidup dekat dengan kita. Mereka mencerminkan kehadiran Allah, atau dengan kata lain “tingkat menengah kekudusan”. [...] Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di manapun kita berada. Apakah Anda seorang anggota hidup bakti? Jadilah kudus dengan menghayati persembahan diri Anda dengan sukacita. Apakah Anda menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau istri Anda, sebagaimana Kristus lakukan kepada Gereja-Nya. Apakah Anda seorang pekerja? Jadilah kudus dengan melakukan pekerjaan Anda dengan kejujuran dan kemampuan untuk melayani sesama. Apakah Anda orangtua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus. Apakah Anda sedang memiliki kekuasaan? Jadilah kudus dengan berjuang demi kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi.”[8]
Kekudusan adalah kata penting yang dapat diucapkan dalam menyajikan Pedoman baru untuk katekese ini. Kekudusan adalah suatu cara hidup di mana para katekis juga dipanggil untuk menghidupinya dengan keteguhan dan kesetiaan. Dalam perjalanan yang penuh tuntutan ini, mereka tidak sendirian. Gereja, di seluruh dunia, dapat menghadirkan model-model katekis yang telah mencapai kekudusan dan bahkan kemartiran dengan menjalani pelayanan mereka setiap hari. Kesaksian mereka berbuah, dan karenanya masih mungkinlah untuk berpikir bahwa pada zaman kita sekarang ini, masing-masing dari kita juga dapat melanjutkan petualangan ini dan mengabdikan diri dengan penuh dedikasi dan ketakziman pada tugas yang melelahkan dan terkadang tanpa pamrih sebagai seorang katekis.
Dari Vatikan, 23 Maret 2020
Peringatan Liturgi St. Turibius dari Mogrovejo
+Salvatore Fisichella
Uskup Agung tit. Voghenza, Presiden
+Octavio Ruiz Arenas
Uskup Agung emeritus Villavicencio, Sekretaris
1. Katekese merupakan bagian yang penting dalam proses pembaharuan yang lebih luas di mana Gereja dipanggil untuk melaksanakannya dalam kesetiaan pada perintah agung yang diberikan oleh Yesus Kristus kepada kita untuk mewartakan Injil-Nya selalu dan di mana-mana (bdk. Mat 28:19). Dalam upaya evangelisasi, Katekese ambil bagian, sesuai dengan sifat dasarnya, untuk memastikan bahwa iman dapat didukung dengan pematangan terus menerus untuk mengungkapkan gaya hidup yang harus menjadi ciri keberadaan murid-murid Kristus. Inilah sebabnya mengapa Katekese berhubungan dengan liturgi dan cinta kasih untuk menunjukkan kesatuan hakiki dari hidup baru yang terlahir berkat Pembaptisan.
2. Dengan mempertimbangkan pembaruan ini, Paus Fransiskus, dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, menunjukkan beberapa karakteristik khusus dari katekese yang menghubungkannya secara lebih langsung dengan pewartaan Injil di dunia saat ini.
Katekese kerygmatis,[9] yang masuk ke jantung iman dan merasakan hakikat warta kristiani, adalah katekese yang mewujudnyatakan tindakan Roh Kudus, yang mengkomunikasikan kasih keselamatan dari Allah dalam Yesus Kristus dan yang terus memberikan diri-Nya sendiri untuk kepenuhan hidup setiap orang. Berbagai rumusan yang berbeda dari kerygma, yang tentu terbuka untuk semakin diperdalam, merupakan pintu akses eksistensial pada misteri.
Katekese sebagai inisiasi mistagogis[10] memasukkan orang beriman ke dalam pengalaman hidup jemaat Kristen, tempat kehidupan iman yang sejati. Pengalaman pembinaan ini bersifat progresif dan dinamis, kaya akan tanda dan bahasa, yang berguna bagi integrasi semua dimensi pribadi manusia.
Semuanya ini mengacu langsung pada pemahaman intuitif, yang berakar kuat dalam refleksi kateketik dan dalam praktik pastoral gerejawi, yang bahkan menjadi semakin mendesak, bahwa katekese haruslah menimba inspirasi dari model katekumenal.
3. Dalam terang unsur-unsur ini yang menjadi ciri katekese dalam perspektif misioner, tujuan dari proses katekese juga ditafsirkan kembali. Pemahaman tentang dinamika pembinaan pribadi umat tersebut menuntut bahwa persekutuan erat dengan Kristus, yang telah ditunjukkan dalam Magisterium sebelumnya sebagai tujuan akhir dari karya katekese, tidak hanya dianggap sebagai suatu tujuan, tetapi juga dicapai melalui proses pendampingan.[11] Akhirnya, keseluruhan proses internalisasi Injil melibatkan keseluruhan diri manusia dalam pengalaman hidup pribadinya.
Hanya katekese yang berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap orang mendewasakan tanggapan iman-nya sendiri, dapat mencapai tujuan tersebut di atas. Inilah sebabnya mengapa Pedoman ini mengingatkan betapa pentingnya bahwa katekese mendampingi pendewasaan cara hidup sebagai umat beriman dalam suatu dinamika transformasi, yang pada akhirnya merupakan suatu tindakan spiritual. Inilah bentuk asli dan yang diperlukan dari inkulturasi iman.
5. Kriteria yang memandu penyusunan Pedoman Katekese ini terletak pada keinginan untuk memperdalam peran katekese dalam dinamika evangelisasi. Pembaharuan teologis selama paruh pertama abad ke-20 memunculkan kebutuhan akan pemahaman misioner dari katekese. Konsili Ekumenis Vatikan II dan Magisterium yang mengikutinya memahami dan menyusun ulang hubungan hakiki antara evangelisasi dan katekese, menyesuaikannya setiap kali dengan tuntutan perkembangan sejarah. Oleh karena itu, Gereja, yang “secara alami” bersifat “misioner” (AG 2), selalu membuka diri untuk menerapkan dengan penuh percaya diri tahap baru evangelisasi, sesuai dengan bimbingan Roh Kudus kepadanya.
Hal ini membutuhkan komitmen dan tanggung jawab untuk mengenali bahasa-bahasa baru yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan iman. Pada masa ketika bentuk-bentuk penyampaian iman sedang berubah, Gereja berkomitmen untuk menguraikan beberapa tanda-tanda zaman yang dengannya Tuhan menunjukkan jalan untuk ditempuh. Di antara berbagai tanda ini, kita mengenali : sentralitas umat beriman dan pengalaman hidupnya; peran penting relasi dan afeksi; ketertarikan pada apa yang benar-benar menawarkan makna; penemuan kembali apa yang disebut sebagai keindahan dan yang membangkitkan semangat. Dalam gerakan-gerakan ini dan gerakan-gerakan lain dari budaya masa kini, Gereja menangkap kesempatan untuk perjumpaan dan pewartaan tentang kebaruan dari iman. Inilah landasan dari transformasi misioner-nya, yang mendorong pertobatan pastoral.
6. Sama seperti Petunjuk Umum Katekese (1997) adalah kelanjutan dari Direktorium Kateketik Umum (1971), Pedoman Katekese ini juga berada dalam dinamika kontinuitas dan pengembangan yang sama dengan dokumen-dokumen yang mendahuluinya. Tidak dapat dilupakan bahwa selama dua dekade terakhir Gereja telah mengalami peristiwa-peristiwa penting yang, meskipun dengan tingkat kepentingan yang berbeda, telah menjadi saat-saat penting bagi perjalanan gerejawi, untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang misteri iman dan evangelisasi.
Pertama-tama, perlulah mengingat masa kepausan dari St. Yohanes Paulus II yang, dengan Seruan Apostoliknya Catechesi Tradendae (1979), benar-benar memberikan dorongan inovatif untuk katekese. Paus Benediktus XVI berulang kali menegaskan pentingnya katekese dalam proses evangelisasi baru dan, dengan Surat Apostolik Fides per Doctrinam (2013), ia secara konkret menerapkan komitmen tersebut. Akhirnya, Paus Fransiskus, dengan Seruan Apostoliknya Evangelii Gaudium (2013), ingin menegaskan kembali hubungan yang tidak terpisahkan antara evangelisasi dan katekese dalam terang budaya perjumpaan.
Peristiwa-peristiwa besar lainnya telah menandai pembaruan katekese. Di antaranya, kita tidak dapat melupakan Yubileum Agung Tahun 2000, Tahun Iman (2012-2013), Yubileum Luar Biasa Kerahiman (2015-2016) dan Sinode para Uskup baru-baru ini tentang beberapa hal penting bagi kehidupan Gereja. Yang perlu disebutkan secara khusus adalah Sinode tentang Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi Gereja (2008); tentang Evangelisasi Baru untuk Penyampaian Iman Kristen (2012); tentang Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan Dunia Kontemporer (2015); dan tentang Orang Muda, Iman dan Penegasan Panggilan (2018). Akhirnya, haruslah disebutkan juga penerbitan Kompendium Katekismus Gereja Katolik (2005), sarana sederhana dan langsung untuk pengetahuan iman.
7. Pedoman Katekese mengatur isinya dalam struktur dan sistematisasi yang baru. Tema-temanya tetaplah disusun dengan mempertimbangkan berbagai kepekaan gerejawi yang mendasar. Bagian pertama (Katekese dalam misi Gereja untuk evangelisasi) memberi pendasaran pada bagian-bagian selanjutnya. Wahyu Allah dan penyampaiannya dalam Gereja membuka refleksi tentang dinamika evangelisasi di dunia masa kini, dengan menerima tantangan pertobatan misioner yang mempengaruhi katekese (Bab I). Hal tersebut diuraikan dengan penjelasan tentang sifat, tujuan, tugas dan sumber-sumber katekese (Bab II). Katekis – yang identitas (Bab III) dan pembinaannya (Bab IV) dipaparkan di sini – membuat pelayanan katekese gerejawi menjadi terlihat dan operasional. Pada bagian pertama ini, sebagai tambahan atas pembaruan pertanyaan mendasar yang sudah disorot, ada baiknya disebutkanlah bab tentang pembinaan, yang menggabungkan berbagai perspektif penting yang berhubungan dengan pembaruan katekese.
8. Bagian kedua (Proses Katekese) berhubungan dengan dinamika katekese. Bagian ini pertama-tama memaparkan paradigma yang menjadi acuan, yaitu pedagogi Allah dalam sejarah keselamatan, yang dengan sendirinya mengilhami pedagogi Gereja dan katekese sebagai tindakan edukatif (Bab V). Dalam terang paradigma ini, kriteria teologis untuk pemakluman warta Injil disusun kembali dan semakin disesuaikan dengan kebutuhan budaya masa kini. Selain itu, Katekismus Gereja Katolik disajikan dalam pemaknaannya secara teologis-kateketis (Bab VI). Bab VII menyajikan beberapa pertanyaan tentang metode dalam katekese dengan membahas, antara lain, tema bahasa. Bagian kedua ini berakhir dengan pemaparan tentang katekese dengan berbagai kelompok peserta (Bab VIII).
Meskipun disadari adanya keragaman kondisi budaya di dunia dan karenanya perlulah penelitian di tingkat lokal, namun niat dari bagian ini adalah untuk menawarkan analisis karakteristik umum dari tema yang luas ini, dengan menindaklanjuti perhatian yang diberikan pada sinode tentang keluarga dan kaum muda. Akhirnya, Pedoman ini mengundang Gereja-gereja partikular untuk memperhatikan katekese dengan penyandang disabilitas, kaum migran dan emigran, serta narapidana.
9. Bagian ketiga (Katekese di Gereja-gereja Partikular) menunjukkan bagaimana pelayanan Sabda Allah terbentuk dalam kehidupan gerejawi yang nyata. Gereja-gereja partikular, dalam semua artikulasinya, melaksanakan tugas mewartakan Injil dalam berbagai konteks di mana mereka berakar (Bab IX). Pada bagian ini, kekhasan Gereja-gereja Timur, yang memiliki tradisi katekese mereka sendiri, diakui. Setiap komunitas Kristen diundang untuk menghadapi kompleksitas dunia kontemporer, di mana unsur-unsur yang sangat berbeda tercampur baur (Bab X). Konteks geografis yang beragam, skenario yang bersifat religius, tren budaya – meskipun mereka tidak secara langsung berkaitan dengan katekese gerejawi – membentuk fisiognomi batin orang-orang pada zaman sekarang ini ; Gereja menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada mereka ini, dan karena itu tak terelakkanlah bahwa mereka menjadi objek penegasan yang terkait dengan prakarsa katekese. Perlu disebutkanlah di sini refleksi tentang budaya digital dan beberapa pertanyaan bioetika, yang menjadi perdebatan besar di zaman kita. Bab XI, dengan membahas kembali tindakan Gereja partikular, menunjukkan sifat dasar dan kriteria teologis dari inkulturasi iman, yang juga dinyatakan dalam penyusunan katekismus lokal. Pedoman Katekese ini diakhiri dengan pemaparan tentang organisasi-organisasi yang, pada tingkat yang beragam, melayani katekese (Bab XII).
10. Pedoman Katekese yang baru ini menawarkan prinsip-prinsip dasar teologis-pastoral dan beberapa pedoman umum yang relevan untuk praktik katekese di zaman kita. Sudah sewajarnyalah bahwa penerapan dan pedoman-pedoman operasionalnya menjadi tugas dari Gereja-gereja partikular, yang dipanggil untuk memberikan penjabaran dari prinsip-prinsip umum ini sehingga dapat disesuaikan dengan konteks gerejawi mereka sendiri. Oleh karena itu, Pedoman ini merupakan alat bantu untuk penyusunan pedoman nasional atau lokal, yang berasal dari otoritas yang berwenang dan mampu menerjemahkan petunjuk umum ini ke dalam bahasa masing-masing komunitas gerejawi. Dengan demikian Pedoman ini melayani para uskup, konferensi-konferensi episkopal, organisasi-organisasi pastoral dan akademik yang terlibat dalam katekese dan evangelisasi. Para Katekis pun akan dapat menemukan dukungan dan tantangan dalam pelayanan mereka sehari-hari bagi pendewasaan saudara-saudara mereka dalam iman.
BAGIAN PERTAMA
KATEKESE DALAM MISI GEREJA UNTUK EVANGELISASI
Bab I
Wahyu ilahi dan Peyampaiannya
1. Yesus Kristus, penyampai dan pewahyuan Bapa
Pewahyuan tentang rencana penyelenggaraan ilahi
11. Seluruh keberadaan Gereja, segala yang dilakukan Gereja, menemukan landasan utamanya dalam kenyataan bahwa Allah, dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, ingin mengungkapkan misteri kehendak-Nya dengan mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia. St. Paulus menggambarkan misteri ini dengan kata-kata berikut : Allah, di dalam Kristus, “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih, Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1: 4-5). Sejak awal penciptaan, Allah tidak henti-hentinya mengkomunikasikan rencana keselamatan ini kepada manusia dan menunjukkan kepadanya tanda-tanda kasih-Nya; dan bahkan “Biarpun manusia melupakan atau menolak Tuhan, namun Tuhan tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya ia mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya.”[13]
12. Allah mengungkapkan dan mewujudkan rencana-Nya dengan cara yang baru dan definitif dalam pribadi Sang Putra, yang diutus menjadi manusia seperti kita ; melalui-Nya, manusia “dalam Roh Kudus, dapat menghadap Bapa dan ikut serta dalam kodrat ilahi” (DV 2). Pewahyuan adalah prakarsa kasih Allah, dan terarahkan pada persekutuan: “Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1 Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11 ; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya.” (DV 2)
Dengan hidup sebagai manusia di antara manusia, Yesus tidak hanya mengungkapkan rahasia-rahasia Allah, tetapi juga menggenapi karya keselamatan. “Oleh karena itu Dia barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh 14:9) dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.” (DV 4)
13. Allah telah mengungkapkan kasih-Nya, dan dari kedalaman rencana ilahi itu sendiri muncullah kebaruan pewartaan Kristiani, “bahwa kita dapat mengatakan kepada semua orang: ‘Allah telah memperkenalkan diri, dalam pribadi. Dan sekarang jalan kepada-Nya telah terbuka’.”[14] Justru karena membuka kehidupan baru – kehidupan yang tanpa dosa, kehidupan sebagai anak-anak-Nya, kehidupan dalam kelimpahan, kehidupan kekal –pewartaan ini sungguh indah: “Pengampunan dosa, keadilan, pengudusan, penebusan, pengangkatan sebagai anak-anak Allah, warisan dari surga, kekerabatan dengan Sang Putera Allah. Berita mana yang lebih indah dari ini? Allah di bumi dan manusia di surga!”.[15]
Yesus mewartakan ‘Injil keselamatan’
15. Pada awal pelayanan-Nya, Yesus mewartakan kedatangan Kerajaan Allah, disertai dengan tanda-tanda; Ia “menyatakan bahwa Ia telah diutus untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (bdk. Luk 4:18), menjelaskan dan kemudian menegaskan dengan hidupnya bahwa Kerajaan Allah diperuntukkan bagi semua orang”[16], dimulai dengan orang yang termiskin dan orang berdosa, dan memanggil pada pertobatan (bdk. Mrk 1:15). Ia memperkenalkan dan mewartakan Kerajaan Allah kepada setiap orang. Yesus Kristus, dengan hidupnya, adalah kepenuhan Wahyu: Ia adalah pernyataan sepenuhnya dari kerahiman ilahi dan, pada saat yang sama, dari panggilan untuk mencintai yang ada di dalam hati umat manusia. Ia “mewahyukan kepada kita, ‘bahwa Allah itu cinta kasih’ (1Yoh 4:8), sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih” (GS 38). Dengan masuk ke dalam persekutuan dengan Dia dan mengikuti-Nya, kehidupan manusia dianugerahi kepenuhan dan kebenaran: “Barang siapa mengikuti Kristus, Manusia sempurna, juga akan menjadi manusia yang lebih utuh” (GS 41).
16. Tuhan, setelah kematian dan kebangkitan-Nya, memberikan Roh Kudus untuk menggenapi karya keselamatan dan mengutus para murid untuk melanjutkan misi-Nya di dunia. Mandat misioner dari ‘Dia yang telah Bangkit’ ini memunculkan kata kerja-kata kerja yang berhubungan dengan evangelisasi, yang terkait erat satu sama lain: “beritakanlah” (Mrk 16:15), “jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka […] ajarlah mereka ...” (Mat 28:19-20), “kamu akan menjadi saksi-Ku” (Kis 1:8), “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk 22:19), “supaya kamu saling mengasihi” (Yoh 15:12). Dengan cara demikian, terbentuklah ciri-ciri khas dari dinamika pewartaan, yang di dalamnya terdapat hubungan yang erat antara pengakuan akan tindakan Allah di dalam diri setiap manusia, keutamaan Roh Kudus dan keterbukaan universal kepada setiap orang. Karena itu, Evangelisasi adalah sebuah realitas dengan segala “kekayaannya, kompleksitasnya dan dinamismenya” [17], dan dalam perkembangannya mencakup berbagai kemungkinan: kesaksian dan pewartaan, sabda dan sakramen, perubahan batin dan transformasi sosial. Semua tindakan ini saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Gereja senantiasa melaksanakan tugas ini dengan berbagai macam pengalaman pewartaan, yang terus-menerus dibangkitkan oleh Roh Kudus.
2. Iman kepada Yesus Kristus: tanggapan kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya
17. Setiap orang, didorong oleh kegelisahan yang bersemayam di dalam hatinya, melalui pencarian yang tulus akan makna keberadaannya, mampu memahami dirinya sendiri sepenuhnya di dalam Kristus; dengan mengenal-Nya secara akrab, setiap orang merasakan dorongan untuk mengambil jalan kebenaran. Sabda Allah menyingkapkan kodrat relasional dari setiap orang dan panggilan baktinya untuk menyesuaikan diri dengan Kristus: “Tuhan, Engkau telah menjadikan kami sebagai kepunyaan-Mu, dan hati kami tak akan tenang sampai kami beristirahat di dalam Engkau.”[18] Ketika manusia dipersatukan dengan Allah, ia dipanggil untuk menanggapi dengan ketaatan iman dan untuk mematuhi dengan persetujuan penuh akal budi dan kehendak, dengan bebas menyambut “Injil kasih karunia Allah” (Kis 20:24). Dengan demikian, orang beriman “menemukan apa yang selama ini ia cari dan ia mendapatkannya dalam kelimpahan. Iman menanggapi ‘penantian’ ini, seringkali tanpa disadari dan selalu terbatas dalam pengetahuan akan kebenaran tentang Allah, tentang diri manusia sendiri dan tentang takdir yang menantinya.”[19]
18. Iman kristiani, yang pertama dan terutama, merupakan penerimaan kasih Allah yang diwahyukan dalam Yesus Kristus, kepatuhan yang tulus kepada pribadi-Nya dan keputusan bebas untuk mengikuti-Nya. Jawaban “ya” kepada Yesus Kristus ini mengandung dua dimensi : penyerahan diri penuh kepercayaan kepada Allah (fides qua) dan persetujuan penuh kasih kepada semua yang telah Dia wahyukan kepada kita (fides quae). Karena itulah “Santo Yohanes menegaskan pentingnya relasi personal dengan Yesus, bagi iman kita, dengan mempergunakan berbagai bentuk kata kerja ʺpercayaʺ. Selain ʺpercaya bahwaʺ apa yang dikatakan Yesus kepada kita adalah benar (Yoh 14:10; 20:31), Yohanes bicara juga tentang ʺmempercayaiʺ Yesus dan ʺpercaya akanʺ Yesus. Kita ʺmempercayaiʺ Yesus ketika kita menerima sabda-Nya, kesaksian-Nya, sebab Dia sungguh dapat dipercaya (Yoh 6:30). Kita ʺpercaya akanʺ Yesus ketika kita secara personal menerima Dia masuk ke dalam kehidupan kita dan kita melangkah menuju pada Dia, mengarahkan diri kepada-Nya dalam kasih dan mengikuti jejak-Nya (Yoh 2:11; 6:47; 12:44)”[20], dalam proses dinamis yang berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu, tindakan ‘percaya’ melibatkan kepatuhan ganda: “kepada pribadi dan kepada kebenaran; kepada kebenaran, dengan kepercayaan kepada pribadi yang memberi kesaksian tentang kebenaran itu”[21] dan kepada pribadi tersebut karena dia sendiri adalah kebenaran yang dibuktikan. Ini adalah kepatuhan hati, pikiran dan tindakan.
19. Iman adalah karunia Allah dan kebajikan supranatural, yang dapat dilahirkan dalam hati sebagai buah dari kasih karunia dan sebagai tanggapan bebas terhadap Roh Kudus, yang membawa hati pada pertobatan dan mengubahnya untuk terarah kepada Allah, dengan memberinya “rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran” (DV 5). Dibimbing oleh iman, manusia datang untuk merenungkan dan menghargai Allah sebagai kasih (bdk. 1 Yoh 4:7-16). Iman, sebagai penyambutan personal terhadap karunia Allah, tidak irrasional atau pun buta. “Baik terang akal budi maupun terang iman, keduanya berasal dari Allah, […] itulah sebabnya mereka tidak saling bertentangan.”[22] Pada kenyataannya, iman dan akal budi saling melengkapi : dengan akal budi, iman tidak akan jatuh pada fideisme atau fundamentalisme, dan “hanya iman-lah yang memungkinkan kita untuk masuk ke dalam misteri, di mana iman membuat kita memahaminya secara koheren”.[23]
20. Iman menyiratkan suatu transformasi eksistensial yang mendalam yang dilakukan oleh Roh, suatu metanoia yang “terwujud di semua tingkat keberadaan orang Kristen : dalam kehidupan batinnya di mana ia memuja dan menerima kehendak Allah; dalam keikutsertaannya dalam perutusan Gereja; dalam kehidupan pernikahan dan keluarganya; dalam kehidupan profesionalnya; dalam segala kegiatannya untuk memenuhi tanggung jawab ekonomi dan sosial.”[24] Orang-orang yang percaya, dengan menerima anugerah iman, “berubah menjadi ciptaan baru ; mereka menjadi manusia baru ; sebagai anak-anak Allah, mereka kini adalah para putera-puteri-Nya dalam Sang Putera.”[25]
21. Iman tentu saja merupakan tindakan pribadi, namun bukan sekedar pilihan individu dan pribadi; hal itu memiliki karakter relasional dan komunitas. Orang Kristen lahir dari rahim Gereja; Imannya adalah partisipasi dalam iman gerejawi yang selalu mendahuluinya. Bahkan, tindakan iman pribadinya merupakan tanggapan terhadap memori hidup tentang suatu peristiwa yang diteruskan Gereja kepadanya. Oleh karena itu, iman murid Kristus dinyalakan, dipertahankan dan diteruskan hanya dalam persekutuan iman gerejawi, di mana “Aku percaya” yang dimalkumkan dengan pembaptisan dikombinasikan dengan “Kami percaya” dari seluruh Gereja.[26] Oleh karena itu setiap orang percaya menyatukan dirinya dengan komunitas murid-murid dan menyesuaikan dirinya dengan iman Gereja. Bersama dengan Gereja yang merupakan Umat Allah dalam perjalanan sejarah dan sakramen keselamatan universal, orang beriman ambil bagian dalam perutusannya.
3. Penerusan Pewahyuan dalam iman Gereja
22. Wahyu ada untuk semua orang: “[Allah] menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4). Untuk kehendak universal yang menyelamatkan ini, “Allah, dalam kebaikan-Nya, menetapkan bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunan” (DV 7). Untuk ini, Yesus Kristus mendirikan Gereja di atas dasar para Rasul. Gereja melaksanakan dalam sejarah misi yang sama yang telah diterima Yesus dari Bapa. Gereja tak terpisahkan dari misi Sang Putra (bdk. AG 3) dan dari misi Roh Kudus (bdk. AG 4) karena semua merupakan satu tata keselamatan.
23. Roh Kudus adalah pelaku sejati seluruh misi Gereja. Ia bertindak baik di dalam Gereja maupun di dalam mereka yang harus dijangkau oleh Gereja dan dengan cara tertentu Gereja juga harus membuat dirinya dijangkau oleh mereka, karena Allah berkarya dalam hati setiap orang. Roh Kudus terus menyuburkan Gereja yang hidup dari Sabda Allah dan membuatnya selalu bertumbuh dalam pemahaman atas Injil, dengan mengutusnya dan mendukungnya dalam karya evangelisasi dunia. Roh yang sama, dari dalam diri manusia, menaburkan benih Sabda; menggerakkan kerinduan dan karya-karya kebaikan; menyiapkan penerimaan atas Injil dan menganugerahkan iman, agar, melalui kesaksian Gereja, umat manusia dapat mengenali kehadiran dan komunikasi penuh kasih dari Allah. Gereja menerima dengan ketaatan dan rasa syukur tindakan Roh yang tersembunyi ini. Gereja bertindak sebagai alat-Nya yang hidup dan patuh untuk membimbing kepada seluruh kebenaran (bdk. Yoh 16:13) dan dirinya diperkaya dalam perjumpaan dengan mereka yang diberinya Injil.
24. Melalui kesaksian dan karya-karya, pewartaan lisan, tradisi-tradisi dan tulisan-tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus, para Rasul, yang setia pada amanat ilahi, meneruskan apa yang telah diterimanya, “supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-Uskup sebagai pengganti mereka, yang mereka 'serahi kedudukan mereka untuk mengajar'” (DV 7). Tradisi rasuli ini “berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja sebab berkembang-lah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman yang menyimpannya dalam hati mereka (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka” (DV 8).
25. Penerusan Injil menurut perintah Tuhan telah dilaksanakan dalam dua cara: “dengan penerusan yang hidup dari Sabda Allah (secara sederhana disebut juga Tradisi), dan dengan Kitab Suci, yang adalah warta yang sama tentang keselamatan yang ditulis”.[27] Maka, Tradisi dan Kitab Suci berhubungan erat dan saling meresapi serta berasal dari sumber yang sama, Wahyu Yesus Kristus. Keduanya bersatu dalam aliran tunggal, hidup iman gerejawi, dan mengambil bagian bersama dalam tujuan yang sama, yakni membuat seluruh misteri Yesus Kristus aktif dan dinamis dalam Gereja.
26. Tradisi bukan terutama sekumpulan ajaran, melainkan kehidupan iman yang diperbarui setiap hari. Tradisi berkembang, “dengan mengokohkan-nya selama bertahun-tahun, mengembangkannya seiring waktu, mendalaminya sesuai usia.”[28] Magisterium Gereja, disokong oleh Roh Kudus dan diperkuat oleh karisma kebenaran, menjalankan pelayanannya untuk menafsirkan secara autentik Sabda Allah, yang dilayaninya. Maka Magisterium menjalankan pelayanan untuk menjaga utuhnya Wahyu, Sabda Allah yang terkandung dalam Tradisi dan Kitab Suci, dan penerusannya yang berkelanjutan. Inilah Magisterium yang hidup yang menafsirkan Tradisi dengan cara yang koheren dan menjadi subyek atasnya (bdk. DV 10).
27. Dengan singkat, “oleh karya Roh Kudus dan di bawah bimbingan Magisterium, Gereja menyampaikan kepada setiap generasi semua yang telah diwahyukan dalam Kristus. Gereja hidup dalam kepastian bahwa Tuhannya, yang berbicara di masa lampau, pada hari ini terus mengomunikasikan Sabda-Nya dalam Tradisinya yang hidup dan dalam Kitab Suci. Sungguh, Sabda Allah telah diberikan kepada kita dalam Kitab Suci sebagai kesaksian yang diilhami tentang Pewahyuan; bersama dengan Tradisi Gereja yang hidup, Kitab Suci merupakan aturan tertinggi dari iman”[29] dan sumber utama evangelisasi. Semua sumber yang lain diatur menurut Sabda Allah.
Pewahyuan dan evangelisasi
28. Gereja, sakramen keselamatan universal, yang menaati petunjuk-petunjuk Roh Kudus, dengan mendengarkan Wahyu, meneruskan Wahyu dan mendukung jawaban iman; “dalam ajaran, hidup, serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruh-nya, imannya seutuhnya” (DV 8). Untuk ini, amanat untuk meng-evangelisasi semua orang merupakan misinya yang sangat penting. “Mewartakan Injil sesunggguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan.”[30] Akan tetapi, dalam misinya ini, “Gereja adalah Pewarta Injil, namun dia mulai dengan menerima pewartaan itu sendiri. Gereja adalah jemaat kaum beriman, jemaat pengharapan yang dihayati dan di-komunikasikan, jemaat kasih persaudaraan. Gereja perlu mendengarkan terus menerus apa yang mesti dipercayainya, alasan-alasannya untuk berharap, perintah baru cinta kasih. Gereja terus menerus perlu menerima pewartaan Injil, jika Gereja ingin menjaga kesegaran, keteguhan dan kekuatan untuk mewartakan Injil”[31]
29. Mengevangelisasi bukanlah pertama-tama membawa suatu ajaran; melainkan terutama menghadirkan dan mewartakan Yesus Kristus. Misi evangelisasi Gereja menyatakan dengan lebih baik ekonomi Wahyu; sesungguhnya, Putra Allah berinkarnasi, memasuki sejarah dan menjadi Manusia di antara manusia. Evangelisasi menjadikan nyata kehadiran abadi Kristus, sehingga mereka yang mendekati Gereja dapat menemukan dalam pribadi-Nya jalan untuk “menyelamatkan nyawanya” (Mat 16:25) dan terbuka pada suatu cakrawala baru.
30. Evangelisasi mempunyai sebagai tujuan akhirnya kepenuhan hidup manusia. Dalam menyajikan ajaran ini, orang Kristen Barat telah menggunakan kategori keselamatan, sementara orang Kristen Timur lebih suka berbicara tentang pengilahian. Mengapa Allah telah menjadi Manusia? “Untuk menyelamatkan kita”, ulang orang Kristen Barat.[32] “Supaya manusia menjadi Allah”, tegas orang Kristen Timur.[33] Dua ungkapan ini sesungguhnya saling melengkapi: Allah menjadi manusia sehingga manusia sungguh menjadi manusia seperti yang dikehendaki dan diciptakan-Nya; manusia yang citranya adalah Putra; manusia yang diselamatkan dari kejahatan dan dosa, untuk ambil bagian dalam kodrat ilahi yang sama. Umat beriman dapat mengalami keselamatan ini di sini dan saat ini, tetapi mereka akan memperoleh kepenuhannya dalam kebangkitan.
Proses evangelisasi
32. Evangelisasi meliputi berbagai tahap dan momentum, yang dapat diulangi jika perlu, untuk memberikan santapan Injili yang lebih sesuai dengan pertumbuhan rohani setiap orang atau komunitas. Perlu diperhatikan bahwa tahap-tahap ini bukan hanya terjadi berurutan satu sama lain, tetapi juga merupakan dimensi-dimensi dalam proses.
34. Kegiatan katekese – inisiasi merupakan pelayanan untuk pengakuan iman. Mereka yang telah berjumpa dengan Yesus merasakan tumbuhnya kerinduan untuk mengenal-Nya lebih dekat lagi, dengan memperjelas pilihan awal kepada Injil. Dalam komunitas Kristiani, katekese, bersama dengan semua upacara liturgis, karya-karya cinta kasih dan pengalaman persaudaraan, “mulai dengan pengenalan iman dan pembelajaran hidup kristiani, sambil mendukung perjalanan rohani yang menggerakkan suatu “perubahan mentalitas serta adat kebiasaan secara berangsur-angsur” (AG 13), yang terbentuk dari pengorbanan dan perjuangan, dan sukacita yang dianugerahkan oleh Allah tanpa batas.”[39] Maka, murid Yesus Kristus siap untuk pengakuan iman ketika, melalui perayaan sakramen-sakramen inisiasi, ia digabungkan kepada Kristus. Tahapan ini disesuaikan dengan waktu katekumenat dan saat pemurnian dan penerangan dari proses katekumenat.[40]
35. Kegiatan pastoral memupuk iman orang-orang yang dibaptis dan membantu mereka dalam proses pertobatan terus-menerus dalam hidup kristiani. Dalam Gereja, “orang yang dipermandikan, senantiasa digerakkan oleh Roh Kudus, dipelihara oleh sakramen-sakramen, doa, dan karya cinta kasih, dan dibantu oleh pelbagai macam bentuk pendidikan iman lanjut, berusaha mewujudkan keinginan Kristus: “Hendaklah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di sorga sempurna adanya.” (Mat 5: 48)”[41] Di sinilah terletak panggilan kepada kekudusan untuk masuk dalam kehidupan kekal. Awal tahapan ini disesuaikan dengan waktu mistagogi dalam proses katekumenat.[42]
36. Di sepanjang proses evangelisasi dilaksanakan pelayanan Sabda Allah, supaya warta Injil menjangkau semua orang. Pelaksanaan tugas atau pelayanan Sabda Allah (bdk. Kis 6:4) meneruskan Wahyu: sesungguhnya Allah, yang berbicara “melalui manusia dan dengan cara manusiawi” (DV 12), dilayani oleh kata dari Gereja. Melalui Gereja Roh Kudus menjangkau seluruh umat manusia; Roh Kudus adalah Dia yang melalui-Nya “suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia” (DV 8).
4. Evangelisasi di dunia masa kini
Tahap baru evangelisasi
38. Gereja menghadapi suatu “tahap baru evangelisasi”[44] sebab juga dalam perubahan abad ini Tuhan yang bangkit terus membuat segala sesuatu baru (bdk. Kis 21: 5). Zaman kita kompleks adanya, dilalui oleh perubahan-perubahan mendalam dan, di dalam Gereja-Gereja bertradisi kuno, sering ditandai dengan fenomena pemisahan dari pengalaman iman dan pengalaman gerejawi. Perjalanan gerejawi sendiri ditandai dengan kesulitan-kesulitan dan kebutuhan-kebutuhan akan pembaruan spiritual, moral, dan pastoral. Meskipun demikian, Roh Kudus terus membangkitkan dalam hati manusia rasa haus akan Allah dan, dalam Gereja, suatu semangat baru, metode-metode baru, ekspresi-ekspresi baru untuk pewartaan kabar baik tentang Yesus Kristus.
39. Roh Kudus adalah jiwa dari Gereja yang mengevangelisasi. Oleh karena itu, panggilan kepada evangelisasi baru[45] tidak bersesuaian baik dengan dimensi temporal, maupun dengan menjadikan seluruh momen proses evangelisasi lebih terbuka kepada tindakan pembaruan Roh dari Yang Bangkit. Tantangan-tantangan yang ditimbulkan zaman baru bagi Gereja dapat dihadapi pertama-tama dengan suatu dinamisme pembaruan; dan, sama halnya, dinamisme ini menjadi mungkin dengan mempertahankan kesetiaan yang kuat kepada Roh Kudus; “Tak ada kebebasan lebih besar daripada membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus, dengan melepaskan usaha untuk merencanakan dan mengontrol segalanya dengan sangat terperinci dan sebaliknya membiarkan-Nya menerangi, mem-bimbing dan mengarahkan kita, membawa kita ke mana pun dikehendaki-Nya. Roh Kudus mengetahui dengan baik apa yang diperlukan di setiap waktu dan di setiap saat.”[46]
40. Secara khusus, spiritualitas evangelisasi baru sekarang dilaksanakan dalam sebuah pertobatan pastoral, yang melaluinya Gereja didorong untuk menyatakan diri ke luar, menurut dinamisme yang melintasi seluruh Wahyu, dan menempatkan dirinya dalam status misi tetap.[47] Dorongan misioner ini juga mengarah kepada satu pembaruan struktur dan dinamika gerejawi, supaya semua menjadi lebih misioner, yakni mampu menghidupkan dengan keberanian dan kreativitas, baik panorama budaya dan religius maupun cakrawala pribadi setiap orang. Setiap orang yang dibaptis, sebagai “murid misioner”[48] adalah subjek aktif dari misi gerejawi ini.
Evangelisasi budaya dan inkulturasi iman
42. Untuk melayani Wahyu, Gereja dipanggil untuk memandang sejarah dengan mata yang sama dari Allah untuk mengenali tindakan Roh Kudus, yang, dengan bertiup ke mana Dia mau (bdk. Yoh 3: 8), “menunjukkan dalam pengalaman manusiawi yang universal, meskipun banyak kontradiksinya, tanda-tanda kehadiran-Nya, yang membantu murid-murid Kristus yang sama untuk mengerti secara lebih mendasar pesan yang mereka bawa.”[54] Dengan demikian, memungkinkan Gereja mengenali tanda-tanda zaman (bdk. GS 4) di dalam hati setiap orang dan setiap budaya, di dalam semua yang sungguh manusiawi dan mengembang-kannya. “Meskipun dengan melaksanakan discernment yang sulit dan teliti, untuk mengumpulkan “tanda-tanda yang benar kehadiran atau rencana Allah” (GS 11), Gereja menyadari bahwa bukan hanya dia yang telah memberi, tetapi juga “menerima dari sejarah dan dari perkembangan umat manusia” (GS 44).”[55]
43. Mengevangelisasi tidak berarti menduduki satu wilayah, tetapi meningkatkan proses-proses rohani dalam kehidupan orang-orang supaya iman berakar dan bermakna. Evangelisasi budaya menuntut untuk menjangkau inti budaya itu, di mana muncul tema-tema dan paradigma-paradigma baru, dengan menjangkau inti terdalam individu-individu dan masyarakat, untuk menerangi mereka dari dalam dengan cahaya Injil. “Adalah keharusan mengevangelisasi budaya-budaya untuk meng-inkulturasi Injil. Di negara-negara dengan tradisi Katolik, hal ini berarti mendorong, mengembangkan dan memperkuat kekayaan yang sudah ada. Di negara-negara dengan tradisi agama lain, atau negara-negara yang sungguh sekuler, hal ini berarti mendorong proses-proses baru untuk mengevangelisasi budaya, meskipun proses ini membutuhkan perencanaan jangka panjang.”[56]
44. Hubungan antara Injil dan kebudayaan selalu menantang kehidupan Gereja. Tugasnya adalah menjaga dengan setia warisan iman, namun pada saat yang sama “perlulah bahwa ajaran yang pasti dan tak berubah ini, yang kepadanya harus diberikan persetujuan yang setia, hendaknya diperdalam dan diwartakan menurut tuntutan zaman kita.”[57] Dalam situasi aktual, yang ditandai dengan kesenjangan besar antara iman dan budaya, sangat mendesak untuk memikirkan kembali karya evangelisasi dengan kategori dan bahasa baru yang menekankan dimensi misioner.
45. Setiap budaya mempunyai kekhasannya sendiri, tetapi sekarang banyak ekspresi budaya tersebar dengan fenomena globalisasi. Hal ini diperkuat oleh media massa dan pergerakan orang-orang. “Transformasi sosial yang telah kita saksikan pada beberapa dasawarsa terakhir mempunyai penyebab yang kompleks, yang telah berakar jauh ke masa lalu dan telah mengubah secara mendalam persepsi tentang dunia kita. Pikirkan kemajuan dahsyat ilmu pengetahuan dan teknologi, luasnya kemungkinan hidup dan ruang kebebasan individu, perubahan mendalam di bidang ekonomi, proses pembauran suku dan budaya yang disebabkan oleh fenomena migrasi besar-besaran, tumbuhnya saling ketergantungan di antara bangsa-bangsa.”[58]
46. Meskipun ada berbagai peluang yang mungkin terbentang dalam skenario global sekarang, kita tidak boleh tidak memperhitungkan ambiguitas dan seringkali juga kesulitan-kesulitan yang menyertai pe-rubahan-perubahan yang sedang terjadi. Seiring dengan kesenjangan sosial yang mengkhawatirkan yang seringkali mengakibatkan ketegangan-ketegangan semesta yang mengguncangkan, cakrawala pemaknaan pengalaman manusia itu sendiri sedang mengalami perubahan mendalam. “Dalam budaya yang dominan dewasa ini, prioritas diberikan kepada hal yang lahiriah, langsung, terlihat, cepat, dangkal dan sementara.”[59] Sekarang peran sentral dipercayakan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, seakan-akan hanya keduanya yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam. Beberapa proses formatif diatur berdasarkan alasan-alasan itu, sehingga merugikan suatu pembinaan menyeluruh, yang memberikan alasan bagi aspirasi jiwa manusia yang paling autentik. Sedang berlangsung satu revolusi antropologi yang benar, yang berdampak juga pada pengalaman religius dan yang sangat menantang kehidupan gerejawi.
47. Dalam pembentukan konteks budaya ini, tidak dapat disangkallah peran yang dimainkan oleh media komunikasi massa, yang telah mendefinisikan kembali hubungan manusiawi dasariah, yang melampaui tujuan-tujuan yang berkaitan erat dengan tuntutan-tuntutan komunikasi. “Teknologi baru tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi sedang membuat suatu perubahan budaya yang luas. Sedang berkembang suatu cara baru untuk memahami dan berpikir, dengan kesempatan-kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk menjalin hubungan-hubungan dan membangun komunikasi.”[60] Maka, perubahan menyentuh lingkup identitas dan kebebasan pribadi, demikian juga kemampuan-kemampuan kognitif dan sistem pemahaman. Perubahan itu tentu saja juga mempengaruhi cara-cara relasi dan akhirnya mengubah pendekatan terhadap pengalaman iman. Oleh karena itu, bagi Gereja “revolusi dalam sarana-sarana komuni-kasi dan informasi merupakan sebuah tantangan besar dan sangat menarik, yang menuntut energi segar dan imajinasi baru untuk mewartakan kepada orang lain keindahan Allah.”[61]
Katekese untuk melayani evangelisasi baru
48. Dalam konteks pewartaan baru tentang Injil dalam situasi budaya kontemporer yang berubah, Gereja memperhatikan bahwa setiap kegiatannya memiliki makna intrinsik mengevangelisasi dan misioner. Karena “kegiatan misioner adalah paradigma dari karya Gereja”,[62] maka seharusnya katekese juga merupakan pelayanan pada evangelisasi baru dan, dari sini, katekese mengembangkan beberapa perhatian mendasar supaya terbuka jalan masuk pribadi bagi setiap orang kepada perjumpaan dengan Kristus. Dalam berbagai konteks gerejawi, meskipun dengan bahasa-bahasa yang berbeda, ditandai beberapa penekanan katekese, kesaksian dari suatu perasaan bersama, di mana karya Tuhan dikenali.
Katekese dan "gerak keluar yang bersifat misioner"
49. Misi yang dipercayakan Yesus yang bangkit kepada Gereja-Nya hanyalah satu, tetapi dalam pelaksanaannya memiliki aneka segi, seturut orang-orang dan wilayah yang ditujunya. Missio ad gentes merupakan paradigma kegiatan pastoral Gereja; misi itu ditujukan bagi “orang-orang, kelompok-kelompok dan konteks-konteks sosio-budaya dimana Kristus dan Injil-Nya tidak dikenal, atau di mana komunitas-komunitas Kristen belum cukup matang untuk dapat mewujudkan iman mereka di dalam lingkungan mereka sendiri dan memberitakannya kepada kelompok-kelompok yang lain.”[63] Berdasarkan paradigma ini, sekarang Gereja dipanggil untuk menempatkan dirinya dalam status misi tetap di seluruh dunia dan mengubah setiap kegiatannya dalam perspektif misioner.
50. Dalam kesadaran baru akan panggilannya, Gereja juga memikirkan ulang katekese sebagai karya misionernya ke luar. Karena alasan ini, Gereja akan bersedia untuk mencari seruan-seruan kebenaran yang sudah ada dalam berbagai kegiatan manusia, dengan keyakinan bahwa Allah secara misterius bekerja di dalam hati manusia sebelum manusia dijangkau secara eksplisit oleh Injil. Dalam arti ini, Gereja akan mampu mendekatkan dirinya kepada orang-orang zaman kita, di sepanjang perjalanan mereka di mana mereka berada. Selain itu, katekese merupakan misi, dengan mendampingi orang-orang Kristiani untuk pendewasaan sikap iman dan menyadarkan mereka akan keberadaannya sebagai murid-murid misioner, yang dipanggil untuk mengambil bagian secara aktif dalam pewartaan Injil dan menghadirkan Kerajaan Allah di dunia: “Kedekatan Gereja dengan Yesus adalah bagian dari suatu perjalanan bersama, dan ‘persekutuan dan perutusan saling terkait secara mendalam’.”[64]
Katekese dalam ungkapan kerahiman
51. Misteri iman Kristiani menemukan sintesisnya dalam belas kasihan, yang telah tampak dalam Yesus dari Nazaret. Belas kasihan, pusat Pewahyuan Yesus Kristus, menyatakan misteri Trinitas itu sendiri. Belas kasihan adalah cita-cita hidup Injili, kriteria sejati kredibilitas iman, struktur terdalam hidup gerejawi. Gereja dipanggil untuk mewartakan kebenarannya yang pertama yang adalah cinta kasih Kristus.[65] Semakin dipahami bahwa tidak ada pewartaan iman jika hal itu bukan merupakan tanda belas kasihan Allah. Praktik belas kasihan sudah merupakan katekese yang autentik; katekese dalam tindakan, kesaksian penuh arti bagi orang-orang beriman dan orang-orang tidak beriman, perwujudan hubungan antara ortodoksi (ajaran) dan ortopraksi (praktik): “Evangelisasi baru hanya bisa menggunakan bahasa belas kasihan, yang terdiri dari gestur dan sikap-sikap, bahkan sebelum kata-kata.”[66]
52. Di samping itu, katekese dapat dipandang sebagai suatu realisasi karya belas kasih rohani yang “mengajarkan kepada siapa yang tidak tahu.” Sesungguhnya, kegiatan katekese menawarkan kemungkinan untuk keluar dari ketidaktahuan yang lebih besar, yang menghalangi orang-orang untuk mengenal identitas dan panggilan mereka sendiri. Maka, dalam De catechizandis rudibus (Tentang berkatekese bagi yang belum berkembang), karya kristiani pertama tentang pedagogi katekese, Santo Agustinus menegaskan bahwa katekese menjadi suatu “kesempatan untuk karya belas kasihan” sejauh memuaskan “dengan Sabda Allah akal budi mereka yang lapar akan Sabda itu.”[67] Bagi Uskup yang kudus ini, seluruh kegiatan kateketis disokong oleh belas kasihan yang dimiliki Allah dalam Kristus terhadap penderitaan manusia. Di samping itu, jika belas kasihan menjadi inti Wahyu, itu juga akan menjadi syarat pewartaan dan gaya pedagoginya. Akhirnya, katekese akan mendidik orang-orang untuk “murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36), baik dengan mengembangkan pemahaman dan praktik karya-karya belas kasihan rohani dan jasmani, maupun dengan mengajak untuk mencari karya-karya baru, yang menjawab kebutuhan-kebutuhan saat ini.
Katekese sebagai "laboratorium" dialog
53. Di sekolah dialog keselamatan yang mengagumkan yang adalah Wahyu, Gereja semakin memahami dirinya sebagai panggilan untuk dialog dengan orang-orang pada zamannya. “Gereja harus berdialog dengan dunia tempat ia hidup. Gereja menjadi sabda; Gereja menjadi pesan; Gereja menjadi percakapan.”[68] Panggilan ini, yang mempunyai akarnya dalam misteri Allah yang dalam Yesus masuk ke dalam dialog intim dengan manusia, justru mengambil bentuk dari dialog ini, dengan mengambil ciri-ciri khasnya. Dialog itu adalah inisiatif yang bebas dan cuma-cuma, yang bertolak dari cinta kasih, tidak diukur berdasarkan kualitas teman bicara, tidak wajib; dialog itu untuk semua orang tanpa pembedaan, bertumbuh secara bertahap.[69] Pada masa kini, dialog ini – dengan masyarakat, dengan budaya-budaya dan ilmu-ilmu pengetahuan, dengan setiap orang beriman lain – dituntut secara istimewa sebagai sumbangan berharga untuk perdamaian.[70]
54. Pada zaman evangelisasi baru, Gereja berharap agar katekese juga menekankan gaya dialog, supaya lebih mudah menampakkan wajah Sang Putra yang, bersama dengan perempuan Samaria di sumur itu, berhenti untuk berdialog dengan setiap orang untuk membimbingnya dengan lemah lembut kepada penemuan air hidup (bdk. Yoh 4:5-42). Dalam arti ini, katekese gerejawi merupakan “laboratorium” dialog yang autentik, sebab, di kedalaman setiap pribadi, bertemulah daya hidup dan kompleksitas, keinginan dan pencarian, keterbatasan dan kadang-kadang bahkan kesalahan-kesalahan dari masyarakat dan budaya-budaya dunia kontem-porer. Juga untuk katekese, “ini adalah soal mencapai dialog pastoral tanpa relativisme, yang tidak menegosiasikan identitas kristiani itu sendiri, tetapi mau menjangkau hati orang lain, hati semua mereka yang berbeda dari kita, dan di sana menaburkan Injil.”[71]
Bab II
Identitas Katekese
1. Sifat dasar katekese
55. Katekese merupakan tindakan yang bersifat gerejawi, memancar dari amanat misioner Tuhan (bdk. Mat 28:19-20) dan dimaksudkan, sebagai-mana disebutkan namanya,[72] untuk membuat pewartaan Paskah-Nya terus menerus bergema di dalam hati setiap orang, supaya hidupnya diubah. Katekese, realitas dinamis dan kompleks untuk pelayanan Sabda Allah, mendampingi, mendidik dan membentuk dalam iman dan kepada iman, memperkenalkan perayaan Misteri, menerangi dan menafsirkan hidup dan sejarah manusia. Dengan mengintegrasikan secara harmonis semua karakteristik ini, katekese mengungkapkan kekayaan hakikatnya esensinya dan menawarkan sumbangan khususnya kepada misi pastoral Gereja.
56. Katekese, tahap istimewa dalam proses evangelisasi, pada umumnya ditujukan kepada orang-orang yang telah menerima pewartaan pertama dan menggerakkan di dalam hati mereka proses-proses inisiasi, per-tumbuhan dan pendewasaan iman. Namun benar bahwa, jika perbedaan konseptual antara pra-evangelisasi, pewartaan pertama, katekese dan pembinaan lanjut masih bermanfaat, dalam konteks aktual tidak mungkin lagi menonjolkan perbedaan itu. Sesungguhnya, di satu sisi, mereka yang sekarang meminta atau telah menerima rahmat sakramen-sakramen sering tidak mempunyai pengalaman langsung tentang iman atau tidak mengenal secara dekat kekuatan dan kehangatannya; di sisi lain, suatu pewartaan formal yang terbatas pada penjelasan sederhana tentang konsep-konsep iman tidak memungkinkan untuk mendalami iman itu sendiri, yang justru merupakan cakrawala hidup baru yang terbuka lebar, yang dimulai dari perjumpaan dengan Tuhan Yesus.
Hubungan erat antara kerygma dan katekese
57. Tuntutan ini, yang harus dijawab oleh Gereja pada masa sekarang, menyoroti kebutuhan akan suatu katekese yang secara koheren dapat didefinisikan sebagai kerygmatik, yakni katekese yang merupakan “pendalaman kerygma, yang mendarah daging semakin mendalam dan terus-menerus menerangi karya katekese.”[73] Katekese, yang tidak dapat selalu dibedakan dari pewartaan pertama, dipangggil untuk pertama-tama menjadi suatu pewartaan iman dan tidak boleh bahwa tugas untuk membantu menemukan keindahan Injil dipercayakan kepada kegiatan-kegiatan gerejawi lain. Penting bahwa justru melalui katekese, setiap orang dapat menemukan bahwa pewartaan itu layak untuk dipercaya. Dengan demikian, katekese tidak lagi terbatas sekadar menjadi suatu momen untuk pertumbuhan iman yang lebih harmonis, tetapi membantu melahirkan iman itu sendiri dan memungkinkan untuk menemukan keagungan dan kredibilitasnya. Maka, pewartaan tidak dapat lagi dipertimbangkan sebagai tahap pertama iman semata, persiapan katekese, tetapi sebagai dimensi konstitutif dari setiap momen katekese.
58. Kerygma, “api Roh diberikan dalam bentuk lidah-lidah dan membimbing kita untuk percaya akan Yesus Kristus yang, dengan wafat dan kebangkitan-Nya, mewahyukan dan menyampaikan kepada kita belas kasih Bapa yang tanpa batas”[74], serentak merupakan suatu tindakan pewartaan dan isi pewartaan itu sendiri, yang menyingkapkan dan menghadirkan Injil[75]. Dalam kerygma, subjek yang bertindak adalah Tuhan Yesus yang menyatakan Diri-Nya dalam kesaksian dari orang yang mewartakan-Nya; oleh karena itu, hidup seorang saksi yang telah mengalami keselamatan menjadi hal yang menyentuh dan menggerakkan teman bicara. Dalam Perjanjian Baru ada berbagai rumusan tentang kerygma[76] yang menjawab berbagai pengertian tentang keselamatan, yang menggemakan dengan penekanan khusus pada beragam budaya dan bagi orang-orang yang berbeda-beda. Dengan cara yang sama, Gereja harus dapat mewujudkan kerygma bagi kebutuhan-kebutuhan orang-orang sezamannya, dengan menyokong dan meneguhkan bahwa dari bibir-bibir para katekis (bdk. Rom 10:8-10), dari kepenuhan hati mereka (bdk. Mat 12:34), dalam sebuah dinamika timbal balik untuk mendengarkan dan berdialog (bdk. Luk 24:13-35), berkembanglah pewartaan-pewartaan yang dapat dipercaya, pengakuan-pengakuan iman yang hidup, madah-madah Kristologis yang baru untuk menceritakan kepada setiap orang kabar baik: “Yesus Kristus mencintaimu; Ia menyerahkan hidup-Nya untuk menyelamatkanmu; dan sekarang Ia tinggal di sampingmu setiap hari untuk menerangi, menguatkan dan membebaskanmu”.[77]
59. Dari sentralitas kerygma ini untuk pewartaan, muncul juga beberapa penekanan untuk katekese: “yang mengungkapkan kasih Allah yang menyelamatkan, yang mendahului setiap kewajiban moral dan agama di pihak kita; hendaknya tidak memaksakan kebenaran tetapi mengundang jawaban yang bebas; hendaknya ditandai dengan sukacita, pemberian dorongan, vitalitas dan keutuhan seimbang yang tidak akan mengerdilkan khotbah menjadi segelintir ajaran yang kadang-kadang lebih filosofis daripada injili.”[78] Unsur-unsur yang oleh katekese ingin dihargai sebagai gema kerygma adalah: karakter usulan; kualitas naratif, afektif dan eksistensial; dimensi kesaksian iman; sikap relasional; nuansa keselamatan. Sebenarnya, semua itu meminta Gereja yang dipanggil untuk menemukan lebih dahulu Injil yang diwartakannya: pewartaan baru Injil meminta Gereja untuk mendengarkan Injil secara baru, bersama dengan para teman bicaranya.
60. Karena “kerygma memiliki isi sosial yang jelas”[79], maka penting bahwa dimensi sosial evangelisasi dibuat jelas untuk memahami keterbukaannya terhadap seluruh eksistensi. Ini berarti bahwa keberhasilan katekese tampak bukan hanya melalui pewartaan langsung Paskah Tuhan, melainkan juga dengan menunjukkan visi baru tentang hidup, manusia, keadilan, kehidupan sosial, seluruh kosmos timbul dari iman, juga melalui perwujudan tanda-tanda nyata. Untuk ini, kehadiran cahaya yang dengannya Injil menerangi masyarakat bukanlah momen kedua yang secara kronologis berbeda dari pewartaan iman itu sendiri. Katekese adalah pewartaan iman yang, meskipun dalam proses awal, harus mencakup seluruh dimensi hidup manusia.
Katekumenat sebagai sumber inspirasi untuk katekese
61. Tuntutan untuk “tidak menganggap bahwa para pendengar kita memahami latar belakang sepenuhnya dari apa yang kita katakan, atau mampu menghubungkan apa yang kita sampaikan dengan inti terdalam Injil”[80] adalah alasan baik untuk menegaskan sifat kerygmatik katekese maupun untuk mempertimbangkan inspirasi katekumenalnya. Katekumenat adalah praktik gerejawi kuno, yang digiatkan kembali sesudah Konsili Vatikan II (bdk. SC 64-66; CD 14; AG 14), ditawarkan kepada orang-orang yang bertobat yang belum dibaptis. Maka, katekumenat memiliki tujuan eksplisit misioner dan diatur sebagai suatu keseluruhan yang terpadu dan bertahap untuk mengawali iman dan hidup Kristiani. Justru karena ciri misionernya, katekumenat juga dapat mengilhami katekese dari mereka yang meskipun telah menerima anugerah rahmat pembaptisan, tidak benar-benar merasakan kekayaannya:[81] dalam pengertian ini, dibicarakan tentang inspirasi katekumenal dari katekese atau katekumenat pasca-baptis atau katekese inisiasi ke dalam hidup Kristiani.[82] Inspirasi ini tidak melupakan bahwa para baptisan “sudah diantar masuk ke dalam Gereja dan sudah menjadi anak-anak Allah melalui Pembaptisan. Karena itu, dasar dari pertobatan mereka adalah Pembaptisan yang telah diterima, yang daya kekuatannya harus mereka kembangkan.”[83]
65. Katekese dalam perspektif kerygmatik dan misioner menuntut realisasi suatu pedagogi inisiasi yang diinspirasi oleh proses katekumenal, dengan menanggapi melalui kebijakan pastoral terhadap keragaman situasi. Dengan kata lain, menurut suatu pemahaman yang berkembang di berbagai Gereja, ini adalah tentang katekese inisiasi ke dalam hidup Kristiani. Katekese adalah satu perjalanan pedagogis yang ditawarkan dalam komunitas gerejawi yang membimbing orang beriman kepada perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus melalui Sabda Allah, kegiatan liturgis dan karitatif kasih, yang terintegrasi dengan semua dimensi orang itu, supaya ia bertumbuh dalam mentalitas iman dan menjadi saksi kehidupan baru di dunia.
2. Katekese dalam proses evangelisasi
Pewartaan pertama dan katekese
66. Dengan pewartaan pertama, Gereja mewartakan Injil dan mem-bangkitkan pertobatan. Dalam praksis pastoral biasa, momen proses evangelisasi ini fundamental. Dalam misi ad gentes, pewartaan pertama dilaksanakan dalam periode yang disebut pra-katekumenat. Dalam saat evangelisasi baru sekarang, sebagaimana telah disampaikan, lebih sering dibicarakan tentang katekese kerygmatik.
67. Dalam konteks misi ad gentes, pewartaan pertama harus dipahami terutama dalam arti kronologis. Sesungguhnya, “menyatakan Yesus Kristus dan Injil-Nya kepada mereka yang belum mengenal-Nya, sejak pagi Pentakosta, merupakan program pokok yang oleh Gereja dianggap diterimanya dari Pendirinya.” Gereja melaksanakan pewartaan pertama “melalui suatu kegiatan yang kompleks dan beraneka macam, yang kadang-kadang disebut dengan istilah pre-evangelisasi. Tapi sebenarnya kegiatan tadi sudah merupakan evangelisasi dalam arti yang sebenarnya, meskipun baru dalam tahap awal dan belum lengkap.”[91] Katekese mengembangkan dan mematangkan momen awal ini. Karena itu, pewartaan pertama dan katekese, meskipun berbeda, namun saling melengkapi.
68. Dalam banyak konteks gerejawi, pewartaan pertama juga mempunyai pengertian yang lain. “Pewartaan pertama ini disebut “pertama” bukan karena ada pada awal dan kemudian dapat dilupakan atau digantikan oleh hal-hal lain yang lebih penting. Pewartaan ini pertama dalam arti kualitatif karena merupakan pewartaan utama, yang harus kita dengar lagi dan lagi dengan berbagai cara, yang harus kita wartakan dengan satu atau lain cara melalui proses katekese, di setiap tingkat dan setiap saat.”[92] Pewartaan pertama, tugas dari setiap orang Kristiani, didasarkan pada perintah pergilah (Mrk 16:15; Mat 28:19) yang ditujukan Yesus kepada murid-murid-Nya dan berarti pergi keluar, bergegas, saling mendampingi, dengan demikian menjadi murid misioner sejati. Maka, pewartaan pertama tidak dapat dipersempit sebagai pengajaran suatu pesan, tetapi terutama berbagi kehidupan yang berasal dari Allah dan menyampaikan kegembiraan karena telah berjumpa dengan Tuhan. “Pada permulaan hidup Kristiani bukanlah keputusan etis atau suatu gagasan besar, melainkan pertemuan dengan suatu peristiwa, seorang Pribadi, yang memberi kepada hidup kita suatu wawasan baru dan dengan demikian itu arah yang menentukan.”[93]
Katekese inisiasi Kristen
69. Katekese inisisiasi Kristiani menghubungkan tindakan misioner, yang memanggil kepada iman, kepada tindakan pastoral yang memeliharanya secara terus-menerus. Katekese merupakan bagian utuh dari inisiasi kristiani dan berhubungan erat dengan sakramen-sakramen inisiasi, khususnya dengan Pembaptisan. “Garis yang menghubungkan katekese dan Permandian adalah pengakuan iman yang benar, yang serentak menjadi unsur inheren dari sakramen ini dan tujuan katekese.”[94] “Perutusan untuk membaptis – dan demikian perutusan sakramental – sudah termaktub dalam perutusan untuk mewartakan Injil”[95]; karena itu misi sakramental tidak dapat dipisahkan dari proses evangelisasi. Pada kenyataannya, proses ritual inisiasi Kristiani merupakan bentuk sempurna dari doktrin yang tidak hanya dilaksanakan dalam Gereja, tetapi membangun Gereja. Dalam inisiasi Kristiani hendaknya tidak terbatas penjelasan, tetapi Injil perlu terapkan.
70. Sakramen-sakramen inisiasi Kristiani merupakan suatu kesatuan karena “meletakkan dasar-dasar hidup Kristiani: kaum beriman, yang dilahirkan kembali dalam Pembaptisan, dikuatkan dengan Sakramen Penguatan dan diberi makan dengan Sakramen Ekaristi.”[96] Sesungguhnya, perlu ditegaskan kembali, bahwa “kita dibaptis dan diberi Krisma selalu diarahkan kepada Ekaristi. Oleh karena itu, praktik pastoral kita hendaknya mencerminkan pemahaman yang lebih utuh tentang proses inisiasi Kristiani.”[97] Maka, tepatlah bahwa urutan teologis sakramen-sakramen – Pembaptisan, Krisma, Ekaristi – dievaluasi dan dipertimbangkan untuk “memeriksa praksis mana yang lebih memampukan umat beriman untuk menempatkan Sakramen Ekaristi sebagai pusat, dan sebagai tujuan dari seluruh proses inisiasi.”[98] Diharapkan bahwa di mana dibuat eksperimen-eksperimen, hal ini hendaknya tidak terpisah, tetapi merupakan buah refleksi seluruh Konferensi para Uskup yang menegaskan pilihan-pilihan operasional untuk seluruh wilayah yang menjadi wewenangnya.
72. Karakteristik katekese inisiasi diekspresikan sebagai contoh dalam sintesis iman yang telah diuraikan oleh Kitab Suci (sebagai tiga serangkai iman, pengharapan dan cinta kasih) dan dalam Tradisi (iman yang diyakini, dirayakan, dihidupi dan didoakan). Sintesis ini merupakan cara untuk memahami secara selaras kehidupan dan sejarah, agar tidak menyatakan pandangan-pandangan teologis yang menarik, tetapi selalu parsial; namun mewartakan iman Gereja itu sendiri.
Katekese dan pembinaan berkelanjutkan dalam kehidupan kristiani
73. Katekese disajikan untuk membantu jawaban iman seorang beriman, yang memampukannya untuk menghayati hidup Kristiani dalam keadaan pertobatan. Pada dasarnya, ini adalah perkara mendorong internalisasi pesan Kristiani, melalui dinamisme katekese yang dalam kemajuannya tahu mengintegrasikan sikap mendengarkan, discernment dan pemurnian. Suatu kegiatan katekese tidak terbatas pada orang beriman secara individu, tetapi ditujukan untuk seluruh komunitas Kristiani untuk mendukung komitmen misioner evangelisasi. Katekese juga meneguhkan masuknya individu-individu dan komunitas ke dalam konteks sosial dan budaya, dengan menolong penafsiran sejarah kristiani dan dengan meningkatkan komitmen sosial orang-orang Kristiani.
3. Tujuan katekese
75. Di pusat setiap proses katekese ada perjumpaan yang menghidupkan dengan Kristus. “Tujuan akhir katekese adalah menempatkan seseorang bukan hanya dalam hubungan, melainkan dalam persekutuan, dalam keintiman dengan Yesus Kristus: Dia sendiri dapat mengantar kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh dan dapat membuat kita mengambil bagian dalam kehidupanTritunggal kudus.”[101] Persekutuan dengan Kristus adalah pusat hidup Kristiani dan, oleh karena itu, menjadi pusat kegiatan katekese. Katekese bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang semakin mengenal Yesus Kristus dan Injil keselamatan-Nya yang membebaskan; pribadi-pribadi yang menghayati perjumpaan yang mendalam dengan Dia dan yang memilih cara hidup-Nya dan perasaan-perasaan-Nya (bdk. Flp 2:5), dengan berusaha untuk mewujudkan, dalam situasi-situasi sejarah di mana mereka hidup, misi Kristus, yakni mewartakan kerajaan Allah.
76. Perjumpaan dengan Kristus melibatkan pribadi seutuhnya: hati, pikiran, perasaan. Bukan hanya berkenaan dengan pikiran, melainkan juga badan dan terlebih hati. Dalam pengertian ini, katekese, yang membantu internalisasi iman, dan dengan itu memberikan suatu sumbangan yang tak tergantikan kepada perjumpaan dengan Kristus, tidak sendirian saja dalam membantu pencapaian tujuan ini. Untuk mencapai tujuan ini, katekese perlu bekerja sama dengan dimensi-dimensi kehidupan iman lainnya: pengalaman liturgis-sakramental, relasi-relasi afektif, hidup berkomunitas dan pelayanan kepada saudara-saudara. Dengan demikian, sesungguhnya terjadi hal yang mendasar untuk kelahiran manusia baru (bdk. Ef 4:24) dan untuk perubahan rohani pribadi (bdk. Rm 12:2).
77. Katekese mematangkan pertobatan awal dan membantu orang-orang Kristiani memaknai sepenuhnya keberadaan mereka, dengan mendidiknya menuju mentalitas iman yang selaras dengan Injil,[102] hingga secara bertahap merasa, berpikir dan bertindak seperti Kristus. Dalam perjalanan ini, di mana subjek sendiri secara tegas ambil bagian dalam kepribadiannya sendiri, kemampuan untuk menerima Injil disesuaikan dengan situasi eksistensial dan tahap pertumbuhan pribadi.[103] Namun, ditandaskan kembali bahwa “katekese bagi orang dewasa, karena ditujukan kepada orang-orang yang mampu mengikat diri pada berkomitmen dengan penuh tanggung jawab, harus dipandang sebagai bentuk katekese yang utama. Bentuk-bentuk lain, yang tentu saja diperlukan, diarahkan kepadanya. Hal ini berarti bahwa katekese untuk kelompok usia yang lain harus mengambilnya sebagai titik acuan.”[104]
78. Persekutuan dengan Kristus melibatkan pengakuan iman kepada satu-satunya Allah: Bapa, Putera dan Roh Kudus. “Pengakuan iman yang melekat pada Permandian sungguh-sungguh bersifat Tritunggal. Gereja mempermandikan “dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Mat 28:19), Allah Tritunggal yang kepada-Nya orang-orang Kristen menyerahkan hidupnya. […] Pentinglah bahwa katekese menyatukan pengakuan iman akan Kristus, “Yesuslah Tuhan”, dengan pengakuan akan Tritunggal, “Aku percaya akan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus”, sedemikian rupa sehingga tidak ada dua cara berbeda untuk mengungkapkan iman. Dia yang berbalik kepada Yesus Kristus dan mengakui-Nya sebagai Tuhan melalui pemakluman pertama Injil, memulai suatu proses, yang dengan bantuan katekese, membawa orang kepada pengakuan yang nyata akan Tritunggal.”[105] Pengakuan tersebut tentu merupakan tindakan pribadi setiap individu, tetapi mencapai kepenuhannya hanya jika dibuat dalam Gereja.
4. Tugas katekese
79. Untuk mencapai tujuannya, katekese mengusahakan beberapa tugas, yang saling berhubungan, yang diinspirasi oleh cara Yesus mendidik para murid-Nya: Dia membuat mereka mengenal misteri-misteri Kerajaan, mengajar mereka berdoa, menawarkan sikap-sikap Injili, mengantar mereka untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan di antara mereka dan untuk menjalankan perutusan. Pedagogi Yesus ini kemudian telah mem-bentuk kehidupan komunitas Kristiani: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Sesungguhnya, iman perlu diakui, dirayakan, dihidupi dan didoakan. Untuk membentuk suatu kehidupan Kristiani yang utuh, katekese mengupayakan tugas-tugas berikut: mengantar kepada pengenalan iman; memulai perayaan Misteri; membina hidup di dalam Kristus; mengajar berdoa; dan memperkenalkan hidup berkomunitas.
Membawa pada pengetahuan iman
80. Katekese memiliki tugas meningkatkan pengenalan dan pendalaman pesan Kristiani. Dengan cara ini, katekese membantu mengenal kebenaran-kebenaran iman Kristiani, membimbing untuk pengenalan akan Kitab Suci dan Tradisi Gereja yang hidup, Credo (Aku Percaya) dan penciptaan visi doktrinal yang koheren, yang menjadi acuan dalam hidup. Pentinglah untuk tidak meremehkan dimensi kognitif tentang iman dan berhati-hati untuk mengintegrasikannya ke dalam proses pendidikan untuk pendewasaan Kristiani yang utuh. Sesungguhnya, katekese yang bertentangan dengan isi dan pengalaman iman akan terbukti gagal. Katekese tanpa pengalaman iman, akan membuat orang kehilangan perjumpaan sejati dengan Allah dan saudara-saudari; katekese tanpa isi akan menghambat pematangan iman, yang mampu membawa kepada makna Gereja dan untuk menghayati perjumpaan dan konfrontasi dengan orang-orang lain.
Memasukkan dalam perayaan Misteri iman
81. Katekese, selain membantu pengenalan yang hidup akan misteri Kristus, juga bertugas membantu pemahaman dan pengalaman akan perayaan-perayaan liturgis. Melalui tugas ini, katekese membantu memahami pentingnya liturgi dalam hidup Gereja, memulai pengenalan akan sakramen-sakramen dan kehidupan sakramental, khususnya Sakramen Ekaristi, sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja. Sakramen-sakramen, yang dirayakan dalam liturgi, merupakan sarana khusus yang mengomunikasikan secara penuh Dia yang diwartakan oleh Gereja.
82. Katekese juga mendidik sikap-sikap yang dituntut oleh perayaan-perayaan Gereja: kegembiraan yang menunjukkan sifat pesta dari perayaan-perayaan, perasaan berkomunitas, mendengarkan Sabda Allah dengan penuh perhatian, doa yang penuh kepercayaan, pujian-pujian dan ungkapan syukur, kepekaan terhadap simbol-simbol dan tanda-tanda. Melalui partisipasi yang sadar dan aktif pada perayaan-perayaan liturgis, katekese mendidik pemahaman tentang tahun liturgis, guru sejati iman, dan arti hari Minggu, hari Tuhan dan dari komunitas Kristiani. Katekese juga membantu menghargai ungkapan-ungkapan iman dan kesalehan umat.
Membina kehidupan di dalam Kristus
83. Katekese bertugas menggemakan kembali dalam hati setiap orang Kristiani panggilan untuk menghayati hidup baru, selaras dengan martabat anak-anak Allah yang diterima dalam Pembaptisan dan dengan hidup Dia yang Bangkit yang disampaikan melalui sakramen-sakramen. Tugas ini tercakup dalam menunjukkan bahwa panggilan kepada kekudusan (bdk. LG 40)[106] yang sesuai dengan jawaban atas cara hidup sebagai anak, mampu mengarahkan kembali setiap situasi pada jalan kebenaran dan kegembiraan yang adalah Kristus. Dalam pengertian ini, katekese mendidik untuk mengikuti Tuhan, menurut perintah-perintah yang dijelaskan dalam Sabda Bahagia (Mat 5:1-12), yang menunjukkan hidup-Nya sendiri. “Yesus telah menjelaskan dengan seluruh kesederhanaan apa itu menjadi kudus, dan Ia membuat itu ketika meninggalkan untuk kita Sabda Bahagia (bdk. Mat 5:3-12; Luk 6:20-23). Sabda Bahagia itu menjadi sebagai kartu identitas orang Kristiani.”[107]
84. Demikian juga, tugas katekese untuk mendidik cara hidup yang baik menurut Injil, mencakup pendidikan Kristiani tentang kesadaran moral, agar dalam setiap situasi orang beriman dapat mendengarkan kehendak Bapa guna untuk membuat discernment, di bawah bimbingan Roh dan dalam keselarasan dengan hukum Kristus (bdk. Gal 6:2), tentang kejahatan yang harus dihindari dan kebaikan yang harus dilakukan, dengan mengamalkannya melalui cinta kasih yang aktif. Untuk ini, pentinglah mengajarkan untuk mengambil dari perintah cinta kasih yang dikembang-kan dalam Dekalog (bdk. Kel 20:1-17; Ul 5:6-21) dan dari kebajikan, manusiawi dan kristiani, petunjuk-petunjuk untuk bertindak sebagai orang-orang Kristiani dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan tidak melupakan bahwa Tuhan telah datang untuk memberikan hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh 10:10), katekese hendaknya mampu menunjukkan “kebaikan yang patut diinginkan, usulan-usulan kehidupan, kematangan, pemenuhan diri dan produktivitas” untuk menjadikan kaum beriman “utusan-utusan penuh sukacita dari usul-usul yang menantang, penjaga-penjaga kebaikan dan keindahan yang memancar dalam kehidupan yang setia pada Injil.”[108]
85. Selain itu, hendaknya diperhatikan bahwa jawaban kepada panggilan umum Kristiani dilaksanakan dengan cara mewujud. Setiap anak Allah, menurut ukuran kebebasannya, dengan mendengarkan Allah dan mengenal karisma-karisma yang dipercayakan oleh Allah kepadanya, bertanggung jawab untuk menemukan perannya sendiri dalam rencana keselamatan. Oleh karenanya, pendidikan moral dalam katekese senantiasa dilaksanakan menurut latar belakang panggilan, dengan memandang terutama hidup sebagai panggilan pertama dan mendasar. Setiap bentuk katekese akan didedikasikan untuk menjelaskan martabat panggilan Kristiani, untuk mendampingi discernment atas panggilan khusus, untuk membantu memperteguh status hidupnya sendiri. Menjadi tanggung jawab kegiatan katekese untuk menunjukkan bahwa iman, yang diterjemahkan ke dalam hidup yang berkomitmen untuk mencintai seperti Kristus, adalah jalan untuk membantu kedatangan Kerajaan Allah di dunia dan berharap akan janji kebahagiaan kekal.
Mengajar berdoa
86. Doa terutama merupakan anugerah Allah; sesungguhnya di dalam diri setiap orang yang dibaptis “Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan” (Rm 8: 26). Katekese bertugas untuk membina pada doa dan dalam doa, dengan mengembangkan dimensi kontemplatif pengalaman Kristiani. Perlulah mendidik untuk berdoa bersama Yesus Kristus dan seperti Dia: “Belajar berdoa bersama Yesus adalah berdoa dengan perasaan yang sama dengan yang Dia tujukan kepada Bapa: sembah sujud, pujian, ucapan syukur, kepercayaan seorang anak, doa permohonan dan kekaguman akan kemuliaan-Nya. Segala perasaan ini tercermin dalam doa Bapa Kami, doa yang diajarkan Yesus kepada para murid-Nya, dan yang menjadi model dari segala doa Kristiani. […] Bila katekese diresapi oleh suasana doa, pembelajaran seluruh hidup Kristiani mencapai kedalamannya.”[109]
87. Tugas ini melibatkan pendidikan, baik untuk doa pribadi maupun doa liturgis dan komunitas, dan mulai dengan bentuk-bentuk doa yang tetap: doa berkat dan sembah sujud, permohonan, doa bagi orang lain, ucapan syukur dan pujian.[110] Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, ada beberapa cara yang digabungkan: pembacaan Kitab Suci dalam suasana doa, khususnya melalui ibadat harian dan Lectio Divina; doa hati yang disebut Doa Yesus,[111] penghormatan kepada Santa Perawan Maria melalui praktik-praktik kesalehan seperti doa Rosario, doa-doa permohonan dan prosesi-prosesi, dan lain-lain.
Menghantarkan pada kehidupan berjemaat/berkomunitas
88. Iman diakui, dirayakan, diungkapkan dan dihayati terutama dalam komunitas: “Dimensi komunitas bukan hanya suatu “dekorasi” atau suatu “bingkai”, melainkan adalah bagian integral dari hidup kristiani, kesaksian dan evangelisasi.”[112] Hal itu diungkapkan dengan baik dalam prinsip klasik: “Idem velle atque idem nolle – menghendaki dan tidak menghendaki yang sama – itulah yang digariskan kaum kuno sebagai isi kasih: menjadi semakin mirip satu sama lain, yang membawa kepada kebersamaan kehendak dan pemikiran.”[113] Ini mungkin dengan menumbuhkan spiritualitas persekutuan. Spiritualitas persekutuan membuat cahaya Trinitas juga bersinar pada wajah saudara, dengan merasakannya dalam kesatuan mendalam dengan Tubuh mistik sebagai bagian dari dirinya sendiri; dengan berbagi suka dan dukanya untuk memahami keinginan-keinginannya; dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya; dengan menawarkan kepadanya persahabatan yang sejati dan mendalam. Memandang di dalam diri orang lain terutama hal-hal positif untuk menghargainya sebagai anugerah dari Allah membantu menolak godaan-godaan egoistis yang menimbulkan persaingan, karierisme, ketidakpercayaan dan kecemburuan.
89. Oleh karena itu, terkait pendidikan untuk hidup berkomunitas, katekese memiliki tugas untuk mengembangkan rasa menjadi bagian Gereja; mendidik rasa persekutuan gerejawi, dengan meningkatkan penerimaan Magisterium, persatuan dengan para Pastor, dialog persaudaraan; membina rasa tanggung jawab gerejawi bersama gerejawi, dengan menyumbang sebagai subjek-subjek aktif untuk pembangunan komunitas dan sebagai murid-murid misioner demi pertumbuhan komunitas.
5. Sumber-sumber katekese
90. Sumber-sumber yang digunakan katekese perlu dipertimbangkan dalam hubungan korelasi di antara mereka: yang satu terarah kepada yang lain, sementara semuanya berasal dari Sabda Allah, yang daripadanya semua sumber lain merupakan ungkapannya. Katekese dapat menekankan, sesuai dengan subjek dan konteks, salah satu dari sumber-sumber itu dibandingkan yang lainnya. Itu harus dilakukan secara seimbang dan tanpa mempraktekkan katekese-katekese dari satu sisi saja (misalnya, katekese yang hanya bersifat biblis atau liturgis saja atau hanya berdasarkan pengalaman saja …). Di antara sumber-sumber itu, Kitab Suci merupakan sumber tertinggi karena hubungannya yang khusus dengan Sabda Allah. Dalam pengertian tertentu, sumber-sumber dapat menjadi jalan katekese.
Sabda Allah dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci
91. Katekese menimba pesannya dari Sabda Allah, yang merupakan sumber utamanya. Karena itu, “penting bahwa Sabda yang diwahyukan secara radikal memperkaya katekese kita dan seluruh daya upaya kita untuk meneruskan iman.”[114] Kitab Suci, yang diilhami oleh Allah, menjangkau jiwa manusia lebih dalam dari perkataan lain apa pun. Sabda Allah tidak berakhir pada Kitab Suci, karena Sabda itu adalah realitas yang hidup, bekerja dan berdaya (bdk. Yes 55:10-11; Ibr 4:12-13). Allah berbicara dan Sabda-Nya dinyatakan dalam ciptaan (bdk. Kej 1:3 dst.; Mzm 33:6, 9; Keb 9:1) dan dalam sejarah. Pada hari-hari terakhir, “Dia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr 1:2). Putra Tunggal Bapa adalah Sabda Allah definitif, yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah, Dia adalah Allah dan telah memimpin seluruh ciptaan (bdk. Yoh 1:1 dan seterusnya) dan Dia telah menjadi manusia (bdk. Yoh 1:14) dengan lahir dari seorang perempuan (bdk. Gal 4:4) melalui kuasa Roh Kudus (bdk. Luk 1:35) supaya tinggal di antara milik kepunyaan-Nya (bdk. Yoh 1:14). Dengan kembali kepada Bapa (bdk. Kis 1:9), Dia membawa bersama dengan-Nya ciptaan yang ditebus oleh Dia, yang telah diciptakan di dalam Dia dan bagi Dia (bdk. Kol 1:18-20).
92. Gereja menghidupi misinya dalam penantian akan penyataan eskatologis Tuhan. “Penantian ini tidak pernah pasif, sebaliknya merupakan dorongan misioner untukmewartakan Sabda Allah yang menyembuhkan dan menebus setiap orang. Saat ini Yesus yang bangkit berkata kepada kita: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15).”[115] Sesungguhnya, “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom 10:17). Melalui khotbah dan katekese, Roh Kudus sendiri mengajar, dengan menciptakan perjumpaan dengan Sabda Allah, yang hidup dan berdaya (bdk. Ibr 4:12). Dalam jejak Tradisi, pemikiran dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja memiliki peran penting. Sebagai ungkapan pengalaman gerejawi dari masa lampau dan kelanjutan dinamis yang ada di antara pewartaan para murid pertama dan pewartaan kita[116], maka baiklah bahwa hidup dan karya-karya para Bapa Gereja mendapat tempat yang memadai di antara isi katekese.
Magisterium
93. Kristus telah memberikan amanat tetap kepada para Rasul dan pengganti-pengganti mereka untuk mewartakan Injil sampai ke ujung bumi, sambil menjanjikan kepada mereka bantuan Roh Kudus (bdk. Mat 28:20; Mrk 16:15; Yoh 20:21-22; Kis 1:8) yang telah menjadikan mereka guru-guru kemanusiaan dalam kaitan dengan keselamatan, dengan meneruskan Sabda Allah secara lisan (Tradisi) dan melalui tulisan (Kitab Suci). Magisterium memelihara, menafsirkan dan meneruskan warisan iman, yakni isi Wahyu. Pada dasarnya, seluruh umat Allah berkewajiban untuk menjaga dan menyebarkan warisan iman, yang menjadi tugas seluruh Gereja untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa. Namun, wewenang untuk mengajar secara resmi dan penuh wibawa dalam nama Yesus Kristus merupakan bagian dari kolegialitas para Uskup. Maka, Paus Roma dan Uskup-uskup dalam persatuan dengan Paus menjadi subjek-subjek Magisterium gerejawi. Mereka memiliki tanggung jawab utama untuk mengajar umat Allah tentang isi iman dan moral kristiani, dan memajukan pewartaan Injil ke seluruh dunia (bdk. LG 25).
94. Kebenaran yang menyelamatkan selalu tetap sama dalam dirinya dan tidak berubah. Meskipun begitu, Gereja dari waktu ke waktu semakin mengenal dengan lebih baik warisan Wahyu. Oleh karena itu, terdapat pendalaman dan perkembangan yang homogen, dalam kesinambungan dengan Sabda Allah yang sama. Maka, Magisterium melayani Sabda dan umat Allah dengan mengingat kebenaran-kebenaran Kristus yang menyelamatkan, dengan memperjelas dan menerapkannya dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dari berbagai zaman dan situasi, menjadi jembatan antara Kitab Suci dan Tradisi. Magisterium adalah institusi yang dikehendaki secara positif oleh Kristus sebagai unsur konstitutif dari Gereja. Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium, dengan demikian, bersatu erat dan tak satu pun di antara mereka ada tanpa yang lain. Bersama-sama mereka menyumbang dengan efektif, masing-masing sesuai dengan caranya, untuk keselamatan umat manusia (bdk. DV 10). Katekese, merupakan salah satu perantara dari pernyataan Magisterium.
Liturgi
95. Liturgi merupakan salah satu dari sumber-sumber yang utama dan sangat diperlukan untuk katekese Gereja. Ini bukan hanya karena dari liturgi katekese menimba isi, bahasa, sikap-sikap dan kata-kata yang mengungkapkan iman, melainkan terutama karena keduanya menjadi bagian satu sama lain dalam kegiatan untuk beriman. Liturgi dan katekese, yang dimengerti dalam terang Tradisi Gereja, meskipun masing-masing memiliki kekhususannya sendiri, tidak boleh disejajarkan, tetapi keduanya harus dipahami dalam konteks kehidupan Kristiani dan gerejawi dan ditujukan untuk menghayati pengalaman kasih Allah. Sesungguhnya ungkapan kuno lex credendi lex orandi mengingatkan bahwa liturgi merupakan unsur konstitutif Tradisi.
96. Liturgi merupakan “tempat yang paling istimewa untuk katekese Umat Allah.”[117] Itu tidak boleh dipahami dalam pengertian bahwa liturgi harus kehilangan sifat khasnya sebagai perayaan dan diubah menjadi katekese atau bahwa katekese menjadi berlebih-lebihan. Meskipun benar bahwa kedua sumbangan itu mempertahankan kekhususannya, harus diakui bahwa liturgi merupakan sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Sebenarnya katekese bertolak dari perjumpaan efektif pertama katekumen dengan komunitas yang merayakan misteri. Dengan kata lain, katekese mencapai kepenuhannya ketika orang itu mengambil bagian dalam kehidupan liturgi komunitas. Maka, katekese tidak dapat dianggap hanya merupakan persiapan kepada sakramen-sakramen, tetapi katekese harus dipahami dalam kaitannya dengan pengalaman liturgis. “Katekese mempunyaihubunganbatindenganseluruhkegiatanliturgisdan sakramental. Sebab dalam Sakramen-Sakramen, dan terutama dalam Ekaristilah Yesus Kristus berkarya sepenuhnya untuk mengubah manusia.”[118] Maka, liturgi dan katekese tidak terpisahkan satu dari yang lain dan saling menyuburkan.
97. Proses pembinaan orang Kristiani, sebagaimana ditegaskan dalam Katekese Mistagogi oleh Bapa-Bapa Gereja, selalu memiliki sifat eksperiensial (berdasarkan pengalaman), namun tidak mengabaikan pengetahuan iman. Perjumpaan yang hidup dan meyakinkan dengan Kristus yang diwartakan oleh saksi-saksi yang autentik itu menentukan. Maka, orang yang memperkenalkan misteri-misteri pada tempat pertama menjadi seorang saksi. Perjumpaan itu menemukan sumber dan puncaknya dalam perayaan Ekaristi dan diperdalam dalam katekese.
Namun, dimensi mistagogis katekese hendaknya tidak dipersempit hanya menjadi pendalaman inisiasi Kristiani setelah menerima sakramen-sakramen. Mistagogi itu mencakup juga penyertaan dalam liturgi hari Minggu dan pesta-pesta tahun liturgis yang denganya Gereja menghidupi para katekumen dan anak-anak yang dibaptis sebelum mereka dapat menerima Ekaristi atau memasuki suatu katekese yang terorganisasi dan terstruktur.
Kesaksian orang-orang kudus dan para martir
99. Sejak abad-abad paling awal, teladan Perawan Maria dan kehidupan orang-orang kudus dan para martir merupakan bagian integral dan efektif dalam katekese: dari kisah-kisah para martir (Acta Martyrum) sampai kisah-kisah sengsara (Passiones), dari lukisan-lukisan dinding dalam gereja dan ikon-ikon sampai cerita-cerita yang mendidik bagi anak-anak dan orang-orang buta huruf. Kesaksian hidup dan kematian demi Tuhan yang dipersembahkan oleh para orang kudus dan para martir menjadi sequentiae sancti Evangelii, perikop-perikop Injil suci, yang mampu mewartakan Kristus dan menggerakkan serta memelihara iman kepada-Nya.
100. Gereja memandang para martir sebagai guru-guru iman yang amat terkenal, yang dengan daya upaya dan penderitaan dalam kerasulan mereka, telah memungkinkan penyebaran dan perumusan mula-mula iman yang sama. Dalam diri para martir Gereja menemukan benih hidupnya: “semen est sanguis Christianorum”[120] (darah orang-orang Kristiani adalah benih). Hukum ini bukan hanya menjadi milik kekristenan pada masa awal, melainkan juga berlaku sepanjang sejarah Gereja sampai pada zaman kita ini. Abad kedua puluh, yang disebut juga abad kemartiran, telah menunjukkan dirinya terutama sebagai abad yang kaya dengan para saksi, yang telah mampu menghayati Injil sampai pada ujian cinta kasih yang tertinggi. Kesaksian iman mereka menuntut untuk dijaga dan diteruskan dalam khotbah dan katekese, dengan memelihara pertumbuhan murid-murid Kristus. Penampakan-penampakan dari Perawan Maria yang diakui oleh Gereja, kehidupan dan tulisan-tulisan para orang kudus dan para martir dari setiap kebudayaan dan bangsa menjadi sumber katekese sejati.
Teologi
101. Wahyu Allah, yang mengatasi kemampuan pengetahuan manusia, bukan karena hal ini bertentangan dengan akal budi manusia, melainkan meresapi dan mengangkatnya. Oleh karena itu, pencarian orang beriman untuk memahami iman – yakni teologi – adalah sesuatu yang esensial bagi Gereja. “Karya teologis dalam Gereja terutama melayani pewartaan iman dan katekese.”[121] Karya teologis meresapi isi iman dengan penalaran kritis, mendalaminya dan menyusunnya secara sistematis, dengan sumbangan akal budi. Namun Kristus, bukan hanya diselidiki dalam refleksi sistematis saja dengan penalaran, melainkan sebagai kebenaran yang hidup dan “hikmat Allah” (1Kor 1:24), Dia adalah kehadiran yang menerangi. Pendekatan yang bijaksana mendukung teologi untuk mengintegrasikan aspek-aspek iman yang berbeda-beda. Selain itu, teologi “memberikan sumbangannya supaya iman dapat dikomunikasikan, kemampuan intelek orang-orang yang belum mengenal Kristus dapat mencari dan menemukan iman.”[122] Ilmu teologi memberikan sumbangannya untuk katekese dan praksis kateketis secara umum melalui berbagai kekhususannya yang menjadi ciri khasnya: teologi fundamental, teologi biblis, teologi dogmatik, teologi moral, teologi spiritual …; dan lebih khusus lagi dengan kateketik, teologi pastoral, teologi evangelisasi, teologi pendidikan dan teologi komunikasi.
Budaya kristiani
102. Budaya kristiani lahir dari kesadaran akan sentralitas Yesus Kristus dan Injil-Nya, yang mengubah hidup manusia. Dengan perlahan-lahan meresapi berbagai budaya, iman Kristiani menerima, memurnikan dan mengubah budaya-budaya itu dari dalam, dengan membuat gaya Injili menjadi corak dasar mereka, dan menyumbang pada penciptaan budaya yang baru dan asli, yakni budaya kristiani, yang selama berabad-abad telah menghasikan mahakarya di seluruh cabang pengetahuan. Budayaa kristiani telah menjadi pendukung dan sarana pewartaan Injil dan, yang dalam perjalanan perubahan-perubahan sejarah, kadang-kadang ditandai dengan konflik ideologis dan kultural, telah berhasil melestarikan nilai-nilai Injili yang asli, misalnya, keaslian pribadi manusia, martabat hidup, kebebasan sebagai syarat hidup yang manusiawi, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, perlunya “menolak yang jahat dan memilih yang baik” (Yes 7:15), pentingnya bela rasa dan solidaritas, pentingnya pengampunan dan belas kasihan, kebutuhan untuk terbuka kepada transendensi.
103. Meskipun demikian, selama berabad-abad telah muncul krisis budaya, khususnya dalam masyarakat yang dibentuk oleh budaya Kristiani, sebagai akibat dari sekularisme kuat yang telah menyebabkan suatu konsep otonomi yang keliru. Hanya kriteria yang didasarkan atas konsensus sosial atau opini subjektif, yang sering bertentangan dengan etika dasar, diterima sebagai kriteria otonomi. “Perpisahan antara Injil dan kebudayaan tak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita.”[123] Maka, tampak jelas kebutuhan untuk memahami kembali kemampuan yang menyatukan budaya Kristiani,[124] dengan membiarkan Injil memancarkan energi kemanusiaan sejati, perdamaian, keadilan, budaya perjumpaan. Energi-energi ini yang merupakan dasar budaya Kristiani membuat iman lebih dapat dipahami dan diinginkan.
104. Budaya Kristiani telah memainkan peran yang menentukan dalam pelestarian budaya-budaya sebelumnya dan dalam kemajuan budaya internasional. Ia mampu, misalnya, menafsirkan seturut semangat baru pencapaian-pencapaian besar yang dihasilkan oleh filsafat Yunani dan hukum Romawi untuk menjadikannya warisan bagi seluruh umat manusia. Selain itu, budaya Kristiani telah membentuk persepsi tentang kebaikan, keadilan, kebenaran dan keindahan, dengan mendorong penciptaan karya-karya – teks-teks tulisan-tulisan sastra dan ilmiah, komposisi musik, karya besar arsitektur dan lukisan – yang dari waktu ke waktu akan tetap menjadi kesaksian tentang sumbangan iman Kristiani, yang merupakan warisan intelektual, moral dan estetikanya.
105. Warisan budaya itu, dengan nilai historis dan artistik yang besar, menjadi sumber yang mengilhami dan menyuburkan katekese, karena meneruskan visi Kristiani tentang dunia dengan kekuatan kreatif keindahan. Katekese bisa menggunakan warisan budaya Kristiani dalam upayanya untuk “melestarikan pada manusia kemampuan untuk kontemplasi dan rasa kagum yang mengantar kepada kebijaksanaan” (GS 56) dan selanjutnya dalam masa keterpecahan mendidik visi tentang “keutuhan pribadi manusia, yang ditandai nilai-nilai luhur akal budi, kehendak, suara hati dan persaudaraan, yang semuanya didasarkan pada Allah Pencipta, yang secara mengagumkan telah disehatkan dan diangkat dalam Kristus” (GS 61). Warisan budaya kristiani yang sangat besar, yang ditampilkan menurut pemikiran pencipta-penciptanya, dapat secara efektif menjadi perantara untuk internalisasi unsur-unsur pokokpesan injili.
Keindahan
106. Kitab Suci menampilkan secara jelas Allah sebagai sumber setiap kemegahan dan keindahan. Perjanjian Lama menunjukkan penciptaan, dengan manusia pada puncaknya sebagai ciptaan yang baik dan indah, bukan hanya dalam pengertian keteraturan dan keharmonisan, melainkan dalam pengertian cuma-cuma, bebas dari fungsionalisme. Di hadapan ciptaan, yang harus dikagumi dan dikontemplasikan bagi dirinya sendiri, orang mengalami kekaguman, sukacita mendalam, reaksi emosional dan afeksi. Karya-karya manusia, seperti bait suci Salomo yang indah (bdk. 1Raj 7-8), pantas dikagumi karena terkait dengan Sang Pencipta.
107. Dalam Perjanjian Baru seluruh keindahan dipusatkan pada Pribadi Yesus Kristus, Pewahyu Allah dan “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr 1:3). Injil-Nya menarik karena merupakan kabar yang indah, baik, menggembirakan, penuh dengan pengharapan. Dia, “penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14) dengan menerima dalam diri-Nya kemanusiaan, telah bercerita melalui perumpamaan-perumpaan tentang keindahan perbuatan Allah. Dalam relasi-Nya dengan manusia Dia telah mengatakan kata-kata yang indah yang dengan daya kuasa-Nya telah menyembuhkan kedalaman jiwa: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Mrk 2:5), “Aku pun tidak menghukum Engkau” (Yoh 8:11), “Begitu besar kasih Allah akan dunia” (Yoh 3:16), “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Dia telah melakukan tindakan-tindakan indah: Dia telah menyembuhkan, Dia telah membebaskan, Dia telah mendampingi dengan menyentuh luka-luka kemanusiaan. Dengan menanggung kekejaman hukuman mati sebagai Seseorang yang “tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada” (Yes 53:2), Dia diakui sebagai yang “terelok di antara anak-anak manusia” (Mzm 45:3). Demikianlah, Dia telah membawa kemanusiaan yang dimurnikan ke dalam kemuliaan Bapa, di sana di mana Dia sendiri duduk “di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi” (Ibr 1:3) dan, dengan demikian, Dia telah menyatakan seluruh daya kuasa Paskah-Nya yang mengubah.
108. Karena itu Gereja mempertimbangkan bahwa agar menjangkau hati manusia, pewartaan tentang Yang Bangkit harus memancarkan cahaya kebaikan, kebenaran dan keindahan. Dalam pengertian ini, perlulah “bahwa setiap bentuk katekese memberikan perhatian istimewa kepada jalan keindahan (via pulchritudinis).”[125] Setiap keindahan dapat menjadi sebuah jalan yang membantu perjumpaan dengan Allah, namun kriteria kebenarannya tidak bisa hanya bersifat estetika belaka. Perlulah membedakan antara keindahan sejati dengan bentuk-bentuk yang tampaknya indah namun kosong, bahkan berbahaya, seperti buah terlarang di surga dunia (bdk. Kej 3:6). Kriterianya terdapat dalam nasihat Santo Paulus: “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8).
109. Keindahan selalu dan secara tak terpisahkan diresapi dengan kebaikan dan kebenaran. Maka, merenungkan keindahan membangkitkan dalam diri manusia perasaan-perasaan kegembiraan, kesenangan, kelembutan, kepenuhan, makna, dan dengan demikian membukakannya kepada transendensi. Jalan evangelisasi adalah jalan keindahan dan, karena itu, setiap bentuk keindahan menjadi sumber katekese. Dengan menunjukkan keutamaan rahmat, yang dinyatakan khususnya dalam diri Perawan Maria yang Terberkati; memperkenalkan kehidupan orang-orang kudus sebagai saksi-saksi sejati keindahan iman; menonjolkan keindahan dan misteri ciptaan; menemukan dan menghargai warisan liturgi dan seni Gereja yang mengagumkan dan luar biasa; dengan menghargai bentuk-bentuk seni kontemporer yang tertinggi, katekese menunjukkan dengan jelas keindahan Allah yang tak terbatas, yang diekspresikan juga dalam karya-karya manusia (bdk. SC 122), membimbing para katekumenat kepada anugerah indah yang telah dibuat oleh Bapa dalam Putra-Nya.
Bab III
Katekis
1. Identitas dan panggilan katekis
110. “Dalam pembangunan Tubuh Kristus terdapat aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh yang membagikan aneka anugerah-Nya sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja” (LG 7). Berdasarkan Pembaptisan dan Krisma, orang-orang Kristiani dipersatukan ke dalam Kristus dan mengambil bagian pada tugasnya sebagai imam, nabi dan raja (bdk. LG 31; AA 2); mereka adalah saksi-saksi pewartaan Injil dengan kata dan teladan hidup Kristiani; namun beberapa saksi “dapat dipanggil untuk bekerja sama dengan Uskup dan dengan para presbiter dalam melaksanakan pelayanan Sabda.”[126] Di antara seluruh pelayanan dan karya, yang dilakukan Gereja dalam misi evangelisasinya, “pelayanan katekese”[127] menempati posisi penting, yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan iman. Pelayanan ini mengantar kepada iman dan, bersama dengan pelayanan liturgis, melahirkan anak-anak Allah dalam rahim Gereja. Maka panggilan khusus katekis berakar pada panggilan umum umat Allah, yang dipanggil untuk melayani rencana penyelamatan Allah demi umat manusia.
111. Seluruh komunitas Kristiani bertanggung jawab atas pelayanan katekese, namun masing-masing sesuai dengan situasi khas dan perannya dalam Gereja: pelayan-pelayan tertahbis, orang-orang hidup bakti dan umat awam. “Melalui mereka semua dan fungsi mereka yang berbeda-beda, pelayanan kateketis meneruskan Sabda secara lengkap dan memberi kesaksian tentang realitas Gereja. Seandainya satu dari bentuk-bentuk kehadiran ini tidak ada, maka katekese akan kehilangan sebagian kekayaan serta arti pentingnya.”[128] Katekis menjadi bagian dari sebuah komunitas Kristiani dan merupakan ungkapannya. Pelayanannya dihayati dalam suatu komunitas yang merupakan subjek utama pendampingan dalam iman.
112. Katekis adalah seorang Kristiani yang menerima dalam iman panggilan khusus dari Allah yang memampukannya untuk melayani penerusan iman dan tugas untuk mengawali kepada hidup Kristiani. Sebab-sebab langsung seorang katekis dipanggil untuk melayani Sabda Allah sangat bervariasi, namun semuanya merupakan mediasi yang, melalui Gereja, digunakan Allah untuk memanggil kepada pelayanan-Nya. Karena panggilan ini, katekis diutus mengambil bagian dalam misi Yesus untuk mengantar murid-murid masuk ke dalam hubungan keputraan-Nya dengan Bapa. Maka, pelaku sebenarnya dari setiap katekese sejati adalah Roh Kudus yang, melalui persatuan mendalam yang dipelihara katekis bersama Kristus, membuat usaha-usaha manusiawi dalam kegiatan katekese berhasil. Kegiatan ini berlangsung di dalam rahim Gereja: katekis adalah saksi dari Tradisinya yang hidup dan mediator yang mempermudah masuknya murid-murid Kristus yang baru ke dalam Tubuh gerejawi-Nya.
2. Uskup sebagai katekis pertama
Uskup merasakan kemendesakan, sekurang-kurangnya dalam waktu-waktu penting tahun liturgis, secara khusus dalam masa Prapaska, untuk memanggil umat Allah dalam katedralnya untuk melaksanakan katekese.
3. Peran Imam dalam katekese
115. Imam, sebagai rekan kerja pertama Uskup dan karena mandat Uskup, dalam kualitas sebagai pendidik dalam iman (bdk. PO 6), mempunyai tanggung jawab untuk menganimasi, mengoordinasi dan mengarahkan kegiatan kateketis komunitas yang telah dipercayakan kepadanya.[134] “Acuan kepada Magisterium Uskup dalam satu-satunya presbiterium keuskupan dan ketaatan kepada pedoman-pedoman, yang dalam hal katekese dikeluarkan oleh setiap gembala dan Konferensi para Uskup untuk kebaikan kaum beriman, bagi imam merupakan unsur-unsur untuk dinilai yang harus dihargai dalam kegiatan kateketis.”[135] Para imam memikirkan dan menggalakkan panggilan dan pelayanan katekis-katekis.
4. Peran Diakon dalam katekese
117. Pelayanan Sabda Allah, di samping pelayanan liturgi dan amal kasih, merupakan pelayanan yang dijalankan diakon-diakon untuk menghadirkan di komunitas, Kristus yang karena cinta menjadi Hamba (bdk. Luk 22: 27; Flp 2: 5-11). Para diakon, selain dilibatkan dalam homili, dipanggil kepada suatu “perhatian yang penuh semangat pada katekese umat beriman dalam berbagai tahap hidup Kristiani, sehingga membantu mereka mengenal iman kepada Kristus, meneguhkan iman itu dengan penerimaan sakramen-sakramen dan mengekpresikan iman dalam kehidupan pribadi, keluarga, profesi dan sosial.”[136] Para diakon akan terlibat dalam program-program kateketis keuskupan dan paroki, terutama menyangkut prakarsa-prakarsa yang berhubungan dengan pewartaan pertama. Mereka juga dipanggil untuk mewartakan “Sabda di lingkungan profesional yang mungkin/mana pun, baik dengan perkataan secara langsung, maupun hanya dengan kehadiran aktif mereka di tempat-tempat di mana terbentuk opini publik atau di mana diterapkan norma-norma etis (seperti pelayanan-pelayanan sosial, pelayanan-pelayanan demi kepentingan hak-hak keluarga, kehidupan, dan lain-lain).”[137]
118. Di beberapa bidang, amatlah berharga katekese yang ditangani oleh para diakon: hidup amal kasih dan keluarga. Kegiatan mereka dapat dikembangkan di antara para narapidana, orang-orang sakit, orang-orang tua, orang-orang muda yang berperilaku menyimpang, para imigran, dan lain-lain. Para diakon memiliki tugas untuk memasukkan kekurangan-kekurangan seperti itu ke dalam kegiatan kateketis komunitas-komunitas gerejawi sehingga menjiwai seluruh kaum beriman menuju pendidikan yang benar dalam amal kasih. Selain itu, para diakon permanen, yang menghayati Sakramen Perkawinan, karena status hidup mereka yang khas, dipanggil secara khusus untuk menjadi saksi-saksi terpercaya tentang keindahan sakramen ini. Mereka, dengan bantuan pasangan dan mungkin anak-anak mereka, dapat melibatkan diri dalam katekese keluarga dan pendampingan seluruh situasi yang membutuhkan perhatian khusus dan kelemahlembutan.
5. Orang-orang "Hidup Bakti" dalam pelayanan katekese
119. Katekese merupakan ranah kerasulan istimewa bagi orang-orang hidup bakti. Sesungguhnya, dalam sejarah Gereja mereka termasuk di antara tokoh-tokoh yang paling mendedikasikan dirinya untuk animasi kateketis. Gereja memanggil secara khusus orang-orang hidup bakti kepada kegiatan kateketis. Sumbangan mereka dalam katekese itu autentik dan khusus, dan tidak dapatdigantikan oleh para imam atau kaum awam. “Tugas pertama kaum hidup bakti adalah menampakkan keajaiban yang dikerjakan oleh Allah dalam kemanusiaan yang rapuh dari orang-orang yang dipanggil. Lebih dari sekadar kata-kata, mereka memberi kesaksian atas keajaiban itu melalui bahasa yang menyentuh hati, yakni perihidup yang telah berubah, yang mampu menimbulkan rasa kagum dalam masyarakat.”[138] Katekese pertama yang menantang adalah kehidupan orang-orang hidup bakti, yang dengan menghidupi radikalitas injili, menjadi saksi tentang kepenuhan yang dimungkinkan karena kehidupan dalam Kristus.
120. Kekhasan karisma yang dimiliki tarekat berkembang apabila beberapa anggota hidup baktinya menerima tugas katekese. “Sambil tetap mem-pertahankan keutuhan sifat katekese itu sendiri, karisma-karisma berbagai komunitas religius mengungkapkan tugas bersama ini namun dengan penekanan mereka sendiri, sering dengan kedalaman religius, sosial dan pedagogis yang besar. Sejarah katekese menunjukkan daya hidup yang telah dibawa oleh karisma-karisma ini bagi kegiatan pendidikan Gereja,[139] teristimewa bagi mereka yang telah menanamkan cita-cita hidup mereka dalam katekese. Gereja terus menjadikan diri kuat dalam pelayanan mereka dan menanti dengan pengharapan daya upaya yang dibarui untuk pelayanan katekese.
6. Katekis awam
121. Kaum awam melalui keikursertaan mereka dalam dunia memberikan pelayanan yang berharga untuk evangelisasi: cara hidup mereka sebagai murid-murid Kristus merupakan suatu bentuk pewartaan Injil. Mereka berbagi semua bentuk daya upaya dengan orang-orang lain, meresapi realitas duniawi dengan semangat Injil: evangelisasi “memperoleh ciri yang khas dan daya-guna yang istimewa justru karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini” (LG 35). Kaum awam, dengan memberi kesaksian Injil dalam berbagai konteks, memiliki kesempatan untuk menafsirkan aneka realitas hidup secara kristiani, untuk berbicara tentang Kristus dan nilai-nilai kristiani, untuk menjelaskan pilihan-pilihan mereka. Katekese ini, yang bisa dikatakan spontan dan sesekali, sangat penting sebab secara langsung berhubungan dengan kesaksian hidup.
122. Panggilan kepada pelayanan katekese bersumber dari Sakramen Pembaptisan dan diperkuat oleh Sakramen Krisma, sakramen-sakramen yang melaluinya awam mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Selain panggilan umum kepada kerasulan, beberapa kaum/umat beriman merasa dipanggil oleh Allah untuk menerima tugas sebagai katekis dalam komunitas Kristiani, untuk pelayanan kepada katekese yang lebih terorganisasi/teratur dan terstruktur. Panggilan pribadi dari Yesus Kristus ini dan hubungan dengan-Nya menjadi daya penggerak sejati untuk kegiatan katekis: “Pengetahuan penuh cinta terhadap Kristus ini membangkitkan kerinduan untuk mewartakan, untuk “mengevangelisasi” dan untuk membimbing orang lain kepada iman kepada Yesus Kristus.”[140] Gereja membangkitkan dan mempertimbangkan panggilan ilahi ini dan memberikan misi untuk berkatekese.
123. “Merasa dipanggil sebagai katekis dan menerima tugas perutusan dari Gereja untuk melakukannya, sesungguhnya dapat memperoleh tingkat-tingkat pengabdian yang berbeda-beda selaras dengan sifat-sifat khas setiap individu. Kadang-kadang katekis bisa bekerja sama dalam pelayanan katekese untuk suatu periode terbatas dalam hidupnya atau hanya kadang-kadang saja, namun itu masih tetap merupakan pelayanan dan kerja sama yang berharga. Namun demikian, pentingnya pelayanan katekese akan menganjurkan bahwa di setiap Keuskupan harus ada sejumlah religius dan awam yang diakui secara publik dan mengabdikan diri secara tetap dan murah hati bagi katekese, yang dalam kesatuan dengan para imam dan Uskup, berkontribusi untuk memberikan bentuk gerejawi yang tepat kepada pelayanan Keuskupan ini.”[141]
Orang tua, subyek aktif dalam katekese
124. “Bagi para orang tua Kristiani, misi edukatif, yang berakar dalam partisipasi mereka dalam karya penciptaan Allah, memiliki sumber yang baru dan khusus dalam Sakramen Perkawinan, yang membaktikan mereka untuk pendidikan yang sungguh Kristiani bagi anak-anak.”[142] Para orang tua yang beriman, dengan contoh hidup sehari-hari, memiliki kemampuan yang lebih menarik untuk meneruskan keindahan iman Kristiani kepada anak-anak mereka. “Agar keluarga-keluarga semakin menjadi pemeran aktif dalam kerasulan keluarga, diperlukan “suatu upaya evangelisasi dan katekese di dalam keluarga” yang ditujukan kepada keluarga.”[143] Tantangan terbesar, dalam hal ini, adalah bahwa pasangan-pasangan, ibu-ibu dan bapak-bapak, sebagai pelaku aktif katekese, harus mengatasi mentalitas pendelegasian yang sangat umum, yang berpandangan bahwa urusan iman dikhususkan bagi para ahli pendidikan agama. Mentalitas ini kadang-kadang didukung oleh komunitas itu sendiri yang berusaha keras menyelenggarakan katekese dengan gaya keluarga dan bertolak dari keluarga-keluarga itu sendiri. “Gereja dipanggil untuk bekerja sama dengan orang tua melalui tindakan pastoral yang sesuai, membantu dalam pemenuhan misi pendidikan mereka.”[144]
Bapa dan ibu baptis, rekan kerja para orang tua
125. Dalam proses inisiasi ke dalam hidup Kristiani, Gereja mengajak untuk mengevaluasi kembali identitas dan misi dari bapak dan ibu wali baptis, sebagai pendukung bagi tugas pendidikan dari para orang tua. Tugas mereka adalah “dengan semangat kekeluargaan yang bersahabat menunjukkan kepada katekumen praktik Injil dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, membantunya dalam kebimbangan dan dalam kecemasan, memberi kesaksian kepadanya dan memperhatikan perkembangan ke-hidupan pembaptisannya.”[145] Disadari bahwa sering kali pilihan itu tidak didorong oleh iman, tetapi didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan keluarga dan masyarakat: hal itu telah menyumbang tidak kecil terhadap kemerosotan nilai figur-figur pendidik. Mengingat tanggung jawab yang dibawa oleh peran ini, komunitas Kristiani hendaklah menunjukkan, dengan discernment dan semangat yang kreatif, kepada para wali baptis proses katekese, yang akan membantu mereka menemukan kembali karunia iman dan rasa menjadi bagian Gereja. Mereka yang ditunjuk untuk peran ini kadang merasa tertantang untuk membangunkan kembali iman pem-baptisan dan memulai langkah baru untuk komitmen dan kesaksian. Kemungkinan penolakan untuk melaksanakan tugas itu dapat menimbul-kan konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang harus dievaluasi dengan perhatian pastoral yang besar. Dalam kasus-kasus di mana tidak terdapat syarat-syarat objektif[146] bagi seseorang untuk melaksanakan tugas ini, syarat-syarat yang harus ada dalam dialog yang mendahului pemilihan, dalam persetujuan dengan keluarga-keluarga dan menurut discernment para pastor, dapat ditunjuk para wali baptis dari antara para petugas pastoral (katekis, pendidik, animator), yang menjadi saksi iman dan kehadiran gereja.
Pelayanan kakek-nenek dalam penerusan iman
126. Bersama para orang tua, ada kakek dan nenek, khususnya dalam budaya-budaya tertentu, yang memainkan peran khusus dalam menerus-kan iman kepada mereka yang lebih muda.[147] Kitab Suci juga mencatat iman dari kakek-nenek sebagai kesaksian bagi para anak-cucu mereka (bdk. 2Tim 1:5). “Gereja selalu menaruh perhatian khusus kepada para kakek dan nenek, dengan mengakui kekayaan besar mereka, baik dalam aspek kemanusiaan dan sosial, maupun dalam aspek religius dan spiritual.”[148] Ketika berhadapan dengan krisis keluarga-keluarga, para kakek dan nenek, yang seringkali memiliki iman Kristiani yang mendalam dan pengalaman masa lalu yang kaya, menjadi acuan penting. Kenyataannya, kadang-kadang banyak orang menerima dari para kakek dan nenek inisiasi mereka kepada/ke dalam kehidupan Kristiani. Sumbangan para kakek dan nenek penting dalam katekese, baik karena lebih banyak waktu yang dapat mereka dedikasikan maupun karena kemampuan mereka untuk mendorong generasi muda dengan daya afektif mereka. Kebijaksanaan mereka banyak kali menentukan bagi pertumbuhan iman. Doa permohonan dan nyanyian pujian para kakek dan nenek menopang komunitas yang bekerja dan berjuang dalam hidup.
Kontribusi besar perempuan terhadap katekese
127. Kaum perempuan melaksanakan peran yang berharga dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas Kristiani, dengan memberikan pelayanan mereka sebagai istri, ibu, katekis, pekerja dan profesional. Mereka memiliki Maria sebagai teladan, “teladan cinta kasih keibuan, yang juga harus menjiwai siapa saja yang tergabung dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran baru sesama mereka” (LG 65). Yesus dengan Sabda dan sikap-sikap-Nya telah mengajarkan untuk mengakui bernilainya perempuan/bahwa perempuan itu sungguh bernilai. Sesungguhnya, Ia menghendaki mereka menjadi murid-murid (bdk. Mrk 15:40-41) dan mempercayakan kepada Maria Magdalena dan perempuan-perempuan lain kegembiraan untuk mewartakan kepada para Rasul berita tentang kebangkitan-Nya (bdk. Mat 28: 9-10; Mrk 16: 9-10; Luk 24: 8-9; Yoh 20: 18). Komunitas perdana, dengan cara yang sama, telah merasakan kebutuhan untuk memiliki ajaran Yesus dan telah menerima kehadiran kaum perempuan dalam karya evangelisasi sebagai sebuah anugerah yang berharga (bdk. Luk 8: 1-3; Yoh 4: 28-29).
128. Komunitas-komunitas Kristiani dijiwai terus-menerus oleh kejeniusan feminin supaya diakui sumbangan mereka dalam mewujudkan kehidupan pastoral sebagai hal yang mendasar dan sangat diperlukan. Katekese adalah salah satu dari pelayanan pastoral ini yang mengantar untuk mengenal sumbangan besar yang diberikan oleh katekis-katekis perempuan yang dengan dedikasi, semangat dan kemampuan membaktikan diri mereka untuk pelayanan ini. Dalam hidup mereka, mereka menyatakan gambaran keibuan, dengan tahu bagaimana memberi kesaksian, juga dalam saat-saat sulit, akan kelembutan dan kasih Gereja. Mereka mampu memahami, dengan suatu kepekaan khusus, teladan Yesus: melayani dalam hal-hal kecil juga dalam hal-hal besar merupakan sikap orang yang telah memahami sedalam-dalamnya kasih Allah kepada manusia dan tidak dapat berbuat lain kecuali mencurahkan kasih itu kepada sesama, dengan memperhatikan orang-orang dan hal-hal dalam dunia.
129. Menghargai kepekaan khusus para perempuan dalam katekese, tidak berarti mengesampingkan kehadiran para laki-laki yang sama pentingnya. Bahkan, dalam terang perubahan-perubahan antropologis, hal itu sungguh perlu. Suatu pertumbuhan manusiawi dan spiritual yang sehat, tidak dapat dilakukan tanpa kedua kehadiran itu, sifat feminin dan maskulin. Oleh karena itu, komunitas Kristiani hendaklah tahu menghargai baik kehadiran para katekis perempuan, yang jumlahnya amat penting untuk katekese, maupun kehadiran para katekis laki-laki yang saat ini memainkan suatu peran tak tergantikan, khususnya bagi para remaja dan orang-orang muda. Perlu diapresiasi secara khusus kehadiran para katekis laki-laki muda, yang membawa sumbangan khusus yakni antusiasme, kreativitas dan pengharapan. Mereka dipanggil untuk merasa bertanggung jawab dalam penerusan iman.
Bab IV
Pembinaan Katekis
1. Sifat dasar dan tujuan pembinaan katekis
130. Selama berabad-abad, Gereja tidak pernah melalaikan untuk memprioritaskan pembinaan para katekis. Pada awal Kristianisme, pembinaan yang dihidupi dalam bentuk pengalaman, berkisar di sekitar perjumpaan yang hidup dengan Yesus Kristus, diwartakan dengan kebenaran dan dipersaksikan dengan hidup. Karakter kesaksian menjadi ciri penting dari seluruh proses pembinaan, yang mengantar secara bertahap ke dalam misteri iman Gereja. Terlebih pada periode sekarang, penting membuat pertimbangan yang sungguh-sungguh tentang kecepatan perubahan-perubahan sosial dan keragaman budaya dan tantangan-tantangan yang muncul daripadanya. Semua itu menegaskan bahwa pembinaan para katekis menuntut perhatian khusus karena kualitas program-program pastoral mesti dihubungkan dengan pribadi-pribadi yang melaksanakannya. Berhadapan dengan kompleksitas dan kebutuhan-kebutuhan zaman di mana kita hidup, Gereja-Gereja partikular berkewajiban memberikan energi dan sumber daya yang memadai bagi pembinaan para katekis.
131. Pembinaan adalah suatu proses berkesinambungan yang, di bawah bimbingan Roh dan dalam pangkuan hidup komunitas Kristiani, membantu orang yang dibaptis untuk mengambil bentuk, yakni untuk mengungkapkan identitasnya yang terdalam sebagai anak Allah dalam hubungan persekutuan mendalam dengan saudara-saudari yang lain. Karya pembinaan berfungsi sebagai suatu transformasi diri yang menginternalisasi pesan Injil secara eksistensial, supaya pesan itu dapat menjadi terang dan arah bagi hidup dan misi gerejawinya. Ini adalah proses yang, sedang terjadi di dalam diri katekis, sangat menyentuh kebebasannya dan tidak dapat dipersempit hanya pada pengajaran, seruan moral atau pembaruan teknik-teknik pastoral. Pembinaan yang juga menggunakan kompetensi manusiawi, pertama-tama merupakan karya keterbukaan yang bijaksana kepada Roh Allah yang, berkat kesediaan subjek-subjek dan perhatian keibuan dari komunitas, membuat orang-orang yang dibaptis menyesuaikan diri dengan Yesus Kristus, dengan membentuk dalam hati mereka wajah-Nya sebagai Putra (bdk. Gal 4:19), yang diutus oleh Bapa untuk memaklumkan kepada orang-orang miskin pesan keselamatan (bdk. Luk 4:18).
132. Pembinaan bertujuan terutama untuk menyadarkan para katekis, sebagai orang-orang yang dibaptis, untuk menjadi murid-murid misioner sejati, yakni sebagai subjek aktif evangelisasi dan, berdasarkan hal ini, dimampukan oleh Gereja untuk mengomunikasikan Injil dan mendampingi serta mendidik dalam iman. Maka, pembinaan para katekis membantu mengembangkan kompetensi-kompetensi yang perlu untuk mengomunikasikan iman dan mendampingi pertumbuhan saudara-saudari. Tujuan Kristosentris katekese membentuk seluruh pembinaan para katekis dan meminta mereka agar mampu menggerakkan proses katekese sedemikian rupa sehingga dapat menampilkan sentralitas Yesus Kristus dalam sejarah keselamatan.
2. Komunitas kristiani sebagai tempat istimewa bagi pembinaan
133. “Komunitas Kristiani adalah asal, locus, dan tujuan katekese. Pemakluman Injil selalu mulai dari komunitas Kristiani dan mengajak manusia untuk bertobat dan mengikuti Kristus. Komunitas yang samalah yang menyambut mereka yang ingin mengenal Tuhan dan berkomitmen mengusahakan sebuah kehidupan baru.”[149] Komunitas, rahimbagi beberapa anggotanya di mana lahir dan bertumbuh panggilan khusus untuk pelayanan katekese, adalah komunitas nyata, yang kaya dengan karunia-karunia dan kesempatan-kesempatan, tetapi tidak luput dari keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan-kelemahan. Di dalam kenyataan komuniter ini, di mana terjadi pengalaman konkret belas kasihan Allah, dapat berlangsung latihan penerimaan timbal balik dan pengampunan. Komunitas, yang mengalami kekuatan iman dan tahu menghayati dan memberi kesaksian cinta kasih, mewartakan dan mendidik dengan cara yang amat biasa. Oleh karena itu, tempat istimewa untuk pembinaan katekis adalah komunitas Kristiani, dalam keragaman karisma dan pelayanannya, sebagai lingkungan biasa untuk mempelajari dan menghayati hidup iman.
134. Di dalam lingkup komunitas, kelompok para katekis memiliki peranan khusus: di dalamnya, para katekis, bersama para imam, ambil bagian baik dalam perjalanan iman maupun pengalaman pastoral, mematangkan jati diri mereka, dan semakin menyadari rencana evangelisasi. Mendengarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi-pribadi, discernment pastoral, persiapan nyata, pelaksanaan dan evaluasi atas perjalanan iman merupakan saat-saat sekolah pembinaan berkelanjutan bagi setiap katekis. Kelompok katekis merupakan konteks riil di mana setiap orang dapat dievangelisasi secara berkelanjutan dan tetap siap sedia terhadap masukan-masukan baru untuk pembinaan.
3. Kriteria-kriteria pembinaan
4. Dimensi-dimensi pembinaan
136. Pembinaan katekis mencakup berbagai dimensi. Dimensi yang lebih dalam mengacu pada menjadi katekis, bahkan sebelum bertindak sebagai katekis. Pembinaan sebenarnya membantu katekis mendewasakan diri sebagai pribadi, sebagai orang beriman dan sebagai rasul. Dimensi ini sekarang diterangkan juga dengan pengertian tahu bagaimana menjadi bersama, yang menekankan bahwa identitas pribadi itu selalu merupakan identitas relasional. Selain itu, agar katekis melaksanakan tugasnya dengan tepat, pembinaan juga akan memperhatikan secara penuh dimensi mengetahui, yang melibatkan suatu kesetiaan ganda kepada pesan dan kepada orang dalam konteks di mana ia tinggal. Akhirnya, karena katekese itu merupakan tindakan komunikatif dan edukatif, pembinaan katekis tidak mengabaikan dimensi tahu bagaimana melakukan.
137. Dimensi-dimensi pembinaan para katekis tidak boleh dianggap lepas satu terhadap yang lain, tetapi saling berkaitan secara mendalam, sebab merupakan aspek-aspek kesatuan yang tak terbagi dari seorang pribadi. Demi pertumbuhan harmonis pribadi katekis, benar bahwa karya pembinaan hendaknya tidak menekankan satu dimensi terhadap dimensi lainnya, tetapi justru berusaha membantu perkembangan yang seimbang, dengan menangani aspek-aspek yang tampak paling kurang sempurna.
138. Di sisi lain, komitmen untuk memperoleh kualitas-kualitas ini tidak harus membuat para katekis berpikir untuk menjadi pelaku-pelaku yang kompeten dalam berbagai bidang, tetapi terutama menjadi pribadi-pribadi yang telah mengalami cinta kasih Allah dan yang, hanya karena cinta itu, menjalankan pelayanan pewartaan tentang Kerajaan Allah. Kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan diri tidak boleh mengecilkan hati katekis untuk menerima panggilan kepada pelayanan; bahkan, ia dapat menjawab panggilan itu dengan mengandalkan relasi yang hidup dengan Tuhan dan kerinduan untuk menghidupi secara benar kehidupan Kristiani, dan dengan murah hati menyediakan kepada komunitas “lima roti dan dua ikan” (bdk. Mrk 6:38) dari karisma-karisma pribadi mereka. “Sekaligus, kita ingin mendapatkan pelatihan yang lebih baik. […] Ketidaksempurnaan kita tidak harus menjadi dalih; sebaliknya, perutusan adalah dorongan terus-menerus untuk tidak terperosok ke dalam mediokrisi, tetapi untuk terus berkembang.”[153]
Cara berada dan "pengetahuan bagaimana untuk hidup bersama": kedewasaan manusiawi-kristiani dan kesadaran misioner
139. Dalam dimensi menjadi, katekis dibina untuk menjadi saksi iman dan penjaga ingatan akan Allah. Pembinaan membantu katekis untuk mempertimbangkan kembali kegiatan kateketisnya sebagai kesempatan untuk pertumbuhan manusiawi dan Kristiani. Atas dasar kematangan manusiawi awal, katekis dipanggil untuk bertumbuh dan berkembang terus-menerus dalam keseimbangan afektif, rasa kritis, kesatuan dan kebebasan batin, dengan menghayati relasi-relasi yang mendukung dan memperkaya iman. “Pembinaan yang benar memelihara terutama spiritualitas katekis itu sendiri, sehingga kegiatannya sungguh mengalir dari kesaksian hidupnya sendiri.”[154] Maka, pembinaan mendukung kesadaran misioner katekis, melalui internalisasi tuntutan-tuntutan Kerajaan yang telah dinyatakan oleh Yesus. Karya pembinaan untuk mencapai pendewasaan manusiawi, Kristiani dan misioner menuntut pendampingan tertentu dari waktu ke waktu, karena itu melibatkan inti tindakan pribadi.
140. Bertolak dari tingkat hidup batin ini, muncullah kemampuan untuk menjadi bersama, sebagai kemampuan alami yang perlu pada katekese yang dimengerti sebagai kegiatan edukatif dan komunikatif. Sesungguhnya, persekutuan gerejawi dimasukkan ke dalam relasi, yang melekat pada hakikat pribadi (bdk. Kej 2: 18). Pembinaan para katekis secara sungguh-sungguh menyingkapkan dan menumbuhkan kemampuan relasional ini, yang diwujudkan dengan kesediaan untuk menghayati hubungan-hubungan manusiawi dan gerejawi secara bersaudara dan tenang.[155]
141. Dalam menegaskan ulang komitmen untuk pendewasaan manusiawi dan Kristiani para katekis, Gereja memberi perhatian pada tugas untuk sungguh memastikan supaya, dalam pelaksanaan perutusannya, dijamin perlindungan mutlak dari setiap bentuk pelecehan kepada setiap orang, khususnya kepada anak-anak di bawah umur dan orang-orang dewasa rentan. “Agar semua gejala ini dalam segala bentuknya tidak terjadi lagi, diperlukan pertobatan hati yang terus-menerus dan mendalam, yang dibuktikan dengan tindakan nyata dan efektif, yang melibatkan setiap orang dalam Gereja, sehingga kekudusan pribadi dan komitmen moral dapat mendukung untuk mengembangkan kredibilitas yang penuh dari warta Injil dan efektivitas misi Gereja.”[156]
142. Oleh karena pelayanannya, katekis memainkan suatu peran terhadap orang-orang yang ia dampingi dalam iman dan ia diterima oleh mereka sebagai pribadi acuan, yang mengemban bentuk otoritas tertentu. Karena itu menjadi penting bahwa peran ini hendaknya dijalankan dengan rasa hormat mutlak kepada suara hati dan pribadi lain agar dihindarkan setiap jenis penyalahgunaan, baik penyalahgunaan kekuasaan, suara hati, ekonomi maupun seksual. Para katekis, dalam proses-proses pembinaan mereka dan melalui dialog jujur dengan pembimbing rohani mereka masing-masing, kiranya perlu dibantu untuk mengenali cara yang benar untuk menghayati otoritasnya semata-mata sebagai pelayanan bagi saudara-saudari. Selain itu, supaya tidak mengkhianati kepercayaan orang-orang yang dipercayakan kepada mereka, hendaklah mereka tahu membedakan antara forum externum dan forum internum dan belajar untuk memiliki rasa hormat yang besar bagi kebebasan suci orang lain, tanpa melanggar atau memanipulasi kebebasan itu dengan cara apa pun.
Pengetahuan: pembinaan alkitabiah-teologis dan pemahaman akan manusia dan konteks sosialnya
143. Katekis juga adalah guru yang mengajar iman. Sesungguhnya dia, yang menjadikan kesaksian sebagai keutamaannya yang pertama, tidak lupa bahwa dia juga bertanggung jawab atas penerusan iman gerejawi. Maka dalam pembinaannya, ia diberi ruang untuk pendalaman dan studi tentang pesan yang akan diteruskan dalam kaitannya dengan konteks budaya, gerejawi dan kehidupan teman bicara. Pentinglah untuk tidak meremehkan kebutuhan akan aspek pembinaan ini, yang berkaitan erat dengan keinginan untuk mendalami pengetahuan tentang Dia yang dalam iman telah dikenal oleh katekis sebagai Tuhannya. Penyerapan isi iman sebagai kebijaksanaan iman terjadi terutama melalui keakraban dengan Kitab Suci dan dengan studi Katekismus Gereja Katolik, katekismus-katekismus Gereja partikular dan dokumen-dokumen magisterium.
Di samping itu, di beberapa bagian dunia, di mana orang-orang Katolik dari tradisi gerejawi yang berbeda hidup bersama, para katekis hendaknya memiliki pengetahuan umum tentang teologi, liturgi dan disiplin sakramental dari saudara-saudara mereka. Akhirnya, dalam konteks eku-menis dan pluralisme agama, hendaknya diperhatikan untuk menunjukkan kepada para katekis unsur-sunsur esensial kehidupan dan teologi dari Gereja-Gereja dan komunitas-komunitas Kristiani lainnya dan dari agama-agama lain, sehingga, dengan menghormati identitas masing-masing, dialog itu dapat menjadi autentik dan berbuah.
146. Bersamaan dengan kesetiaan kepada pesan iman, katekis dipanggil untuk mengenal manusia yang konkret dan konteks sosio-budaya di mana ia hidup. Seperti semua orang Kristiani, terlebih lagi para katekis “hidup dalam pergaulan erat dengan sesama mereka yang semasa, dan berusaha menyelami dengan saksama corak-corak mereka berpikir dan berperasaan, yang terungkapkan melalui kebudayaan” (GS 62). Pengetahuan itu dicapai melalui pengalaman dan refleksi atas pengalaman itu, tetapi juga melalui sumbangan berharga dari ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam terang prinsip-rinsip ajaran sosial Gereja. Di antaranya yang harus dipertimbangkan secara memadai adalah psikologi, sosiologi, pedagogi, ilmu-ilmu pendidikan, pembinaan dan komunikasi. Gereja merasa diundang untuk menghadapi ilmu-ilmu ini agar dapat memberikan sumbangan yang benar, baik untuk pembinaan para katekis maupun untuk kegiatan kateketis itu sendiri. Teologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan sesungguhnya dapat saling memperkaya.
Pengetahuan terapan: pembinaan pedagogis dan metodologis
148. Dalam dimensi tahu melakukan, katekis dibina untuk bertumbuh sebagai pendidik dan komunikator. “Katekis adalah seorang pendidik yang memudahkan kematangan iman, yang dengan bantuan Roh Kudus diperoleh para katekumen dan mereka yang menerima katekese. Dalam bidang pembinaan yang penting ini, realitas pertama yang patut diperhitungkan ialah yang berkaitan dengan pedagogi iman yang orisinil.”[160] Katekis, dengan mengetahui bahwa teman bicara adalah subjek aktif yang di dalam dirinya rahmat Allah bekerja secara dinamis, akan menampilkan diri sebagai fasilitator yang penuh hormat akan pengalaman iman, yang dia sendiri bukan pelaku utama pengalaman itu, melainkan teman bicara.
Proses edukatif, tempat berharga untuk pertumbuhan dan dialog, namun di dalamnya juga dialami kesalahan-kesalahan dan keterbatasan-keterbatasan, membutuhkan kesabaran dan dedikasi. Adalah baik untuk mematangkan kesediaan untuk membiarkan diri dididik sembari mendidik; sesungguhnya, pengalaman tersebut merupakan laboratorium pembinaan di mana pembelajaran menjadi lebih mendalam.
150. Sebagai pendidik, katekis juga mempunyai fungsi untuk menjembatani anggota sebagai bagian dari komunitas dan untuk menjalankan pelayanan kateketis dengan gaya kebersamaan. Sesungguhnya, katekis melaksanakan proses edukatif bukan secara individu, melainkan secara bersama dengan komunitas dan atas nama komunitas. Untuk ini, ia tahu bekerja dalam kebersamaan, dengan mengusahakan perjumpaan dengan kelompok para katekis dan dengan pekerja- petugas-petugas pastoral yang lain. Di samping itu, ia dipanggil untuk menjaga kualitas relasi-relasi dan untuk menganimasi dinamika-dinamika kelompok katekese.
5. Pembinaan kateketis bagi para kandidat untuk Tahbisan Suci
151. Dalam perhatian Gereja terhadap katekese, tanggung jawab itu terletak pada mereka semua yang ditetapkan oleh Sakramen Tahbisan sebagai pelayan-pelayan Sabda Allah. Sesungguhnya, kualitas katekese suatu komunitas juga bergantung pada pelayan-pelayan tertahbis yang menjalankannya. Maka, sepanjang proses pembinaan calon-calon Tahbisan Suci, pengajaran khusus tentang pewartaan dan katekese tidak boleh diabaikan (bdk. OT 19). Suatu pembinaan yang tepat bagi imam-imam masa depan dan diakon-diakon permanen di bidang ini akan ditemukan dalam tanda-tanda nyata: semangat untuk pewartaan Injil; kecakapan dalam mengajar katekese bagi kaum beriman; kemampuan untuk berdialog dengan kebudayaan; semangat discernment (: penilaian dalam kearifan); kesediaan untuk membina katekis-katekis awam dan bekerja sama dengan mereka; kemampuan merancang secara kreatif program-program pendidikan iman. Kriteria formatif yang sama yang sudah dinyatakan secara umum juga berlaku untuk calon-calon Tahbisan Suci.
153. Para Uskup akan menaruh perhatian untuk mengintegrasikan semua petunjuk yang disebut di atas ke dalam program-program pembinaan para seminaris dan calon-calon diakon permanen mereka. Selain itu, mereka juga akan memberikan perhatian yang memadai untuk pembinaan kateketis bagi para imam, terutama dalam konteks bina lanjut mereka. Perhatian itu dimaksudkan untuk mengembangkan pembaruan kateketis-pastoral yang penting, yang membantu dalam diri para imam keberakaran yang lebih besar dan langsung dalam kegiatan kateketis, dan pada saat yang sama membantu mereka merasa terlibat dalam kegiatan pembinaan para katekis.
6. Pusat pembinaan
Pusat pembinaan dasar bagi para katekis
154. Pusat-pusat pembinaan dasar para katekis, baik di tingkat paroki, antarparoki atau pun keuskupan, mempunyai tugas untuk mengusulkan pembinaan fundamental yang sistematis. Baiklah memberikan pembinaan dasar tentang isi yang penting, yang disampaikan dengan cara sederhana, namun dengan gaya pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan saat ini. Pembinaan ini, yang mempunyai nilai sistematis karena memberi gambaran umum, bagaimanapun merupakan pembinaan berkualitas, sejauh dijamin oleh para pembina yang ahli dan dengan suatu kepekaan serta pengalaman pastoral yang baik. Di samping itu, dengan memberi ruang kepada pengetahuan dan pertukaran dengan katekis-katekis lain, hal itu dapat memupuk persekutuan gerejawi.
Pusat spesialisasi bagi penanggung jawab dan pemimpin katekese
155. Pusat-pusat pembinaan terspesialisasi, di tingkat keuskupan, antarkeuskupan atau nasional, mempunyai sasaran untuk memajukan pembinaan para animator dan penanggung jawab katekese atau para katekis yang berniat mengambil spesialisasi supaya mereka mengabdikan diri kepada pelayanan ini dengan cara yang lebih stabil. Tingkat pembinaan di Pusat-pusat seperti ini lebih padat dan karena itu frekuensinya lebih intens dan diperpanjang waktunya. Bertolak dari basis pembinaan di bidang teologi dan antropologi untuk mencapai latihan-latihan pembinaan yang lebih bersifat eksperiensial, pusat-pusat pembinaan ini mengembangkan spesialisasi-spesialisasi kateketis yang dianggap perlu untuk kebutuhan-kebutuhan khusus wilayah gerejawi. Secara khusus, diperlukan kemampuan untuk mengembangkan pembinaan para penanggung jawab yang pada gilirannya dapat menjamin bina lanjut para katekis lainnya dan karena itu dirasa perlunya pendampingan pribadi bagi para peserta. Mungkin tepat bahwa tawaran Pusat-pusat pembinaan ini, dalam kerja sama dengan kantor-kantor pelayanan pastoral keuskupan lainnya atau Gereja partikular, hendaknya ditujukan bagi para penanggung jawab berbagai bidang pastoral, dengan mengubah Pusat-pusat pembinaan ini bagi pembinaan para petugas pastoral.
Lembaga yang lebih tinggi untuk keahlian dalam bidang katekese
156. Pusat-pusat pembinaan tinggi bagi para ahli kateketik, di tingkat nasional atau internasional, menawarkan kepada para imam, diakon, orang-orang hidup bakti dan kaum awam pembinaan kateketis pada tingkat yang lebih tinggi, untuk mempersiapkan para katekis agar mampu menyeleggarakan katekese di tingkat keuskupan atau dalam konteks kegiatan dari kongregasi-kongregasi religius. Di samping itu, Pusat-pusat pembinaan tinggi ini mendidik para dosen kateketik untuk seminari-seminari, rumah-rumah pembinaan atau pusat-pusat pembinaan bagi para katekis dan mengembangkan riset kateketis. Pusat-pusat pembinaan ini dibentuk seperti Lembaga-lembaga universitas yang sesungguhnya terkait pelaksananaan studi, lamanya kursus-kursus dan syarat-syarat penerimaan. Menimbang pentingnya pusat-pusat pembinaan untuk misi gerejawi, maka diharapkan bahwa kiranya dikembangkan Lembaga-lembaga pembinaan kateketik yang sudah ada dan yang baru lahir. Para Uskup hendaklah memberi perhatian khusus dalam memilih orang-orang yang diarahkan dan didukung di pusat-pusat akademis ini supaya jangan pernah kekurangan para ahli katekese di keuskupan masing-masing.
BAGIAN KEDUA
PROSES KATEKESE
Bab V
Pedagogi Iman
1. Pedagogi ilahi dalam sejarah keselamatan
157. Wahyu adalah karya agung pendidikan dari Allah. Sesungguhnya, Wahyu dapat ditafsirkan juga dalam perspektif pedagogis. Di dalam Wahyu kita menemukan unsur-unsur karakteristik yang dapat mengantar untuk mengidentifikasi pedagogi ilahi, yang mampu mengilhami secara mendalam kegiatan edukatif Gereja. Juga katekese mengikuti jejak pedagogi Allah. Sejak awal sejarah keselamatan, Wahyu Allah dinyatakan sebagai inisiatif cinta yang terungkap dalam banyak perhatian yang mendidik. Allah telah bertanya kepada manusia, kepada siapa Dia telah meminta suatu jawaban. Dia telah meminta kepada Adam dan Hawa sebuah jawaban iman, dalam ketaatan kepada perintah-Nya; dalam cinta-Nya, kendati ketidaktaatan mereka, Allah terus mengomunikasikan kebenaran misteri-Nya sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, sampai kepada pemenuhan Wahyu dalam Yesus Kristus.
158. Tujuan Pewahyuan adalah keselamatan setiap pribadi yang direalisasikan melalui pedagogi Allah yang asali dan efektif sepanjang sejarah. Allah dalam Kitab Suci menyatakan Diri sebagai seorang Bapa yang berbelas kasihan, Guru, Orang yang bijaksana (bdk. Ul 8:5; Hos 11:3-4; Ams 3:11-12), yang menjumpai manusia dalam kondisi di mana ia berada dan membebaskannya dari kejahatan, dengan menariknya kepada Diri-Nya dengan ikatan cinta kasih. Secara bertahap dan dengan kesabaran Dia menuntun umat terpilih menuju kematangan, dan dalam umat terpilih itu, setiap orang yang mendengarkan Dia. Bapa sebagai Pendidik yang genius mengubah peristiwa-peristiwa umat-Nya menjadi pelajaran kebijaksanaan (bdk. Ul 4:36-40; 11:2-7), dengan menyesuaikan Diri-Nya dengan usia dan situasi-situasi di mana umat-Nya hidup. Dia menyampaikan ajaran-ajaran yang akan diteruskan dari generasi ke generasi (bdk. Kel 12:25-27; Ul 6:4-8; 6:20-25; 31:12-13; Yos 4:20-24), juga menasihati dan mendidik melalui cobaan-cobaan dan penderitaan (Am 4:6; Hos 7:10; Yer 2: 30; Ibr 12:4-11; Why 3:19).
159. Pedagogi ilahi ini juga tampak dalam misteri inkarnasi ketika Malaikat Gabriel meminta seorang gadis muda dari Nazaret partisipasi aktifnya dengan daya kuasa Roh Kudus: fiat Maria adalah jawaban penuh terhadap iman (bdk. Luk 1:26-38). Yesus melaksanakan misi-Nya sebagai Penyelamat dan mewujudkan pedagogi Allah. Para murid telah mengalami pedagogi Yesus, yang ciri-ciri khasnya diceritakan oleh Injil-Injil: penerimaan terhadap orang miskin, orang sederhana, pendosa; pewartaan Kerajaan Allah sebagai kabar baik; cara cinta kasih yang membebaskan dari kejahatan dan memajukan kehidupan. Kata dan keheningan, perumpamaan dan gambaran menjadi pedagogi sejati untuk menyatakan misteri cinta-Nya.
160. Yesus telah memperhatikan dengan penuh perhatian pembinaan para murid-Nya dari sudut pandang evangelisasi. Dia menampilkan Diri-Nya kepada mereka sebagai Guru satu-satunya dan, pada saat yang sama, sebagai Sahabat yang sabar dan setia (bdk. Yoh 15:15; Mrk 9:33-37; Mrk 10:41-45). Dia telah mengajar kebenaran melalui seluruh hidup-Nya. Dia telah menggerakkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan (bdk. Mrk 8:14-21, 27). Dia telah menjelaskan kepada mereka dengan cara yang lebih mendalam apa yang Dia maklumkan kepada orang banyak (bdk. Mrk 4:34; Luk 12:41). Dia telah mengajar mereka berdoa (bdk. Luk 11:1-2). Dia telah mengutus mereka untuk bermisi tidak sendirian, tetapi sebagai komunitas kecil (bdk. Luk 10:1-20). Dia telah menjanjikan mereka Roh Kudus yang akan membimbing mereka kepada seluruh kebenaran (bdk. Yoh 16:13), dengan membantu mereka pada saat-saat yang sulit (bdk. Mat 10:20; Yoh 15:26; Kis 4:31). Dengan demikian, cara Yesus berelasi ditandai dengan sikap-sikap mendidik yang sangat istimewa. Yesus tahu bagaimana menerima dan menggerakkan wanita Samaria pada jalan penerimaan rahmat secara bertahap dan kesediaan untuk pertobatan. Setelah bangkit, Dia mendekatkan Diri-Nya kepada dua murid Emaus, berjalan bersama mereka, berdialog, dan berbagi dengan penderitaan mereka. Pada saat yang sama, Dia menggerakkan mereka untuk membuka hati, Dia mengantar kepada pengalaman akan Ekaristi dan membuka mata mereka untuk mengenal-Nya; akhirnya, Dia menarik diri untuk memberi ruang bagi inisiatif misioner para murid.
161. Yesus Kristus adalah “Sang Guru yang mewahyukan Allah kepada manusia dan manusia kepada dirinya sendiri; Sang Guru yang menyelamatkan, menguduskan dan membimbing, yang hidup, berbicara, membangunkan, menggerakkan, mengoreksi, mengadili, mengampuni, dan hari demi hari menyertai kita menempuh perjalanan sejarah; Sang Guru yang datang dan masih akan datang dalam kemuliaan.”[162] Dalam berbagai sarana yang digunakan untuk mengajarkan siapa Diri-Nya, Yesus telah membangkitkan dan menggerakkan jawaban pribadi dari semua pendengar-Nya. Ini adalah jawaban iman dan, bahkan lebih dalam lagi, ketaatan iman. Jawaban ini, yang diperlemah oleh dosa, memerlukan pertobatan terus-menerus. Sesunggguhnya, Yesus sebagai Guru yang hadir dan berkarya dalam hidup manusia, mengajarnya dari kedalaman jiwa dengan membawa dia kepada kebenaran tentang dirinya dan membimbingnya kepada pertobatan. “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Mereka yang menerima tawaran penyelamatan-Nya dibebaskan dari dosa, penderitaan, kehampaan batin dan kesepian. Bersama Kristus sukacita senantiasa dilahirkan kembali.”[163]
162. Roh Kudus, yang diwartakan oleh Putra sebelum Paskah (bdk. Yoh 16:13) dan dijanjikan kepada semua murid, adalah anugerah dan pemberi anugerah dari semua anugerah. Para murid telah dibimbing oleh Roh Penghibur (Parakletos) kepada pengenalan akan kebenaran dan mereka telah memberi kesaksian “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8) tentang apa yang telah mereka dengar, lihat, renungkan dan sentuh tentang Sabda kehidupan (bdk. 1Yoh 1:1). Karya Roh Kudus dalam diri manusia mendorongnya untuk berpegang teguh kepada kebaikan sejati, kepada persekutuan dengan Bapa dan Putra, dan mendukungnya dengan kegiatan yang berguna, supaya ia dapat menyesuaikan dirinya dengan karya ilahi. Dengan berkarya dalam lubuk hati manusia dan tinggal di dalamnya, Roh Kudus menghidupinya, menyelaraskannya dengan Sang Putra dengan membawa kepadanya setiap anugerah rahmat dan meresapinya dengan rasa syukur, bersama dengan penghiburan dan kerinduan untuk semakin mewujudkan menyerupakan dirinya dengan Kristus.
163. Kesesuaian dengan karya Roh Kudus menghasilkan pembaruan autentik dalam diri orang beriman: setelah menerimakan pengurapan (bdk. 1Yoh 2:27) dan menyampaikan hidup Sang Putra, Roh menjadikannya sebagai ciptaan baru. Sebagai putra-putri dalam Sang Putra, orang-orang Kristiani menerima roh cinta kasih dan pengangkatan sehingga mereka mengakui keputraan mereka, dan memanggil Allah sebagai Bapa. Manusia, yang diperbarui dan dijadikan putra, adalah makhluk pneumatik, rohaniah, komunal, yang membiarkan dirinya didorong oleh arus yang datang dariTuhan (bdk. Yes 59:19). Maka Allah, dengan menggerakkan dalam diri manusia “kemauan dan pekerjaan” (Flp 2:13), memampukannya menyelaraskan diri dengan bebas kepada kebaikan yang dikehendaki Allah. “Roh Kudus juga memberikan keteguhan hati untuk mewartakan kebaruan Injil dengan keberanian (parrhesia) di setiap waktu dan segala tempat, bahkan ketika menghadapi perlawanan.”[164] Semua panggilan ini me-mampukan untuk memahami nilai yang dimiliki oleh pedagogi ilahi untuk kehidupan Gereja, dan betapa jelas keteladanannya juga tampak dalam katekese, yang dipanggil untuk diilhami dan dijiwai oleh Roh Yesus dan, dengan rahmat-Nya, untuk membentuk kehidupan iman orang beriman.
2. Pedagogi iman dalam Gereja
164. Kisah-kisah Injil membuktikan sifat-sifat hubungan edukatif dari Yesus dan mengilhami kegiatan pedagogis Gereja. Sejak awal Gereja telah menghidupi misinya, “sebagai kesinambungan yang kelihatan dan aktual dari pedagogi Bapa dan Putera. Dia, sebagai “Bunda, adalah juga pendidik iman kita.” Inilah alasan-alasan mendalam, mengapa komunitas Kristiani dalam dirinya sendiri adalah katekese yang hidup. Oleh karena itu, jemaat Kristiani memaklumkan, merayakan, melaksanakan, dan tetap sebagai tempat vital, sangat diperlukan danutama dari katekese. Selama berabad-abad, Gereja telah menghasilkan harta pusaka pedagogi iman yang tiada bandingnya: yang terutama adalah kesaksian para katekis yang kudus; aneka cara dan bentuk-bentuk komunikasi religius yang asli, seperti katekumenat, katekismus, perjalanan hidup Kristen; suatu warisan berharga dari ajaran kateketik, budaya iman, institusi-institusi, dan pelayanan-pelayanan katekese. Semua aspek ini membentuk bagian dari sejarah katekese, dan berdasarkan hak, masuk ke dalam kenangan komunitas dan praksis katekis.”[165]
166. Perjalanan Allah yang mewahyukan diri-Nya dan menyelamatkan, dan disatukan dengan jawaban iman Gereja dalam sejarah, menjadi sumber dan model pedagogi iman. Katekese digambarkan sebagai proses yang memungkinkan iman menjadi matang dengan menghargai perjalanan pribadi setiap orang beriman. Katekese adalah pedagogi dalam tindakan iman yang melaksanakan suatu karya terpadu: inisiasi, edukasi dan ajaran, karena selalu memiliki kesatuan yang jelas antara isi dan cara meneruskan ajaran iman. Gereja menyadari bahwa dalam katekese Roh Kudus bertindak secara efektif: kehadiran ini menjadikan katekese sebagai pedagogi iman yang sejati.
Kriteria-kriteria untuk pewartaan pesan injili
167. Gereja, dalam kegiatan kateketisnya, berusaha untuk setia kepada inti pesan Injili. “Ada kalanya ketika mendengarkan bahasa yang sama sekali ortodoks, umat beriman memperoleh sesuatu yang tidak sesuai dengan Injil Yesus Kristus yang autentik, karena bahasa tersebut asing bagi cara mereka sendiri berbicara dan memahami satu sama lain. Dengan niat suci menyampaikan kebenaran tentang Allah dan kemanusiaan, kita kadang-kadang memberi mereka dewa palsu atau cita-cita manusiawi yang tidak benar-benar Kristiani. Dengan cara demikian, kita berpegang teguh pada suatu rumusan namun gagal menyampaikan substansinya.”[166] Untuk menghindari bahaya ini dan agar karya pewartaan Injil dapat diilhami oleh pedagogi Allah, baiklah bahwa katekese mempertimbangkan beberapa kriteria yang saling terkait dengan kuat, sebab semuanya berasal dari Sabda Allah.
Kriteria Trinitaris dan Kristologis
168. Katekese harus memenuhi kriteria trinitaris dan kristologis. “Misteri Tritunggal Mahakudus adalah rahasia sentral iman dan kehidupan Kristen. Itulah misteri kehidupan batin ilahi, dasar pokok segala misteri iman yang lain dan cahaya yang meneranginya.”[167] Kristus adalah jalan yang menuntun ke dalam misteri mendalam Allah. Yesus Kristus tidak hanya meneruskan Sabda Allah: Dia adalah Sabda Allah. Wahyu Allah sebagai Trinitas merupakan hal vital untuk pemahaman bukan hanya keaslian satu-satunya Kristianisme dan Gereja, melainkan juga konsep tentang manusia sebagai makhluk relasional dan komunal. Tanpa suatu pesan Injili yang sungguh trinitaris, melalui Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus, katekese akan mengkhianati kekhasannya.
169. Kristosentrisme memberikan ciri khas yang mendasar kepada pesan yang diteruskan oleh katekese. Pada tempat pertama hal ini berarti bahwa yang menjadi pusat katekese adalah pribadi Yesus Kristus yang hidup, hadir dan berkarya. Pewartaan Injil berarti menghadirkan Kristus dan segala sesuatu yang lain mengacu kepada-Nya. Di samping itu, karena Kristus adalah “kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia” (GS 10), katekese membantu orang beriman untuk terlibat secara aktif di dalamnya, dengan menunjukkan bagaimana Kristus menjadi pemenuhan dan makna pokok hidupnya. Akhirnya, Kristosentrisme berarti bahwa katekese berkomitmen untuk “meneruskan apa yang diajarkan Yesus tentang Allah, manusia, kebahagiaan, kehidupan moral dan kematian”,[168] karena pesan Injil tidak berasal dari manusia, tetapi merupakan Sabda Allah. Menekankan sifat Kristosentris dari pesan itu meneguhkan jalan mengikuti Kristus dan persekutuan dengan Dia.
170. Katekese dan liturgi, dengan mengambil iman para Bapa Gereja, telah membentuk suatu cara khusus untuk membaca dan menafsirkan Kitab Suci, yang sampai hari ini masih mempertahankan nilainya yang cemerlang. Cara ini dicirikan dengan ditampilkannya kesatuan pribadi Yesus melalui misteri-misteri-Nya,[169] yaitu sesuai dengan peristiwa-peristiwa utama hidup-Nya yang dipahami dalam pengertian teologis dan spiritual yang abadi. Misteri-misteri ini dirayakan pada berbagai pesta dalam tahun liturgi dan ditampilkan dalam rangkaian ikonografi yang menghiasi banyak gedung gereja. Dalam penyajian tentang pribadi Yesus dipadukan data biblis dan Tradisi Gereja: cara membaca Kitab Suci seperti ini sangat bermanfaat terutama dalam katekese. Katekese dan liturgi tidak pernah membatasi diri untuk membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara terpisah, tetapi membacanya sebagai suatu kesatuan. Dengan membaca keduanya secara bersama ini menunjukkan bahwa hanya pembacaan Kitab Suci tipologislah, yang memampukan kita untuk memahami sepenuhnya makna peristiwa-peristiwa dan teks-teks yang menceritakan satu-satunya sejarah keselamatan. Cara pembacaan ini menunjukkan kepada katekese suatu jalan berkelanjutan, yang masih sangat relevan hingga saat ini, yang memungkinkan orang yang bertumbuh dalam iman memahami bahwa tak satupun detil perjanjian lama ditiadakan oleh Kristus, tetapi di dalam Dia semua menemukan kepenuhannya.
Kriteria sejarah keselamatan
171. Arti nama Yesus, “Allah menyelamatkan”, mengingatkan kita bahwa semua yang merujuk pada Dia diselamatkan. Katekese tidak pernah boleh mengabaikan misteri paskah yang dengannya keselamatan telah diberikan kepada umat manusia dan yang merupakan dasar dari semua sakramen dan sumber dari setiap rahmat. Penebusan, pembenaran, pembebasan, pertobatan dan keputraan ilahi merupakan aspek-aspek penting dari karunia besar keselamatan. “Ekonomi keselamatan memiliki ciri historis, karena itu diwujudkan dalam waktu. […] Gereja, dalam meneruskan pesan kristiani, mulai dengan kesadarannya yang hidup tentang hal itu, serta memiliki kenangan yang tetap akan peristiwa-peristiwa keselamatan pada masa lampau, dengan menarasikannya. Gereja menafsirkan dalam terang peristiwa-peristiwa sejarah umat manusia sekarang ini, di mana Roh Allah terus-menerus membarui muka bumi, dan Gereja menantikan kedatangan Tuhan dengan iman.”[170] Maka, penyampaian iman, akan mempertimbangkan fakta-fakta dan kata-kata yang dengannya Allah telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia melalui tahap-tahap besar Perjanjian Lama, kehidupan Yesus Putra Allah dan sejarah Gereja.
172. Dalam daya kuasa Roh Kudus, sejarah manusia di mana Gereja berada di dalamnya juga merupakan sejarah keselamatan yang berlangsung sepanjang waktu. Sesungguhnya, Tuhan Yesus mewahyukan bahwa sejarah itu bukan tanpa tujuan sebab ia membawa dalam dirinya kehadiran Allah. Gereja, dalam peziarahannya sekarang menuju penggenapan Kerajaan Allah, merupakan tanda yang berdaya guna dari tujuan ke mana dunia diarahkan. Injil, dasar pengharapan bagi dunia seluruhnya dan umat manusia sepanjang zaman, memberikan suatu pandangan yang mencakup kepercayaan kepada cinta kasih Allah. Maka, pesan Kristiani selalu disampaikan dalam hubungan dengan makna kehidupan, kebenaran dan martabat pribadi manusia. Kristus telah datang untuk keselamatan kita, supaya kita mempunyai hidup dalam kepenuhan. “Sesungguhnya, hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah misteri manusia menemukan terang sejati” (GS 22). Sabda Allah, yang yang diantarakan oleh katekese, menerangi hidup manusia, memberinya maknanya yang terdalam dan menemani manusia pada jalan-jalan keindahan, kebenaran dan kebaikan.
173. Pewartaan Kerajaan Allah mencakup pesan pembebasan dan kemajuan umat manusia, yang terkait erat dengan pemeliharaan dan tanggung jawab kepada seluruh ciptaan. Keselamatan, yang diberikan oleh Tuhan dan diwartakan oleh Gereja, menyangkut semua persoalan kehidupan sosial. Maka, perlulah mempertimbangkan kompleksitas dunia kontemporer dan hubungan erat yang ada antara budaya, politik, ekonomi, pekerjaan, lingkungan, mutu kehidupan, kemiskinan, kekacauan sosial, peperangan.[171] “Injil memiliki prinsip totalitas yang intrinsik: Injil tidak akan berhenti menjadi Kabar Baik selama belum diwartakan kepada semua orang, selama belum menyembuhkan dan menguatkan setiap aspek kemanusiaan, selama belum menyatukan semua manusia di meja per-jamuan Kerajaan Allah.”[172] Bagaimanapun juga, perspektif akhir pewartaan keselamatan adalah selalu kehidupan kekal. Hanya di dalamnya komitmen kepada keadilan dan kerinduan untuk pembebasan akan terlaksana sepenuhnya.
Kriteria keutamaan rahmat dan keindahan
174. Kriteria lain visi hidup Kristiani adalah keunggulan rahmat. Seluruh katekese perlu menjadi “katekese rahmat, karena oleh rahmat kita diselamatkan dan hanya oleh rahmat perbuatan-perbuatan kita dapat menghasilkan buah kehidupan abadi.”[173] Maka, kebenaran yang diajarkan bertolak dari prakarsa Allah yang penuh kasih dan berlanjut dengan jawaban manusia yang berasal dari sikap mendengarkan dan selalu merupakan buah rahmat. “Komunitas yang mewartakan Injil mengetahui bahwa Tuhan telah mengambil prakarsa, Dia terlebih dahulu mengasihi kita (bdk. 1Yoh 4:10.19), sehingga kita dapat bergerak maju, berani mengambil prakarsa”.[174] Meskipun sadar bahwa hasil katekese tidak bergantung pada kemampuan untuk melaksanakan dan merencanakan, Allah tentu meminta suatu kerja sama dengan rahmat-Nya, dan dengan demikian mengundang untuk menggunakan, dalam pelayanan demi Kerajaan Allah, semua sumber daya kecerdasan dan keterampilan kerja yang diperlukan dalam kegiatan kateketis.
175. “Mewartakan Kristus berarti menunjukkan bahwa percaya kepada-Nya dan mengikuti-Nya bukan hanya sesuatu yang tepat dan benar, melainkan juga sesuatu yang indah, yang mampu memenuhi hidup dengan semarak yang baru dan sukacita yang mendalam, bahkan di tengah-tengah kesulitan-kesulitan.”[175] Katekese perlu selalu meneruskan keindahan Injil yang bergema dari bibir Yesus untuk semua: orang-orang miskin, orang-orang sederhana, para pendosa, para pemungut pajak dan pelacur, yang merasa diterima, dimengerti dan dibantu, diundang dan dididik oleh Tuhan sendiri. Sesungguhnya, pemakluman cinta kasih Allah yang berbelas kasihan dan cuma-cuma yang dinyatakan secara penuh dalam diri Yesus Kristus, yang wafat dan bangkit, adalah inti dari kerygma. Ada juga aspek-aspek pesan Injili yang secara umum sulit untuk dipahami, khususnya di mana Injil memanggil kepada pertobatan dan pengakuan dosa. Meski demikian, katekese bukan terutama penyampaian moral, melainkan pemakluman keindahan Allah, yang dapat dialami, yang menyentuh hati dan budi, dengan mengubah hidup.[176]
Kriteria eklesialitas
176. “Iman perlu memiliki bentuk gerejawi, diakui dari dalam Tubuh Kristus, sebagai persekutuan konkret kaum beriman.”[177] Sesungguhnya, “bila katekese meneruskan misteri Kristus, iman seluruh umat Allah bergema dalam pesannya sepanjang perjalanan sejarah: iman yang diterima oleh para Rasul dari Kristus sendiri dan di bawah karya Roh Kudus; iman para martir yang telah memberikan kesaksian tentang imannya dan masih memberikan kesaksian itu dengan darah mereka; iman para kudus yang telah mereka hayati secara mendalam; iman para Bapa dan Pujangga Gereja yang telah mereka ajarkan dengan gemilang; iman para misionaris yang tanpa henti mereka maklumkan; iman para teolog yang membantu untuk memahaminya dengan lebih baik; iman para gembala yang dengan semangat dan cinta memeliharanya dan menafsirkannya secara autentik. Sesungguhnya, dalam katekese terdapat iman semua orang yang percaya dan membiarkan diri dituntun oleh Roh Kudus.”[178] Selain itu, katekese mengantar umat beriman kepada misteri persekutuan yang hidup, bukan hanya dalam hubungan dengan Bapa melalui Kristus dalam Roh, melainkan juga dalam komunitas kaum/umat beriman melalui karya Roh yang sama. Dengan mendidik kepada persekutuan, katekese mendidik untuk hidup dalam Gereja dan sebagai Gereja.
Kriteria kesatuan dan keutuhan iman
177. Iman, yang diteruskan oleh Gereja, hanya satu adanya. Orang-orang kristiani tersebar di seluruh dunia, namun mereka membentuk hanya satu umat. Juga katekese, meskipun menjelaskan iman dengan bahasa-bahasa budaya yang sangat berbeda satu sama lain, tidak melakukan apa pun kecuali menegaskan kembali satu-satunya pembaptisan, dan satu-satunya iman (bdk. Ef 4:5). “Dia yang menjadi murid Kristus memiliki hak untuk menerima sabda iman yang tidak dipenggal-penggal, tidak dipalsukan, tetapi yang komplet dan integral, dengan semua kekerasan dan kehebatannya.”[179] Maka, suatu kriteria fundamental katekese adalah juga mengungkapkan pesan yang utuh, dan menghindari penyampaiannya yang parsial atau tidak sesuai. Sesungguhnya, Kristus tidak memberikan beberapa pengetahuan rahasia kepada sedikit orang yang terpilih dan istimewa (pengetahuan yang disebut gnosi), tetapi ajaran-Nya ditujukan semua orang, sejauh setiap orang cakap untuk menerimanya.
178. Penyampaian integritas kebenaran-kebenaran iman harus memperhitungkan prinsip hierarki kebenaran (bdk. UR 1): sesungguhnya, “semua kebenaran yang diwahyukan berasal dari sumber ilahi yang sama dan harus dipercayai dengan iman yang sama, namun beberapa di antaranya lebih penting untuk mengungkapkan secara langsung intisari Injil.”[180] Kesatuan organis iman membuktikan esensi utamanya dan memperbolehkan iman itu untuk diwartakan dan diajarkan dengan segera, tanpa mengurangi dan memperkecilnya. Ajaran, meskipun bertahap dan dengan penyesuaian-penyesuaian terhadap orang-orang dan keadaan, tidak mempengaruhi kesatuan dan kepaduannya.
3. Pedagogi kateketik
179. Berhadapan dengan tantangan-tantangan saat ini, kesadaran akan hubungan timbal balik antara isi dan metode menjadi semakin penting, baik dalam evangelisasi maupun dalam katekese. Pedagogi iman yang orisinil diilhami oleh kerelaan Allah yang secara konkret akan dihasilkan dari ketaatan ganda –kepada Allah dan kepada manusia– dan dengan demikian dari penjelasan atas sintesis yang bijaksana antara dimensi teologis dan antropologis kehidupan iman. Dalam program katekese, prinsip mengevangelisasi sambil mendidik dan mendidik sambil mengevangelisasi[181] mengingatkan antara lain, bahwa karya dari katekis terdiri dari menemukan dan menunjukkan tanda-tanda tindakan Allah yang sudah hadir dalam kehidupan orang-orang dan, dengan terlibat bersama mereka, menawarkan Injil sebagai kekuatan yang berdaya ubah dalam seluruh kehidupan dan memberikan arti yang penuh kepada kehidupan. Pendampingan kepada seseorang dalam suatu perjalanan pertumbuhan dan pertobatan harus ditandai oleh kebertahapan, karena tindakan untuk percaya melibatkan suatu penemuan bertahap akan misteri Allah dan suatu keterbukaan serta kepercayaan kepada-Nya yang berkembang seiring waktu.
Hubungan dengan ilmu-ilmu (sains) kemanusiaan
180. Katekese adalah suatu kegiatan yang pada dasarnya mendidik. Katekese selalu dilaksanakan dalam kesetiaan kepada Sabda Allah dan dalam perhatian dan interaksi dengan praksis pendidikan budaya. Berkat penelitian dan refleksi atas ilmu-ilmu kemanusiaan telah muncul teori-teori, pendekatan-pendekatan dan model-model yang membarui secara mendalam praksis edukatif dan memberikan suatu sumbangan penting untuk suatu pengetahuan mendalam tentang manusia, hubungan-hubungan manusiawi, masyarakat, dan sejarah. Sumbangan ilmu-ilmu kemanusiaan sangat fundamental. Khususnya pedagogi dan didaktika memperkaya proses-proses edukatif katekese. Bersamaan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan psikologi juga bernilai penting, terutama karena membantu memahami dinamisme motivasional, struktur kepribadian, unsur-unsur yang berhubungan dengan gangguan dan patologi, berbagai tahap perkembangan dan tugas-tugas evolusioner, dinamika pendewasaan religius dan pengalaman-pengalaman yang membuka manusia kepada misteri yang suci. Selain itu, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu komunikasi, membuka kepada pengetahuan tentang konteks sosio-budaya di mana orang hidup dan setiap orang dipengaruhi olehnya.
181. Katekese harus menghindari menyamakan tindakan Allah yang menyelamatkan dengan perbuatan pedagogis manusiawi; demikian juga, ia berhati-hati untuk tidak memisahkan atau mempertentangkan proses-proses itu. Dalam logika inkarnasi, kesetiaan kepada Allah dan kesetiaan kepada manusia saling kait-mengait secara mendalam. Maka, patut dipahami bahwa inspirasi iman itu sendiri membantu suatu penghargaan yang tepat terhadap sumbangan-sumbangan dari ilmu-ilmu kemanusiaan. Pendekatan-pendekatan dan teknik-teknik yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki nilai sejauh ditempatkan untuk pelayanan penerusan dan pendidikan iman. Iman mengakui otonomi dari realitas duniawi dan juga ilmu-ilmu pengetahuan (bdk. GS 36) dan menghormati logika-logika mereka yang, jika autentik, terbuka kepada kebenaran manusia; namun pada saat yang sama iman memasukkan sumbangan-sumbangan itu ke dalam cakrawala Wahyu.
Bab VI
Katekismus Gereja Katolik
1. Katekismus Gereja Katolik
Catatan sejarah [182-183]
182. Gereja, sejak zaman tulisan-tulisan perjanjian baru, telah membuat rumusan-rumusan pendek dan ringkas untuk mengakui, merayakan dan menyaksikan imannya. Sudah dari abad keempat, kepada para Uskup diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih luas tentang iman melalui sintesis dan kompendium. Dalam dua momentum historis, sesudah Konsili Trente dan tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, Gereja telah menganggap pantas untuk memberikan uraian terperinci dan tersusun tentang iman melalui Katekismus yang bersifat universal, yang merupakan alat persekutuan gerejawi dan juga titik acuan untuk katekese.[182]
183. Pada tahun 1985, selama Sinode Luar Biasa Para Uskup, yang dirayakan pada kesempatan ulang tahun kedua puluh penutupan Konsili Vatikan II, banyak Bapa Sinode mengungkapkan keinginan perlunya disusun suatu Katekismus atau suatu kompendium ajaran Katolik mengenai iman dan moral. Katekismus Gereja Katolik diumumkan secara resmi pada tanggal 11 Oktober 1992 oleh Yohanes Paulus II, diikuti dengan editio typica (edisi contoh) dalam bahasa Latin pada tanggal 15 Agustus 1997. Ini merupakan hasil kerja sama dan konsultasi dari seluruh keuskupan Katolik, banyak institut teologi dan kateketik dan banyak ahli dan spesialis dalam berbagai disiplin ilmu. Maka, Katekismus ini merupakan karya kolegial dan buah dari Konsili Vatikan II.
Identitas, tujuan dan audiens Katekismus
184. Katekismus adalah “teks resmi dari Magisterium Gereja, yang dengan otoritas mengumpulkan dalam satu bentuk yang tepat, sebagai suatu sintesis organis, peristiwa-peristiwa dan kebenaran-kebenaran mendasar yang menyelamatkan, yang mengungkapkan iman bersama dari Jemaat Allah dan yang merupakan acuan dasar yang sangat penting bagi katekese.”[183] Katekismus Gereja Katolik merupakan ungkapan ajaran iman sepanjang masa, namun berbeda dari dokumen-dokumen Magisterium lainnya, karena tujuannya adalah memberikan suatu sintesis sistematis dari warisan iman, spiritualitas dan teologi sejarah gereja. Meskipun berbeda dari Katekismus-katekismus lokal, yang melayani bagian tertentu dari umat Allah, Katekismus Gereja Katolik, merupakan teks acuan yang pasti dan autentik untuk persiapan Katekismus-katekismus lokal, sebagai “sarana fundamental untuk tindakan terpadu dari Gereja mengomunikasikan seluruh isi iman.”[184]
185. Katekismus Gereja Katolik telah dipublikasikan pertama-tama untuk para Pastor dan umat beriman, dan di antara semua ini, secara khusus untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan katekese di dalam Gereja. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu “norma yang pasti tentang pengajaran iman.”[185] Untuk ini ia memberikan jawaban yang jelas dan dapat dipercaya terhadap hak yang sah dari semua orang dibaptis untuk memiliki akses kepada penyajian iman Gereja dalam keutuhannya dan dalam bentuk yang sistematis serta dapat dipahami. Katekismus, justru karena menjelaskan Tradisi Katolik, dapat mendorong dialog ekumenis dan dapat berguna bagi semua, juga yang bukan Kristiani, yang ingin mengetahui iman Katolik.
186. Katekismus Gereja Katolik, karena memiliki perhatian pertama yakni kesatuan Gereja dalam satu iman, maka ia tidak dapat mempertimbangkan konteks-konteks budaya khusus. Namun demikian, “dari teks ini setiap penyelenggara katekese akan dapat menerima suatu bantuan yang bermanfaat untuk menjembatani di tingkat lokal warisan iman satu-satunya dan abadi, dan dengan bantuan Roh Kudus, berusaha untuk memadukan secara bersama kesatuan yang mengagumkan antara misteri Kristiani dengan keragaman kebutuhan dan situasi para penerima pewartaannya.”[186] Inkulturasi akan menjadi perhatian penting katekese dalam berbagai konteks.
Sumber dan struktur Katekismus
187. Katekismus Gereja Katolik diberikan kepada seluruh Gereja “untuk suatu katekese yang diperbarui pada sumber-sumber iman yang hidup.”[187] Di antara sumber-sumber ini, yang terutama adalah Kitab-kitab suci yang diilhami secara ilahi, dirangkum menjadi satu buku saja, yang di dalamnya Allah “hanya mengatakan satu perkataan saja: Sabda-Nya satu-satunya, dan di dalamnya Dia mengungkapkan segenap diri-Nya”[188], dengan mengikuti pandangan patristik bahwa “hanya ada satu percakapan Allah yang berkembang dalam seluruh Kitab suci dan hanya satu Sabda yang bergema di mulut semua penulis suci.”[189]
188. Selain itu, Katekimus Gereja Katolik menimba pada sumber Tradisi, yang dalam bentuk tertulisnya mencakup berbagai macam rumusan kunci tentang iman, yang diambil dari tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, berbagai Pengakuan iman, Konsili-konsili, Magisterium kepausan, ritus liturgi timur dan barat, demikian juga dari kitab hukum kanonik. Ditemukan pula sangat banyak kutipan yang diambil dari amat banyak tulisan gerejawi, orang-orang kudus dan para pujangga Gereja. Selanjutnya, catatan-catatan historis dan unsur-unsur hagiografis memperkaya penjelasan doktrinal, yang diperkuat juga oleh ikonografi.
189. Katekismus Gereja Katolik disusun dalam empat bagian di sekitar dimensi-dimensi fundamental hidup kristiani, yang memiliki asal dan dasar dalam cerita Kisah para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42).[190] Di sekitar dimensi-dimensi ini disusun pengalaman masa katekumenat Gereja purba, kemudian disusun penyampaian iman dalam berbagai Katekismus sepanjang sejarah, meski-pun dengan penekanan dan cara yang berbeda-beda. Dimensi-dimensi itu adalah: pengakuan iman (Simbol, Syahadat), liturgi (sakramen-sakramen iman), hidup kemuridan (10 perintah), doa Kristiani (Bapa Kami). Dimensi-dimensi ini merupakan pilar-pilar katekese dan paradigma untuk pem-bentukan ke dalam hidup Kristiani. Sesungguhnya, katekese membuka iman kepada Allah yang Esa dan Tritunggal dan kepada rencana keselamatan-Nya; mendidik dalam kegiatan liturgis dan menginisiasi hidup sakramental Gereja; mendukung jawaban kaum beriman kepada rahmat Allah; mengantar kepada praktek doa kristiani.
Makna teologis-kateketis dari Katekismus
190. Katekismus Gereja Katolik sendiri bukanlah suatu usulan metode katekese, juga tidak memberikan petunjuk-petunjuk tentang hal itu, dan tidak dikacaukan dengan proses katekese, yang selalu memerlukan suatu mediasi.[191] Meskipun demikian, strukturnya “mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja.”[192] Katekismus Gereja Katolik, dengan mengacu pada keseluruhan hidup kristiani, mendorong proses pertobatan dan pendewasaan. Katekismus menyelesaikan karyanya, apabila pemahaman akan kata-kata mengacu pada keterbukaan hati, tetapi juga sebaliknya, apabila rahmat keterbukaan hati menimbulkan keinginan untuk mengenal dengan lebih baik Dia yang di dalam-Nya orang beriman menaruh iman-kepercayaannya. Maka, pengetahuan yang dirujuk dalam Katekismus Gereja Katolik ini tidak abstrak: sesungguhnya strukturnya dalam empat bagian mengharmoniskan iman yang diakui, dirayakan, dihidupi dan didoakan, dengan demikian membantu untuk berjumpa dengan Kristus, meskipun secara bertahap. Bagaimanapun juga, program kateketis tidak harus mengikuti aturan/tata susun bagian-bagian Katekismus Gereja Katolik.
191. Struktur Katekismus Gereja Katolik yang harmonis dapat dilihat dalam hubungan teologis antara isi dan sumber-sumbernya, dan dalam interaksi antara Tradisi Barat dan Tradisi Timur. Selain itu, struktur ini mencerminkan kesatuan misteri Kristiani dan perputaran kebajikan-kebajikan teologis dan menyatakan keindahan harmonis yang menjadi ciri kebenaran Katolik. Pada saat yang sama, ia memadukan kebenaran sepanjang masa ini dengan aktualitas gerejawi dan sosial. Jelaslah bahwa Katekismus Gereja Katolik yang tersusun demikian, meningkatkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam penyampaian iman.
192. Isi Katekismus Gereja Katolik disajikan dengan cara sedemikian rupa untuk menunjukkan pedagogi Allah. Pemaparan doktrin menghormati sepenuhnya jalan-jalan Allah danmanusia dan mewujudkan kecenderungan sehat pembaruan katekese pada abad kedua puluh. Narasi iman dalam Katekismus Gereja Katolik menyediakan tempat yang sangat istimewa kepada Allah dan karya rahmat, yang menduduki tempat terbesar dalam penyebaran materi, yakni pewartaan katekese itu sendiri. Sejalan dengan hal itu, semua kriteria lain yang sudah disampaikan sebagai hal yang perlu demi berhasilnya suatu pewartaan Injil juga diungkapkan secara tidak langsung: sentralitas trinitaris dan kristologis, cerita tentang sejarah keselamatan, ekklesialitas dari pesan, hierarki kebenaran, pentingnya keindahan. Dalam semua itu dapat dibaca bahwa tujuan Katekismus Gereja Katolik adalah untuk membangkitkan kerinduan akan Kristus, dengan menampilkan Allah yang patut dirindukan yang menghendaki kebaikan bagi manusia. Maka, Katekismus Gereja Katolik bukan merupakan suatu ungkapan ajaran yang statis, melainkan suatu instrumen yang dinamis, yang layak menginspirasi dan menguatkan perjalanan iman untuk kehidupan setiap orang dan, dengan demikian, tetap berlaku bagi pembaruan katekese.
2. Kompendium Katekismus Gereja Katolik
193. Kompendium Katekismus Gereja Katolik merupakan sarana yang berisi kekayaan Katekismus Gereja Katolik dalam bentuk yang sederhana, langsung dan mudah diakses untuk semua orang. Kompendium merujuk kepada struktur Katekismus Gereja Katolik dan isinya. Sesungguhnya, Kompendium merupakan “suatu sintesis yang setia dan pasti dari Katekismus Gereja Katolik. Secara ringkas Kompendium mengandung semua unsur esensial dan fundamental iman Gereja, sedemikian rupa sehingga membentuk […] semacam “vademecum” (buku petunjuk praktis), yang memungkinkan orang-orang, yang beriman dan yang tidak beriman, untuk menerima, dalam pandangan keseluruhan, seluruh gambaran iman Katolik.”[193] Sifat khas Kompendium adalah bentuk dialogal-nya. Sesungguhnya, disarankan “dialog ideal antara guru dan murid, melalui serangkaian pertanyaan yang terus-menerus, yang melibatkan pembaca dan mengundangnya untuk terus menggali penemuan aspek-aspek yang selalu baru dari kebenaran imannya.”[194] Selain itu, berhargalah kehadiran gambaran-gambaran yang menegaskan struktur teks. Berkat kejelasan dan keringkasannya, Kompendium Katekismus Gereja Katolik juga ditampilkan sebagai bantuan sah untuk menghafalkan isi-isi dasariah iman.
Bab VII
Metodologi dalam Katekese
1. Hubungan antara isi dan metode
194. Misteri inkarnasi mengilhami pedagogi kateketis. Hal ini juga berimplikasi pada metodologi katekese, yang mesti mengacu kepada Sabda Allah dan pada saat yang sama menerima tuntutan-tuntutan autentik pengalaman manusiawi. Ini adalah tentang menghayati kesetiaan kepada Allah dan kepada manusia untuk menghindari setiap pertentangan atau pemisahan atau netralitas antara metode dan isi. Isi katekese, karena merupakan objek iman, tidak bisa dengan tidak peduli tunduk pada metode apa pun, tetapi menuntut bahwa isi katekese merefleksikan esensi pesan Injil bersama dengan sumber-sumbernya dan juga mempertimbangkan lingkungan nyata komunitas gerejawi dan setiap orang yang dibaptis. Pentinglah memperhatikan bahwa tujuan edukatif katekese menentukan pilihan-pilihan metodologis.
Keragaman metode
195. Gereja, sementara dengan tetap mempertahankan keutamaan rahmat, memberi perhatian pada proses-proses katekese dan metodenya dengan tanggung jawab dan semangat edukatif yang tulus. Katekese tidak memiliki metode tunggal, tetapi terbuka untuk mengembangkan metode-metode yang berbeda-beda, dengan menghadapkannya dengan pedagogi dan didaktika, dan membiarkan diri dibimbing oleh Injil, yang perlu untuk mengakui kebenaran manusia. Sepanjang sejarah Gereja, banyak karisma pelayanan Sabda Allah telah menghasilkan proses metodologi yang berbeda-beda, tanda vitalitas dan kekayaan. “Usia dan perkembangan intelektual orang-orang Kristiani, taraf kematangan gerejawi dan rohani mereka dan banyak situasi pribadi meminta supaya katekese mengambil bermacam-ragam metode.”[195] Komunikasi iman dalam katekese, yang juga terjadi melalui perantaraan manusia, bagaimanapun juga tetap merupakan suatu peristiwa berahmat, yang terlaksana dalam perjumpaan antara Sabda Allah dengan pengalaman pribadi. Rasul Paulus menjelaskan bahwa “kepada kita asing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus” (Ef 4:7). Maka, rahmat diungkapkan baik melalui tanda-tanda yang nyata yang terbuka kepada misteri, maupun melalui jalan-jalan lain yang tidak dikenal oleh manusia.
196. Karena Gereja tidak memiliki suatu metode khusus untuk mewartakan Injil, maka perlulah tindakan discernment untuk dapat menguji setiap hal dan memegang apa yang baik (bdk. 1Tes 5:21). Dalam katekese dapat dinilai, sebagaimana telah terjadi banyak kali dalam sejarah, proses-proses metodologis yang lebih terpusat pada fakta kehidupan atau lebih berorientasi pada pesan iman. Hal itu bergantung pada situasi konkret subjek-subjek katekese. Dalam kedua kasus pentinglah suatu prinsip korelasi, yang menghubungkan kedua aspek itu. Peristiwa-peristiwa pribadi dan sosial dari hidup dan sejarah menemukan dalam isi iman suatu terang penafsiran; hal ini, di pihak lain, disampaikan selalu dengan memahami implikasi-implikasi yang dimiliki terhadap kehidupan. Proses ini meng-andaikan suatu kemampuan hermeneutik: kehidupan, jika ditafsirkan dalam hubungan dengan pewartaan Kristiani, terwujud dalam kebenarannya; kerygma, di sisi lain, selalu mempunyai suatu nilai keselamatan dan kepenuhan kehidupan.
2. Pengalaman manusiawi
197. Pengalaman manusiawi merupakan unsur penting katekese, baik dalam identitas maupun dalam prosesnya, demikian pula dalam isi dan metode, karena pengalaman itu bukan hanya tempat di mana Sabda Allah diperdengarkan lagi, melainkan juga ruang di mana Allah berbicara. Pengalaman setiap orang atau masyarakat seluruhnya hendaklah didekati dengan sikap cinta, penerimaan dan rasa hormat. Allah bertindak dalam kehidupan setiap orang dan dalam sejarah serta pribadi katekis, yang diilhami oleh cara Yesus, membiarkan diri disentuh oleh kehadiran Allah ini. Hal itu menghindarkan untuk memikirkan manusia dan sejarah hanya sebagai penerima program dan membuka kepada relasi timbal balik dan dialog, dengan mendengarkan apa yang sudah dikerjakan Roh Kudus secara diam-diam.
198. Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah, mencari, berjumpa dengan dan menerima orang-orang dalam situasi-situasi konkret hidup mereka. Juga dalam pengajaran-Nya, Dia bertolak dari pengamatan peristiwa-peristiwa kehidupan dan sejarah, yang ditafsirkan-Nya ulang dari perspektif yang bijaksana. Penerimaan pengalaman oleh Yesus merupakan hal yang spontan, yang tampak terutama dalam perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan ini, berangkat dari pengamatan atas fakta dan pengalaman yang dikenal semua orang, mendorong teman bicara untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memulai proses refleksi batiniah. Sesungguhnya, perumpamaan-perumpamaan bukan hanya merupakan contoh-contoh untuk memahami pesan, melainkan panggilan untuk menempatkan diri dalam hidup dengan kesiapsediaan dan keselarasan dengan karya Allah. Yesus telah membantu untuk menghidupi pengalaman-pengalaman manusiawi dengan mengenal kehadiran dan panggilan Allah.
199. Katekese, dengan mengikuti teladan Yesus, membantu menerangi dan menafsirkan pengalaman-pengalaman hidup dalam terang Injil. Manusia zaman sekarang hidup dalam situasi-situasi keterpecahan di mana dia sendiri mengalami kesulitan untuk memahami makna kesatuannya. Hal ini dapat menyebabkan orang menghayati secara terpisah iman yang diakui dan pengalaman-pengalaman manusiawi yang dihidupi. Penafsiran ulang kehidupan dengan mata iman membantu suatu penglihatan yang bijaksana dan integral. Jikalau katekese mengabaikan untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman manusiawi dan pesan yang diwahyukan, maka ia jatuh dalam bahaya penyejajaran yang palsu atau ketidakpahaman akan kebenaran.
200. Yesus menggunakan pengalaman-pengalaman dan situasi-situasi manusiawi untuk menunjukkan realitas transenden dan sekaligus menunjukkan sikap yang harus diambil. Dalam menjelaskan misteri-misteri Kerajaan, sesungguhnya Dia memakai situasi-situasi biasa dari alam dan kegiatan manusia (umpamanya, benih yang tumbuh, pedagang mencari harta karun, bapa yang mempersiapkan pesta perkawinan bagi putra …). Katekese, agar membuat pesan kristiani dapat dipahami, harus menghargai pengalaman manusiawi, yang tetap menjadi perantara utama untuk masuk kepada kebenaran Wahyu.
3. Memori
201. Kenangan merupakan suatu dimensi fundamental dari sejarah keselamatan. Bangsa Israel diajak terus-menerus untuk menjaga kenangan itu tetap hidup, untuk tidak melupakan kebaikan Tuhan. Ini adalah tentang menyimpan dalam hati peristiwa-peristiwa yang menjadi bukti inisiatif Allah, yang kadang-kadang sulit dimengerti namun dapat diterima sebagai peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan. Maria tahu menyimpan semua dalam hati (bdk. Luk 2:51). Maka kenangan, dalam arti yang lebih mendalam, membawa kembali kepada keutamaan rahmat; kepada pengenalan akan karunia-karunia Allah dan rasa syukur atas karunia-karunia itu; kepada penghayatan di dalam hati suatu tradisi tanpa memotong akar-akarnya. Katekese menghargai perayaan atau pengenangan peristiwa-peristiwa besar sejarah keselamatan, untuk membantu orang beriman merasa menjadi bagian dari sejarah ini. Dalam terang kenangan ini, dipahami nilai kenangan dalam katekese, sebagai kunci penting untuk penerusan Wahyu. Rasul Petrus menulis: “Karena itu aku senantiasa bermaksud mengingatkan kamu akan semuanya itu, sekalipun kamu telah mengetahuinya dan telah teguh dalam kebenaran yang telah kamu terima. Tetapi aku akan berusaha, supaya juga sesudah kepergianku itu kamu selalu mengingat semuanya itu” (2Ptr 1:12.15). Katekese menjadi bagian dari anamnese Gereja yang menjaga kehadiran Tuhan tetap hidup. Oleh karena itu, kenangan merupakan aspek penting dari pedagogi iman sejak awal mula Kekristenan.
202. Menurut satu tradisi yang berasal dari abad-abad awal Gereja, umat beriman wajib menghafalkan Pengakuan Iman. Pengakuan Iman tidak ditulis, namun tetap hidup dalam ingatan dan hati setiap orang beriman, dengan demikian menjadi makanan sehari-hari. Katekese perlu menggambarkan nilai dan penjelasan Pengakuan Iman, seperti halnya juga teks-teks Kitab Suci, liturgi dan devosi umat. Setelah itu penting juga bahwa katekesemembuat semua teks itu dihafal supaya memberi isi langsung, yang menjadi bagian dari warisan bersama umat beriman. “Tunas-tunas iman dan kesalehan –kalau boleh disebut begitu– tidak tumbuh di tanah gersang katekese tanpa daya-kenang. Yang pokok yakni: bahwa teks-teks yang dihafalkan sekaligus harus diresapkan dan lambat-laun dimengerti secara mendalam, agar menjadi sumber kehidupan Kristen pada tingkat pribadi maupun jemaat.”[196]
203. “Sekali lagi, yang lebih penting, mempelajari rumusan-rumusan iman, dan pengakuan iman mereka harus dimengerti dalam konteks tradisional dan bermanfaat dari tradisi (traditio) dan redisi (redditio), sehingga penyampaian iman dalam katekese (traditio) berhubungan dengan tanggapan subjek selama proses kateketis, dan seterusnya dalam hidup (redditio).”[197] Namun demikian jawaban, ini tidak diberikan secara otomatis, sebab iman yang diteruskan dan didengarkan memerlukan suatu penerimaan (receptio) yang sepantasnya dan internalisasi. Untuk meng-atasi risiko penghafalan yang tidak berbuah atau demi hafalan itu sendiri, baiklah dipertimbangkan dalam kaitan dengan unsur-unsur proses kateketis yang lain, seperti relasi, dialog, refleksi, keheningan, dan pendampingan.
4. Bahasa
204. Bahasa, bersama dengan makna-makna relasionalnya, merupakan bagian penting dari pengalaman manusiawi. Katekese diukur dengan keberagaman pribadi-pribadi, budaya, sejarah atau lingkungan mereka, cara dan kemampuan mereka memahami realitas. Katekese adalah suatu kegiatan pedagogis yang disampaikan pada aneka bahasa para subjek dan pada saat yang sama menjadi pembawa bahasa tertentu. Sesungguhnya, “kita tidak percaya kepada rumus-rumus, tetapi kepada kenyataan yang diungkapkannya dan yang dapat kita “raba” oleh karena iman […]. Tetapi kita mendekati kenyataan-kenyataan ini dengan bantuan rumus-rumus iman. Formula ini memungkinkan untuk menyatakan dan meneruskan iman, untuk merayakan bersama, untuk menjadikannya milik kita dan untuk semakin hidup darinya. Gereja […] mengajarkan bahasa iman kepada kita supaya mengantar kita masuk ke dalam pengertian dan kehidupan iman.”[198]
205. Karena itu, katekese diekspresikan dalam suatu bahasa yang merupakan ungkapan iman Gereja. Dalam sejarahnya, Gereja telah mengomunikasikan iman melalui Kitab Suci (bahasa biblis), simbol-simbol dan ritus-ritus liturgis (bahasa simbolis-liturgis), tulisan-tulisan para Bapa Gereja, Simbol-simbol iman, rumusan-rumusan Magisterium (bahasa doktrinal) dan kesaksian para orang kudus dan para martir (bahasa performatif). Ini semua adalah bahasa-bahasa utama iman gerejawi yang memungkinkan umat beriman memiliki suatu bahasa bersama. Katekese menghargai bahasa-bahasa ini, yang menjelaskan arti dan relevansinya dalam hidup umat beriman.
206. Pada saat yang sama katekese menggunakan secara kreatif bahasa-bahasa berbagai budaya bangsa-bangsa, yang melalui bahasa-bahasa itu iman diungkapkan secara khas, dan membantu komunitas-komunitas gerejawi untuk menemukan bahasa-bahasa yang baru dan sesuai dengan para teman bicara. Dengan demikian, katekese menjadi tempat inkulturasi iman. Sesungguhnya, “misi itu selalu sama, tetapi bahasa yang digunakan untuk pewartaan Injil harus diperbarui, dengan kebijaksanaan pastoral. Hal ini penting supaya bahasa-bahasa itu dipahami oleh orang-orang pada zaman kita dan supaya Tradisi Katolik dapat berbicara kepada budaya-budayadunia sekarang dan membantu budaya-budaya itu untuk membuka diri kepada kesuburan abadi pesan Kristus.”[199]
Bahasa naratif
207. Katekese menghargai semua bahasa yang membantunya untuk melaksanakan tugas-tugasnya; khususnya, ia memiliki suatu perhatian kepada bahasa naratif dan autobiografis. Dalam tahun-tahun terakhir ini, telah dicatat di berbagai lingkungan budaya penemuan kembali narasi bukan hanya sebagai sarana linguistik, melainkan terutama sebagai jalan yang dilalui manusia untuk memahami dirinya dan realitas yang melingkupinya dan memberikan makna atas apa yang dihidupinya. Juga komunitas gerejawi semakin menyadari identitas naratif dari iman yang sama, sebagaimana Kitab Suci memberi kesaksian dalam cerita-cerita besar tentang asal-usul, para Bapa bangsa dan bangsa terpilih, dalam sejarah/kisah Yesus yang diceritakan dalam Injil-Injil dan dalam cerita-cerita tentang awal mula Gereja.
208. Selama berabad-abad Gereja telah menjadi seperti sebuah komunitas keluarga yang, dalam berbagai bentuk, telah terus-menerus menceritakan sejarah keselamatan, dengan menyatukan pada dirinya semua orang yang telah menerimanya. Bahasa naratif memiliki kemampuan intrinsik untuk menyelaraskan semua bahasa iman di sekitar inti utamanya, yaitu misteri paskah. Selain itu, bahasa naratif membantu dinamisme eksperiensial iman sebab melibatkan manusia dalam semua dimensinya: afektif, kognitif dan kehendak. Maka, baiklah mengenal nilai narasi dalam katekese karena itu menekankan dimensi historis iman dan arti eksistensialnya, dengan membuat suatu jalinan yang berbuah antara sejarah Yesus, iman Gereja dan kehidupan mereka yang menceritakan dan yang mendengarkannya. Bahasa naratif secara khusus cocok untuk meneruskan pesan iman dalam suatu budaya yang semakin miskin dalam model-model komunikasi yang mendalam dan efektif.
Bahasa seni
209. Gambar-gambar seni Kristiani, bilamana itu autentik, melalui daya indrawi yang peka, memampukan kita mengerti bahwa Tuhan itu hidup, hadir dan berkarya dalam Gereja dan dalam sejarah.[200] Maka, gambar-gambar itu menciptakan bahasa iman yang sejati. Ada ungkapan yang terkenal: “Jika seorang kafir meminta kepada Anda: “Tunjukkan kepadaku imanmu” […], Anda dapat membawa dia ke sebuah gereja dan menempatkan dia di depan ikon-ikon kudus.”[201] Koleksi ikonografis, terlepas dari berbagai gaya yang agung dan sah, pada milenium pertama menjadi harta bersama Gereja yang tak terbagi dan telah memainkan peran penting dalam evangelisasi, karena, dengan menggunakan perantaraan simbol-simbol universal, ia telah menyentuh kerinduan dan afeksi terdalam yang sanggup melakukan perubahan batin. Oleh karena itu, pada zaman kita, gambar-gambar Kristiani dapat membantu untuk mengalami perjumpaan dengan Allah melalui kontemplasi atas keindahannya. Gambar-gambar itu sesungguhnya dapat membawa tatapan dari Yang Lain yang tak kelihatan kepada orang yang mengontemplasikannya, dengan memberi jalan masuk kepada realitas dunia spiritual dan eskatologis.
210. Penghargaan terhadap gambar-gambar dalam katekese merujuk kepada kebijaksanaan kuno Gereja. Gambar-gambar itu membantu, antara lain, mengenal dan menghafalkan peristiwa-peristiwa sejarah keselamatan dengan cara lebih singkat dan langsung. Apa yang disebut Kitab Suci Milik Orang-orang Miskin (biblia pauperum), yakni rangkaian teratur dari episode-episode biblis –yang dapat dilihat oleh semua orang– yang dilukiskan dalam berbagai ekspresi artistik di dalam katedral-katedral dan gereja-gereja, sampai sekarang masih menjadi katekese yang sesungguhnya. Jika karya-karya seni dipilih secara akurat, dapat membantu menunjukkan secara langsung banyak aspek kebenaran iman, dengan menyentuh hati dan membantu internalisasi pesan.
211. Juga harta pusaka musik Gereja, dengan nilai artistik dan spiritual yang tak ternilai, merupakan sarana iman dan membangun suatu kebaikan yang berharga untuk evangelisasi, karena menanamkan dalam jiwa manusia kerinduan akan hal-hal yang tak terbatas. Daya kekuatan musik suci dijelaskan dengan baik oleh Santo Agustinus: “Betapa aku menangis ketika mendengar kidung-kidung dan nyanyian-nyanyian demi penghormatan kepada-Mu, aku sangat tersentuh oleh suara-suara Gereja-Mu, yang bernyanyi dengan lembut! Suara-suara itu bergetar di telingaku dan kebenaran turun ke dalam hatiku, dan segala sesuatu diubah menjadi perasaan kasih dan memberikan kepadaku sukacita berlimpah sehingga membuatku menitikkan air mata.”[202] Nyanyian liturgis juga memiliki kekayaan doktrinal, yang melalui suara musik, lebih mudah menembusi akal budi dan tertanam lebih dalam di hati orang-orang.
212. Gereja, yang selama berabad-abad telah berinteraksi dengan berbagai ekspresi artistik (sastra, teater, film, dan lain-lain), dipanggil untuk membuka diri, dengan pemikiran kritis yang benar, juga kepada seni kontemporer, “termasuk cara-cara inkonvensional keindahan yangmungkin hanya sedikit berarti bagi para pewarta Injil, tetapi terbukti sangat menarik bagi orang-orang lain.”[203]Seni itu dapat memiliki nilai untuk membuka pribadi kepada bahasa perasaan, dengan membantu orang untuk tidak tinggal hanya sebagai penonton karya seni, tetapi untuk terlibat di dalamnya. Pengalaman-pengalaman artistik ini, yang sering dilintasi oleh pencarian kuat akan makna dan spiritualitas, dapat membantu pertobatan rasa, yang menjadi bagian dari perjalanan iman; kemudian pengalaman-pengalaman ini mengundang untuk mengatasi intelektualisme tertentu yang dapat membuat katekese jatuh ke dalamnya.
Bahasa dan alat digital
213. Bahasa katekese mau tak mau bersinggungan dengan semua dimensi komunikasi dan sarana-sarananya. Perubahan mendasar di dalam komunikasi, yang tampak di tingkat teknis, menghasilkan perubahan-perubahan di tingkat budaya.[204] Teknologi baru telah menciptakan suatu infrastruktur budaya baru yang mempengaruhi komunikasi dan kehidupan orang-orang. Dalam ruang virtual, yang oleh banyak orang dianggap sebagai hal yang tak kalah penting dibanding dunia riil, orang-orang mendapatkan berita dan informasi, mengembangkan dan mengekspresikan pendapat, terlibat dalam perdebatan-perdebatan, berdialog dan mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Penilaian yang tidak tepat terhadap fenomena-fenomena ini menimbulkan risiko menjadi tidak signifikan bagi banyak orang.
214. Di dalam Gereja kerapkali orang terbiasa dengan komunikasi satu-arah: berkhotbah, mengajar, menyampaikan pokok-pokok dogmatis. Selain itu, teks tertulis saja sulit untuk berbicara kepada mereka yang lebih muda, yang terbiasa dengan suatu bahasa yang ditempatkan dalam penggabu-ngan kata tertulis, suara dan gambar-gambar. Bentuk-bentuk komunikasi digital sebaliknya memberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar, karena terbuka kepada interaksi. Maka cara-cara komunikasi yang efektif, yang sekaligus menjamin suatu kehadiran dalam jejaring yang memberi kesaksian tentang nilai-nilai injili.
215. Teknologi informasi dan komunikasi, media-media sosial, perangkat digital mendukung usaha-usaha kolaborasi, kerja bersama, pertukaran pengalaman dan pengetahuan timbal balik. “Jejaring sosial, selain menjadi sarana evangelisasi, dapat menjadi suatu faktor perkembangan manusiawi. Misalnya, dalam beberapa konteks geografis dan kultural di mana orang-orang Kristiani merasa terisolasi, jaringan-jaringanjejaring sosial dapat memperkuat rasa kesatuan mereka yang efektif dengan komunitas umat beriman universal.”[205]
216. Baik bagi komunitas-komunitas untuk berkomitmen bukan hanya dalam menghadapi tantangan budaya baru ini, melainkan juga dalam menanggapi generasi muda dengan sarana-sarana yang sekarang dipakai secara umum dalam pengajaran. Juga menjadi prioritas bagi katekese untuk mendidik dalam penggunaan yang baik atas sarana-sarana ini dan pemahaman yang lebih dalam tentang budaya digital, dengan membantu melakukan discernment terhadap aspek-aspek positif dari aspek-aspek yang meragukan. Katekis sekarang harus menyadari betapa banyak dunia virtual dapat meninggalkan jejak-jejak yang dalam, khususnya dalam diri orang-orang yang paling muda atau paling lemah, dan betapa banyak pengaruh yang dapat mereka miliki dalam pengelolaan emosi-emosi atau dalam proses pembentukan identitas.
217. Namun demikian, realitas virtual tidak dapat menggantikan realitas spiritual, sakramental dan gerejawi yang dialami dalam perjumpaan langsung di antara manusia: “Kita menjadi sarana-sarana dan problem mendasar bukanlah perolehan teknologi-teknologi canggih, meskipun teknologi penting untuk suatu kehadiran yang aktual dan sah. Hendaklah harus selalu jelas dalam diri kita bahwa Allah yang kita percayai, adalah Allah yang sangat mencintai manusia, yang mau menyatakan diri-Nya melalui sarana-sarana yang kita miliki, meskipun sarana-sarana itu itu miskin, sebab Dialah yang berkarya, Dialah yang mengubah, Dialah yang menyelamatkan hidup manusia.”[206] Untuk memberi kesaksian tentang Injil, diperlukan suatu komunikasi autentik, sebagai buah dari suatu interaksi riil di antara orang-orang.
5. Kelompok
218. Komunitas kristiani merupakan subjek utama katekese. Karena itu, pedagogi kateketis harus mengarahkan setiap usaha untuk membuat orang memahami pentingnya komunitas sebagai ruang fundamental untuk pertumbuhan pribadi. Bentuk komuniter juga kelihatan dalam dinamika kelompok, tempat konkret untuk menghayati “hubungan-hubungan baru yang dibawa oleh Kristus” yang dapat “berubah menjadi kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk perjumpaan dan solidaritas bagi semua orang.”[207] Pemeliharaan hubungan-hubungan kelompok memiliki suatu arti pedagogis: mengembangkan rasa menjadi anggota atau bagian dari Gereja dan membantu pertumbuhan iman.
219. Kelompok itu penting dalam proses-proses pembinaan pribadi-pribadi. Hal ini berlaku untuk semua kelompok usia: untuk anak-anak, yang dibantu untuk menjalani sosialisasi yang baik; untuk orang-orang muda, yang sangat membutuhkan relasi-relasi autentik; untuk orang-orang dewasa yang ingin mengekspresikan kebersamaan dan tanggung jawab bersama dalam Gereja dan dalam masyarakat. Katekis diundang untuk menjadikan hidup dalam kelompok pengalaman komunitas sebagai ungkapan paling koheren dari kehidupan Gereja, yang dalam perayaan Ekaristi menemukan bentuknya yang lebih terlihat. Jika tempat autentik relasi-relasi ada di antara pribadi-pribadi, maka pengalaman kelompok merupakan lahan subur untuk menerima dan membagikan pesan yang menyelamatkan. Disamping pewartaan Injil dalam bentuk komuniter, komunikasi iman menuntut juga hubungan dari pribadi ke pribadi.
220. Interaksi yang konstruktif di antara orang-orang yang berbeda-beda menciptakan kelompok sebagai tempat di mana berkembang suatu pertukaran dan komunikasi yang mendalam. Jika interaksi itu intens dan berdaya guna, kelompok menjalankan fungsi terbaiknya untuk mendukung pertumbuhan para anggotanya. Sebagai realitas gerejawi, kelompok dijiwai oleh Roh Kudus, pencipta sebenarnya dari setiap kemajuan dalam iman. Namun keterbukaan kepada rahmat tidak mengurangi penggunaan disiplin pedagogis, yang memandang kelompok juga sebagai realitas sosial, dengan dinamika dan hukum-hukum pertumbuhannya sendiri. Tahu menilai bahwa sumbangan-sumbangan dari kelompok dapat menjadi suatu kemungkinan yang efektif untuk memperkuat arti identitas dan keanggotaan, untuk memudahkan partisipasi aktif setiap anggota, untuk mendorong proses internalisasi iman dan untuk mengatasi secara positif ketegangan-ketegangan antarpribadi. Setiap dinamika kelompok memiliki puncaknya dalam pertemuan hari Minggu, di mana, dalam pengalaman perjumpaan dengan Tuhan dan pengalaman persaudaraan dengan semua orang Kristiani, kelompok menjadi matang dalam kesiapsediaannya untuk melayani, khususnya kepada orang-orang termiskin, dan untuk memberi kesaksian dalam dunia.
6. Tempat/Ruang
221. Setiap budaya, masyarakat atau komunitas memiliki bukan hanya bahasa verbal, ikon dan gesturnya sendiri, melainkan itu juga diekspresikan dan dikomunikasikan lewat tempat. Demikian halnya Gereja memberikan arti khusus kepada tempat-tempatnya, dengan menggunakan unsur-unsur arsitektur untuk menyampaikan pesan Kristiani. Selama berabad-abad, Gereja telah menciptakan tempat-tempat yang cocok untuk menerima pribadi-pribadi dan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya: perayaan misteri-misteri ilahi, berbagi dalam persaudaraan dan pengajaran. Misalnya, dalam kompleks-kompleks paleokristiani (Kristen awal), atrium (narthex) adalah tempat atau ruangan, yang pada umumnya terletak di antara lorong-lorong dan bagian depan bagunan utama dari gereja, yang digunakan untuk menerima para peniten dan katekumen. Kadang-kadang atrium itu dihiasi dengan adegan-adegan biblis atau penggambaran misteri-misteri iman; atrium, melalui gambar-gambar ini, juga menjadi suatu tempat untuk katekese. Dalam kehidupan suatu komunitas, selain tempat untuk liturgi, tempat-tempat untuk kerasulan dan pembinaan kristiani, untuk kemasyarakatan dan amal kasih juga penting.
222. Tempat-tempat untuk katekese adalah tempat-tempat di mana komunitas mengekspresikan caranya sendiri untuk mengevangelisasi. Dalam konteks sosial dan budaya saat ini, tepatlah membuat refleksi tentang kekhususan tempat-tempat katekese sebagai sarana-sarana pewartaan dan pendidikan relasi-relasi manusiawi. Maka, pentinglah bahwa lingkungan-lingkungan itu hendaknya diterima dan dirawat, supaya meng-hasilkan iklim kekeluargaan yang mendorong keterlibatan yang tenang dalam kegiatan-kegiatan komunitas. Lingkungan-lingkungan, yang sangat tersebar, mengingatkan bahwa fasilitas sekolah bukanlah tempat-tempat terbaik untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan katekese. Maka, baiklah jika tempat-tempat itu disesuaikan menurut arti katekese yang sesungguhnya.
223. Namun, memang benar bahwa dinamika Gereja yang (bergerak) keluar, yang melampaui katekese, memiliki implikasi juga terhadap tempat-tempat. Hendaklah didorong upaya-upaya untuk berkatekese di berbagai tempat: rumah, istana, lingkungan-lingkungan edukatif, kultural dan rekreatif, penjara, dan lain-lain. Tempat-tempat ini, yang sering kali berada di jauh dari pusat tempat-tempat komunitas Kristiani, cocok untuk katekese sesekali, sebab tercipta relasi-relasi yang lebih akrab dan katekese, dalam kaitan yang lebih kelihatan dengan kehidupan sehari-hari ini, bisa menjadi lebih efektif.
Bab VIII
Katekese dalam Kehidupan Manusia
224. Setiap orang yang dibaptis, yang dipanggil kepada kematangan iman, berhak atas katekese yang memadai. Maka, adalah tugas Gereja untuk menanggapinya secara memuaskan. Injil tidak ditujukan bagi manusia yang abstrak, tetapi bagi setiap manusia, yang riil, konkret, menyejarah, yang berakar dalam suatu situasi khusus dan ditandai dengan dinamika psikologis, sosial, kultural dan religius, karena “masing-masing tercakup dalam misteri penebusan.”[208] Di satu sisi, iman bukanlah proses linear dan ia mengambil bagian dalam perkembangan pribadi, dan ini, pada gilirannya, mempengaruhi perjalanan iman. Tidak dapat dilupakan bahwa setiap fase kehidupan dihadapkan kepada tantangan-tantangan khusus dan harus menghadapi dinamika-dinamika yang selalu baru dalam panggilan Kristiani.
225. Maka, masuk akal untuk memberikan program katekese yang beragam berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda, usia subjek dan status hidup. Karena itu, pentinglah menghargai data-data antropologis-evolutif dan teologis-pastoral, dan mempertimbangkan ilmu-ilmu pendidikan. Untuk alasan itu, dalam proses katekese secara pedagogis penting untuk memberikan tekanan dan kekhususan untuk setiap tahap katekese. Terkait hal itu, hanya ditunjukkan beberapa unsur umum sebagai pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut untuk Petunjuk katekese Gereja-gereja partikular dan Konferensi para Uskup.
1. Katekese dan keluarga
226. Keluarga adalah suatu komunitas cinta kasih dan kehidupan, dibangun oleh suatu “kompleks hubungan-hubungan antarpribadi – hidup sebagai suami-istri, kebapaan dan keibuan, hubungan dengan anak dan persaudaraan. Melalui relasi-relasi itu setiap anggota diintegrasikan ke dalam keluarga manusia dan keluarga Allah, yakni Gereja.”[209] Masa depan pribadi-pribadi, komunitas manusiawi dan komunitas gerejawi bergantung sebagian besar pada keluarga, sel dasar masyarakat. Berkat keluarga, Gereja menjadi keluarga dari keluarga-keluarga dan diperkaya oleh kehidupan dari Gereja-gereja rumah tangga ini. Maka, “dengan penuh suka cita batin dan penghiburan mendalam, Gereja memperhatikan keluarga yang tetap setia dengan ajaran Injil, mendorong dan berterima kasih kepada mereka karena kesaksian yang mereka berikan. Sesungguhnya, berkat kesaksian mereka muncul kepercayaan akan keindahan pernikahan yang tak terpisahkan dan setia terus-menerus.”[210]
Bidang katekese keluarga
Katekese dalam keluarga
227. Keluarga merupakan pemakluman iman karena menjadi tempat alamiah di mana iman dapat dihayati dengan cara sederhana dan spontan. Keluarga “memiliki hak istimewa satu-satunya: meneruskan Injil dengan membuatnya berakar dalam konteks-konteks nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Atas dasar ini, inisiasi ke dalam hidup Kristen lebih mendalam: munculnya pengertian tentang Allah; langkah-langkah awal dalam doa; pendidikan moral suara hati; pembinaan dalam pemahaman Kristiani tentang cinta manusiawi, dimengerti sebagai pantulan cinta Allah Bapa, Pencipta. Singkat kata, ini adalah suatu pendidikan Kristen, yang lebih banyak dinyatakan melalui kesaksian daripada diajarkan, lebih insidental daripada sistematis, lebih berkelanjutan dan sehari-hari daripada ter-struktur dalam periode-periode.”[211]
228. Hidup perkawinan dan keluarga, yang dihayati menurut rencana Allah, dalam dirinya menjadi Injil, yang di dalamnya dapat dibaca cinta kasih Allah yang cuma-cuma dan sabar terhadap manusia. Pasangan-pasangan Kristiani berkat Sakramen Perkawinan mengambil bagian pada misteri kesatuan dan cinta yang subur yang ada di antara Kristus dan Gereja. Oleh karena itu, katekese dalam keluarga mempunyai tugas untuk membuat para pelaku dalam hidup berkeluarga, khususnya para pasangan dan orang tua, menemukan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka melalui Sakramen Perkawinan.
Katekese dengan keluarga
229. Gereja mewartakan Injil kepada keluarga. Komunitas Kristiani adalah keluarga dari keluarga-keluarga dan sekaligus menjadi keluarga Allah. Komunitas dan keluarga bagi satu sama lain menjadi referensi yang tetap dan timbal balik: sementara komunitas menerima dari keluarga suatu pemahaman iman yang langsung dan terkait secara alamiah dengan peristiwa-peristiwa kehidupan, keluarga pada gilirannya menerima dari komunitas suatu kunci yang jelas untuk menafsirkan ulang dalam iman pengalamannya sendiri. Sadar akan hubungan yang mendalam ini, Gereja, dalam perhatiannya untuk mengevangelisasi, mewartakan Injil kepada keluarga-keluarga, dengan membuat mereka mengalami bahwa Injil merupakan “sukacita yang mengisi hati dan seluruh hidup, karena di dalam Kristus kita telah dibebaskan dari dosa, kesedihan, kehampaan batin dan kesepian.”[212]
230. Pada zaman sekarang, katekese bersama keluarga dialami dalam kerygma, sebab juga “di dalam dan di antara keluarga, pesan Injil harus selalu bergema; inti dari pesan ini yaitu kerygma, adalah hal yang paling indah, paling baik, paling menarik dan sekaligus paling diperlukan. Pesan ini hendaknya menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi.”[213] Selain itu, dalam dinamika pertobatan misioner, katekese bersama keluarga ditandai oleh suatu gaya pemahaman yang rendah hati dan suatu pewartaan yang konkret, tidak teoretis dan terlepas dari problem-problem pribadi-pribadi. Komunitas, dalam tanggung jawab evangelisasi dan kateketisnya yang ditujukan di dalam keluarga-keluarga, mewujudkan perjalanan-perjalanan iman yang membantu keluarga-keluarga untuk memiliki kesadaran yang jelas akan jati diri dan misi mereka: oleh karena itu, komunitas mendampingi dan menyokong keluarga-keluarga dalam tugas meneruskan hidup, membantu mereka dalam pelaksanaan tugas utama mereka untuk mendidik dan mengembangkan spiritualitas keluarga yang autentik. Dengan demikian, keluarga menyadari perannya dan, di dalam dan bersama komunitas, menjadi pelaku aktif karya evangelisasi.
Katekese tentang keluarga
231. Keluarga mewartakan Injil. Karena Gereja rumah tangga dilandaskan pada Sakramen Perkawinan yang juga memiliki suatu dimensi misioner, keluarga Kristiani mengambil bagian pada misi evangelisasi Gereja dan oleh karena itu menjadi pelaku katekese. “Upaya mewariskan iman kepada anak-anak, dalam arti memfasilitasi ungkapan dan pertumbuhannya, membantu keseluruhan keluarga dalam misi evangelisasi. Keluarga secara spontan akan mulai menyebarkan iman kepada orang-orang sekitar, bahkan kepada orang-orang di luar lingkaran keluarga.”[214] Oleh karena itu, keluarga dipanggil, selain untuk pelayanan edukatif kodrati bagi anak-anak, juga untuk berkontribusi bagi pembangunan komunitas Kristiani dan untuk menyaksikan Injil di dalam masyarakat. “Sejauh pelayanan mewartakan Injil dan katekese Gereja rumah tangga berakar dalam dan berasal dari misi Gereja yang satu, serta tertujukan kepada pembangunan satu Tubuh Kristus, sejauh itu pula harus tetap berada dalam persekutuan yang erat dan kerja sama yang bertanggung jawab dengan semua kegiatan lainnya di bidang pewartaan Injil dan katekese, yang diselenggarakan dalam jemaat gerejawi pada tingkat keuskupan maupun paroki.”[215] Maka, katekese keluarga akan menjadi sumbangan khusus yang diberikan oleh keluarga-keluarga kristiani, dengan kepekaan mereka sendiri, terhadap berbagai peziarahan iman yang ditawarkan oleh komunitas.
Pedoman pastoral
Situasi-situasi baru keluarga masa kini
233. Kerawanan dan ketidakpastian proses-proses sosial dan budaya yang sedang berlangsung telah mengubah, antara lain, pengertian dan realitas keluarga. Krisis perkawinan dan keluarga semakin meningkat, yang sering kali diselesaikan dengan “memunculkan relasi baru, pasangan baru, kesatuan baru dan perkawinan baru, dengan menciptakan situasi keluarga yang kompleks dan problematik bagi pilihan Kristiani.”[219] Terlepas dari segala luka, pengosongan makna transendental dan kerapuhan-kerapuhan yang menjadi cirinya, namun masih ada semacam kerinduan akan keluarga, sebab ada banyak orang, yang merasakan nilainya, masih mencarinya dan ingin membangunnya kembali.
234. Dengan perhatian, rasa hormat dan perhatian pastoral, Gereja mau mendampingi anak-anaknya yang ditandai oleh cinta yang terluka, yang menemukan diri mereka dalam kondisi yang lebih rapuh, dengan memulihkan kembali kepercayaan dan pengharapan mereka. “Dalam perspektif pedagogi ilahi ini, Gereja menaruh kasih pada orang-orang yang berpartisiasi dalam hidupnya dengan cara yang belum sempurna: bersama mereka memohonkan rahmat pertobatan bagi mereka, mendorong mereka untuk berbuat baik, untuk saling memperhatikan dengan penuh kasih dan untuk melayani masyarakat di mana mereka tinggal dan bekerja.”[220] Penting bahwa setiap komunitas Kristiani memandang secara realistis berbagai realitas keluarga, dengan terang dan bayang-bayang gelap mereka, agar dapat mendampingi mereka secara tepat dan mengenali kompleksitas situasi-situasi, tanpa menyerah pada bentuk-bentuk idealisme dan pesimisme. Pada dasarnya, “ini adalah soal menjangkau setiap orang, setiap orang harus dibantu menemukan jalannya sendiri untuk ambil bagian dalam komunitas Gereja karena ia merasa sebagai subjek belas kasih yang tidak semestinya diberikan, tanpa syarat dan cuma-cuma.”[221]
235. Mendampingi dalam iman dan mengantar kepada kehidupan komunitas situasi-situasi yang tidak biasa “memerlukan adanya perhatian yang sungguh-sungguh kepada setiap orang dan rencana yang dimiliki Tuhan baginya”[222] dengan suatu gaya kedekatan, sikap mendengarkan dan memahami. Selain pendampingan rohani pribadi, para katekis hendaklah menemukan jalan-jalan dan cara-cara untuk menyokong partisipasi saudara-saudara ini juga dalam katekese: dalam kelompok-kelompok khusus yang dibentuk oleh pribadi-pribadi yang berbagi pengalaman perkawinan atau keluarga yang sama; atau dalam kelompok-kelompok keluarga atau orang-orang dewasa yang sudah ada. Dengan demikian, mungkin dihindarkan bentuk-bentuk kesepian dan diskriminasi dan membangkitkan keinginan untuk menerima dan menjawab cinta kasih Allah.
2. Katekese bersama dengan anak-anak dan remaja
236. “Tahap usia ini, yang secara tradisional dibedakan ke dalam masa kanak-kanak awal atau usia prasekolah dan masa kanak-kanak, dalam pandangan iman dan nalar, memiliki rahmat awal kehidupan”[223], yang dicirikan dengan kesederhanaan dan penerimaan yang tulus. Santo Agustinus sudah menunjukkan masa bayi dan masa kanak-kanak merupakan saat-saat belajar dialog dengan Sang Guru yang berbicara dalam hatinya. Sejak usia dini anak harus dibantu untuk mengenal dan mengembangkan pemahaman tentang Allah dan intuisi alamiah tentang eksistensi-Nya (bdk. GE 3). Sesungguhnya antropologi dan pedagogi menegaskan bahwa anak mampu mengenal Allah dan bahwa pertanyaan-pertanyaannya tentang makna hidup juga muncul ketika orang tua kurang memperhatikan pendidikan agama. Anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pengertian yang terkait dengan penciptaan, identitas Allah, tentang mengapa ada kebaikan dan kejahatan dan mereka mampu bergembira di hadapan misteri kehidupan dan cinta kasih.
237. Studi-studi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial-psikologi-pedagogi dan komunikasi sangat membantu dalam menggambarkan ciri-ciri konkret anak-anak, yang memiliki situasi hidup yang sangat beraneka ragam dalam berbagai konteks geografis. Sesungguhnya, faktor-faktor sosial dan budaya sangatmempengaruhi kondisi anak-anak dan para remaja, persepsi ke-butuhan mereka oleh orang-orang dewasa, cara-cara untuk memahami dan menghidupi dinamika-dinamika keluarga, pengalaman sekolah, relasi dengan masyarakat dan hubungan dengan iman. Secara khusus, perlu dipertimbangkan kondisi digital natives (mereka yang lahir dan hidup dalam teknologi digital) yang menandai sebagian besar anak-anak di dunia. Ini adalah suatu fenomena global, yang konsekuensi-konsekuensinya belum dapat dipahami secara jelas, namun yang sudah tentu sedang mengubah cara-cara berpikir dan berelasi generasi-generasi baru, yang dengan cara tertentu juga mempengaruhi dorongan alami kepada pengalaman religius.
238. Sama pentingnya juga mempertimbangkan bahwa ada banyak anak dan remaja yang sangat terdampak oleh rapuhnya ikatan-ikatan dalam keluarga, meskipun dalam situasi kesejahteraan ekonomi yang baik; yang lain, sebaliknya, saat ini masih hidup dalam keadaan lingkungan yang sangat ditandai dengan kemiskinan, kekerasan dan ketidakstabilan. Anak-anak ini, yang karena berbagai alasan menderita kekurangan acuan yang aman untuk kehidupan, sering kali kemungkinan untuk mengenal dan mengasihi Allah juga berkurang. Komunitas gerejawi hendaklah mampu berdialog dengan para orang tua jika mungkin, dengan mendukung mereka dalam tugas pendidikan mereka; disamping itu, hendaklah ia hadir dan selalu siap sedia untuk memberikan kepedulian keibuan dan perhatian-perhatian konkret lainnya: inilah pewartaan yang pertama dan mendasar tentang kebaikan yang diselenggarakan Allah.
239. Masa kanak-kanak awal, atau usia prasekolah, adalah waktu yang menentukan untuk menemukan realitas religius, di mana dipelajari dari orang tua dan dari lingkungan kehidupan suatu sikap keterbukaan, penerimaan, atau antipati dan ketertutupan terhadap Allah. Juga dipelajari pengetahuan-pengetahuan awal tentang iman: suatu penemuan pertama akan Bapa yang ada di surga, yang baik dan menyelenggarakan hidup, yang kepada-Nya diarahkan hati dan suatu sikap cinta kasih dan penghormatan; nama Yesus dan Maria dan beberapa cerita tentang momen-momen utama kehidupan Tuhan Yesus; tanda-tanda, simbol-simbol dan sikap-sikap religius. Dalam konteks ini jangan dipandang rendah nilai perayaan-perayaan utama dari tahun liturgi, misalnya, dengan membuat gua natal di dalam keluarga-keluarga sebagai persiapan untuk Natal,[224] dapat me-mungkinkan anak mengalami bentuk katekese melalui partisipasi langsung dalam misteri inkarnasi. Ketika seorang anak sejak kecil, di dalam keluarga atau dalam lingkungan lain perkembangannya, berkontak dengan berbagai aspek hidup kristiani, ia menerima dan menginternalisasi suatu bentuk awal sosialisasi religius sebagai persiapan kepada sosialisasi selanjutnya dan kepada perkembangan suara hati moral Kristiani. Lebih dari katekese dalam pengertiannya yang sebenarnya, pada usia ini menyangkut evangelisasi pertama dan pewartaan iman dalam bentuk pendidikan yang lebih tinggi, menaruh perhatian untuk mengembangkan rasa percaya, kemurahan hati, pemberian diri, doa permohonan dan partisipasi, sebagai kondisi manusiawi di mana ditanamkan kekuatan iman yang menyelamatkan.
240. Masa kanak-kanak (6-10 tahun) sesuai tradisi yang sudah lama diterima di banyak negara, merupakan periode di mana inisiasi Kristiani yang dimulai dari Pembaptisan dilaksanakan di paroki. Proses perjalanan seluruh inisiasi Kristiani bertujuan untuk memperkenalkan peristiwa-peristiwa utama dari sejarah keselamatan yang akan menjadi objek refleksi yang lebih dalam pada usia-usia selanjutnya dan untuk menyadari secara bertahap identitasnya sendiri sebagai orang yang dibaptis. Dengan katekese inisiasi Kristiani dimaksudkan untuk pengenalan awal iman (pewartaan pertama) dan dengan proses inisiasi anak-anak diantar ke dalam kehidupan Gereja dan kepada perayaan sakramen-sakramen. Katekese, yang tidak terpisah-pisah tetapi disampaikan berkesinambungan sepanjang proses perjalanan yang menawarkan dalam bentuk mendasar semua misteri kehidupan Kristiani dan pengaruh misteri-misteri itu dalam suara hati moral, memperhatikan juga kondisi-kondisi kehidupan anak-anak dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang makna. Sesungguhnya, sepanjang proses perjalanan inisiasi diwartakan suatu pengajaran tentang kebenaran iman yang diperkuat dengan kesaksian komunitas, partisipasi dalam liturgi, perjumpaan dengan sabda Yesus dalam Kitab Suci, permulaan karya cinta kasih. Konferensi para Uskup memiliki wewenang menetapkan rentang waktu dan cara-cara pelaksanaan proses inisiasi ke dalam hidup Kristiani dan pemberian sakramen-sakramen.
241. Masa kanak-kanak juga merupakan tahap memasuki dunia sekolah dasar. Anak, yang kemudian menjadi remaja, masuk dalam suatu komunitas yang lebih besar dari keluarga, di mana ia memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual, emosional, dan relasional. Ternyata, di banyak negara di dunia, di sekolah diberikan pengajaran khusus agama dan, dalam beberapa kasus, terdapat peluang untuk melaksanakan katekese inisiasi ke dalam hidup Kristiani dan sakramen-sakramen di sekolah, menurut petunjuk-petunjuk dan arahan Uskup setempat. Dalam konteks-konteks seperti itu, kerja sama di antara katekis-katekis dan guru-guru merupakan sumber daya pendidikan yang penting dan kesempatan yang menguntungkan untuk membuat suatu komunitas orang-orang dewasa tampil sebagai saksi-saksi iman.
242. Kebutuhan untuk membuat proses inisiasi Kristiani sebagai pengantar pengalaman autentik kepada keseluruhan hidup beriman, membuat kita memandang katekumenat sebagai sumber inspirasi yang sangat penting. Sangat tepatlah suatu inisiasi Kristiani yang direncanakan menurut model formatif katekumenat namun dengan kriteria, isi dan metodologi yang sesuai bagi anak-anak. Penyampaian pengembangan proses inisiasi Kristiani bagi anak-anak remaja yang diilhami oleh masa katekumenat mem-pertimbangkan waktu, ritus-ritus masa peralihan dan partisipasi aktif pada meja Ekaristi yang menjadi puncak proses inisiasi. Dalam pelaksanaannya katekis-katekis bertanggung jawab membalikkan pandangan tradisional yang lebih memandang anak sebagai objek pelayanan dan perhatian pastoral komunitas, dan mengambil perspektifuntuk mendidik anak secara bertahap, menurut kemampuan-kemampuannya, agar menjadi pelaku aktif di dalam dan di luar komunitas. Selain itu, inspirasi katekumenal memungkinkan untuk mempertimbangkan kembali peran utama keluarga dan seluruh komunitas terhadap anak-anak, dengan mengaktifkan proses-proses evangelisasi timbal balik di antara berbagai subjek gerejawi yang terlibat.
243. Setiap Gereja lokal, melalui kantor-kantor dan badan-badan yang dibentuk, diminta untuk memperhitungkan situasi di mana anak-anak tinggal dan mempelajari cara-cara dan proses inisiasi dan kateketis yang lebih tepat untuk membuat mereka lebih sadar akan keberadaan mereka sebagai anak-anak Allah dan sebagai anggota-anggota Gereja, keluarga Allah, yang pada hari yang dipersembahkan kepada Tuhan berkumpul untuk merayakan Paskah-Nya.
3. Katekese yang sesuai dengan realitas kaum muda
244. Ada suatu hubungan mendalam antara kemungkinan usulan pembaruan iman kepada orang muda dan kesiapsediaan Gereja untuk memudakan dirinya, untuk mengusahakan tetap dalam proses pertobatan spiritual, pastoral dan misioner. “Kemampuan [dari orang-orang muda] untuk membawa pembaruan, mendesak, menuntut konsistensi dan kesaksian, untuk kembali bermimpi dan menciptakan hal-hal baru”[225] dapat membantu komunitas gerejawi untuk memahami perubahan-perubahan budaya pada zaman kita dan untuk menumbuhkan kepercayaan dan pengharapan. Seluruh komunitas mempunyai tugas meneruskan iman dan memberi kesaksian tentang kemungkinan untuk berjalan dalam hidup bersama Kristus. Kedekatan Tuhan Yesus bersama dengan dua murid dari Emaus, perjalanan bersama-Nya, sambil berdialog, mendampingi dan membantu untuk membuka mata mereka, merupakan sumber inspirasi untuk berjalan bersama dengan orang-orang muda. Dalam dinamika-dinamika ini, Injil harus diwartakan kepada dunia orang muda dengan keteguhan hati dan kreativitas, hendaklah diusulkan juga hidup sakramental dan pendampingan spiritual. Berkat perantaraan Gereja, orang-orang muda akan dapat menemukan cinta pribadi Bapa dan persaudaraan dengan Yesus Kristus dan menghayati fase hidup ini, yang amat “pantas untuk cita-cita yang besar, heroisme yang murah hati, tuntutan-tuntutan pikiran dan tindakan yang koheren.”[226]
245. Katekese dalam dunia orang muda selalu perlu diperbarui, diperkuat dan dilaksanakan dalam konteks pelayanan pastoral orang muda yang lebih luas. Katekese orang muda perlu memiliki ciri: dinamika-dinamika pastoral dan relasional dari sikap mendengarkan, hubungan timbal balik, tanggung jawab bersama dan pengakuan kepada orang muda sebagai pelaku utama. Meskipun tidak ada batasan-batasan yang jelas dan pendekatan-pendekatan khas tiap-tiap budaya sangat menentukan, bergunalah mem-bedakan usia orang muda antara usia pra-remaja, remaja, muda dan dewasa-muda. Sangat pentinglah untuk mendalami studi tentang dunia orang muda, dengan menggunakan sumbangan-sumbangan penelitian ilmiah dan mempertimbangkan situasi di berbagai negara. Suatu pertimbangan umum berkaitan dengan pertanyaan tentang bahasa orang-orang muda. Pada umumnya, generasi-generasi baru sangat ditandai oleh media sosial dan apa yang disebut dunia virtual. Media sosial menawarkan kesempatan-kesempatan yang tidak dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya, namun pada saat yang sama mendatangkan risiko-risiko. Sangat penting mempertimbangkan bagaimana pengalaman tentang relasi-relasi yang dimediasi secara teknologis membentuk konsep tentang dunia, realitas dan hubungan-hubungan antarpribadi. Maka, ditegaskan perlunya kegiatan pastoral untuk menyesuaikan katekese dengan orang-orang muda, yang mampu menerjemahkan pesan Yesus ke dalam bahasa mereka.
Katekese bersama dengan pra-remaja
246. Ada banyak tanda yang menganggap masa praremaja[227] sebagai suatu tahap kehidupan yang dicirikan dengan dinamika peralihan dari suatu situasi yang telah dikenal dan aman kepada sesuatu yang baru dan belum dijelajahi. Hal itu di satu pihak dapat menimbulkan kegairahan dan antusiasme, namun di lain pihak bisa membangkitkan perasaan kekacauan dan kebingungan. Masa praremaja dicirikan tepatnya dengan campuran emosi-emosi yang kontradiktif dan berubah-ubah, yang sebenarnya muncul dari kebutuhan untuk mengukur diri sendiri, mencoba-coba, menguji diri sendiri, untuk mendefinisikan ulang – sebagai pelaku utama dan mandiri – jati diri yang ingin dilahirkan kembali. Sesungguhnya, dalam periode ini, yang disertai oleh perkembangan kuat dalam dimensi fisik dan emosi, mulai terbentuk proses personalisasi individu yang perlahan dan melelahkan.
247. Masa praremaja juga merupakan waktu yang di dalamnya diolah kembali gambaran tentang Allah yang diterima pada masa kanak-kanak: untuk ini, penting bahwa katekese mendampingi dengan hati-hati masa peralihan yang sulit ini demi kemungkinan perkembangannya di masa mendatang, juga dengan menggunakan penelitian-penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan dan sarana-sarananya. Dengan tidak takut mengarahkan pada hal yang esensial, penyampaian iman bagi anak-anak praremaja hendaknya memberi perhatian untuk menabur di dalam hati mereka benih-benih visi tentang Allah yang selanjutnya akan menjadi matang: kerygma akan menceritakan secara khusus tentang Yesus Kristus sebagai Saudara yang mengasihi, Teman yang membantu untuk menghayati dengan lebih baik relasi-relasi, tidak menghakimi, setia, menghargai kemampuan-kemampuan dan mimpi-mimpi, dengan memenuhi kerinduan-kerinduan akan keindahan dan kebaikan. Selain itu, katekese diundang untuk mengakui peran utama dari anak-anak praremaja, untuk menciptakan lingkungan relasi-relasi kelompok yang bermakna, untuk memberi ruang kepada pengalaman, untuk menciptakan suasana yang di dalamnya diterima pertanyaan-pertanyaan yang memampukannya berinteraksi dengan penyampaian Injil. Anak-anak praremaja dapat masuk dengan lebih mudah dalam dunia pengalaman Kristiani sambil menemukan bahwa Injil menyentuh dinamika relasional dan afektif yang sangat peka baginya. Katekis, yang mampu untuk percaya dan berharap, memperhatikan dengan sungguh-sungguh kebimbangan-kebimbangan dan kecemasan-kecemasan anak-anak pra-remaja, dengan menjadi pendamping yang bijaksana namun tetap hadir bersama mereka.
Katekese bersama dengan remaja
248. Masa remaja merupakan satu periode kehidupan yang berlangsung dari kira-kira usia 14 sampai dengan 21 tahun dan yang kadang-kadang berlangsung lebih lama daripada itu. Masa ini dicirikan dengan dorongan kepada kemandirian dan, pada saat yang sama, dengan rasa takut untuk mulai mengambil jarak dari lingkungan keluarga; masa ini menentukan pergolakan terus-menerus antara luapan antusiasme dan keinginan kembali ke masa sebelumnya. “Para remaja berada dalam perjalanan, dalam peralihan. […] Mereka benar-benar mengalami ketegangan ini, pertama-tama dalam diri mereka sendiri dan kemudian dengan siapa saja di sekitarnya”, tetapi “masa remaja bukanlah suatu patologi yang harus kita perangi. Masa ini menjadi bagian dari pertumbuhan yang normal, alamiah dari kehidupan anak-anak kita.”[228] Dengan demikian, komunitas dan katekis akan memperhatikan untuk mengembangkan ruang batin untuk pencarian kebebasan dari para remaja, tanpa penghakiman dan dengan semangat mendidik yang tulus, dengan mulai menyalurkannya kepada suatu rencana hidup yang terbuka dan berani.
249. Dalam perjalanan iman mereka, para remaja perlu didampingi oleh saksi-saksi yang meyakinkan dan menarik. Salah satu dari tantangan-tantangan katekese adalah justru berkaitan dengan kurangnya kesaksian iman yang dihayati di dalam keluarga-keluarga dan lingkungan-lingkungan masyarakat dari mana mereka berasal. Di samping itu, ketidaktertarikan yang sering terjadi dalam kehadiran di Gereja pada usia remaja tidak terlalu bergantung pada kualitas dari apa yang telah diberikan pada usia kanak-kanak –meskipun semua ini penting–tetapi terutama adanya program yang menggembirakan dan bermakna bagi usia remaja. Pada saat yang sama, para remaja sangat menekankan keaslian figur-figur dewasa dan membutuhkan imam-imam, orang-orang dewasa dan orang-orang muda yang lebih dewasa yang memperlihatkan iman yang dihidupi dengan kegembiraan dan konsistensi. Akan menjadi tanggung jawab komunitas untuk memilih orang-orang yang lebih bersedia untuk menyelaraskan diri dengan dunia para remajademi pelayanan katekese, dengan meneranginya dengan cahaya dan kegembiraan iman. Pentinglah bahwa katekese hendaknya dilaksanakan dalam pelayanan pastoral kaum muda dan dengan nuansa pendidikan dan panggilan yang kuat, dalam konteks komunitas Kristiani dan lingkungan-lingkungan kehidupan lain dari para remaja.
Katekese bersama dengan kaum muda
250. Perubahan budaya dan sosial yang cepat juga berdampak bagi orang-orang muda. Di beberapa bagian dunia, pengkondisian-pengkondisian masyarakat konsumeristis dan meritokratis mendorong banyak orang untuk mencapai tingkat studi spesialisasi untuk mencapai tujuan-tujuan profesional berkualitas. Inilah sebabnya banyak orang muda merasa perlu pindah untuk menjalani pengalaman-pengalaman kerja dan studi yang lebih khusus. Namun sebaliknya, banyak orang muda yang lain karena kekurangan pekerjaan, jatuh ke dalam perasaan tidak aman, yang dengan mudah menimbulkan kekecewaan dan kebosanan dan, kadang-kadang, sampai kepada kesedihan yang mendalam dan depresi. Sebaliknya di negara-negara yang ditandai oleh keterbelakangan ekonomi yang berkepanjangan dan oleh konflik-konflik, yang menyebabkan gerakan-kerakan migrasi yang besar, orang-orang muda merasakan kehilangan pengharapan untuk masa depan mereka dan dipaksa masuk dalam kondisi kehidupan yang sering kali memalukan.
251. Dari sudut pandang pengalaman religius, ada variasi yang sangat besar. Banyak orang muda menunjukkan suatu dorongan kepada pencarian akan makna, solidaritas dan tanggung jawab sosial. Mereka seringkali terbuka kepada praktik-praktik religius dan peka akan berbagai spiritualitas. Terkait dengan pengalaman gerejawi, dalam fase kehidupan ini, banyak yang menjauhkan diri dari Gereja atau menunjukkan sikap acuh tak acuh atau skeptis terhadapnya. Di antara sebab-sebab yang ada, perlu dipertimbangkan kurangnya kesaksian, kredibilitas, dukungan spiritual dan moral dari pihak keluarga, atau katekese yang kurang mencukupi dan komunitas Kristiani yang kurang berarti. Meskipun demikian, benar juga bahwa banyak orang muda secara aktif dan dengan antusiasme mengambil bagian pada kehidupan Gereja, pada semua pengalaman misioner dan pelayanan Gereja dan mereka menjalankan suatu kehidupan doa yang autentik dan intens.
252. Tuhan Yesus, yang “telah menguduskan masa muda dengan fakta bahwa Ia telah menghidupinya sendiri”,[229] dengan menjumpai orang-orang muda dalam perjalanan pelayanan publik-Nya, menunjukkan kepada mereka kebaikan Bapa, berbicara kepada mereka dan mengundang mereka kepada kehidupan yang penuh. Gereja, dengan menunjukkan perhatian yang sama dari Yesus, ingin mendengarkan orang-orang muda dengan kesabaran, memahami kecemasan-kecemasan mereka, berdialog dengan setulus hati, mendampingi mereka dalam membuat penilaian secara arif (discernment) atas rencana hidup mereka. Maka, pelayanan pastoral orang muda dari Gereja akan menjadi, pertama-tama, animasi yang bersifat manusiawi dan misioner, mampu mengenali dalam pengalaman manusiawi tanda-tanda cinta kasih Allah dan panggilan-Nya. Dalam terang iman, pencarian akan kebenaran dan kebebasan, keinginan untuk mencintai dan dicintai, aspirasi-aspirasi pribadi dan komitmen yang menggairahkan untuk orang lain dan dunia menemukan makna sejatinya. Dalam membantu orang-orang muda untuk menemukan, mengembangkan dan menghidupi rencana hidup mereka menurut Allah, pelayanan pastoral orang muda akan tahu mengambil gaya-gaya dan strategi-strategi yang baru. “Reksa pastoral orang muda perlu menjadi lebih fleksibel dan mengajak orang-orang muda untuk mengikuti berbagai acara yang memberi mereka ruang tidak hanya untuk belajar, tetapi juga memungkinkan mereka untuk membagikan hidup, bergembira, bernyanyi, mendengarkan kesaksian nyata dan mengalami perjumpaan komunitas dengan Allah yang hidup.”[230] Maka, katekese bersama orang-orang muda juga akan didefinisikan ulang dengan nada gaya pastoral ini.
253. Setiap program pembinaan, yang berkaitan dengan pembinaan liturgis, spiritual, doktrinal dan moral, akan “terpusat pada dua pokok utama: pertama adalah pendalaman kerygma, pengalaman mendasar perjumpaan dengan Allah melalui Kristus yang mati dan bangkit. Yang lain adalah pertumbuhan dalam kasih persaudaraan, dalam hidup komunitas, dalam pelayanan.”[231] Maka, katekese akan menyajikan pewartaan tentang Paskah Kristus, kemudaan dunia yang sesungguhnya, sebagai inti makna untuk membangun jawaban panggilan di sekitarnya.[232] Dimensi panggilan dari katekese orang muda menuntut bahwa program pembinaan hendak-nya dilakukan dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman hidup. Perlu diapresiasi fakta bahwa seringkali perjalanan iman orang-orang muda dihubungkan juga oleh keanggotaannya pada suatu perkumpulan atau pada suatu gerakan gerejawi. Sesungguhnya, dinamika kelompok memungkinkan bagi katekese untuk tetap berkaitan erat dengan pengalaman konkret.[233]
254. Selain proses-proses kateketik yang teratur dan terstruktur, hendaklah dikembangkan juga katekese yang kadang dilakukan di lingkungan kehidupan orang-orang muda: sekolah, universitas, per-kumpulan budaya dan rekreatif. Di antara pengalaman-pengalaman untuk disampaikan, selain acara-acara di tingkat keuskupan, nasional dan benua, hendaklah diingat Hari Orang Muda Sedunia, yang merupakan kesempatan untuk menyapa banyak orang muda yang tidak terjangkau dengan cara lain. Baik bahwa, dalam rangka persiapan Hari Orang Muda Sedunia dan pelaksanaannya, para imam dan katekis hendaknya mengembangkan program-program yang memungkinkan untuk menghidupi pengalaman iman ini secara penuh. Dan janganlah dilupakan daya tarik yang diberikan oleh ziarah Hari Orang Muda Sedunia kepada begitu banyak orang muda: bergunalah jikalau peristiwa ini dihayati sebagai momen katekese.
255. Haruslah dihargai sumbangan, kreativitas dan tanggung jawab bersama yang diberikan oleh orang-orang muda untuk katekese. Pelayanan katekese kepada orang-orang yang lebih kecil adalah suatu dorongan untuk pertumbuhan mereka dalam iman. Hal ini mengajak komunitas Kris-tiani memberi perhatian khusus kepada pembinaan katekis-ketekis muda: “Perlu juga pembaruan komitmen para katekis, yang sering kali adalah orang muda melayani orang muda lain, yang hampir seusia. Sangatlah penting memperhatikan dengan tepat pendampingan mereka serta membuat agar pelayanan mereka itu semakin diakui oleh komunitas.”[234]
256. Sekarang Gereja menaruh perhatian lebih besar kepada peralihan dari usia muda kepada usia dewasa. Dibandingkan dengan masa lalu yang masih cukup baru, bagi banyak orang muda, masuknya ke dalam masa dewasa kehidupan terjadi selalu lebih terlambat, terutama di beberapa konteks sosial. Transisi ini menunjukkan bahwa sering kali kita mendapati diri berhadapan dengan pribadi-pribadi yang, meskipun memiliki semua persyaratan untuk menjalani kehidupan dewasa (usia, gelar pendidikan, kehendak untuk menampilkan diri), tidak menemukan keadaan yang menguntungkan untuk mewujudkan keinginan mereka secara efektif, dan mereka tidak menikmati kondisi pekerjaan dan ekonomis yang stabil yang memungkinkan untuk membentuk keluarga. Tentu situasi ini berdampak pada dunia batiniah dan emosional mereka. Maka, harus dipikirkan cara-cara baru dari kegiatan pastoral dan katekese yang dapat membantu komunitas Kristiani untuk berinteraksi bersama orang-orang muda dewasa, dengan menyokong mereka dalam proses perkembangan mereka.
4. Katekese bersama dengan orang dewasa
257. Kondisi orang dewasa sekarang ini amat kompleks. Dibandingkan dengan masa lampau, umur hidup ini dimengerti tidak lagi sebagai keadaan yang sudah mencapai kemapanan, tetapi sebagai suatu proses restrukturi-sasi terus menerus yang memperhitungkan evolusi sensibilitas pribadi, jalinan relasi-relasi, tanggung jawab yang menjadi panggilan pribadi tersebut. Dalam dinamisme yang hidup ini yang di dalamnya tercakup faktor-faktor keluarga, budaya dan sosial, orang dewasa merumuskan kembali terus-menerus jati dirinya sendiri, dengan menanggapi secara kreatif berbagai momen peralihan yang ditemukan untuk dihayati. Dinamika menjadi dewasa secara tak terelakkan mau tak mau juga meliputi dimensi religius, karena tindakan iman sebagai proses batiniah terkait erat dengan kepribadiannya. Sesungguhnya, dalam tahap-tahap umur dewasa, iman itu adalah panggilan untuk mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda, untuk mengembangkan dan mematangkannya supaya menjadi tanggapan autentik dan berkelanjutan terhadap tantangan-tantangan kehidupan. Oleh karena itu, setiap kemungkinan proses perjalanan iman bersama orang-orang dewasa menuntut bahwa pengalaman-pengalaman hidup bukan hanya dipertimbangkan, tetapi direfleksikan dalam terang iman sebagai kesempatan dan, karena itu, diintegrasikan ke dalam proses pembinaan.
259. Tugas untuk mematangkan iman pembaptisan menjadi tanggung jawab pribadi yang terutama harus dirasakan oleh orang dewasa sebagai prioritas, karena ia dilibatkan dalam suatu proses pembentukan identitas pribadinya yang berkelanjutan. Tugas ini, sebagai tugas setiap orang, dalam masa dewasa diperhadapkan dengan berbagai tanggung jawab di dalam keluarga dan masyarakat sebab untuk itu juga ia dipanggil dan bahwa semua tanggung jawab itu dapat menimbulkan saat-saat krisis, bahkan yang mendalam. Karena itu, juga dalam usia dewasa ini dan dengan penekanan-penekanan tertentu, pendampingan dan pertumbuhan dalam iman sangat perlu bagi orang dewasa supaya mematangkan kebijaksanaan spiritual yang menerangi dan menyatukan banyak pengalaman dalam kehidupan pribadi, keluarga dan sosialnya.
260. Oleh karena itu, katekese bersama orang-orang dewasa merupakan suatu proses pembelajaran personal dan komuniter, yang bertujuan untuk memperoleh suatu mentalitas iman “sampai mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13). Karena itu, tujuan utamanya adalah pembinaan dan pematangan hidup dalam Roh, menurut prinsip-prinsip kebertahapan dan progresivitas, agar warta Injil diterima dalam dinamika transformatifnya dan, karena itu mampu mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial. Pada akhirnya, katekese bersama orang-orang dewasa mencapai tujuannya jika memampukan mereka mengambil pengalaman imannya sendiri dan bersemangat untuk terus berjalan dan bertumbuh.
Ringkasnya, katekese bersama orang-orang dewasa memiliki tugas untuk mendampingi dan mendidik pembentukan karakter-karakter khas orang Kristiani dewasa dalam iman, murid Tuhan Yesus, di dalam suatu komunitas Kristiani yang mampu mewujudkan diri keluar, yakni komunitas yang masuk ke dalam realitas sosial dan budaya demi kesaksian iman dan perwujudan Kerajaan Allah.
263. Dalam katekese bersama orang-orang dewasa figur katekis itu menentukan, ia tampil sebagai pendamping, dan, pada saat yang sama, seorang pendidik yang mampu membantu mereka juga dalam proses-proses pertumbuhan pribadi. Pendamping orang-orang dewasa, meskipun ada dalam relasi persaudaraan yang tulus, mempertahankan dengan sadar fungsi edukatif terhadap mereka dengan maksud memfasilitasi di dalam diri mereka relasi yang dewasa dengan Tuhan, relasi-relasi gerejawi yang berarti dan pilihan-pilihan sebagai saksi-saksi Kristiani di dalam dunia. Pada saat yang tepat, pendamping mampu melepaskan diri, dengan demikian mendukung subjek-subjek itu untuk mengambil tanggung jawab mereka sendiri dalam perjalanan iman mereka. Maka, penting bahwa para katekis untuk orang-orang dewasa hendaknya dipilih dengan cermat dan dimampukan untuk menjalankan pelayanan yang sulit ini melalui suatu pembinaan khusus.
265. Akhirnya, perlu diakui sumbangan untuk pembinaan Kristiani bagi orang-orang dewasa yang diberikan oleh berbagai perkumpulan, gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok gerejawi yang menjamin pendampingan yang berkelanjutan dan beraneka. Sangatlah berarti fakta bahwa seringkali realitas ini menampilkan kehidupan Kristiani sebagai perjumpaan personal dan eksistensial dengan Yesus Kristus, dalam konteks pengalaman dalam kelompok dan dalam relasi-relasi persaudaraan. Sesungguhnya, kelompok-kelompok kecil, karena memungkinkan secara lebih mudah pertukaran pengalaman hidup dan pembangunan relasi-relasi persaudaraan dan persahabatan, menjadi kesempatan berharga untuk penyebaran iman dari pribadi ke pribadi.[236]
5. Katekese bersama dengan orang lanjut usia
266. Orang lanjut usia adalah harta pusaka ingatan dan sering kali menjadi penjaga nilai-nilai suatu masyarakat. Pilihan-pilihan sosial dan politik yang tidak mengakui martabat orang lanjut usia sebagai pribadi-pribadi berbalik melawan masyarakat itu sendiri. “Gereja tidak dapat dan tidak ingin berkompromi dengan mentalitas intoleransi, dan apalagi dengan mentalitas ketidakpedulian dan pengabaian, terhadap orang-orang lanjut usia.”[237] Sebaliknya, Gereja memandang orang-orang lanjut usia sebagai suatu anugerah Allah, kekayaan komunitas, dan memandang pelayanan pastoral bagi mereka sebagai tugas penting.
267. Kepada orang lanjut usia hendaklah diberikan katekese yang tepat, yang memperhatikan aspek-aspek tertentu kondisi iman mereka. “Seorang lanjut usia mungkin telah mencapai usia ini dengan iman yang kaya dan kokoh. Dalam hal ini, katekese dalam arti tertentu, membawa kepada kepenuhan perjalanan iman yang dilakukan dalam sikap penuh syukur dan penantian penuh harapan. Yang lain menghayati iman yang kurang lebih meredup dan kurangnya penghayatan hidup Kristiani. Dalam hal ini, katekese menjadi suatu momen cahaya baru dan pengalaman religius. Kadang-kadang orang tua mencapai usia lanjut dengan luka-lukayang dalam pada jiwa dan badan. Katekese dapat menolong mereka menjalani situasi ini dengan sikap doa, pengampunan dan kedamaian batin. Bagaimanapun, keadaan kaum/orang lanjut usia membutuhkan suatu katekese pengharapan, yang berasal dari kepastian perjumpaan definitif dengan Allah. Oleh karena itu, pentinglah mempertimbangkan berbagai kondisi personal dan sosial, yang sering ditandai dengan kesepian dan perasaan tidak berguna sehingga katekese yang mampu membuat mereka merasa diterima dan diakui dalam komunitas perlu digalakkan/dimulai.”[238]
268. Kitab Suci memperlihatkan orang beriman lanjut usia sebagai simbol pribadi yang kaya dengan kebijaksanaan dan rasa takut akan Allah, dan dengan demikian menjadi penjaga pengalaman hidup yang intensif, yang dengan cara tertentu membuat dia menjadi katekis alami dalam komunitas. Usia lanjut adalah waktu berahmat, di mana Tuhan membarui panggilan-Nya untuk menjaga dan meneruskan iman; untuk berdoa, secara khusus dalam bentuk doa permohonan; untuk berada dekat dengan siapa yang membutuhkan. Orang-orang lanjut usia, dengan kesaksian mereka, meneruskan kepada orang-orang muda makna hidup, nilai tradisi dan beberapa praktik keagamaan dan budaya; mereka memberikan martabat atas ingatan dan pengorbanan-pengorbanan generasi masa lalu; me-mandang dengan pengharapan melampaui kesulitan-kesulitan sekarang. Gereja, dengan mengakui nilai orang lanjut usia, membantu mereka menempatkan diri untuk pelayanan komunitas. Secara khusus, mereka dapat mengambil peran-peran kateketis bagi anak-anak, orang-orang muda dan orang-orang dewasa, sambil berbagi secara sederhana kekayaan harta pusaka kebijaksanaan dan iman yang mereka miliki. Dari pihaknya, komunitas hendaknya menunjukkan terima kasih atas kehadiran yang berharga ini dan mendorong dialog antargenerasi di antara orang lanjut usia dan orang muda. Dengan demikian, dinyatakan hubungan antara ingatan dan masa depan, tradisi dan pembaruan, yang menciptakan suatu rantai sejati untuk penerusan iman dari generasi ke generasi.
6. Katekese bersama dengan penyandang disabilitas
269. Perhatian Gereja kepada orang-orang difabel bersumber dari tindakan Allah. Dengan mengikuti prinsip inkarnasi Putra Allah, yang menghadirkan diri-Nya dalam setiap situasi manusiawi, Gereja mengakui dalam diri orang-orang difabel panggilan kepada iman dan hidup yang baik dan penuh makna. Tema difabilitas sangat penting untuk evangelisasi dan pembinaan Kristiani. Komunitas-komunitas dipanggil bukan hanya untuk memperhati-kan orang-orang yang paling rentan, tetapi juga untuk mengenal kehadiran Yesus yang menyatakan diri-Nya secara khusus dalam diri mereka. Ini “menuntut perhatian ganda: kesadaran akan kemampuan pendidikan iman orang difabel, juga mereka yang cacat berat dan yang terberat; dan kehendak untuk mempertimbangkan orang difabel sebagai subjek aktif dalam komunitas di mana dia hidup.”[239] Namun, pada tingkat budaya, tersebar pemikiran tentang hidup yang sering kali bersifat narsistik dan utilitarian, yang tidak memahami aneka ragam kekayaan manusiawi dan spiritual pada orang-orang difabel, dan melupakan bahwa kerapuhan merupakan bagian dari hakikat manusia dan itu tidak menghalangi orang untuk merasa bahagia dan untuk mengaktualisasikan diri sendiri.”[240]
270. Orang-orang yang menyandang difabilitas adalah peluang untuk pertumbuhan komunitas gerejawi, dan dengan kehadiran mereka, komunitas gerejawi didorong untuk mengatasi prasangka-prasangka budaya. Sesungguhnya, difabilitas dapat menimbulkan rasa malu karena memperlihatkan kesulitan untuk menerima keragaman; itu juga dapat membangkitkan ketakutan, khusus-nya jika ditandai dengan sifat tetap, sebab difabilitas itu merujuk pada situasi kelemahan radikal setiap orang, yakni penderitaan dan akhirnya kematian. Karena kaum difabel menjadi saksi-saksi kebenaran hakiki hidup manusia, mereka harus diterima sebagai karunia yang besar. Komunitas, yang diperkaya oleh kehadiran mereka, lebih menyadari misteri salib Kristus yang menyelamatkan dan, dengan menjalani relasi-relasi timbal balik penerimaan dan solidaritas, menjadi pencipta kehidupan yang baik dan seruan bagi dunia. Maka, katekese akan membantu orang-orang yang dibaptis untuk menafsirkan misteri penderitaan manusiawi dalam terang wafat dan kebangkitan Kristus.
271. Merupakan tugas Gereja-Gereja lokal untuk membuka diri kepada penerimaan dan kehadiran biasa orang-orang difabel dalam program-program katekese, dengan mendorong budaya inklusi melawan logika membuang. Orang-orang difabel secara intelektual menghayati relasi dengan Allah dalam kecepatan intuisi mereka dan seharusnya dan sewajarnya mereka didampingi dalam hidup iman. Ini meminta para katekis mencari saluran-saluran komunikasi baru dan metode-metode yang lebih sesuai untuk mempermudah perjumpaan dengan Yesus. Maka, penting dinamika-dinamika dan bahasa-bahasa berdasarkan pengalaman yang melibatkan pancaindra dan jalan-jalan naratif yang mampu melibatkan semua subjek dengan cara pribadi dan bermakna. Untuk pelayanan ini, baiklah kalau beberapa katekis mendapat pembinaan khusus. Para katekis juga harus dekat dengan keluarga-keluarga orang-orang difabel, dengan mendampingi mereka dan mendorong integrasi penuh mereka ke dalam komunitas. Keterbukaan kepada kehidupan dari keluarga-keluarga ini merupakan suatu kesaksian yang sangat layak dihormati dan dikagumi.[241]
272. Orang-orang yang menyandang difabilitas dipanggil kepada kepenuhan hidup sakramental, bahkan juga dengan adanya gangguan-gangguan berat. Sakramen-sakramen adalah anugerah Allah dan liturgi, bahkan sebelum dipahami dengan akal budi, mendesak untuk dihayati: maka tak seorang pun dapat menolak sakramen-sakramen untuk orang-orang difabel. Komunitas yang tahu menemukan keindahan dan kegembiraan iman yang dialami saudara-saudara difabel ini, menjadi lebih kaya. Maka, penting pastoral inklusi dan pelibatan dalam kegiatan liturgis, khususnya hari minggu.[242] Orang-orang difabel dapat mewujudkan dimensi iman yang tinggi yang mencakup hidup sakramental, doa dan pewartaan Sabda. Sesungguhnya, mereka tidak hanya menjadi penerima katekese, tetapi pelaku evangelisasi. Diharapkan bahwa mereka sendiri dapat menjadi katekis-katekis dan, dengan kesaksian mereka, mereka dapat meneruskan iman dengan cara yang lebih efektif.
7. Katekese bersama dengan para migran
273. Fenomena migrasi adalah fenomena yang mendunia; menarik jutaan orang dan keluarga, yang terlibat dalam migrasi-migrasi internal di dalam tiap-tiap negara, pada umumnya dalam bentuk urbanisasi, atau juga dalam peralihan, yang kadang-kadang berbahaya, ke negara-negara dan benua-benua baru. Sebab-sebab migrasi di antaranya adalah konflik perang, kekerasan, penganiayaan, pelanggaran kebebasan dan martabat manusia, kemiskinan, perubahan iklim dan mobilitas para pekerja akibat globalisasi. “Fenomena ini mengejutkan karena banyaknya orang yang terlibat, persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang meningkat, serta tantangan-tantangan berat yang dihadapkannya pada masyarakat nasional dan internasional.”[243] Semua Gereja partikular terlibat di dalamnya, karena menjadi bagian dari negara-negara asal, persinggahan atau tujuan para migran. Dalam tidak sedikit kasus, proses migrasi membawa serta bukan hanya problem-problem kemanusiaan yang berat, melainkan sering kali juga pengabaian akan praktik religius dan krisis keyakinan-keyakinan iman.
274. Gereja, sebagai “ibu tanpa batas dan perbatasan”[244], menerima para migran dan pengungsi, sambil berbagi dengan mereka karunia iman. Gereja terlibat dalam struktur-struktur solidaritas dan penerimaan, dan menaruh perhatian juga dalam konteks-konteks untuk mewartakan/menyaksikan Injil. “Gereja menggerakkan/mengembangkan program-program evangeli-sasi dan pendampingan para migran dalam seluruh perjalanan mereka, sejak berangkat dari negara asal melalui negara-negara transit sampai ke negara penerima, dengan perhatian khusus untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka melalui katekese, liturgi dan perayaan sakramen-sakramen.”[245] Katekese bersama para migran pada saat penerimaan pertama mempunyai tugas untuk mendukung kepercayaan kepada kedekatan dan penyelenggaraan dari Bapa, agar berbagai kecemasan dan pengharapan orang yang sedang berjalan diterangi oleh iman. Dalam katekese bersama komunitas penerima diberikan perhatian untuk memotivasi kewajiban untuk bersolidaritas dan memerangi prasangka-prasangka negatif. “Katekese ini […] tidak dapat tidak merujuk kepada masalah-masalah berat yang mendahului dan mengiringi fenomena migrasi, seperti persoalan demografis, pekerjaan dan kondisi-kondisinya (fenomena pekerjaan ilegal), perawatan banyak orang jompo, dunia kriminal, eksploitasi”[246] dan perdagangan manusia. Dapat berguna juga memperkenalkan komunitas Katolik lokal pada beberapa bentuk khusus iman, liturgi dan devosi para migran, yang dapat melahirkan pengalaman kekatolikan Gereja.
275. Sedapat mungkin, pemberian katekese yang mempertimbangkan cara-cara untuk memahami dan mempraktikkan iman yang khas negara-negara asal memberikan suatu dukungan yang berharga untuk kehidupan Kristiani para migran, terutama untuk generasi pertama. Sangat penting menggunakan bahasa ibu sebab merupakan bentuk pertama ungkapan jati diri seseorang. Gereja mempunyai pelayanan pastoral khusus bagi para migran, yang memperhitungkan karakteristik khas budaya dan agama mereka. Akan menjadi tidak adil menambahkan banyak kehilangan yang pernah mereka alami, juga hilangnya ritus-ritus dan identitas keagamaan mereka.[247] Di samping itu dengan menghayati iman mereka, para migran Kristiani menjadi pewarta Injil di negara-negara penerima, dengan demikian memperkaya tatanan spiritual Gereja lokal dan memperkuat misinya dengan tradisi budaya dan agama mereka.
276. Untuk menjamin perhatian pastoral di bidang kateketis yang lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus para migran, yang sering kali menjadi anggota berbagai Gereja sui iuris dengan tradisi teologis, liturgis dan spiritualnya sendiri, sangat diperlukan adanya dialog dan kerja sama seerat mungkin antara Gereja asal dan Gereja penerima. Kerja sama ini memungkinkan mereka untuk menerima bahan katekese dalam tradisi dan bahasa ibu dan membantu dalam persiapan para katekis yang cocok untuk tugas mendampingi para migran dalam perjalanan iman. Hendaknya diikuti Kitab Hukum Kanonik dan Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur.
8. Katekese bersama dengan para emigran
Bantuan religius di negara-negara emigrasi
277. Hubungan-hubungan antara Gereja-Gereja asal dengan anak-anaknya sendiri tidak dapat diputuskan dengan berakhirnya proses migrasi dan menetapnya di suatu tempat yang berbeda, di dalam atau di luar batas-batas negara. Hubungan-hubungan itu berlanjut dengan berbagai cara melalui pembentukan tempat-tempat kapelan, kegiatan-kegiatan misi atau bentuk-bentuk lain bantuan spiritual di tempat-tempat penerima. Untuk menjamin para emigran kemungkinan untuk mempertahankan iman yang dihayati di negeri asal mereka dan untuk memberikan bantuan spiritual dan material, beberapa keuskupan mengirim ke luar para imam, biarawan-biarawati dan awam yang dijiwai dengan semangat misioner, untuk mengikuti dan mengumpulkan umat beriman yang berasal dari negara mereka sendiri. Kegiatan ini dikembangkan dalam berbagai cara, seturut kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh hukum.[248] Kegiatan ini sering kali mencakup pemberian kursus-kursus kateketis untuk inisiasi Kristiani dan bina lanjut, yang dilaksanakan dalam bahasa dan menurut tradisi-tradisi Gereja-Gereja asal. Hal itu menjadi suatu sarana berharga untuk hidup Kristiani komunitas-komunitas emigran, dan juga untuk kekayaan spiritual Gereja-Gereja penerima. Namun demikian, katekese harus diatur dan dijalankan dalam persetujuan penuh dengan Uskup setempat, sehingga katekese dikembangkan selaras dengan perjalanan Gereja partikular dan tahu menggabungkan rasa hormat terhadap identitas dan komitmen untuk integrasi.
Katekese di negara-negara asal
278. Kembalinya para emigran untuk waktu yang singkat ke tempat asalnya sering kali bertepatan dengan pesta-pesta tradisional setempat, yang kerap kali ditandai dengan ungkapan-ungkapan kesalehan umat yang penuh semangat. Meskipun bersifat sesekali, keadaan itu harus dihargai untuk menunjukkan iman, sambil menjelaskan masalah-masalah yang mungkin dapat ditimbulkan oleh kondisi para emigran terkait iman dan moral. Dalam situasi demikian, sering kali diminta untuk dapat merayakan beberapa sakramen bagi diri mereka sendiri atau untuk anak-anak karena alasan kerinduan untuk berbagi kegembiraan dengan orang-orang terkasih. Baiklah ditegaskan kembali bahwa penerimaan sakramen-sakramen menuntut suatu persiapan kateketis,[249] yang seharusnya dijamin di negara-negara emigrasi dan ketersediaannya juga harus dipastikan oleh pastor paroki, juga meminta dokumentasinya. Jika tidak ada, pastor paroki akan memberikan persiapan yang diperlukan.
9. Katekese bersama dengan orang-orang terpinggirkan
279. Yang dimaksud dengan orang-orang terpinggirkan atau orang-orang marjinal adalah mereka yang hampir atau yang sudah jatuh dalam situasi terpinggirkan; di antara mereka itu adalah orang-orang miskin, termasuk para pengungsi, pengembara, orang-orang tunawisma, orang-orang sakit kronis, para pecandu narkoba, para narapidana, para budak pelacuran, dan lain-lain. Gereja memandang “secara istimewa kepada bagian kemanusiaan yang menderita dan menangis, sebab ia mengetahui bahwa orang-orang seperti ini menjadi miliknya karena hukum Injil.”[250] “Gereja harus selalu waspada dan siap untuk mengenali karya-karya baru belas kasih dan melaksanakannya dengan kemurahan hati dan antusiasme”[251] sebab ia menyadari bahwa kredibilitas pesannya sangat bergantung pada kesaksian karya-karyanya. Sabda Yesus (bdk. Mat 25:31-46) mendukung dan menggerakkan komitmen orang-orang yang berkarya untuk Tuhan dalam pelayanan bagi orang-orang yang terkecil.
280. Di samping itu, Gereja mengakui bahwa “diskriminasi terburuk yang diderita orang-orang miskin adalah kurangnya pelayanan rohani”; karena itu “keberpihakan istimewa kita pada orang-orang miskin terutama harus diterjemahkan ke dalam pelayanan iman yang istimewa dan diberi prioritas.”[252] Pewartaan iman kepada orang-orang yang terpinggirkan hampir selalu terjadi dalam konteks dan lingkungan informal dan dengan cara-cara yang sesekali saja, karena kemampuan untuk menjumpai orang-orang dalam situasi di mana mereka berada, kesiapsediaan untuk menerima tanpa syarat dan kemampuan untuk menghadapi mereka dengan realistis dan belas kasihan memainkan peran yang menentukan. Berkenaan dengan pewartaan awal dan katekese, maka penting mempertimbangkan keragaman situasi, dengan memahami kebutuhan-kebutuhan dan pertanyaan-pertanyaan setiap orang dan memberdayakan relasi antarpribadi. Komunitas dipanggil untuk mendukung dengan semangat persaudaraan para relawan yang mengabdikan dirinya dalam pelayanan ini.
Katekese di penjara
281. Penjara, yang secara umum dipandang sebagai suatu tempat terbatas, menjadi tanah misi autentik untuk evangelisasi, tetapi juga laboratorium perbatasan untuk pelayanan pastoral yang memperkirakan petunjuk-petunjuk kegiatan gerejawi. Dengan mata iman, dimungkinkan melihat Allah berkarya di antara para narapidana, juga di tengah situasi yang secara manusiawi tidak berpengharapan. Sesungguhnya, Allah berbicara kepada hati manusia di mana saja, dengan memberikan kebebasan, dan terampas-nya kebebasan itu “merupakan bentuk hukuman lebih berat yang harus ditebus, sebab hal itu mengenai pribadi itu dalam lubuk hatinya yang terdalam.”[253] Maka, membangkitkan dalam hati saudara-saudara “kerinduan akan kebebasan sejati merupakan suatu tugas yang tidak dapat ditolak oleh Gereja”[254], dengan mengomunikasikan tanpa ragu-ragu kebaikan dan belas kasihan Allah yang cuma-cuma.
282. Isi mendasar katekese untuk para narapidana, yang sering kali bersifat sesekali dan eksperiensial, adalah kerygma keselamatan dalam Kristus, yang dimengerti sebagai pengampunan dan pembebasan. Pewartaan iman terjadi berkat perjumpaan langsung dengan Kitab Suci, yang penerimaannya dapat menghibur dan menyembuhkan hidup yang telah dirusak oleh dosa, juga membuka ruang untuk pendidikan ulang dan rehabilitasi. Bersamaan dengan ini, relasi yang dijalin oleh para narapidana dengan para petugas pastoral itulah yang membuat orang merasakan kehadiran Allah dalam tanda-tanda dari penerimaan yang dikondisikan dan sikap mendengarkan yang penuh perhatian. Relasi persaudaraan ini menampakkan kepada para narapidana wajah keibuan dari Gereja, yang seringkali dalam penjara menerima pertobatan atau penemuan kembali iman dari banyak anak-anaknya, yang memohon untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi Kristiani. Perhatian Gereja juga menyertai mereka yang mengakhiri masa penahanannya dan mendampingi keluarga mereka.
BAGIAN KETIGA
KATEKESE DI GEREJA-GEREJA PARTIKULAR
Bab IX
Jemaat Kristen sebagai Subyek Katekese
1. Gereja dan pelayanan Sabda Allah
283. Allah telah menghendaki mengumpulkan Gereja-Nya di sekitar Sabda-Nya dan memberinya makan dengan Tubuh dan Darah Putra-Nya. Mereka yang percaya kepada Kristus dilahirkan kembali bukan dari benih yang dapat binasa, melainkan dari sesuatu yang tidak dapat binasa yang adalah Sabda Allah yang hidup (bdk. 1Ptr 1:23). Bagaimana pun, regenerasi ini tidak pernah merupakan tindakan yang sempurna. Sabda Allah adalah roti sehari-hari, yang melahirkan kembali dan tidak putus-putusnya menguatkan peziarahan gerejawi. “Gereja didirikan di atas Sabda Allah; ia lahir dari dan hidup oleh Sabda itu. Sepanjang sejarahnya, Umat Allah selalu menemukan kekuatan di dalam Sabda Allah dan masa kini juga komunitas gerejawi tumbuh karena mendengarkan, merayakan, dan mempelajari Sabda itu.”[255] Keunggulan Sabda ini menempatkan seluruh Gereja dalam “pendengaran religius” (DV 1). Model dari umat Allah adalah Maria, Perawan yang mendengarkan, yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Maka, pelayanan Sabda muncul dari mendengarkan dan mendidik dalam seni mendengarkan, sebab hanya orang yang mendengarkan dapat juga mewartakan. “Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi.”[256]
284. Sabda Allah itu dinamis: bertumbuh dan tersebar luas sendiri (bdk. Kis 12:24), sebab memiliki “kekuatan yang tak terduga. Injil berbicara tentang benih, yang sekali ditabur, tumbuh sendiri, bahkan pada saat petani tidur (bdk. Mrk 4:26-29). Gereja harus menerima kebebasan yang sulit dipahami ini dari sabda, yang menyelesaikan apa yang dikehendakinya dengan cara-cara yang mengatasi perkiraan-perkiraan dan cara-cara berpikir kita.”[257] Seperti Maria, Gereja juga menyatakan: “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Dengan demikian, Gereja menempatkan diri bagi pelayanan pewartaan Sabda Tuhan, dengan menjadi penjaganya yang setia. Tuhan sendiri telah mempercayakan Sabda-Nya kepada Gereja, bukan supaya Sabda-Nya tinggal tersembunyi, melainkan supaya bersinar sebagai cahaya untuk semua orang. “Sabda sendirilah yang mendorong kita kepada saudara dan saudari kita: Sabda itulah yang menerangi, memurni-kan,menobatkan; kita hanyalah hamba-hamba-Nya.”[258]
285. Dengan mengacu pada Sabda Allah, Gereja melaksanakan dengan pelayanannya suatu tugas sebagai perantara: mewartakan Sabda di setiap tempat dan waktu; menjaganya, menyebarkannya seutuhnya kepada berbagai generasi (bdk. 2Tim 1:14); menafsirkannya dengan karisma yang sungguh dari Magisterium; mewartakannya dengan kesetiaan dan kepercayaan, agar “dengan mendengarkan pewartaan keselamatan seluruh dunia mengimaninya, dengan beriman berharap, dan dengan berharap mencintainya” (DV 1); Gereja menyatukan pada dirinya umat beriman baru, yang ditambahkan kepadanya melalui penerimaan Sabda dan Pembaptisan (bdk. Kis 2:41).
286. “Di dalam dinamisme penginjilan, seorang pribadi yang menerima Injil sebagai Sabda yang menyelamatkan, biasanya menerjemahkannya ke dalam sikap-sikap sakramental.”[259]Untuk itu, setelah mengatasi kontras antara sabda dan sakramen, dipahami bahwa pelayanan Sabda juga sangat diperlukan bagi pelayanan sakramen. Santo Agustinus menulis bahwa “orang lahir dalam Roh melalui sabda dan sakramen.”[260] Jalinan sabda dan sakramen mencapai efektivitas maksimalnya dalam liturgi, terutama dalam perayaan Ekaristi, yang menyatakan arti sakramental Sabda Allah. “Sabda dan Ekaristi begitu erat terikat bersama sehingga kita tidak dapat me-mahami yang satu tanpa yang lain: Sabda Allah secarasakramentalmenjadi daging dalam peristiwa Ekaristi. Ekaristi membuka kepada pemahaman akan Kitab Suci, sama seperti Kitab Suci pada gilirannya menyinari dan menjelaskan Misteri Ekaristi.”[261]
287. Subjek pemersatu evangelisasi adalah umat Allah “peziarah dan pewarta Injil.”[262] Konsili Vatikan II berbicara tentang umat mesianis, yang diambil oleh Kristus sebagai sarana penebusan dan diutus kepada semua orang sebagai terang dunia dan garam dunia (bdk. LG 9). Pengurapan Roh (bdk. 1Yoh 2:20) membuatnya mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus dan memberi kepadanya karunia-karunia, seperti sensus fidei, yang memampukannya untuk menegaskan, menyaksikan dan mewartakan Sabda Allah. “Semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani (parresía)” (Kis 4:31). Sebagaimana evangelisasi, demikian pula katekese merupakan kegiatan yang dirasakan sebagai tanggung jawab seluruh Gereja.
288. Tanggung jawab pewartaan Injil menyangkut semua orang. “Berkat pembaptisan mereka, semua anggota umat Allah telah menjadi murid-murid yang diutus (bdk. Mat 28:19). Semua orang yang dibaptis, apa pun kedudukan mereka di Gereja atau tingkat pendidikan mereka dalam iman, adalah pelaku-pelaku evangelisasi, dan akan tidak memadai mem-bayangkan rencana evangelisasi yang dilaksanakan oleh para pelaku yang berkualitas, sementara umat beriman lainnya hanya menjadi penerima pasif. Evangelisasi baru memerlukan keterlibatan setiap orang yang telah dibaptis.”[263] Jika semua bertanggung jawab, namun demikian, tidak semua bertanggung jawab secara sama. Tanggung jawab berbeda-beda sesuai dengan karunia karisma dan karunia pelayanan, dan keduanya sama pentingnya untuk hidup dan misi Gereja.[264] Setiap orang berkontribusi menurut status hidup dan rahmat yang diterima dari Kristus (bdk. Ef 4:11-12).
289. Suatu bentuk konkret dalam jalan evangelisasi adalah praktik sinodal, yang dilaksanakan di tingkat universal dan lokal, dan yang dinyatakan dalam berbagai sinode atau konsili. Suatu kesadaran baru akan identitas misioner kini menuntut suatu kemampuan yang lebih besar untuk berbagi, berkomunikasi, berjumpa, sehingga dapat melangkah bersama di jalan Kristus dan dalam kepatuhan kepada Roh. Bahan sinodal mengusulkan pokok-pokok penting untuk evangelisasi: mengantar kepada discernment bersama terhadap jalan-jalan yang harus ditempuh; mengarahkan untuk bertindak secara sinergis dengan karunia-karunia yang dimiliki oleh semua orang; menentang pengasingan pihak-pihak atau subjek-subjek individual. “Gereja sinodal adalah Gereja yang mendengarkan, dengan kesadaran bahwa mendengarkan itu “lebih daripada mengetahui.” Gereja seperti itu adalah Gereja yang saling mendengarkan, yang di dalamnya setiap orang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Umat yang setia, Kolegium para Uskup, Uskup Roma: seorang mendengarkan yang lain; dan semua mendengarkan Roh Kudus.”[265]
Apa yang telah dikatakan tentang pelayanan Sabda dilaksanakan secara nyata dalam konteks-konteks tradisi-tradisi gerejawi yang berbeda-beda dan Gereja-Gereja partikular, dalam berbagai hubungan mereka.
2. Gereja-gereja Timur
290. “Gereka Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisi-tradisi gerejawi, dan disiplin hidup Kristen di dalam Gereja-Gereja Timur. Sesungguhnya, semua itu adalah Gereja-gereja yang terkemuka dan terhormat untuk zaman kuno, yang di dalamnya tradisi para rasul yang diwariskan oleh para Bapa Gereja cemerlang, dan merupakan bagian warisan yang tak terbagi dan diwahyukan secara ilahi dari Gereja semesta” (OE 1). Harta pusaka ini selalu menyumbang untuk evangelisasi. Gereja Katolik berulang kali menegaskan bahwa “Gereja-Gereja Timur memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, mengenal dan menghidupi mereka”[266], dengan segala cara menghindari kehilangan jati dirinya sendiri. Katekese dalam komitmen ini untuk perlindungan dan penerusan iman dalam Tradisi gerejawi sendiri memiliki peran istimewa. Oleh karena itu, dalam program katekese perlulah bahwa “mereka memancarkan pentingnya Kitab Suci dan liturgi serta tradisi-tradisi Gereja sui iuris dalam patrologi, hagiografi dan dalam ikonografi itu sendiri.”[267]
291. “Hendaklah ditegaskan kembali bahwa di Gereja Timur, sebagaimana kini juga dianjurkan dalam Gereja Barat, katekese tidak dapat dipisahkan dari liturgi, sebab liturgi, sebagai misteri Kristus yang dirayakan in actu, memberi inspirasi kepada katekese. Metode yang sama dipakai oleh tidak sedikit Bapa-Bapa Gereja dalam pembinaan umat beriman. Pembinaan disampaikan dalam katekese bagi para katekumen dan mistagogi atau katekese mistagogi untuk inisiasi ke dalam misteri-misteri ilahi. Dengan cara ini umat beriman dibimbing terus-menerus kepada penemuan yang penuh sukacita akan Sabda dan wafat serta kebangkitan Tuhan mereka, yang telah diperkenalkan oleh Roh Bapa kepada mereka. Dari pemahaman akan apa yang akan mereka rayakan dan dari perpaduan penuh yang telah mereka rayakan, mereka mendapatkan suatu rencana hidup: maka, mistagogi adalah isi dari keberadaan mereka yang ditebus, disucikan dan berjalan menuju keilahian dan, dengan demikian, menjadi dasar dari spiritualitas dan moral. Oleh karena itu, dianjurkan secara konkret agar program-program kateketis setiap Gereja Timur Katolik individual hendaknya memiliki perayaan-perayaan liturgi khusus mereka sendiri sebagai titik tolak mereka.”[268]
292. Semua klerus dan calon-calon tahbisan-tahbisan suci, demikian juga orang-orang hidup bakti dan umat awam dipercayakan misi katekese. Dengan persiapan yang matang dan kokoh, yang diatur oleh norma-norma umum gerejawi, hendaknya mereka juga dididik dan dibina dengan baik tentang ritus-ritus dan norma-norma praktis dalam bahan-bahan antar-ritus, khususnya di mana terdapat berbagai Gereja sui iuris di wilayah yang sama (bdk. OE 4). Di samping itu, “umat beriman Kristiani Gereja sui iuris mana pun, juga Gereja Latin, yang dengan alasan jabatan, pelayanan atau penugasan sering mengadakan hubungan denganumat beriman Kristiani dari Gereja sui iuris lain, hendaknya dibina dengan tepat dalam pengenalan dan penghormatan terhadap ritus Gereja yang sama, sesuai pentingnya jabatan, pelayanan atau penugasan yang mereka laksanakan.”[269]
3. Gereja-gereja partikular
293. “Pewartaan, penerusan dan pengalaman Injil yang dihayati diwujudkan dalam Gereja partikular atau Keuskupan.”[270] Gereja partikular adalah sebagian dari umat Allah, yang “dihimpun dalam Roh Kudus […], di dalamnya hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik” (CD 11). Alasannya adalah bahwa di dalamnya terdapat struktur konstitutif Gereja: Injil, sakramen-sakramen, Uskup, yang dibantu oleh presbiterium memimpin karya pastoral. Gereja partikular “adalah Gereja yang berinkarnasi di suatu tempat tertentu, yang dilengkapi dengan segala sarana keselamatan yang dianugerahkan oleh Kristus, tetapi dengan ciri-ciri setempat.”[271] Namun demikian, Gereja dalam kepenuhannya tidak berdiri sendiri, tetapi dalam persatuan dengan segenap Gereja. Maka, hanya ada satu umat, “satu tubuh, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan” (Ef 4:4-5). Diberikan pertukaran timbal balik yang kuat dan “hanyalah perhatian yang terus-menerus terhadap dua kutub Gereja ini yang memungkinkan kita untuk menangkap kekayaan hubungan antara Gereja universal dan Gereja-Gereja setempat, Gereja individual.”[272]
294. Seperti halnya Gereja universal, demikian juga setiap Gereja partikular menjadi subjek evangelisasi. Apa yang membentuknya menjadi sumber misinya. Sungguh, justru melaluinya semua orang mengadakan kontak dengan suatu komunitas, mendengarkan Sabda Allah, menjadi orang-orang Kristiani dengan Pembaptisan dan berkumpul untuk merayakan Ekaristi yang, dipimpin oleh Uskup, merupakan perwujudan utama Gereja (bdk. SC 41).
295. Diperlengkapi dengan setiap sarana dari Roh Kudus, Gereja-Gereja partikular wajib melanjutkan karya evangelisasi, dengan memberikan sumbangan untuk kebaikan Gereja universal. Dihimpun oleh Sabda Allah, Gereja-Gereja partikular dipanggil untuk mewartakan dan menyebarluaskannya. Dengan menerima tantangan mewartakan Injil, Sabda Allah harus menjangkau wilayah-wilayah yang paling jauh, dan membuka semua daerah pinggiran. Selain itu, dengan hidup di wilayah tertentu, Gereja-Gereja partikular mengevangelisasi dengan mengakar dalam sejarah, budaya, tradisi-tradisi, bahasa-bahasa dan problem-problem umat mereka sendiri. Sabda Allah “memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya” (LG 13). Maka, terpenuhilah karunia Pentakosta, yang dengannya Gereja “yang bersabda dengan semua bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cinta kasih, dan dengan demikian mengatasi percerai-beraian Babel” (AG 4).
296. Setiap Gereja partikular diundang untuk melaksanakan katekese dengan cara terbaik sebagai ekspresi yang mengevangelisasi dalam konteks budaya dan sosialnya sendiri. Semua komunitas Kristiani ber-tanggung jawab untuk katekese, meskipun hanya sedikit orang menerima mandat dari Uskup untuk menjadi katekis-katekis. Mereka ini bertindak dan berkarya dalam bentuk gerejawi atas nama seluruh Gereja.
297. Kegiatan katekese dilaksanakan dalam konteks yang kadang-kadang mempertanyakan bentuk-bentuk tradisional inisiasi dan pendidikan iman. Sesungguhnya, berbagai Gereja partikular dan lokal telah melibatkan diri dalam proses-proses verifikasi dan pembaruan pelayanan pastoral, dengan menentukan tujuan-tujuan, menjabarkan rencana-rencana dan dengan memulai inisiatif-inisiatif di tingkat keuskupan, nasional dan benua. Pembaruan ini juga menuntut komunitas untuk membarui struktur-struktur. Ada kebutuhan kuat untuk menempatkan semua dalam sudut pandang evangelisasi, sebagai prinsip fundamental yang mengarahkan semua kegiatan gerejawi. Katekese juga mengambil bagian dalam transformasi misioner ini, terutama dengan menciptakan ruang-ruang dan program-program konkret untuk pewartaan pertama dan pemikiran baru tentang inisiasi Kristiani dengan sudut pandang katekumenal. Dengan mengatur katekese secara sistematis bersama dimensi pelayanan pastoral lainnya dan berkat suatu discernment pastoral yang realistis, maka dimungkinkan menghindari aktivisme, empirisme dan keterpisahan program-program.
4. Paroki
298. Muncul dari perluasan misioner Gereja, paroki-paroki tergabung secara langsung kepada Gereja partikular, dan menjadi bagaikan selnya (bdk. AA 10). “Diatur sesuai tempat dan ditempatkan di bawah bimbingan seorang pastor yang mewakili Uskup, paroki-paroki dengan cara tertentu menampilkan wajah Gereja yang nyata, yang didirikan di seluruh bumi” (SC 42). Melalui paroki, komunitas-komunitas manusia dijangkau bahkan secara fisik oleh sarana-sarana keselamatan: di antara sarana-sarana itu, yang utama adalah Sabda Allah, Pembaptisan dan Ekaristi. “Jadi, secara jelas dan sederhana, paroki itu didirikan di atas kenyataan teologis, sebab ia merupakan suatu komunitas ekaristis.”[273] Ekaristi, ikatan cinta kasih, mendesak kepedulian bagi orang-orang yang paling miskin, “dan pewartaan kepada mereka merupakan tanda karya Almasih” (PO 6).
299. Paroki-paroki, yang didirikan di atas pilar-pilar Sabda Allah, sakramen-sakramen dan karya cinta kasih, yang pada gilirannya mengandaikan jaringan pelayanan, pengabdian dan karisma, “memberi teladan kerasulan jemaat yang jelas, dengan menghimpun semua anggota menjadi satu, entah bagaimanapun mereka itu diwarnai perbedaan-perbedaan manusia-wi, dan menyaturagakan mereka ke dalam Gereja semesta” (AA 10). Paroki-paroki menampilkan wajah umat Allah yang membuka diri-Nya kepada semua orang, tanpa memilih orang-orang. Paroki-paroki adalah “tempat biasa di mana seseorang dilahirkan dan bertumbuh dalam iman. Oleh karena itu, paroki merupakan sebuah ruang komunitas yang memadai sehingga pelayanan Sabda, sekaligus pengajaran, pendidikan dan pengalaman hidup, dapat dilaksanakan di dalamnya.”[274]
300. Pentingnya paroki-paroki tidak dapat mengabaikan kesulitan-kesulitan zaman sekarang, yang ditunjukkan oleh perubahan ruang-ruang sejarah, sosial dan budaya di mana paroki-paroki itu lahir. Fenomena seperti urbanisasi, cara hidup nomaden, arus migrasi, berkurangnya jumlah klerus memiliki pengaruh terhadap paroki. Maka, perlu memulai proses pertobatan misioner yang tidak terbatas pada mempertahankan apa yang ada atau menjamin pelayanan sakramen-sakramen, melainkan mendorong maju ke arah penginjilan. “Paroki bukanlah lembaga usang, justru karena memiliki daya lentur yang tinggi, dapat menerima berbagai bentuk yang tergantung pada keterbukaan dan kreativitas perutusan dari pastor dan komunitas. Tentu saja, meskipun bukan satu-satunya lembaga yang mewartakan Injil, jika terbukti mampu membarui diri dan senantiasa menyesuaikan diri, paroki akan terus menjadi “Gereja yang hidup di tengah rumah-rumah para putra-putrinya.” Hal ini mengandaikan bahwa paroki sungguh berhubungan dengan keluarga-keluarga dan kehidupan umatnya, dan tidak menjadi struktur yang tak berguna di luar kontak dengan umat atau sekelompok orang pilihan yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri.”[275]
301. Sekarang paroki-paroki berkomitmen untuk membarui dinamika-dinamika hubungan-hubungan dan membuat struktur-struktur mereka terbuka dan kurang birokratis. Dengan menampilkan diri sebagai komunitas dari komunitas-komunitas,[276] paroki-paroki akan menjadi suatu dukungan dan suatu titik acuan bagi gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok kecil untuk menghayati kegiatan evangelisasi mereka dalam persekutuan. Di beberapa Gereja, muncul bentuk-bentuk baru organisasi di dalam keuskupan, yang disebut unit-unit pastoral, yang menyertakan partisipasi lebih luas dalam pelayanan. Hadir dalam berbagai kategori, paroki-paroki memiliki tujuan untuk melaksanakan evangelisasi dengan suatu pelayanan pastoral yang sistematis dan menyeluruh, dengan cara yang inovatif dan kreatif.
302. Dinamika pertobatan misioner berarti bahwa paroki mempertanyakan tentang jenis katekese yang ditawarkannya, terlebih dalam konteks-konteks sosial dan budaya yang baru. Katekese ini menjadi tempat istimewa untuk pendidikan iman, meskipun disadari bahwa itu bukanlah pusat daya tarik seluruh fungsi kateketis, sebab ada program-program dan kegiatan-kegiatan gerejawi lain yang tidak terkait secara erat dengan struktur-struktur yang ada. Komunitas paroki akan tahu untuk masuk dalam dialog dengan realitas-realitas yang ada, mengetahui nilai realitas dan mencapai discernment pastoral tentang cara-cara baru kehadiran yang mengevangelisasi di wilayah.
5. Asosiasi, gerakan, dan kelompok umat beriman
304. Pengakuan paroki-paroki tidak mengarah untuk menutup pengalaman gerejawi di dalamnya. Berbagai perkumpulan, gerakan dan kelompok gerejawi sesudah Konsili Vatikan II telah mengalami suatu perkembangan baru. Semua merupakan realitas dalam Gereja yang menunjukkan kemampuan besar mewartakan Injil, dengan meresapi lingkungan-lingkungan yang sering kali jauh dari struktur-struktur tradisional. Kelompok-kelompok komunitas umat beriman telah menyertai sejarah Kristiani dan telah menjadi sumber daya pembaruan dan kerasulan. Oleh sebab itu, perlulah mendukung gerakan itu, dengan mengakui bahwa Roh membagikan dengan bebas karunia-karunia-Nya (bdk. 1Kor 12:11). “Gerakan-gerakan itu memperlihatkan suatu karunia pemberian sejati dari Allah untuk usaha penginjilan baru sekaligus juga untuk apa yang dengan sangat tepat disebut sebagai kegiatan misioner.”[278] Meskipun tujuan-tujuan dan metodologi-metodologi sangat bervariasi, muncul beberapa unsur umum: penemuan kembali dimensi komuniter; penguatan aspek-aspek hidup Kristiani seperti mendengarkan Sabda, praktik kesalehan, amal kasih; pengembangan umat awam dalam misi gerejawi dan sosial.
305. Gereja telah mengakui hak berkumpul umat beriman, dengan mendasarkannya pada dimensi sosial kodrat manusia dan martabat pembaptisan. “Alasan yang mendalam […] adalah eklesiologis, sebagaimana Konsili Vatikan II dengan terbuka menyatakan bahwa dalam kerasulan terpadu hal itu menunjukkan “tanda persekutuan dan kesatuan Gereja dalam Kristus” (AA 18).”[279] Kadang-kadang dapat timbul kesulitan-kesulitan, yang terutama terkait risiko dari suatu program yang eksklusif, arti identifikasi yang berlebihan dan integrasi yang kurang memadai ke dalam Gereja-Gereja partikular, sehingga Gereja-Gereja partikular harus selalu menjaga persekutuan. Kriteria kegerejaan[280] merupakan bantuan penting untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dan untuk memberi kesaksian tentang kesatuan. Perkumpulan-perkumpulan gerejawi merupakan “sumber yang memperkaya bagi Gereja, yang dibangkitkan oleh Roh untuk mewartakan Injil ke seluruh wilayah dan sektor. Seringkali mereka membawa suatu semangat evangelisasi baru dan kemampuan baru untuk berdialog dengan dunia di mana Gereja diperbarui. Tetapi terbukti bermanfaat bagi mereka untuk tidak kehilangan kontak dengan realitas yang kaya dari paroki lokal dan siap sedia berperan serta dalam seluruh kegiatan pastoral Gereja partikular”[281].
306. Sekarang kematangan telah diperoleh oleh komunitas-komunitas basis gerejawi, yang dikembangkan oleh berbagai Konferensi para Uskup dan sangat tersebar di beberapa negara. Komunitas-komunitas basis gerejawi telah mendorong pembaruan misi: dengan bertolak dari mendengarkan Sabda Allah; dengan mengakarkan Injil dalam budaya dan situasi-situasi para warga setempat, terutama di antara orang-orang miskin; dengan mengembangkan pengalaman-pengalaman hidup komuniter yang nyaman; dengan melibatkan orang-orang dalam suatu partisipasi yang lebih sadar dalam evangelisasi. “Komunitas-komunitas ini merupakan tanda adanya daya kehidupan di dalam Gereja, suatu sarana untuk pembinaan dan penginjilan, dan suatu titik pangkal yang kokoh bagi suatu masyarakat baru yang dilandaskan pada “peradaban cinta” […]. Jika mereka sungguh-sungguh hidup dalam kesatuan dengan Gereja, merupakan ungkapan sejati dari persekutuan dan merupakan sarana-sarana untuk membangun suatu persekutuan yang lebih mendalam. Maka mereka pun menjadi dasar munculnya harapan besar bagi kehidupan Gereja.”[282]
307. Perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok gerejani ini, demi tujuan mengembangkan semua dimensi fundamental kehidupan Kristiani, memberikan makna penting khusus untuk momen pembinaan. Sesungguhnya, “mereka memiliki kemungkinan, masing-masing dengan metode-metodenya sendiri, memberikan pembina-an melalui pengalaman yang dimasukkan secara mendalam di dalam pengalaman hidup kerasulan,maupun mempunyai peluang untuk mengintegrasikan, membuat konkret dan spesifik pembinaan yang diterima oleh para anggota mereka dari orang-orang atau komunitas yang lain.”[283] Program-program pembinaan yang mendalami karisma khusus dari setiap realitas ini, tidak dapat menjadi suatu alternatif untuk katekese, yang tetap esensial dalam pembinaan Kristiani. Maka, sudah tentu penting bahwa perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok hendaknya secara teratur meluangkan waktu yang dipersembahkan untuk katekese.
6. Sekolah Katolik
309. Sekolah Katolik “sama halnya sekolah-sekolah lainnya, mengejar tujuan-tujuan budaya sekolah dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda. Akan tetapi, unsur khasnya adalah menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang diresapi oleh semangat Injil […] dan mengarahkan seluruh budaya manusiawi kepada pesan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman” (GE 8). Secara ringkas, ditunjukkan ciri-ciri khas berikut: keharmonisan dengan tujuan pendidikan sekolah umum; komunitas pendidikan autentik yang diresapi oleh nilai-nilai injili; perhatian kepada orang-orang muda; perhatian untuk mendidik pada suatu keterpaduan antara iman, budaya dan kehidupan.
310. “Satu perubahan yang menentukan dalam sejarah sekolah Katolik [adalah] peralihan dari sekolah-institusi kepada sekolah-komunitas”, di mana “dimensi komuniter yang seperti itu bukanlah suatu kategori sosiologis sederhana, tetapi terutama teologis.”[284] Sekolah Katolik merupakan suatu komunitas iman, yang berlandaskan rencana pendidikan yang bercirikan nilai-nilai injili. Dimensi komuniter harus dihayati secara konkret, dengan membentuk suatu gaya relasional yang peka dan penuh hormat. Rencana ini meminta keterlibatan seluruh komunitas sekolah, termasuk para orang tua, dengan selalu mengutamakan para siswa-siswi, yang bertumbuh kembang bersama-sama, dengan menghargai ritme setiap orang. “Hendaknya para guru menyadari, bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah Katolik, untuk dapat melaksanakan tujuan-tujuan dan usaha-usahanya” (GE 8).
311. Sekolah Katolik merupakan subjek gerejani, yang membuat misi Gereja kelihatan, terutama di bidang-bidang pendidikan dan budaya. Sekolah Katolik memiliki sebagai titik acuannya Gereja partikular, yang bukan lembaga asing baginya. Karena itu tidak dapat dikesampingkan atau dipinggirkan, baik identitas Katoliknya maupun perannya dalam evangelisasi. “Sesungguhnya, dari identitas Katolik muncul ciri-ciri keaslian sekolah, yang dibangun sebagai subjek gerejani, tempat kegiatan pastoral yang autentik dan spesifik. Ia mengambil bagian dalam misi evangelisasi Gereja dan menjadi tempat istimewa di mana dilaksanakan pendidikan Kristiani.”[285] Pelayanan Sabda dapat dijalankan di sekolah Katolik dalam banyak bentuk, dengan memperhitungkan wilayah-wilayah geografis yang berbeda-beda, identitas budaya dan para penerima. Pengajaran agama Katolik dan katekese sangat penting.
312. Alasan-alasan para murid atau orang tua mereka lebih memilih sekolah Katolik dapat bervariasi. Beragamnya pilihan hendaklah dihormati. Meskipun demikian, juga jika alasan pemilihan berkaitan dengan kualitas program pendidikan, katekese dan pengajaran agama Katolik hendaknya disampaikan dengan seluruh nilai budaya dan pedagogis. “Sekolah Katolik, yang berkomitmen untuk menumbuhkembangkan manusia secara integral, dengan melakukan hal itu, menaati perhatian Gereja, dengan kesadaran bahwa semua nilai manusiawi menemukan realisasinya yang penuh dan karena itu juga kesatuan mereka dalam Kristus.”[286] Dalam suatu konteks pluralisme budaya dan religius, tugas Konferensi-konferensi para Uskup dan setiap Uskup adalah mengawasi agar pelaksanaan katekese atau pengajaran agama Katolik dijamin dalam ketuntasan dan koherensinya.
7. Pengajaran agama Katolik di sekolah
313. Pengajaran agama Katolik di sekolah telah mengalami perubahan-perubahan penting dari waktu ke waktu. Hubungannya dengan katekese adalah hubungan perbedaan dalam komplementaritas. Jika perbedaan itu tidak jelas, maka ada bahaya bahwa keduanya kehilangan identitas masing-masing. Katekese “mengembangkan ketaatan pribadi kepada Kristus dan kematangan hidup Kristiani, pengajaran sekolah memberi para siswa pengetahuan tentang identitas Kristianitas dan kehidupan Kristiani.”[287] “Ciri khasnya adalah kenyataan bahwa ia dipanggil untuk meresapi suatu lingkup budaya dan untuk berhubungan dengan bidang ilmu lain. Sesungguhnya, sebagai bentuk asli pelayanan Sabda, pengajaran agama di sekolah menghadirkan Injil dalam sebuah proses asimilasi personal, yang sistematis dan kritis, dari budaya.”[288] Pada konteks sekarang ini, “pendidikan agama kerap kali merupakan satu-satunya kesempatan yang dimiliki para siswa untuk berjumpa dengan pesan iman.”[289]
314. Di mana pengajaran agama dilaksanakan, maka itu adalah suatu pelayanan bagi manusia dan suatu sumbangan berharga bagi program pendidikan sekolah. “Dimensi religius sesungguhnya menjadi esensial bagi kenyataan budaya, ia menyumbang bagi pembentukan menyeluruh seorang pribadi dan memungkinkan untuk mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan hidup.”[290] Adalah hak para orang tua dan para siswa untuk menerima suatu pembinaan seutuhnya, karena faktor religius merupakan suatu dimensi kehidupan dan tidak dapat diabaikan dalam suatu konteks, seperti sekolah, yang menawarkan pengembangan kepribadian yang harmonis. Pengajaran agama Katolik, dalam pengertian ini, memiliki nilai edukatif sangat besar dan membantu perkembangan masyarakat itu sendiri.
315. Sebagai suatu disiplin skolastik, pengajaran agama Katolik perlu menunjukkan kebutuhannya akan sistematika dan akurasi yang sama seperti disiplin-disiplin yang lain, sebab terutama di bidang ini improvisasi itu merugikan dan harus ditolak. Sudah seharusnya bahwa sasaran-sasaran diwujudkan menurut tujuan-tujuan khusus lembaga-lembaga persekolahan. Dibandingkan dengan disiplin-disiplin lain, pengajaran agama Katolik dipanggil untuk mematangkan kondisi jiwa bagi suatu dialog yang penuh hormat dan terbuka, khususnya pada saat sekarang, ketika keadaan-keadaan dengan mudah diperuncing hingga menimbulkan konflik-konflik ideologis yang penuh kekerasan. “Dengan demikian, agama meneruskan kesaksian dan pesan humanisme integral. Humanisme ini, yang diperkaya dengan identitas agama, menghargai tradisi luhur agama seperti: iman; hormat kepada hidup manusia dari sejak pembuahan hingga akhir alamiahnya; hormat kepada keluarga, masyarakat, pendidikan dan pekerjaan. Semua ini menjadi peluang dan sarana untuk tidak menutup diri, tetapi terbuka dan berdialog dengan setiap orang dan segala sesuatu, yang menuntun kepada apa yang baik dan benar. Dialog tetap menjadi satu-satunya solusi yang mungkin, bahkan ketika berhadapan dengan penolakan sentimen keagamaan, dengan ateisme dan agnotisisme.”[291]
316. “Tidaklah mungkin mengembalikan ke satu bentuk semua model pengajaran agama di sekolah-sekolah, yang telah berkembang secara historis sesuai dengan persetujuan antara negara-negara dan pertimbangan setiap Konferensi para Uskup. Namun demikian, perlu diupayakan untuk menjamin, sesuai dengan kondisi yang relevan, agar pengajaran agama di sekolah-sekolah menjawab tujuan dan sifatnya yang khusus.”[292] Dengan memperhitungkan situasi-situasi setempat, Konferensi para Uskup (dan, dalam kasus-kasus khusus, Uskup-uskup Diosesan) akan menimbang-nimbang berbagai petunjuk untuk memperbarui pengajaran agama Katolik. Selain itu, diminta kepada Konferensi para Uskup untuk memastikan tersedianya buku-buku pelajaran dan, jika diperlukan, sarana-sarana lain dan bantuan-bantuan yang memadai.
317. Diharapkan bahwa Konferensi para Uskup memiliki perhatian yang sama untuk pengajaran agama di sekolah di mana terdapat anggota-anggota dari berbagai agama Kristiani, baik jika sekolah itu dipercayakan kepada para guru dari suatu agama tertentu maupun para dosen yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengakuan iman. Bagaimanapun juga, pengajaran agama Katolik memiliki nilai ekumenis, bila doktrin Kristiani disampaikan secara sungguh-sungguh. Dalam pengertian ini, kesiapsediaan kepada dialog, meskipun lebih sulit pelaksanaannya, harus menginspirasi juga hubungan-hubungan dengan gerakan-gerakan religius baru yang berasal dari kekristenan dan dengan inspirasi Injil yang muncul pada saat-saat belakangan ini.
318. Supaya pengajaran agama Katolik di sekolah lebih berhasil, penting bahwa para pengajar mampu mengaitkan antara iman dan budaya, unsur manusiawi dan religius, ilmu pengetahuan dan agama, sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang lain. Tugas pengajar yang terutama adalah mendidik, yang mengarah pada pendewasaan manusiawi para siswa. Pada saat yang sama, para guru dituntut menjadi orang-orang beriman dan berkomitmen dalam pertumbuhan pribadi dalam iman, masuk ke dalam suatu komunitas Kristiani dan bersedia mempertanggungjawab-kan iman mereka juga melalui kompetensi profesional mereka.[293]
Bab X
Katekese di hadapan Konteks Budaya Kontemporer
319. Katekese memiliki suatu dimensi budaya dan sosial yang hakiki, karena menjadi bagian Gereja yang dimasukkan ke dalam komunitas manusiawi. Di dalam komunitas manusiawi itu para murid Tuhan berbagi “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang” (GS 1). Tugas membaca tanda-tanda zaman selalu hidup, terlebih pada zaman ini, yang dikatakan sebagai perubahan zaman dan ditandai oleh kontradiksi-kontradiksi dan, pada saat yang sama, oleh kerinduan akan perdamaian dan keadilan, akan perjumpaan dan solidaritas. Katekese mengambil bagian dalam tantangan gerejawi melawan proses-proses yang berpusat pada ketidakadilan, pengucilan orang-orang miskin, sikap mengutamakan uang dan malahan bukan menjadi tanda kenabian untuk pengembangan dan kehidupan yang penuh untuk semua orang. Semua ini bukan hanya menjadi tema-tema yang diberi ruang dalam katekese, tetapi merupakan perhatian fundamental dari katekese dan karya pastoral gerejani; semua ini menjadi tanda-tanda dari suatu katekese yang sepenuhnya melayani inkulturasi iman. Selanjutnya dijelaskan beberapa persoalan budaya, sosial, religius yang mengundang orang-orang kristiani untuk mengingat bahwa “evangelisasi adalah menghadirkan Kerajaan Allah di dunia.”[294]
1. Katekese dalam situasi pluralisme dan kompleksitas
320. Budaya kontemporer merupakan suatu realitas yang sangat kompleks, sebab, akibat fenomena globalisasi dan pemakaian sarana-sarana komunikasi secara masif, telah meningkat hubungan-hubungan dan saling ketergantungan antara persoalan-persoalan dan bagian-bagian yang pada masa lalu bisa dipertimbangkan secara terpisah dan yang sekarang sebaliknya menuntut suatu pendekatan integratif. Sesungguhnya dalam dunia sekarang, disatukan bersama-sama dan secara terus-menerus kemajuan pengetahuan dan tren-tren budaya, globalisasi dari model-model kehidupan dan pengkondisian sistem-sistem ekonomi-politik, keanggotaan etnis dan religius, persoalan-persoalan sosial yang lama dan baru, dengan menimbulkan situasi konkret yang beraneka dan berubah-ubah. Dalam situasi yang amat kompleks ini, orang dihadapkan pada kehidupan dan iman dengan cara yang amat beragam, sehingga memunculkan suatu pluralisme budaya dan religius yang sangat menonjol dan sulit digolongkan.
321. Realitas ini, yang sangat heterogen dan berubah-ubah baik ditinjau dari sudut pandang sosio-budaya maupun religius, perlu dimengerti sedemikian rupa sehingga keberagaman aspek (polyhedron)[295] dapat dihargai dan bahwa setiap aspek mempertahankan validitasnya dan kekhasannya, meskipun dalam beragam hubungan dengan keseluruhan. Pendekatan interpretatif ini memungkinkan untuk memahami fenomena-fenomena dari berbagai sudut pandang, namun menempatkannya dalam relasi satu sama lain. Pentinglah bahwa Gereja, yang ingin memberikan keindahan iman kepada semua dan setiap orang, hendaknya menyadari kompleksitas ini dan hendaknya mematangkan suatu pandanganyang lebih mendalam dan lebih bijaksana terhadap realitas itu. Suatu kondisi seperti itu semakin mewajibkan untuk mengambil perspektif sinodal sebagai metodologi yang koheren dengan program yang harus dilaksanakan oleh komunitas. Itu adalah perjalanan bersama yang di dalamnya berbagai kehadiran dan peran bertemu supaya evangelisasi bisa dilaksanakan dengan cara yang lebih partisipatif.
322. Dari sisi religius yang lebih tegas, ada banyak konteks lokal di mana Gereja hidup dalam suatu lingkungan ekumenis atau multireligius, namun seringkali justru di antara orang-orang Kristiani tumbuh bentuk-bentuk ketakacuhan dan ketidakpekaan religius, relativisme atau sinkretisme dengan latar belakang visi sekular yang mengingkari setiap keterbukaan terhadap transendensi. Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang ditimbulkan suatu budaya tertentu, reaksi pertama yang dapat muncul adalah merasa kacau dan bingung, tidak mampu menghadapi dan mengevaluasi fenomena-fenomena yang mendasarinya. Hal ini tidak boleh membiarkan komunitas Kristiani bersikap tidak peduli, yang dipanggil tidak hanya mewartakan Injil kepada orang yang tidak mengenalnya, tetapi juga membantu anak-anaknya untuk menyadari iman mereka sendiri. Nilai yang diakui budaya masa kini untuk kebebasan terkait dengan pilihan iman pribadi dapat dipahami sebagai kesempatan berharga untuk kesetiaan pada Tuhan agar menjadi tindakan pribadi yang mendalam dan tanpa pamrih, matang dan disadari. Untuk ini, menjadi jelas hubungan mendalam yang harus dimiliki oleh katekese dengan evangelisasi. Evangelisasi membentuk dalam diri orang-orang Kristiani suatu identitas yang jelas dan pasti, mampu dengan tenang, berdialog dengan dunia, dengan memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan Kristiani dengan lemah lembut, hormat dan hati nurani yang murni (bdk. 1Ptr 3: 15-16).
323. Dari sudut pandang sosio-budaya, tidak dapat disangkal bahwa proses-proses komunikasi massa telah mengalami suatu percepatan yang pesat dan telah menyumbang tidak sedikit dalam menghasilkan mentalitas global. Di satu sisi ini dengan segera memberi kepada semua orang kesempatan merasa sebagai anggota dari keluarga besar manusia dengan berbagi program-program dan sumber-sumber daya, di sisi lain menguasai dan menyeragamkan, yang berakhir dengan membuat orang-orang menjadi korban dari suatu kekuatan yang seringkali anonim. Di samping itu, “kita sedang hidup dalam masyarakat berbasis informasi yang menyerbu kita tanpa pandang bulu dengan data – semua diperlakukan sama pentingnya – dan yang mengarah ke kedangkalan luar biasa di bidang diskresi moral. Untuk menanggapi ini kita perlu memberikan pendidikan yang mengajarkan berpikir kritis dan mendorong pengembangan nilai-nilai moral yang dewasa.”[296]
324. Komunitas gerejani dipanggil untuk memandang dengan semangat iman masyarakat di mana ia hidup, untuk “menemukan dasar budaya-budaya, yang dalam inti terdalamnya selalu terbuka kepada dan haus akan Allah”,[297] untuk menjelaskan arti perubahan-perubahan budaya yang sedang terjadi guna membawa Injil sukacita yang membarui dan menghidupkan segala sesuatu. Karena itu, komunitas gerejani akan bersemangat untuk memasuki jalinan keberadaan, lingkungan-lingkungan antropologis dan areopagus-areopagus modern di mana diciptakan tren-tren budaya dan dibentuk mentalitas-mentalitas baru: sekolah, riset ilmiah dan lingkungan kerja; bidang media sosial dan komunikasi; bidang tanggung jawab untuk perdamaian, pengembangan, perlindungan ciptaan, pembelaan hak-hak orang-orang yang paling lemah; dunia waktu bebas, pariwisata, kesejahteraan; ruang untuk sastra, musik dan berbagai ekspresi seni.
325. Wajah multibentuk dari realitas, yang ditandai dengan unsur-unsur ambivalen pluralisme religius dan kultural, dalam analisis terakhir tampak dalam diri setiap orang, yang pada masa kini wajah batinnya sangat dinamis, kompleks dan beraneka ragam. Pelayanan bagi manusia konkret adalah alasan utama mengapa Gereja memperhatikan budaya-budaya manusia dan, dalam sikap mendengarkan dan dialog, menguji setiap hal sambil memegang apa yang baik (bdk. 1Tes 5:21). Gereja partikular, dan di dalamnya setiap komunitas Kristiani atau kelompok gerejani, akan menjadi pelaku discernment pastoral ini untuk merumuskan pemahaman tentang kerygma yang paling sesuai dengan berbagai mentalitas, sehingga proses katekese benar-benar diinkulturasi dalam banyak situasi dan Injil menerangi kehidupan semua orang. Selain itu, penilaian pastoral akan memper-hitungkan beberapa ruang manusiawi yang memiliki karakteristik khusus: konteks perkotaan dari kota-kota yang besar, konteks pedesaan dan budaya-budaya tradisional lokal.
Konteks perkotaan
326. Realitas kota dan, secara khusus, pengelompokan besar kota-kota metropolitan merupakan fenomena multibentuk dan global yang semakin menentukan bagi umat manusia, sebab, dengan mempengaruhi dalam berbagai cara situasi konkret hidup keseharian, ia berpengaruh pada pemahaman yang dimiliki manusia tentang dirinya, tentang relasi-relasi yang dihayatinya, tentang makna hidup. Di kota-kota modern, dibanding-kan dengan budaya-budaya pedesaan atau situasi perkotaan sebelumnya, model-model budaya seringkali dihasilkan oleh institusi-institusi yang lain, bukan lagi dari komunitas Kristiani, dengan “bahasa-bahasa, simbol-simbol, pesan-pesan dan paradigma-paradigma baru yang mengajukan pendekatan-pendekatan baru akan kehidupan, pendekatan-pendekatan yang sering kali berlawanan dengan Injil Yesus.”[298] Ini tidak berarti bahwa, dalam kehidupan kota, tidak terdapat rasa perasaan religius, walaupun itu diungkapkandalam bentuk-bentuk yang berbeda, yang karena itu harus ditemukan dan dihargai. Gereja dipanggil untuk menempatkan diri dengan rendah hati dan keberanian di atas jejak-jejak kehadiran Allah dan untuk “melihat ke kota-kota kita dengan pandangan kontemplatif, pandangan iman yang melihat Allah berdiam di rumah-rumah mereka, di jalan-jalan dan lapangan-lapangan mereka”,[299] dengan menjadi, berhadapan dengan keragu-raguan dan kontradiksi hidup sosial, “kehadiran profetis, yang tahu membuat dirinya merasakan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip Kerajaan Allah.”[300]
327. Sesudah kehadiran pastoral yang mampu menerangi dengan Sabda Tuhan pusat kota “di mana narasi-narasi dan paradigma-paradigma baru sedang dibentuk”,[301] program katekese akan menjadi pewartaan kerygmatik yang transparan, manusiawi dan penuh pengharapan berkenaan dengan keterpisahan, ketidakmanusiawian dan kekerasan yang seringkali muncul dalam konteks kota-kota besar. “Pewartaan Injil akan menjadi dasar untuk memulihkan kembali martabat hidup manusia dalam konteks ini, karena Yesus ingin mencurahkan kelimpahan hidup bagi kota-kota kita (bdk. Yoh 10:10).”[302]
328. Jika kehidupan perkotaan bagi banyak orang dapat menjadi kesempatan khususbagi keterbukaan terhadap perspektif-perspektif baru, untuk berbagi persaudaraan dan aktualisasi hidup mereka sendiri, namun sebaliknya tidak jarang menjadi tempat kesendirian terbesar, kekecewaan, ketidakpercayaan. Demikian juga kehidupan perkotaan bisa berubah menjadi ruang di mana berbagai kategori sosial mengakhiri hidup berdampingan, dengan saling mengabaikan atau meremehkan satu sama lain. Inilah kesempatan untuk merencanakan kembali dengan cara kreatif suatu katekese yang berinspirasi pada katekumenat, yang mampu memberikan konteks komunitas iman yang di dalamnya, dengan mengatasi anonimitas, nilai setiap orang diakui dan semua orang diberi minyak balsam iman paskah untuk meringankan luka-luka. Dalam konteks proses katekese orang dapat “membayangkan ruang-ruang doa dan persekutuan yang berciri inovatif dan lebih menarik serta penuh arti bagi para warga kota”,[303] misalnya dengan membuat simbol-simbol dan cerita-cerita yang membangun kembali rasa menjadi bagian dari komunitas yang di dalam kota dapat dengan mudah hilang. Suatu katekese desa dengan inspirasi katekumenal dapat mengubah paroki menjadi komunitas dari komunitas-komunitas, yang dengan mengalami suatu kedekatan persaudaraan, menyatakan keibuan Gereja dan memberi kesaksian nyata akan belas kasih dan kelembutan hati dan budi, yang menghasilkan arah dan arti bagi kehidupan kita sendiri.
Konteks pedesaan
329. Meskipun proses urbanisasi yang sedang berlangsung cukup signifikan, tidak dapat dilupakan banyak konteks pedesaan di mana berbagai bangsa tinggal dan Gereja hadir, dengan berbagi kegembiraan dan penderitaan. Pada zaman kita, kedekatan ini harus ditegaskan lagi dan diperbarui kembali untuk membantu komunitas-komunitas dari dunia pedesaan agar mengarahkan diri berhadapan dengan perubahan-perubahan yang berisiko menghancurkan identitas dan nilai-nilai mereka. Bumi adalah ruang yang memungkinkan untuk mengalami Allah, tempat di mana Dia menyatakan diri-Nya (bdk. Mzm 19:1-7). Di bumi – yang bukan merupakan hasil sebuah kebetulan, tetapi adalah anugerah kasih-Nya (bdk. Kej 1-2) – Sang Pencipta membiarkan kedekatan, penyelenggaraan dan perhatian-Nya memancar kepada semua makhluk hidup, khususnya keluarga manusia. Yesus sendiri, bertolak dari pergantian musim-musim dan peristiwa-peristiwa dalam dunia pertanian, telah mengambil beberapa dalam perumpamaan-Nya dan ajaran-ajaran-Nya yang paling indah. Dengan bertolak dari ciptaan untuk mencapai Sang Pencipta, komunitas Kristiani selalu menemukan jalan-jalan untuk pewartaan dan katekese, yang bijaksana untuk memulai kembali dengan cara baru.
330. Pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman-tanaman dan binatang-binatang, pergantian siang dan malam, silih bergantinya minggu dan bulan serta musim merupakan seruan untuk menghormati irama ciptaan, untuk menjalani hidup keseharian dengan cara yang sehat dan alami, dengan demikian menemukan waktu untuk diri sendiri dan untuk Allah. Inilah pesan iman yang ditemukan dengan bantuan katekese, yang menunjukkan kepenuhan dalam siklus tahun liturgi dan unsur-unsur alam yang diambil dalam liturgi. Selain itu, budaya pedesaan lebih tampak melestarikan nilai-nilai yang tidak didukung dalam masyarakat konsumeristis sekarang ini – misalnya kesederhanaan dan keugaharian dalam gaya hidup, keramahan dan solidaritas dalam relasi-relasi sosial, makna kerja dan pesta, perlindungan ciptaan– yang merupakan suatu jalur yang sudah terbuka untuk pewartaan Injil. Katekese akan mampu menghargai harta warisan ini, dengan menegaskan makna Kristiani. Apa yang telah dikatakan ini merupakan pengayaan bagi seluruh Gereja, yang diundang untuk menyebarkan, berkat program pembinaan, suatu refleksi tentang pemeliharaan ciptaan dan gaya-gaya hidup.
Budaya lokal tradisional
331. Kecenderungan budaya global untuk menyeragamkan semua, serbuan media massa, migrasi untuk menemukan kondisi hidup yang lebih baik telah sangat mempengaruhi budaya-budaya tradisional lokal. Dalam tidak sedikit kasus, “globalisasi telah menimbulkan kemerosotan yang berlangsung begitu cepat dari akar budaya mereka sendiri dan invasi cara berpikir dan bertindak yang dimiliki budaya lain yang secara ekonomi maju, tetapi secara etis lemah.”[304] Beberapa pertentangan budaya masa kini telah digarisbawahi oleh Konsili Vatikan II, seperti misalnya, harmonisasi antara budaya global dan karakter pribadi setiap bangsa; antara pengembangan apa yang mempersatukan bangsa-bangsa dan kesetiaan kepada tradisi-tradisi lokal (bdk. GS 53-62). Refleksi ini sungguh sangat mendesak terutama ketika hasil-hasil pengembangan teknologi-saintifik harus diselaraskan dengan budaya-budaya tradisional. Gereja selalu menegaskan kembali keharusan untuk memberikan perhatian khusus kepada kekhasan lokal dan keragaman budaya, yang berisiko menjadi kompromistis terhadap proses-proses ekonomis-finansial dunia.
332. Di berbagai negara ada penduduk-pendudukasli (disebut juga orang-orang aborigin atau pribumi), yang mencirikan diri karena memiliki bahasa, ritus-ritus dan tradisi-tradisi khas dan mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat menurut adat kebiasaan mereka sendiri. Beberapa dari kelompok-kelompok ini sejak lama telah menerima iman Katolik sebagai bagian integral dari budaya mereka, dengan memberikan ungkapan ritual yang khas. Para petugas pastoral yang tahu bagaimana tinggal bersama mereka dan berusaha untuk mengenal dan mencintai budaya-budaya lokal itu, tanpa menganggapnya sebagai hal yang salah atau hasil dari ketidaktahuan, hendaknya menjadi “gembira serta penuh hormat menggali benih-benih sabda yang terpendam di situ” (AG 11). Gereja, dengan menemukan dalam diri penduduk asli kehadiran Roh Kudus yang selalu berkarya, mengantar mereka kepada perkembangan penuh mereka dalam Kristus. Oleh karena itu “apa pun yang baik, yang tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat, dan disempurnakan demi kemuliaan Allah” (AG 9).
333. Katekese yang dilaksanakan dalam konteks budaya-budaya tradisional lokal terutama akan pertama-tama memperhatikan untuk mengenal orang-orang yang dengan mereka ia terlibat dalam suatu dialog yang tulus dan sabar, dan akan berusaha menguji budaya-budaya itu dalam terang Injil guna menemukan karya Roh: “Di sini perlu diakui adanya jauh lebih daripada hanya benih-benih Sabda, karena ada iman Kristiani sejati yang memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan diri dan menunjukkan hubungannya dengan Gereja.”[305] Akhirnya, karena setiap ekspresi budaya sebagaimana setiap kelompok sosial memerlukan pemurnian dan pen-dewasaan, katekese akan mampu menyatakan kepenuhan dan kebaruan Tuhan Yesus, yang menyembuhkan dan membebaskan dari beberapa kelemahan dan penyimpangan.
334. Menjadi katekis bagi penduduk asli menuntut pengosongan yang rendah hati dari sikap-sikap sombong dan meremehkan terhadap mereka yang memiliki budaya yang berbeda. Hendaklah dihindari sikap-sikap yang tertutup atau sikap-sikap mencela lebih dulu, demikian juga penilaian-penilaian dangkal atau yang menyanjung. Dengan tidak melupakan untuk menjadi murid-murid misioner Tuhan, akan diperoleh keberanian untuk mengusulkan proses-proses evangelisasi dan katekese yang cocok dengan budaya penduduk asli, tanpa pernah memaksakan budaya sendiri. “Kristianitas tidak hanya memiliki satu ungkapan budaya […]. Dalam keragaman bangsa-bangsa yang mengalami anugerah Allah, masing-masing sesuai dengan budayanya sendiri, Gereja mengungkapkan katolisitasnya yang sejati dan memancarkan “keindahan wajahnya yang beraneka ragam.””[306]
Kesalehan rakyat (pietas popularis)
336. Kesalehan rakyat (pietas popularis), buah inkulturasi iman umat Allah dari suatu konteks tertentu, telah menerima banyak bentuk menurut sensibilitas dan budaya-budaya yang berbeda-beda. Di beberapa komunitas Kristiani terdapat, sebagai kekayaan berharga yang dimiliki oleh Gereja, “ungkapan-ungkapan khusus untuk mencari Allah dan hidup religius yang penuh dengan semangat dan niat murni, yang dapat disebut kesalehan rakyat”,[307] atau juga disebut “spiritualitas rakyat atau mistisisme rakyat. Kesalehan umat sungguh merupakan “spiritualitas yang menjelma dalam kebudayaan rakyat jelata. Spiritualitas itu bukan tanpa isi; melainkan menemukan dan meng-ungkapkan isinya lebih dengan cara simbol-simbol daripada dengan penalaran diskursif, dan dalam tindakan iman tekanan yang lebih besar diletakkan pada credere in Deum daripada pada credere Deum.”[308] “Untuk memahami kenyataan ini kita perlu mendekatinya dengan pandangan Gembala yang Baik, yang mencari bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mencintai. Hanya dari konaturalitas afektif yang lahir dari kasih kita dapat menghargai kehidupan teologis yang hadir dalam kesalehan orang-orang Kristiani, terutama di antara kaum miskin mereka.”[309]
337. Kesalehan umat memiliki makna spiritual yang tak diragukan, sebab “menampakkan kehausan terhadap Allah, yang hanya dapat dikenal oleh orang sederhana dan miskin. Ia juga membuat orang-orang mampu bersikap murah hati dan rela berkorban bahkan bersikap sebagai pahlawan, bila menyangkut soal menampakkan iman. Religiusitas yang merakyat juga menyebabkan adanya kesadaran yang tajam terhadap sifat-sifat Allah yang mendalam: Kebapaan, Penyelenggaraan Ilahi, Kasih dan Kehadiran-Nya yang terus menerus. Juga hal itu melahirkan sikap-sikap batin, yang jarang-jarang nampak di tempat yang lain, dalam kadar atau tingkat yang sama: kesabaran, kesadaran akan adanya Salib dalam hidup sehari-hari, sikap lepas bebas, keterbukaan terhadap orang lain, devosi.”[310] Di samping itu, kesalehan umat juga memiliki makna sosial, sebab itu merupakan suatu kesempatan untuk menyembuhkan kelemahan-kelemahan –seperti superioritas laki-laki, alkoholisme, kekerasan dalam rumah tangga, takhayul – yang kadang-kadang ditampilkan oleh beberapa budaya rakyat.[311]
338. Kesalehan umat merayakan misteri-misteri hidup Yesus Kristus, terutama sengsara-Nya, memuliakan dengan kelembutan hati Bunda Allah, para martir dan orang-orang kudus, berdoa untuk orang-orang yang sudah meninggal. Kesalehan umat diekspresikan melalui penghormatan relikui, kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat suci (sanctuarium), ziarah, prosesi, jalan salib, tarian-tarian religius, rosario, medali dan praktik-praktik kesalehan pribadi, keluarga dan komunitas. Kesalehan umat “dalam lingkungan sekular di mana umat kita hidup, terus menjadi suatu pengakuan amat besar kepada Allah yang hidup yang bertindak dalam sejarah kita, dan suatu saluran penerusan iman”,[312] yang hampir merupakan simpanan iman dan pengharapan untuk suatu masyarakat yang sedang kehilangan acuannya kepada Allah. Dalam pengertian ini, kesalehan umat, “ungkapan sejati kegiatan perutusan yang spontan dari umat Allah […] di mana Roh Kudus adalah pelaku utamanya”,[313] merupakan “suatu locus theologicus yang meminta perhatian kita, terutama pada saat kita sedang berpikir tentang evangelisasi baru.”[314]
339. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa kesalehan umat juga perlu diwaspadai dan dimurnikan, sebab “kerap kali disusupi oleh banyak penyimpangan dalam agama dan bahkan takhayul. Kerap kali hal ini hanya pada tingkat bentuk-bentuk ibadat, tidak melibatkan penerimaan yang sejati berdasarkan iman. Bahkan bisa menyebabkan timbulnya sekte-sekte dan membahayakan jemaat gerejani yang sejati.”[315] Di samping itu, bentuk-bentuk devosi umat mengikuti pasang-surutnya waktu, sehingga tidak jarang terus dipraktikkan sebagai tradisi oleh orang-orang, namun yang telah kehilangan kesadaran akan makna aslinya. Risiko-risiko itu menjadi meningkat oleh budaya media massa, yang cenderung menekankan aspek-aspek emosional dan sensasional fenomena-fenomena religius, yang kadang-kadang hanya demi kepentingan ekonomis semata.
340. Katekese akan memperhatikan terutama untuk mengapresiasi kekuatan mengevangelisasi ungkapan-ungkapan kesalehan umat dengan mengintegrasikannya dan meningkatkannya dalam proses pembentukan-nya dan membiarkan dirinya diinspirasi oleh kefasihan ekspresi alami ritus-ritus dan tanda-tanda dari masyarakat berkenaan dengan pemeliharaan iman dan penerusannya dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam pengertian ini, banyak praktik kesalehan umat menjadi suatu jalan yang sudah digunakan untuk katekese. Di samping itu, katekese akan berusaha untuk membawa kembali beberapa ungkapan kesalehan umat kepada akar penginjilan, Trinitaris, Kristologis dan gerejani, dengan memurnikannya dari penyimpangan atau sikap-sikap sesat dan menjadikannya kesempatan untuk komitmen baru dalam hidup Kristiani. Dengan menginterpretasi secara bijaksana unsur-unsur konstitutif praktik-praktik devosional dan mengenali nilai dari aspek-aspek yang berharga, katekese menunjukkan hubungannya dengan Kitab Suci dan liturgi, teristimewa dengan Ekaristi hari Minggu, supaya praktik-praktik devosional itu mengantar kepada suatu menjadi bagian Gereja yang lebih tulus, suatu kesaksian sehari-hari yang autentik dan amal kasih yang efektif kepada orang-orang miskin.
Tempat suci (sanctuarium) dan tempat ziarah
341. Kunjungan ke tempat-tempat suci merupakan satu ungkapan khusus spiritualitas umat. Tempat-tempat suci, yang memiliki “dalam Gereja suatu nilai simbolis agung” dan “masih dipahami sebagai ruang-ruang sakral ke mana para peziarah pergi untuk menemukan satu momen untuk berhenti sejenak, untuk keheningan dan untuk kontemplasi dalam hidup yang sering kali hingar bingar pada masa kita”, merupakan suatu “tempat sejati evangelisasi, di mana dari pewartaan pertama hingga perayaan misteri-misteri suci dinyatakan tindakan yang penuh daya kuasa, yang dengan tindakan itu belas kasihan Allah bekerja dalam hidup orang-orang.”[316] Pelayanan pastoral tempat-tempat suci merupakan kesempatan yang menguntungkan untuk pewartaan dan katekese, yang dihubungkan “kepada ingatan […], kepada pesan khusus, kepada karisma yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya dan telah diakui Gereja dan kepada warisan amat kaya dengan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan di sana.”[317]
342. Terkait dengan pelayanan pastoral tempat-tempat suci adalah pengalaman ziarah, yang sungguh memiliki nilai tinggi. Sesungguhnya, “keputusan untuk pergi ke sanctuarium sudah merupakan suatu pengakuan iman; berjalan merupakan suatu kidung sejati pengharapan, dan tiba di tempat tujuan merupakan suatu perjumpaan cinta.”[318] Dengan menemukan akar biblis dan makna antropologis dari perjalanan dan dengan mengikuti jejak-jejak banyak peziarahan suci, komunitas Kristiani akan tahu merencanakan ziarah sebagai sarana subur untuk pewartaan dan pertumbuhan dalam iman.
2. Katekese dalam konteks ekumenisme dan pluralisme agama
343. Fenomena mobilitas manusia, baik karenaalasan studi dan pekerjaan maupun karena melarikan diri dari situasi kekerasan atau perang, pada kenyataannya telah memungkinkan perjumpaan dengan bangsa-bangsa yang berbeda-beda, bahkan di wilayah-wilayah baru dibandingkan dengan mereka yang selalu mengenal kehadiran Gereja-Gereja lain dan komunitas-komunitas Kristiani atau agama-agama yang berbeda. Kehidupan bersama berbagai iman di sekolah-sekolah, universitas-universitas dan lingkungan-lingkungan hidup lain atau meningkatnya jumlah perkawinan campur mendesak Gereja untuk mempertimbangkan pelayanan pastoralnya dan program katekesenya, berkenaan dengan situasi-situasi konkret yang ditimbulkan.
Katekese dalam konteks ekumenis
344. Gereja, yang pada hakikatnya merupakan realitas dialogis[319] karena merupakan gambaran Trinitas dan dijiwai oleh Roh Kudus, secara tak terubahkan berkomitmen untuk memajukan kesatuan seluruh murid Kristus. Sebagaimana semua kegiatan gerejani, katekese juga ditandai secara hakiki oleh suatu dimensi ekumenis, yang mengikuti gerakan, yang dibangkitkan oleh Roh, yang mendorong Gereja Katolik untuk meng-usahakan bersama dengan Gereja-Gereja lain atau agama-agama Kristiani lain, kesatuan sempurna yang dikehendaki oleh Tuhan, berdasarkan pada Pembaptisan, Kitab Suci dan warisan iman bersama dan, secara khusus sekarang ini, berdasarkan pengalaman kuat untuk berbagi kemartiran.[320] Di satu pihak, pewartaan Injil dan katekese merupakan pelayanan bagi dialog dan pembinaan ekumenis; di pihak lain, komitmen yang sama untuk kesatuan umat Kristiani merupakan jalan dan alat yang dapat dipercaya untuk evangelisasi di dunia.[321]
Di samping itu, katekese, karena nilai edukatifnya, memiliki tugas untuk membangkitkan dalam diri para orang-orang yang menerima katekese suatu kerinduan akan persatuan, dengan membantu mereka untuk hidup dalam relasi dengan orang-orang dari pengakuan iman lain, dengan memupuk jati diri mereka sendiri sebagai orang Katolik dengan menghormati iman orang-orang lain.
346. Karena kebutuhan akan tugas evangelisasi bersama, dan bukan melulu alasan organisasional, penting agar dipertimbangkan “pengalaman-pengalaman kerjasama tertentu di bidang katekese antaraumat Katolik dan umat Kristen lainnya, sambil melengkapi katekese biasa, yang bagai-manapun juga harus diberikan kepada umat Katolik.”[323] Kesaksian kerja sama katekese di antara orang-orang Kristiani, meskipun terbatas karena perbedaan-perbedaan khususnya di bidang sakramental, bagaimanapun tetap dapat berhasil: “Jika kita memusatkan diri pada keyakinan kita bersama, dan jika kita mengingat prinsip hierarki kebenaran, kita akan mampu berjalan cepat menuju ungkapan bersama dalam pewartaan, pelayanan dan kesaksian.”[324]
Katekese dalam hubungannya dengan Yudaisme
347. “Gereja, Umat Allah dalam Perjanjian Baru, dengan menyelami misterinya sendiri, ia menemukan hubungannya dengan bangsa Yahudi, yang dipilih oleh Allah sebagai yang pertama dari antara umat manusia menerima Sabda Allah”[325] dan, dengan mengenal warisan bersama yang kaya, mengembangkan dan menganjurkan pengetahuan timbal balik, persahabatan dan dialog (bdk. NA 4). Sesungguhnya, berkat akarnya dalam Yudaisme, Gereja berlabuh dalam sejarah keselamatan. Dialog Yahudi-Kristen, yang dilakukan dengan jujur dan tanpa prasangka, dapat mem-bantu Gereja untuk memahami dengan lebih baik beberapa aspek kehidupannya sendiri, dengan mengungkapkan kekayaan-kekayaan spiri-tual yang dilestarikan dalam Yudaisme. Selain itu, tujuan-tujuan dialog akan menjadi sikap tegas melawan setiap bentuk antisemitisme dan komitmen bersama untuk perdamaian, keadilan, pengembangan bangsa-bangsa.
Katekese dalam konteks agama-agama lain
349. Fenomena pluralisme agama bukan hanya mengenai bangsa-bangsa di mana Kristianitas selalu merupakan minoritas, melainkan juga banyak masyarakat yang lain, yang ditandai oleh arus migrasi beberapa dasawarsa terakhir ini. Meskipun ada banyak faktor budaya, etnis, ekonomis, dan sosial untuk dipertimbangkan, sesungguhnya harus diakui bahwa, bersamaan dengan alasan-alasan lain, perjumpaan dengan agama-agama yang berbeda telah mengubah cara orang-orang Kristiani menghayati pengalaman iman, dengan membuka umat beriman kepada pertanyaan tentang kebenaran isi iman dan kebebasan untuk memilih. Situasi yang relatif baru ini, selain situasi tradisional dari orang-orang yang menghidupi iman Kristianinya dalam kondisi minoritas, menggerakkan Gereja untuk mempertimbangkan makna hubungan dengan agama-agama lain, juga dalam kaitannya dengan pembentukan kateketis anak-anaknya. Dalam refleksi ini “dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA 2).
351. Perhatian khusus hendaklah diberikan dalam hubungan dengan umat beriman Islam, teristimewa yang ada di banyak negara dengan tradisi Kristen kuno. Berhadapan dengan episode-episode fundamentalisme yang keras, Gereja, dalam program katekesenya, dengan menggunakan petugas-petugas yang dipersiapkan secara memadai, mendorong pengenalan dan perjumpaan dengan orang-orang Islam sebagai sarana yang tepat untuk menghindari generalisasi yang dangkal dan berbahaya.[329]
Katekese dalam konteks gerakan-gerakan religius baru
352. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dan di wilayah-wilayah yang semakin luas di dunia, Gereja dihadapkan pada fenomena perkembangan cepat gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mencakup realitas-realitas yang sangat berbeda dan sulit diklasifikasikan. Ini adalah tentang kelompok-kelompok yang memiliki denominasi-denominasi dan sumber-sumber yang sangat berbeda: beberapa kelompok mengacu dengan berbagai cara kepada Kristianitas, meskipun dengan menjauhkan diri dari Kristianitas itu karena perbedaan-perbedaan ajaran yang penting; yang lain berasal dari agama-agama timur atau dari kultus-kultus tradisional; yang lain lagi menunjukkan unsur-unsur magis, takhayul, neopaganisme, spiritisme, sampai kepada satanisme; akhirnya, ada gerakan-gerakan lain yang disebut sebagai kekuatan manusiawi yang menampilkan diri dengan wajah humanistis dan terapeutik. Dalam tidak sedikit kasus, unsur-unsur yang berbeda dari gerakan-gerakan keagamaan baru ini melebur ke dalam bentuk-bentuk sinkretisme yang lebih kompleks lagi.[330] Jika di satu sisi gerakan-gerakan itu merupakan sebuah “reaksi manusiawi terhadap masyarakat yang materialistis, konsumeris dan individualis […] dan mengisi suatu kekosongan yang ditinggalkan oleh rasionalisme sekularis”,[331] di sisi lain mereka tampak memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang ditandai dengan banyak bentuk kemiskinan atau kegagalan-kegagalan hidup. Perlulah mengakui bahwa komunitas Kristiani tidak selalu mampu menjadi bermakna bagi orang-orang Kristiani itu yang, karena memiliki iman yang kurang berakar, membutuhkan perhatian dan pendampingan lebih besar dan kemudian menemukan kebutuhan-kebutuhan mereka terpenuhi dalam gerakan-gerakan baru itu.
Perhatian khusus mesti diberikan kepada mereka yang, karena kecewa dan terluka oleh pengalaman ini, merasakan kebutuhan untuk kembali ke komunitas. Pentinglah bahwa mereka merasa diterima daripada dihakimi dan bahwa katekis dapat melaksanakan suatu karya pemulihan dan penyatuan kembali ke dalam komunitas melalui penjelasan dan pemahaman.
3. Katekese dalam konteks sosial-budaya
Katekese dan mentalitas ilmiah
354. Kemajuan ilmu pengetahuan yang berkelanjutan, yang hasilnya digunakan secara luas dalam masyarakat, sangat menandai budaya kontemporer. Manusia, yang dijiwai dengan mentalitas ilmiah, bertanya-tanya bagaimana pengetahuan ilmiah dapat didamaikan dengan realitas iman. Maka muncullah pertanyaan tentang asal-usul dunia dan kehidupan, kemunculan manusia di atas bumi, sejarah masyarakat, hukum-hukum yang mengatur alam, karakter spiritual yang membuat kehidupan manusia unik di antara makhluk hidup-makhluk hidup lainnya, kemajuan manusia dan masa depan planet ini. Pertanyaan-pertanyaan ini, karena merupakan ungkapan dari pencarian makna, menyentuh pertanyaan tentang iman dan karena itu memanggil Gereja untuk menjawabnya. Ada berbagai dokumen magisterial yang berkaitan langsung dengan hubungan antara ilmu pengetahuan dan iman.[332]
355. Dengan sambil mengakui kecenderungan ideologis dari reduksionisme naturalistik dan scientisme,[333] yang sangat berbeda dari upaya ilmiah itu sendiri, dan dengan tetap menyadari masalah etika yang mungkin dihasilkan dari penerapan hasil ilmiah tertentu, penilaian Gereja pada budaya ilmiah adalah positif, karena menganggapnya sebagai kegiatan di mana manusia berpartisipasi dalam rencana penciptaan dari Allah dan dalam kemajuan seluruh keluarga manusia. Sementara di satu sisi “evangelisasi memperhatikan kemajuan-kemajuan ilmiah dan ingin menyinari mereka dengan cahaya iman dan hukum kodrat”,[334] di sisi lain memanglah benar bahwa “ketika kategori-kategori tertentu dari akal budi dan sains disambut dalam penyampaian warta, kategori-kategori tersebut kemudian menjadi instrumen evangelisasi”.[335]
Konflik nyata antara pengetahuan ilmiah dan ajaran-ajaran tertentu dari Gereja haruslah diklarifikasi dalam konteks eksegese alkitabiah dan refleksi teologis, dengan menafsirkan Wahyu; dengan menerapkan epistemologi ilmiah yang benar; dengan mengklarifikasi kesalahpahaman sejarah dan dengan menyoroti prasangka-prasangka dan ideologi-ideologi.
356. Teknologi, buah dari kecerdasan manusia, selalu mengiringi sejarah umat manusia. Potensinya harus diarahkan pada perbaikan kondisi kehidupan dan kemajuan keluarga manusia. Namun demikian, karena ia menyertai dan mempengaruhi cara hidup, teknologi ini membawa pengaruh pada visi tentang manusia.
Selain itu, beberapa penerapan penelitian teknologi dapat mengarah pada transformasi manusia menjadi sesuatu yang sungguh baru, kadang-kadang tanpa penilaian secara memadai atas konsekuensinya. Di antara banyak bidang penelitian, kecerdasan buatan dan ilmu saraf menimbulkan pertanyaan filosofis dan etis yang substansial. Kecerdasan buatan dapat membantu manusia, dan dalam beberapa kasus menggantikannya, tetapi ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri secara mandiri. Terlebih lagi, ketika berbicara tentang ilmu saraf, pengetahuan yang lebih baik tentang tubuh manusia, kapasitas dan fungsi otaknya, meskipun ini adalah faktor positif, tidak akan pernah bisa sepenuhnya menjelaskan identitas pribadi, atau menghilangkan tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta.
Tujuan teknologi adalah untuk melayani manusia. Itulah sebabnya kita harus menghargai dimensi intrinsik manusiawi dari kemajuan, yaitu perbaikan kondisi kehidupan, pelayanan terhadap perkembangan masyarakat dan kemuliaan Allah yang dijunjung oleh teknologi ketika ia digunakan dengan bijak.[336] Pada saat yang sama, Gereja menerima tantangan-tantangan antropologis yang berasal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan menjadikannya motif bagi discernment (: penilaian dalam kearifan) yang mendalam.
357. Dalam pelaksanaan tugas katekesenya, seorang katekis harus memperhitungkan pengaruh yang ditimbulkan oleh mentalitas ilmiah terhadap orang-orang yang sering kali terbujuk oleh teori-teori tertentu yang disajikan secara dangkal, yang didukung oleh popularisasi ilmiah tertentu yang tidak terlalu akurat dan kadang-kadang juga diakibatkan oleh pelayanan pastoral yang tidak memadai. Oleh karena itu, Katekese harus mampu mengajukan pertanyaan dan memperkenalkan peserta pada tema-tema yang sangat relevan, seperti kompleksitas alam semesta, ciptaan sebagai tanda Sang Pencipta, asal mula dan akhir manusia dan kosmos. Di luar media penyederhanaan dalam penyampaian mediatik, perhatian juga harus diberikan pada pertanyaan-pertanyaan historis tertentu yang penting, yang masih memberikan pengaruh. Memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu, atau setidaknya menunjukkan cara yang tepat untuk menemukan jawabannya, seringkali sangat penting untuk menjaga keterbukaan terhadap iman, terutama di kalangan remaja dan anak muda.
Inilah sebabnya mengapa kesaksian para ilmuwan Kristen harus dihargai, karena mereka menunjukkan, melalui koherensi kehidupan mereka, harmoni dan sintesis antara iman dan akal budi. Para Katekis harus mengetahui tentang dokumen-dokumen utama Magisterium yang berhubungan dengan hubungan antara iman dan akal budi, antara teologi dan ilmu pengetahuan. Penggunaan sumber daya dan bantuan lain untuk mendapatkan pembinaan yang memadai dalam hal ini juga harus disarankan.
358. Gereja terpanggil untuk menawarkan kontribusinya bagi evangelisasi kepada para ilmuwan, yang sering kali kaya akan kualitas yang dapat dihargai oleh para pelaku pastoral.
Para ilmuwan adalah saksi yang penuh gairah akan misteri; mencari kebenaran dengan tulus; secara alami cenderung ke arah kolaborasi, komunikasi dan dialog; memupuk kedalaman, ketelitian dan akurasi penalaran; mencintai kejujuran intelektual. Hal-hal adalah sikap batin yang mendorong pada perjumpaan dengan Firman Allah dan penerimaan iman. Pada dasarnya, itu semua terkait dengan upaya untuk memupuk inkulturasi iman yang sejati di dunia ilmiah. Orang-orang Kristen yang bekerja secara profesional di dunia sains memainkan peran yang sangat penting dalam hal ini. Gereja harus memberi pada mereka perhatian pastoral yang diperlukan untuk memastikan bahwa kesaksian mereka menjadi lebih efektif.
Katekese dan budaya digital
Karakteristik umum
359. Pengenalan dan penggunaan alat digital dalam skala besar telah membawa perubahan yang mendalam dan kompleks pada banyak tingkatan, di mana konsekuensi budaya, sosial dan psikologisnya belum sepenuhnya terlihat. Digital, yang tidak hanya berhubungan dengan keberadaan sarana teknologi, pada kenyataannya mencirikan dunia saat ini dan, dalam waktu yang singkat, pengaruhnya telah menjadi biasa dan terus menerus, sedemikian rupa sehingga dianggap alami.
Kita hidup “dalam budaya yang sangat terdigitalisasi, yang berdampak besar pada gagasan tentang ruang dan waktu, pada persepsi tentang diri sendiri, orang lain dan dunia, serta kemampuan kita untuk berkomunikasi, belajar, mendapatkan informasi dan berhubungan dengan orang lain.”[337] Oleh karena itu, digital tidak hanya menjadi bagian dari budaya yang ada, tetapi menegaskan dirinya sebagai budaya baru : mengubah bahasa, membentuk mentalitas dan merestrukturisasi hierarki nilai-nilai. Dan semua ini terjadi dalam skala global karena, dengan jarak geografis yang telah ditiadakan oleh kehadiran perangkat online yang meluas, semua orang di mana pun di planet ini menjadi terlibat.
360. Internet dan jejaring sosial menciptakan “kesempatan luar biasa untuk dialog, perjumpaan dan pertukaran antara orang-orang, dan memberikan akses menuju informasi dan pengetahuan. Selain itu, dunia digital merupakan salah satu tempat bagi keterlibatan sosial-politik dan kewarganegaraan aktif, dan dapat memfasilitasi sirkulasi informasi independen yang memberikan perlindungan efektif bagi mereka yang paling rentan dengan mengekspos pelanggaran atas hak-hak mereka. Di banyak negara, Internet dan Media sosial sekarang menjadi tempat penting untuk menjangkau kaum muda dan melibatkan mereka, terutama dalam inisiatif dan kegiatan pastoral.”[338] Di antara elemen-elemen positif lainnya dari teknologi digital adalah perluasan dan pengayaan kapasitas kognitif manusia.
Teknologi digital dapat membantu memori, misalnya melalui perangkat akuisisi, pengarsipan dan pemulihan data. Pengumpulan data digital dan perangkat pendukung pengambilan keputusan meningkatkan kapasitas untuk membuat pilihan dan memungkinkan pengumpulan lebih banyak informasi untuk mengevaluasi implikasinya di berbagai bidang. Dari sudut pandang yang berbeda, kita bisa berbicara secara positif tentang pemberdayaan digital.
361. Namun, harus diakui bahwa “dunia digital juga merupakan ruang di mana ada kesepian, manipulasi, eksploitasi dan kekerasan, bahkan hingga kasus ekstrim ‘Dark Web’. Media digital dapat mengakibatkan terjadinya risiko ketergantungan, isolasi dan kehilangan kontak secara bertahap dengan realitas konkret, sehingga menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang otentik. Bentuk-bentuk kekerasan baru menyebar melalui Media sosial, misalnya cyberbullying. Internet juga merupakan saluran untuk penyebaran pornografi dan eksploitasi manusia dengan tujuan seksual atau melalui perjudian.”[339] Selain itu, kepentingan ekonomi yang beroperasi di dunia digital “mampu menjalankan bentuk kontrol yang halus dan invasif, menciptakan mekanisme untuk memanipulasi hati nurani dan proses demokrasi.”[340]
Harus diingat bahwa banyak platform sering kali mendorong “perjumpaan antara orang-orang yang berpikir dengan cara yang sama, mencegah mereka untuk menghadapi perbedaan. Lingkaran tertutup ini memfasilitasi penyebaran informasi palsu dan berita palsu, menimbulkan prasangka dan kebencian.”[341] Ruang digital dapat menciptakan visi realitas yang terdistorsi, hingga mengarah pada pengabaian kehidupan batin, hal ini nampak dalam hilangnya identitas dan akar pribadi, dalam sinisme sebagai respons terhadap kekosongan, dalam dehumanisasi progresif dan isolasi yang semakin besar ke dalam diri sendiri.
Transformasi antropologis
362. Efek dari digitalisasi yang terus berkembang secara cepat dalam hal komunikasi dan masyarakat mengarah pada transformasi antropologis sejati. “Penduduk asli dunia digital” (digital natives), yang berarti orang yang lahir dan dibesarkan dengan teknologi digital dalam masyarakat multi-layar, melihat teknologi sebagai elemen alami dan tidak merasa tidak nyaman dalam menggunakan maupun berinteraksi dengannya. Sebaliknya, situasi saat ini mencakup juga kehadiran, terutama sebagai pendidik, guru, dan katekis, orang-orang yang bukan penduduk asli dunia digital dan yang disebut sebagai para “Imigran digital” (digital immigrants), yang tidak dilahirkan dalam dunia digital tetapi secara bertahap memasukinya. Perbedaan mendasar antara subyek-subyek ini terletak pada pendekatan mental yang berbeda yang mereka miliki terhadap teknologi baru dan penggunaannya. Ada juga perbedaan dalam gaya diskursif, di mana para penduduk asli dunia digital berwacana dengan lebih spontan, interaktif, dan partisipatif.
363. “Penduduk asli dunia digital” tampaknya lebih mengutamakan gambar daripada mendengarkan. Dari sudut pandang kognitif dan perilaku, dengan cara tertentu mereka dibentuk oleh konsumsi media yang menjadi sasaran mereka, yang sayangnya membatasi perkembangan kritis mereka sendiri. Konsumsi konten digital ini bukanlah hanya proses kuantitatif tetapi juga kualitatif, yang menghasilkan bahasa lain dan cara baru untuk mengelola pemikiran. Pelaksanaan beberapa tugas secara bersamaan (multi-tasking), hipertekstualitas, dan interaktivitas hanyalah beberapa karakteristik dari apa yang tampaknya menjadi bentuk baru dan belum pernah terjadi sebelumnya dari cara pemahaman dan komunikasi yang menjadi ciri generasi digital. Dengan demikian berkembanglah kapasitas yang lebih intuitif dan emosional daripada analitik.
Seni mendongeng (storytelling), yang menggunakan prinsip-prinsip retorika dan bahasanya sendiri yang diadopsi oleh bidang pemasaran (marketing), dianggap oleh kaum muda lebih menarik dan meyakinkan daripada bentuk-bentuk wacana tradisional. Bahasa yang paling berpengaruh pada generasi digital adalah bahasa naratif, bukan argumentatif.
364. Meskipun demikian, inovasi linguistik ini hanya menjadikan kita sebagai konsumen dan bukannya pengurai pesan: narasi kisah-kisah dan pemaparan permasalahan dengan jumlah karakter tulisan yang terbatas berisiko untuk mempolarisasi pertentangan atas tema-tema yang kompleks tanpa kesempatan untuk berargumentasi atau menyertakan solusi mediasi. Jika narasi menjadi satu-satunya alat komunikasi, ada risiko bahwa hanyalah opini subjektif dari realitas yang dapat berkembang. Subjektivisme ini berpotensi untuk menurunkan pertanyaan-pertanyaan politik dan etika ke ranah pribadi dan privat. Norma moral pun berisiko dianggap otoriter, sedangkan narasi menjadi kebenaran yang menghalangi pencarian kebenaran dan kebaikan. Selain itu, dunia naratif dikonfigurasikan sebagai pengalaman di mana segala sesuatu menjadi mungkin dan dapat diucapkan, dan bahwa kebenaran tidak memiliki substansi eksistensial.
Cakrawala ini menunjukkan bagaimana dunia digital dan perangkat-perangkatnya merupakan sarana ampuh untuk menemukan bentuk-bentuk penerusan iman secara baru dan belum pernah ada sebelumnya, namun juga benarlah bahwa tindakan gerejawi harus mengakui kemungkinan adanya ambiguitas bahasa yang menggugah namun tidak terlalu komunikatif dalam hal kebenaran.
Budaya digital sebagai fenomena religius
365. Budaya digital juga menampilkan diri sebagai pembawa keyakinan yang memiliki karakteristik religius. Meluasnya konten-konten digital, penyebaran mesin-mesin yang berfungsi secara otomatis dengan algoritma dan perangkat lunak yang semakin canggih, mendorong kita untuk melihat seluruh alam semesta sebagai aliran data, untuk memahami kehidupan dan makhluk hidup tidak lebih dari algoritma biokimia, dan dalam versi yang lebih radikal, untuk percaya bahwa manusia memiliki panggilan kosmik untuk menciptakan sistem pemrosesan data yang mencakup segala hal.
366. Kita dihadapkan pada pendekatan baru dan menantang yang mengubah koordinat referensi dalam proses kepercayaan dan atribusi otoritas. Cara di mana mesin pencari (search engine), algoritma kecerdasan buatan (artificial intelligence), atau komputer diminta untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut privasi mengungkapkan bahwa kita berhubungan dengan suatu perangkat dan responsnya dengan sikap fideistik. Kita pun sedang menciptakan sejenis agama semu universal yang melegitimasi sumber baru dari otoritas dan memiliki semua komponen ritus keagamaan: dari pengorbanan hingga ketakutan akan yang absolut, sampai pada ketundukan pada mesin penggerak baru yang tidak tergerak yang menerima cinta tetapi tidak membalasnya.
367. Komponen teknologi dan religiositas ini dapat memunculkan budaya global yang, terutama, membentuk cara berpikir dan berkeyakinan dari generasi muda mendatang. Mereka ini akan semakin larut dalam budaya digital dan akan menghasilkan karakteristik dan cara berpikir global berkat platform-platform besar yang memungkinkan interaksi online beserta kekuatan penyebaran kontennya secara instan. Hal ini, selain merupakan tantangan, bisa juga menjadi peluang. Pengembangan bentuk-bentuk dan sarana-sarana yang mampu menguraikan data-data antropologis yang mendasari fenomena ini dan pengembangan metode-metode baru untuk evangelisasi memungkinkan untuk menawarkan pelayanan pastoral yang bersifat global seperti halnya budaya digital bersifat global.
Budaya digital dan pertanyaan pendidikan
368. Perkembangan teknologi di bidang media digital menawarkan kemungkinan akses langsung ke semua jenis konten tanpa menghiraukan hierarki dalam hal kepentingan, dengan menciptakan budaya yang sering ditandai dengan kesegeraan, ke-instan-an, dan lemahnya ingatan, serta menyebabkan kurangnya perspektif dan pemahaman atas kerangka keseluruhan. Media, pada dasarnya, menyediakan versi-versi selektif dari dunia dan bukannya akses langsung ke sana, dengan menggabungkan berbagai bahasa yang berbeda dalam suatu pesan yang tersebar secara global dan seketika.
Generasi baru tidak selalu dibina dan diperlengkapi secara budaya untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dihadirkan masyarakat digital. Oleh karena itu, sangatlah mendesak untuk memberikan edukasi media, karena yang dipertaruhkan adalah suatu bentuk buta huruf digital. Di tengah produksi digital yang tak berkesudahan, orang-orang buta huruf pada masa kini adalah mereka yang tidak tahu bagaimana memahami perbedaan kualitas dan kebenaran dari berbagai konten digital yang ada di hadapan mereka.
369. Menjadi semakin jelaslah bagaimana Jedia sosial, terutama yang bersifat digital, sebenarnya adalah agen utama sosialisasi, bahkan hampir sampai pada titik menggantikan yang kita kenal secara tradisional seperti keluarga, Gereja, sekolah. Tampaknya, intersubjektivitas semakin berkembang di Jejaring sosial dan justru semakin berkurang di ruang sosial tradisional.
Secara operasional, ada kemendesakan untuk mengevaluasi dan memahami keterbatasan pembelajaran implisit yang disediakan era digital setiap hari. Berbagai bentuk interaksi pribadi telah menjadi virtual, terutama pada generasi muda, sepenuhnya menggantikan kebutuhan untuk bentuk hubungan tradisional, dan hal itu menghalangi mereka “dari kontak langsung dengan rasa sakit, ketakutan dan kegembiraan orang lain dan kompleksitas pengalaman pribadi mereka.”[342]
Pewartaan dan katekese di era digital
370. Gereja dipanggil untuk merenungkan cara-cara tertentu dari pencarian iman di antara kaum muda digital, dan karena itu Gereja harus menyelaraskan cara-caranya sendiri untuk mewartakan Injil agar sesuai dengan bahasa generasi baru, dengan mengundang mereka untuk menciptakan kebaruan dalam rasa memiliki komunitas (sense of community) yang mencakup – namun tidak terbatas pada – apa yang mereka alami secara online.
Sebuah era baru tampaknya sedang terbuka di mana katekese dapat menjadi perwakilan kepentingan jalan menuju iman yang semakin tidak standar dan semakin memperhatikan keunikan setiap orang.
Tantangan pastoralnya adalah untuk menemani orang muda dalam pencarian otonomi, yang mengacu pada penemuan kebebasan batin dan panggilan Allah, dan yang membedakannya dari grup sosial tempat dia berasal.
Tantangan lain tentu saja adalah untuk mengklarifikasi bahasa yang digunakan di Internet, yang seringkali terdengar seperti bahasa religius. Bayangkan saja, misalnya, panggilan Yesus untuk menjadi murid, sebuah istilah yang perlu dijelaskan agar tidak bingung dengan dinamika khas jejaring sosial. Pada kenyataannya, dinamika menjadi murid Yesus tidak sama dengan apa yang terjadi antara seorang influencer dan para pengikut (followers) virtualnya. Untuk menjadi murid, kita membutuhkan tokoh-tokoh berwibawa yang melalui pendampingan pribadi dapat menuntun individu-individu muda untuk menemukan kembali tujuan hidup pribadi mereka sendiri. Hal ini menuntut peralihan dari kesendirian, yang dipupuk oleh “suka” (likes), menuju pada pemenuhan cita-cita pribadi dan sosial yang akan diwujudkan dalam komunitas.
371. Dalam proses pewartaan Injil, pertanyaan sebenarnya bukanlah bagaimana menggunakan teknologi baru untuk menginjili, tetapi bagaimana menjadi kehadiran yang menginjili di benua digital. Katekese, yang tidak bisa begitu saja didigitalisasikan, tentu perlu memahami kekuatan media ini dan menggunakan semua potensi dan aspek positifnya, sambil tetap menyadari bahwa katekese tidak dapat dilakukan hanya dengan bantuan alat digital, tetapi dengan menawarkan ruang untuk pengalaman iman. Hanya dengan cara inilah virtualisasi katekese, yang berisiko melemahkan tindakan katekese dan membuatnya tidak signifikan, akan dihindari.
Generasi dewasa yang ingin meneruskan iman memiliki misi untuk membina pengalaman-pengalaman. Hanya katekese yang berangkat dari informasi keagamaan menuju pada pendampingan dan pengalaman akan Allah, mampu menawarkan makna. Penerusan iman didasarkan pada pengalaman otentik, yang tidak boleh disamakan dengan pembelajaran: pengalaman mengubah kehidupan dan menyediakan kunci untuk menafsirkannya, sedangkan pembelajaran hanya mereproduksi dengan cara yang identik.
Katekese dipanggil untuk menemukan sarana-sarana yang memadai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan utama tentang makna kehidupan, korporealitas, afektivitas, identitas gender, keadilan dan perdamaian, yang pada era digital ditafsirkan secara berbeda-beda.
372. Katekese di era digital akan semakin terpersonalisasi, tetapi tidak pernah menjadi proses individual: haruslah ada perubahan dari dunia individualistis dan terisolasi Media sosial menjadi komunitas gerejawi, tempat di mana pengalaman akan Allah menciptakan persekutuan dan berbagi pengalaman hidup.
Kekuatan liturgi dalam mengkomunikasikan iman dan memperkenalkan orang pada pengalaman akan Allah tidak boleh diremehkan. Liturgi terdiri dari beragam kode komunikatif yang memanfaatkan interaksi indera (sinestesia) selain juga komunikasi verbal. Oleh karena itu, perlulah untuk menemukan kembali kapasitas liturgi, dan juga seni sakral (sacred art), untuk mengungkapkan misteri iman.
Tantangan evangelisasi meliputi juga tantangan inkulturasi di benua digital. Pentinglah untuk membantu umat beriman agar tidak bingung antara sarana dan tujuan, untuk mencerna bagaimana menjelajahi internet secara bijak, sedemikian rupa sehingga ia tumbuh menjadi subjek dan bukan sebagai objek, dan melampaui teknologi untuk menemukan kembali kemanusiaan yang diperbarui dalam hubungan dengan Kristus.
Katekese dan beberapa pertanyaan tentang bioetika
373. Kehidupan dan kebaikan ciptaan didasarkan pada berkat asali Allah: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej 1: 31). Berkat ini memberi umat manusia suatu dunia yang teratur, namun meminta kepada setiap orang suatu kontribusi untuk pemeliharaan dan pertumbuhannya. Namun, di lingkungan Katolik, bioetika bergerak pada tataran akal budi dengan menimba ilham dari data Wahyu Ilahi, yang pada gilirannya menjadi dasar antropologi Kristiani. Maka, riset ilmiah dan penerapannya tidak netral dari segi moral dan kriteria-kriteria panduan tidak dapat ditarik hanya dari efisiensi teknis, dari kegunaan atau dari idelogi-ideologi yang dominan. Topik-topik utama yang dicakup bioetika merujuk pada awal mula kehidupan (status embrio manusia, prokreasi yang dibantu secara medis …), pada batas akhirnya (definisi kematian, eutanasia, perawatan yang meringankan penderitaan …), pada kesehatan dan percobaan-percobaan atas manusia (rekayasa genetika, bioteknologi …).
374. Perkembangan ilmiah dan penerapannya teknologinya di bidang biologi telah meningkatkan kondisi-kondisi hidup manusia. Ilmu genetika menduduki tempat yang sangat penting dalam perkembangan ini. Gereja mendukung dan berterima kasih kepada semua orang yang men-dedikasikan diri dengan kerja keras dan komitmen murah hati untuk riset di bidang ini. Bagaimanapun juga, jika di satu sisi ilmuwan dipanggil untuk menguji kemungkinan-kemungkinan teknis, di sisi lain dia harus sadar bahwa tidak semua yang secara teknis dimungkinkan dapat diterima dari segi moral. Perlulah mempertimbangkan dimensi etis dari riset dan penerapannya. Sesungguhnya, suatu kegiatan yang berhasil secara teknis dapat bertentangan dengan martabat pribadi.
375. Pentinglah membedakan dengan cermat perbedaan antara intervensi terapeutik dan manipulasi. Terapi untuk memperbaiki kelainan-kelainan genetis akan diperbolehkan sejauh itu mendukung kebaikan orang tanpa merusak identitas dan integritasnya; dalam kasus ini kodrat manusia tidak diubah. Intervensi terapeutik pada garis sel somatik sesuai dengan martabat pribadi tersebut, sementara intervensi pada garis sel germinal, dengan mengubah identitas spesies manusia, itu bertentangan dengan rasa hormat terhadap pribadi manusia.
376. Bioteknologi memungkinkan untuk mengintervensi bukan hanya kelainan genetik, tetapi juga data genetik yang lain. Harus sangat hati-hati terhadap eksperimen-eksperimen genetik, khususnya terhadap risiko eugenetika (perbaikan ras manusia dengan memperbanyak yang sehat dan membuang yang sakit dan cacat), suatu praktik yang – secara nyata – melakukan suatu diskriminasi di antara manusia. Selain itu, kemungkinan-kemungkinan teknis yang disebut rekayasa genetika menyentuh inti antropologi yang sesungguhnya dalam kemungkinan konkret manipulasi diri (self-manupulation) dan definisi diri (self-definition) yang menurut filsafat disebut sebagai transhumanisme, dengan memberi kehidupan kepada individu-individu dengan suatu warisan genetik yang berbeda dan ditentukan sekehendak hati.
377. Suatu orientasi yang tersebar luas tentang apa yang sekarang ditampilkan dengan sebutan gender mempertanyakan data yang ter-ungkap: “Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1: 27). Identitas gender, sesuai dengan pernyataan itu, tidak lagi merupakan suatu data asli yang oleh manusia harus diterima dan dipenuhi dengan makna, melainkan suatu konstruksi sosial yang diputuskan secara otonom, terlepas sama sekali dari jenis kelamin biologis. Manusia mengingkari kodratnya dan memutuskan bahwa dia sendiri yang menciptakannya. Sebaliknya, menurut ceritera biblis tentang penciptaan, manusia telah diciptakan oleh Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Gereja sungguh menyadari kompleksitas situasi-situasi pribadi yang dialami, kadang-kadang, dengan cara yang bertentangan. Gereja tidak mengadili pribadi-pribadi, tetapi mengajak untuk mendampingi mereka selalu dan dalam situasi apa pun. Namun, ia menyadari bahwa, dalam perspektif iman, seksualitas bukan sekadar fakta fisik, melainkan suatu realitas pribadi, suatu nilai yang dipercayakan kepada tanggung jawab pribadi tersebut. Dengan demikian, identitas seksual dan pengalaman hidup nyata harus menjadi suatu jawaban kepada panggilan yang berasal dari Allah.
Katekese dan keutuhan pribadi manusia
379. Setiap pribadi, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, adalah unik dan mempunyai martabat yang hakiki dan tidak dapat diganggu gugat. Martabat manusia menemukan dasarnya dalam kebenaran yang diwahyukan, yang melahirkan prinsip-prinsip tertulis dalam kodrat manusia sebagai pengakuan yang abadi dan universal akan jejak Allah Pencipta. Seluruh Wahyu mendorong kepada kebenaran ini dan menegaskan kesetaraan untuk semua orang di hadapan Allah, yang adalah satu-satunya Penjamin dan Hakim kehidupan. Dalam konteks sekarang ada kebutuhan mendesak akan komitmen nyata untuk membela kehidupan dan martabatnya berhadapan dengan berbagai ekspresi budaya kematian yang semakin hadir di sektor-sektor luas masyarakat dunia (bdk. GS 27). “Pembelaan martabat hidup manusia mulai dari saat awal pembuahan hingga kematian alamiah selalu menemukan dalam ajaran Gereja suaranya yang koheren dan berwibawa.”[343]
380. Dalam misinya untuk meningkatkan selalu dan di mana-mana hidup manusia dan membelanya ketika diancam, Gereja menyatakan dengan tegas bahwa hidup pribadi itu suci dan tidak dapat diganggu gugat. Dalam pengertian ini, setelah menerima kemajuan dalam ajaran karya para Paus terakhir, “harus dinyatakan dengan tegas bahwa hukuman mati adalah tindakan yang tidak manusiawi, yang merendahkan martabat pribadi dengan cara apa pun ditempuh. Hukuman mati secara hakiki bertentangan dengan Injil sebab diputuskan secara sukarela untuk meniadakan suatu hidup manusia yang selamanya adalah suci di mata Sang Pencipta.”[344] Maka, katekese harus melakukan segala upaya untuk membuat ajaran Gereja dalam hal ini dipahami dan membantu menciptakan suatu budaya baru. Karena itu, tantangan untuk menghormati martabat dan integritas pribadi tetap menjadi suatu situasi aktual untuk mewartakan cinta Allah yang berbelas kasih dalam dunia sekarang ini.
Katekese dan keterlibatan untuk kelestarian lingkungan
381. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan jikalau, di satu sisi, menunjukkan kebesaran jiwa manusia, namun di sisi lain “belum disertai dengan pengembangan manusia dalam hal tanggung jawab, nilai-nilai, dan hati nurani.”[345] Suatu bidang di mana dapat dirasakan dengan jelas konsekuensi-konsekuensi dari imbas antroposentris adalah konsekuensi krisis ekologis, krisis yang menyentuh persoalan-persoalan yang perlu ditangani secara serempak: polusi dan perubahan iklim, penggunaan sumber-sumber daya primer dan hilangnya keanekaragaman hayati, ketimpangan dunia, kemerosotan kualitas hidup manusia dan degradasi sosial. Dihadapkan pada percepatan dan kompleksitas masalah ekologis, para Bapa Paus[346] telah tiada hentinya menyerukan pertobatan ekologis mendalam, yang mampu menyentuh hakikat manusia, di mana, dalam analisis terakhir, tersembunyi akar masalah dan solusinya.
382. Persoalan ekologis diperingatkan oleh orang-orang dan organisasi-organisasi dari berbagai latar belakang budaya dan filsafat, namun orang-orang beriman dipanggil untuk merasa tergugat, dan sadar bahwa “tugas-tugas mereka dalam ciptaan, kewajiban-kewajiban mereka terhadap alam dan Sang Pencipta, merupakan bagian dari iman mereka.”[347] Visi Kristiani tentang ciptaan dan aktivitas manusiawi memberi “kepada umat Kristiani, dan juga kepada umat beriman lainnya, motivasi kuat untuk melindungi alam dan saudara-saudaranya yang paling rentan”,[348] bersama dengan kriteria-kriteria alternatif yang seturut dengannya untuk memikirkan kembali hubungan antara ekonomi, perlindungan ciptaan, keadilan sosial dan pilihan-pilihan politik. Oleh karena itu, penting mendengarkan jeritan bumi, yang terkait erat dengan jeritan orang-orang miskin. Dalam jeritan yang sama itu, di mana bergema rintihan ciptaan (bdk. Rm 8:22), tersembunyi suatu seruan yang datang dari Allah.
383. Katekese tahu mengenali suara Allah dalam tanda-tanda itu dan, karena itu, bersama dengan semua kegiatan karya pastoral Gereja lainnya, ia tidak akan surut dalam tugasnya untuk memotivasi dan mendukung dalam diri umat beriman suatu mentalitas dan spiritualitas ekologis, yang berlandaskan pada kebijaksanaan kisah-kisah biblis dan ajaran sosial Gereja. Katekese yang peka pada perlindungan ciptaan mengembangkan budaya perhatian yang ditujukan baik kepada lingkungan maupun orang-orang yang mendiaminya. Itu berarti menumbuhkan sikap hormat terhadap semua; mengajarkan suatu konsep yang benar tentang lingkungan dan tanggung jawab manusia; mendidik kepada hidup yang saleh, mampu mengambil gaya-gaya hidup yang rendah hati dan sederhana, bebas dari konsumerisme; menggarisbawahi nilai simbolis realitas ciptaan, terutama dalam tanda-tanda liturgi. Jadi, ini adalah hal mendukung pemerolehan sikap dan perilaku selanjutnya yang memperhatikan ekologi integral, yang mencakup berbagai aspek program pembinaan dari ajaran sosial Gereja: ekologi lingkungan, ekonomi, sosial dan politis; ekologi budaya; ekologi hidup sehari-hari.
384. Pertama, katekese akan memperhatikan untuk membantu umat beriman menyadari bahwa komitmen bagi persoalan ekologis adalah bagian integral dari hidup Kristiani. Kedua, katekese akan mewartakan kebenaran-kebenaran iman yang mendasari tema lingkungan: Allah Bapa Mahakuasa dan Pencipta, misteri penciptaan sebagai anugerah yang mendahului manusia yang menjadi puncak dan penjaganya, korelasi dan keharmonisan dari seluruh realitas yang tercipta, penebusan yang dikerjakan oleh Kristus sebagai yang Sulung dari ciptaan baru.[349] Akhirnya, oleh karena dimensi edukatif alamiahnya, katekese akan mendampingi orang-orang Kristiani untuk menghayati tuntutan-tuntutan moral dari iman, dengan mengidentifikasi sikap-sikap yang menghalangi jalan-jalan pemecahan masalah, dengan memberi motivasi teologis dan spiritual untuk pertobatan ekologis dan dengan mendukung kegiatan-kegiatan konkret untuk pemeliharaan rumah bersama.[350]
Katekese dan keberpihakan pada orang miskin
385. Keberpihakan, opsi atau cinta istimewa kepada orang-orang miskin adalah bentuk keutamaan khusus dalam mengamalkan cinta kasih yang menyentuh hidup setiap orang kristiani, selaku orang yang meneladan Kristus.[351] Cinta kasih Gereja kepada orang-orang miskin dan kepada semua mereka yang hidup dalam situasi-situasi kemiskinan menjadi bagian dari Tradisinya yang tetap.[352] “Bagi Gereja, keberpihakan pada orang-orang miskin pada pokoknya adalah kategori teologis daripada kategori budaya, sosiologis, politis atau filosofis.”[353] Sesungguhnya, keberpihakan ini bertolak dari cinta kasih Allah kepada orang-orang yang diasingkan, mereka yang kurang beruntung, yang dikucilkan, para janda, yatim piatu, orang-orang sakit, sebagaimana dikisahkan terus-menerus dalam Kitab Suci.
386. Dalam Putra tunggal, Allah sendiri membuat diri-Nya miskin guna memperkaya umat manusia (bdk. Flp 2:6-8). Dalam mewartakan Kerajaan Allah, Yesus menjadikan orang-orang miskin sebagai penerima istimewa (bdk. Luk 4:18-19; Mat 11:5). Dia menyatakan bahwa orang-orang miskin itu berbahagia (bdk. Luk 6:20-21), maka Dia mengajarkan bahwa melayani dan menerima setiap pribadi dalam situasi kemiskinan berarti mengakui Yesus sendiri hadir, karena dapat mengindentifikasi diri-Nya dengan mereka: “Kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Dengan demikian, Yesus menunjukkan hubungan kuat antara kontemplasi akan Allah dan hubungan pribadi dengan mereka yang terluka dan ditolak, dengan memanggil para murid-Nya tidak hanya untuk melayani orang-orang miskin, tetapi untuk menemukan Dia sungguh hadir di dalam diri mereka dan, melalui mereka, berjumpa dengan Bapa. Bagi para murid Kristus, kemiskinan terutama merupakan panggilan untuk mengikuti Yesus yang miskin, itulah sikap hati yang mencegah untuk berpikir tentang realitas yang sementara sebagai tujuan hidup dan syarat untuk mencapai kebahagiaan. Gereja dipanggil juga untuk menghidupi kemiskinan sebagai penyerahan diri total kepada Allah, tanpa menaruh kepercayaan pada sarana-sarana duniawi.
387. Keberpihakan kepada orang-orang miskin mengandung suatu dinamisme misioner yang melibatkan suatu pengayaan timbal balik: membebaskan mereka, namun juga dibebaskan oleh mereka; menyembuh-kan luka-luka mereka, namun juga disembuhkan oleh mereka; menginjili mereka, dan sekaligus diinjili oleh mereka. “Mereka memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita. Mereka tidak hanya berbagi dalam sensus fidei, tetapi dalam kesulitan-kesulitan mereka, mereka mengenal Kristus yang menderita. Kita perlu membiarkan diri kita diberi pewartaan Kabar Baik oleh mereka. Evangelisasi baru merupakan undangan untuk mengakui daya penyelamatan yang bekerja dalam hidup mereka dan untuk menaruh mereka di pusat jalan peziarahan Gereja.”[354] Perjumpaan dengan Kristus, tujuan dari setiap peziarahan iman, diwujudkan secara khusus dalam perjumpaan dengan orang-orang miskin, berkat pengalaman-pengalaman solidaritas dan pelayanan sukarela: “Jikalau kita benar-benar ingin bertemu dengan Kristus, perlulah kita menyentuh tubuh-Nya dalam tubuh terluka orang-orang miskin, sebagai penegasan akan komuni sakramental yang diterima dalam Ekaristi.”[355]
388. Katekese membiarkan dirinya digerakkan oleh kemiskinan sebab kemiskinan merupakan hal yang hakiki untuk pesan Injil. Karena mengenali nilai kemiskinan dan, dipandang dari pembinaan integral orang-orang Kristiani, katekese akan mampu mendidik untuk kemiskinan injili dan gaya hidup ugahari. Di samping itu, ia akan memupuk beberapa sikap mendasar dalam diri umat beriman: hormat kepada martabat pribadi, dukungan untuk perkembangannya, pengembangan budaya persaudaraan, kegeraman terhadap situasi-situasi kemalangan dan ketidakadilan. Selain itu, katekese juga mengingatkan bahwa kemiskinan merupakan suatu kebajikan yang memungkinkan untuk menggunakan barang-barang duniawi secara benar, yang membantu untuk menghayati ikatan-ikatan dan afeksi secara bebas dan sehat. Maka, para katekis hendaklah diminta untuk meningkatkan kesadaran, khususnya di sekitar Hari Orang Miskin Sedunia, agar refleksi kateketis disertai dengan komitmen konkret dan langsung yang dibarengi tanda-tanda perhatian nyata kepada orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Katekese dan tanggung jawab sosial
389. Kompleksitas masalah-masalah sosial sekarang ini dapat menyebab-kan umat beriman semakin bersikap skeptis dan lepas tangan, sementara dalam inti Injil terdapat pelayanan kepada orang-orang lain, oleh karena itu “baik pewartaan maupun pengalaman Kristiani dimaksudkan agar membawa dampak dalam masyarakat.”[356] Gereja, dengan menekankan relasi erat antara evangelisasi dan pengembangan manusia seutuhnya,[357] menegaskan kembali bahwa iman hendaknya jangan dihidupi sebagai suatu urusan individual, lepas dari konsekuensi-konsekuensi konkret terhadap kehidupan sosial. “Iman sejati – yang tak pernah nyaman atau sepenuhnya individual – selalu melibatkan hasrat mendalam untuk mengubah dunia, meneruskan nilai-nilai, meninggalkan dunia ini agak lebih baik daripada ketika kita temukan.”[358] Suatu bagian integral dari proses pendalaman iman adalah pendewasaan suatu visi sosial dan politik yang memperhatikan penghapusan ketidakadilan, pembangunan kedamaian dan perlindungan ciptaan, serta untuk pengembangan berbagai bentuk solidaritas dan subsidiaritas.
390. Katekese, dengan bantuan ajaran sosial Gereja[359] dan dengan menyesuaikan program-program dengan kondisi subjek-subjek, memampu-kan pandangan injili terhadap realitas dan menyadarkan mereka akan keberadaan struktur-struktur dosa, yang memiliki suatu pengaruh negatif atas tatanan sosial dan lingkungan. Selain itu, katekese mendorong umat beriman untuk bertindak demi kesejahteraan umum, baik dalam lingkup keseharian mereka sendiri maupun, pada skala yang lebih luas, dalam komitmen sosial dan politik yang lebih langsung. “Kasih akan masyarakat dan komitmen terhadap kesejahteraan umum merupakan ungkapan luar biasa dari belas kasih yang tidak hanya menyangkut hubungan antara individu, tetapi juga hubungan-makro: segala hubungan sosial, ekonomis, politis.”[360]
391. Hendaknya dijamin perhatian khusus kepada umat beriman yang memiliki tanggung jawab yang lebih besar di bidang sosial, budaya, media, ekonomi dan politik. Sesuai dengan profesi mereka atau pelayanan mereka dalam institusi-institusi, sesungguhnya mereka memiliki peluang besar untuk mempengaruhi kesejahteraan umum. Melalui persekutuan-persekutuan awam dari lingkungan atau bentuk-bentuk lain keterlibatan pastoral, penting memberikan katekese yang mendukung ketaatan dinamis kepada pribadi Kristus, kemampuan untuk discernment injili dalam situasi-situasi yang kompleks, kesiap-sediaan untuk berdialog dengan semua dan suatu kebenaran moral yang menyingkirkan pemisahan antara iman dan kehidupan, antara keanggotaan gerejani dan komitmen di dunia.
Katekese dan lingkungan kerja
392. Dengan bekerja dengan tangan-Nya sendiri di Nazareth, Tuhan telah memberikan martabat yang sangat tinggi kepada pekerjaan. Karena itu, manusia, dengan mempersembahkan pekerjaannya sendiri kepada Allah, mempersatukan dirinya pada karya penebusan yang sama dari Kristus. “Biasanya, melalui kerjanya, manusia mencari nafkah bagi dirinya dan bagi mereka yang menjadi tanggungannya; ia menjalin ikatan dengan saudara-saudarinya serta melayani mereka; ia dapat mengamalkan cinta kasih yang sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan ciptaan yang ilahi” (GS 67). Setiap pribadi dengan pekerjaannya yang bebas, kreatif dan suportif, mengekspresikan martabat hidup pribadinya, sebab “pekerjaan adalah salah satu dari ciri-ciri khas yang membedakan manusia dari ciptaan-ciptaan yang lain.”[361] Dalam konteks globalisasi, amat banyak kompleksitas dan kontradiksi berdampak pada dunia kerja. Perubahan-perubahan dalam dunia kerja membuat diperlukannya suatu kegiatan evangelisasi dan pembinaan Kristiani, yang ditujukan bagi mereka yang terlibat secara lebih langsung atau memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
393. Dalam pelayanan pendidikannya untuk iman, katekese mengajukan ajaran sosial Gereja sebagai titik acuan untuk pembinaan Kristiani yang mampu memotivasi evangelisasi atas realitas duniawi dan secara lebih langsung atas pekerjaan. Perhatian itu, yang khas dari program pembinaan persekutuan-persekutuan awam pekerja dan kegiatan pastoral di lingkungan-lingkungan tempat kerja, juga ada dalam proses-proses biasa katekese bersama dengan para remaja, orang-orang muda dan orang-orang dewasa: pada kenyataannya, perhatian itu berkontribusi pada suatu pembinaan menyeluruh kepribadian orang beriman. Terkait dengan kerja manusia, katekese harus menerangkan makna luhur tanggung jawab manusia di dunia; mendukung kesaksian Kristiani di tempat kerja; membantu umat beriman untuk menjadi ragi rekonsiliasi dalam situasi-situasi konflik; mendorong komitmen untuk memanusiawikan pekerjaan; mendesak pembelaan atas hak-hak orang-orang yang paling lemah.
Bab XI
Katekese dalam Pelayanan untuk Inkulturasi Iman
1. Kodrat dan tujuan inkulturasi iman
394. “Gereja-Gereja setempat, yang secara mendalam dibangun bukan hanya oleh orang-orang, tapi juga oleh aspirasi-aspirasi, kekayaan dan pembatasan, cara-cara berdoa, mengasihi, cara melihat hidup dan dunia, yang membedakannya dari kelompok yang ini atau yang itu, mempunyai tugas mengasimilasikan hakikat pesan Injil dan menyampaikannya, tanpa mengkhianati sedikit pun juga kebenarannya yang hakiki, di dalam bahasa yang dipahami oleh orang-orang tertentu ini, dan menyampaikannya di dalam bahasa tersebut.”[362] Pelayanan inkulturasi iman yang kepadanya Gereja partikular dipanggil merupakan tanda kesuburan abadi Roh Kudus yang memperindah Gereja semesta. “Setiap bagian umat Allah, dengan menerjemahkan karunia Allah ke dalam hidupnya sendiri dan sesuai dengan kecakapannya, memberikan kesaksian tentang iman yang telah diterima-nya dan memperkayanya dengan ungkapan-ungkapan baru dan fasih.”[363] Program-program kateketis dan Katekismus-katekismus lokal sendiri merupakan tanda dari proses inkulturasi yang berhasil ini.
395. Dalam karya evangelisasi, Gereja dipanggil untuk mengikuti “gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-hari dijumpai-Nya” (AG 10). Bentuk pertama inkulturasi Sabda Allah ini tetap menjadi prototipe dari semua evangelisasi Gereja. Inkulturasi tidak boleh dianggap sebagai sekadar suatu penyesuaian sederhana kepada satu kebudayaan. Sebaliknya, itu merupakan perjalanan yang mendalam, menyeluruh dan bertahap. Ini adalah tentang meresapnya Injil secara perlahan ke dalam hati orang-orang dan bangsa-bangsa. “Tujuan pokoknya adalah agar Injil, karena diwartakan dalam kategori-kategori tepat untuk setiap kebudayaan, akan menciptakan sintesis baru dengan kebudayaan tersebut.”[364]
396. Katekese “dipanggil untuk membawa kekuatan Injil ke dalam inti dari kebudayaan dan kebudayaan-kebudayaan”[365] dan memiliki suatu tanggung jawab besar dalam proses inkulturasi iman. Memahami budaya sebagai tempat interpretasi iman memberi katekese kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai secara signifikan tujuan-tujuannya untuk pendidikan kepada iman dan dalam iman. Sumbangan spesifik katekese untuk evangelisasi adalah usaha untuk masuk ke dalam relasi dengan pengalaman hidup orang-orang, dengan cara-cara hidup mereka dan proses-proses perkembangan pribadi dan komuniter. Inkulturasi, pada dasarnya, ditujukan kepada proses internalisasi pengalaman iman. Hal ini menjadi lebih mendesak lagi dalam konteks sekarang di mana dasar-dasar budaya untuk penerusan Injil yang di masa lampau itu dijamin oleh keluarga dan masyarakat, telah berkurang; melemahnya proses-proses tersebut telah mengakibatkan krisis penggerogotan iman secara subjektif. Maka, pentinglah bahwa katekese tidak terpusat hanya pada penerusan isi iman, tetapi hendaknya memiliki pada intinya proses penerimaan iman secara pribadi, sehingga tindakan yang dengannya iman itu diyakini mengungkap-kan dengan cara terbaik alasan-alasan kebebasan dan tanggung jawab yang terkandung dalam iman itu sendiri.
398. “Sementara harus menghindari semua manipulasi budaya apa pun, katekese tidak dapat juga dibatasi pada penjajaran sederhana Injil dengan budaya “secara dekoratif”, tetapi harus menyampaikan Injil “secara vital, mendalam, hingga ke akar-akar budaya dan berbagai budaya umat manusia.” Hal ini menentukan suatu proses dinamis yang terdiri dari berbagai momen yang saling berinteraksi: berusaha mendengarkan, dalam budaya bangsa, suatu gema (pertanda, seruan, tanda) dari Sabda Allah; menimbang-nimbang apa yang merupakan nilai Injil autentik atau sekurang-kurangnya terbuka pada Injil; memurnikan apa yang berada dalam tanda dosa (nafsu-nafsu, struktur kejahatan) atau kerapuhan manusiawi; membuat terobosan pada orang-orang dengan membangkitkan sikap pertobatan radikal kepada Allah, dialog dengan orang lain, dan pendewasaan batin yang sabar.”[367]
399. Inkulturasi iman, yang merupakan sifat alami Gereja-Gereja partikular, “mesti melibatkan seluruh Umat Allah, dan bukan hanya melibatkan sedikit orang ahli saja, karena umat itu memantulkan “sensus fidei” (rasa keimanan) autentik yang tidak pernah boleh diabaikan. Inkulturasi […] mesti merupakan suatu ungkapan dari kehidupan komunitas, sesuatu yang mesti menjadi matang di dalam komunitas itu sendiri, dan bukannya semata-mata merupakan hasil dari suatu penelitian ilmiah.”[368] Jika Injil diinkulturasikan ke dalam suatu bangsa, Injil, juga melalui budaya bangsa itu, akan meneruskan iman dengan cara yang sedemikian hidup sehingga membuat iman selalu baru dan menarik.
400. Katekese yang berkarya untuk pelayanan inkulturasi iman akan berusaha untuk menilai semua tren-tren dan cara-cara budaya yang dengannya manusia mengekspresikan dirinya, baik yang lebih tradisional dan lokal maupun yang paling mutakhir dan mendunia[369], dengan bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan yang beraneka ragam yang dengannya setiap bangsa menyatakan dan menghidupi pengalaman imannya. Karena itu, katekese akan mampu menghargai khususnya beberapa bidang pelayanan pastoral gerejani, di mana ia dipanggil secara langsung untuk menemukan bahasa-bahasa dan cara-cara pengungkapan baru, yang menunjukkan suatu gaya misioner yang tenang dan gembira: misalnya, katekumenat, inisiasi kristiani, pelayanan pastoral biblis, katekese liturgis. Penyampaian Injil “terjadi dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga tak mungkin menjelaskan atau menuliskan semuanya, dan umat Allah, dengan begitu banyak gerak isyarat dan tanda mereka, adalah subyek kolektifnya. Akibatnya, jika Injil dijelmakan ke dalam sebuah kebudayaan, pesan itu tidak lagi disampaikan hanya dari pribadi ke pribadi. Karena itu, di negara-negara dimana Kristianitas merupakan minoritas, maka bersamaan dengan memberi dorongan kepada setiap orang yang telah dibaptis untuk mewartakan Injil, Gereja-gereja partikular harus secara aktif memajukan setidak-tidaknya bentuk-bentuk awal inkulturasi.”[370]
2. Katekismus-katekismus lokal
401. Katekismus-katekismus lokal merupakan sarana yang tak ternilai untuk katekese, yang terpanggil untuk membawa kebaruan Injil dalam berbagai budaya bangsa-bangsa. Dalam katekismus-katekismus, Gereja mengomuni-kasikan Injil dengan cara yang dapat mencapai pribadi supaya dia dijumpai di sana di mana dia hidup, dalam budayanya dan dunianya. Katekismus-katekismus merupakan titik acuan untuk katekese dalam suatu konteks tertentu sebagai buah dari proses inkulturasi iman yang diupayakan oleh Gereja-gereja lokal. Maka, katekismus-katekismus itu menyatakan pemahaman iman suatu bangsa, tetapi juga merupakan ekspresi budayanya yang autentik. Katekismus-katekismus lokal dapat memiliki ciri keuskupan, regional atau nasional. Katekismus keuskupan memerlukan aprobasi dari Uskup diosesan.[371] Katekismus-katekismus regional atau nasional, yang diperhatikan oleh Konferensi-konferensi Keuskupan yang terkait, memerlukan aprobasi dari Takhta Apostolik.[372]
402. Katekismus-katekismus memiliki dua ciri utama: memiliki karakter resmi dan merupakan sintesis iman yang sistematis dan mendasar. Katekismus lokal, yang merupakan ekspresi tindakan Magisterium keuskupan, merupakan teks resmi Gereja. Ciri resmi Katekismus-katekismus ini menetapkan suatu pembedaan kualitatif seturut sarana-sarana lain yang berguna dalam pedagogi kateketis, seperti Teks-teks didaktik, Katekismus-katekismus yang tidak resmi, Panduan bagi para katekis. Selain itu, setiap Katekismus merupakan satu sintesis iman yang sistematis dan mendasar, di mana ditampilkan peristiwa-peristiwa dan kebenaran-kebenaran fundamental misteri kristiani. Katekismus merupakan serangkaian dokumen Wahyu dan Tradisi kristiani yang terstruktur, tetapi disusun dengan suatu perhatian pedagogik yang memperhitungkan situasi-situasi yang paling konkret. Meskipun menjadi sarana pada urutan pertama, namun bukan satu-satunya: sesungguhnya diperlukan sarana-sarana kerja lain yang lebih langsung.
403. Katekismus Gereja Katolik merupakan teks yang menurut hakikatnya ditempatkan sebagai acuan bagi Katekismus lokal. Namun demikian, Katekismus lokal, meskipun berkaitan, memiliki tingkat yang berbeda. Katekismus-katekismus lokal, yang isinya merujuk pada Katekismus Gereja Katolik, membangkitkan juga semua dimensi lain dari proses kateketis. Katekismus-katekismus lokal diukur dengan permasalahan-permasalahan konteks, dengan bertanggung jawab atas inkulturasi pesan dalam kaitannya dengan subjek-subjek katekese; berisi saran-saran untuk membantu persiapan rencana program kateketis. Maka, mereka bukan melulu suatu sintesis Katekismus Gereja Katolik.
404. Suatu Katekismus lokal harus menyampaikan iman dengan mengacu pada budaya di mana para penerimanya masuk di dalamnya. Pentinglah memperhatikan bentuk konkret penghayatan iman dalam satu masyarakat tertentu. Maka, Katekismus akan menggabungkan semua “ungkapan asli kehidupan, perayaan dan pemikiran kristiani”[373], yang telah muncul dari tradisi budaya mereka sendiri dan merupakan buah dari karya dan inkulturasi Gereja lokal. Suatu Katekismus lokal harus memperhatikan supaya misteri kristiani dapat disampaikan secara koheren dengan mentalitas dan dengan usia subjek, dengan memperhitungkan pengalaman-pengalaman fundamental kehidupannya dan memperhatikan dinamika pertumbuhan setiap pribadi. Maka, Katekismus akan menjadi suatu sarana yang memadai untuk mengembangkan rencana program pembinaan, dengan menyokong para katekis dalam seni mendampingi umat beriman untuk mencapai kematangan hidup kristiani.
405. Adalah baik bahwa Gereja lokal, tepatnya karena pertimbangan akan tanggung jawabnya dalam inkulturasi iman, hendaknya mulai menerbitkan Katekismusnya sendiri. Keputusan untuk mengatur penyajian keempat dimensi hidup Kristiani[374] dipercayakan kepada discernment pastoral Gereja lokal dan kreativitasnya, dengan menyusun isi dan menyampaikan bagian-bagiannya menurut cara-cara khusus, dalam bentuk yang paling membantu penerimaan dan pertumbuhan iman anak-anaknya. Hal yang sama berlaku pada berbagai cara yang dipakai untuk mengekspresikan pesan iman dan pada sarana-sarana operasional.
406. Dalam zaman evangelisasi baru, Roh Kudus mengundang orang-orang Kristiani untuk memiliki keberanian untuk “menemukan tanda-tanda baru dan simbol-simbol baru, daging baru untuk menjelmakan dan menyampai-kan Sabda”[375], dalam kesadaran yang tenang bahwa “Kristus adalah “Injil yang kekal” (Why 14: 6), dan Dia “tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13: 8), namun kekayaan dan keindahan-Nya tiada habisnya. Dia senantiasa muda dan merupakan sumber kebaruan yang tetap. […] Kapan pun kita berusaha kembali kepada sumber dan memulihkan kesegaran asli Injil, jalan-jalan baru muncul, lorong-lorong kreativitas baru terbuka, dengan berbagai bentuk ungkapan, tanda-tanda dan kata-kata yang lebih fasih dengan makna baru bagi dunia dewasa ini.”[376]
Pedoman untuk mendapatkan persetujuan yang diperlukan dari Takhta Apostolik untuk Katekismus-katekismus dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran yang bersifat kateketik
407. Prosedur untuk mendapat aprobasi dari Takhta Suci merupakan suatu pelayanan timbal balik antara Gereja-Gereja partikular dan Gereja universal. Di satu sisi, prosedur itu menawarkan kemungkinan kepada Takhta Suci untuk memberikan saran-saran dan pengamatan yang menurut per-timbangannya dapat meningkatkan kualitas umum dari suatu teks kateketis dan, di sisi lain, memungkinkan Gereja-Gereja lokal menginformasikan dan menerangkan kepada Takhta Suci tentang konteks katekese dan pokok-pokok perhatian utama dalam suatu wilayah tertentu. “Persetujuan lebih dahulu dari Takhta Suci – yang diperlukan bagi katekismus-katekismus yang diterbitkan oleh Konferensi Para Uskup, hendaklah dipahami dalam arti, bahwa itu adalah dokumen-dokumen, dengan mana Gereja universal, dalam konteks sosio-budaya yang berbeda-beda di tempat perutusannya, mewartakan dan meneruskan Injil, dan “melahirkan Gereja-Gereja partikular dengan menyatakan dirinya di dalamnya.” Persetujuan sebuah katekismus merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa katekismus itu adalah sebuah teks dari Gereja universal untuk suatu kultur dan situasi khusus.”[377]
Bab XII
Organisasi-organisasi yang melayani Katekese
1. Tahta Suci
409. “Perintah Kristus untuk mewartakan Injil kepada segenap makhluk pertama-tama dan secara langsung menyangkut mereka [para Uskup], bersama Petrus dan di bawah Petrus” (AG 38). Kepadanya, Tuhan memberikan misi untuk menguatkan saudara-saudara dalam iman (bdk. Luk 22: 32). Oleh karena itu, pewartaan dan penerusan Injil bagi Pengganti Petrus, bersama Kolegium Uskup, merupakan tugasnya yang mendasar. Paus Roma melaksanakan tugas ini, selain pengajaran-pengajaran dan homili-homilinya, juga melalui katekese-katekesenya.
2. Sinode Para Uskup atau Konsili Hierarki Gereja Katolik Timur
411. Adalah kewajiban bagi Sinode para Uskup dari Gereja-Gereja Patriarkat masing-masing atau Gereja-Gereja Keuskupan Agung Mayor atau bagi Dewan Hierarki dari Gereja-Gereja Metropolitan sui iuris, dalam batas-batas wilayahnya sendiri, “menerbitkan norma-norma tentang pengajaran katekese untuk disatukan secara teratur dalam suatu Petunjuk katekese.”[379] Penting bahwa setiap Gereja Katolik Timur sui iuris, yang menghargai tradisinya sendiri, mulai menyusun Katekismusnya, yang disesuaikan dengan berbagai kelompok umat beriman dan diperlengkapi dengan bantuan-bantuan dan sarana-sarana.[380] Sinode para Uskup, juga melalui komisi kateketik, memiliki tugas untuk memajukan dan menyelenggarakan berbagai inisiatif kateketis.[381] Selain itu, Sinode juga akan memperhatikan struktur-struktur dan institusi-institusi, yang mendedikasikan diri untuk penerusan iman, dengan menjaga warisan liturgis dan teologis Gerejanya sendiri dan mempertimbangkan ajaran Gereja universal.
3. Konferensi para Uskup
412. Kitab hukum kanonik menetapkan bahwa “pada Konferensi Para Uskup dapat didirikan suatu kantor kateketik dengan tugas utama memberi bantuan kepada masing-masing keuskupan di bidang kateketik”,[382] suatu realitas yang sekarang diperkuat hampir di mana saja. “Harus dipertimbangkan fakta penting bahwa Konferensi-Konferensi para Uskup dengan komisi-komisi dan kantor-kantornya ada untuk membantu para Uskup dan tidak untuk menggantikan mereka.”[383] Maka, Kantor kateketik nasional (atau Pusat katekese nasional) merupakan badan pelayanan pada keuskupan di wilayahnya sendiri.
413. Kantor kateketik nasional, pada tempat pertama, akan membuat analisis situasi katekese di wilayahnya sendiri, juga dengan menggunakan riset-riset dan studi-studi pusat-pusat akademis atau ilmiah dan para ahli di bidangnya. Analisis tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu proyek katekese nasional dan, karena itu, perlu mengatur kegiatan-kegiatannya dengan kegiatan-kegiatan kantor-kantor nasional Konferensi Uskup lainnya. Proyek nasional ini pertama-tama dapat mencakup penyusunan pedoman dan petunjuk katekese, sarana-sarana yang bersifat reflektif dan menjadi petunjuk, yang menjadi inspirasi besar untuk katekese Gereja-Gereja lokal dan juga merupakan suatu titik acuan untuk pembinaan para katekis.[384] Selain itu, bertolak dari pedoman, Kantor kateketik akan menangani persiapan Katekismus-katekismus yang sungguh-sungguh lokal.
414. Dalam kaitan dengan keuskupan-keuskupan, Kantor kateketik nasional, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kemungkinan-kemungkinan, akan mengadakan pembinaan bagi para pemimpin Kantor-kantor keuskupan, juga melalui berbagai konferensi, seminar untuk studi dan publikasi. Selain itu, Kantor kateketik nasional akan menyelenggarakan acara-acara yang berkenaan dengan katekese untuk wilayah nasional, mengadakan aktivitas-aktivitas dari kantor-kantor keuskupan dan akan mendukung khususnya keuskupan-keuskupan yang materi katekesenya kurang tersedia. Akhirnya, ia akan menjaga hubungan-hubungan dengan para penerbit dan penulis, dengan menjamin bahwa materi yang diterbitkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan katekese dalam negara sendiri.
415. Juga di tingkat internasional dan kontinental, dalam Dewan-Dewan Konferensi para Uskup, telah muncul lembaga-lembaga persekutuan dan kerja sama yang bertujuan untuk membantu refleksi dan animasi pastoral. Di dalam lembaga-lembaga gerejani ini berkarya pula departemen-departemen katekese dengan tujuan untuk mendukung para Uskup dan Konferensi-Konferensi para Uskup.
4. Keuskupan
416. Gereja partikular, wujud konkret satu-satunya Gereja di suatu tempat dalam dunia, di bawah bimbingan Uskupnya, menjadi subjek evangelisasi. Dengan demikian, “Gereja lebih dari suatu lembaga organis dan hierarkis; Gereja pertama-tama dan terutama adalah umat yang sedang bergerak maju dalam perjalanan ziarahnya menuju Allah […] yang melampaui ungkapan kelembagaan mana pun.”[385] Pada pelayanan umat yang mengevangelisasi ini adalah Kuria keuskupan dalam berbagai bentuknya (kantor-kantor, dewan-dewan, komisi-komisi …), yang membantu untuk menegaskan dan menyusun prioritas-prioritas pastoral, untuk berbagi tujuan, untuk mengembangkan strategi-strategi operasional, dengan menghindari keterpisahan program-program.
Komisi kateketik di tingkat Keuskupan dan tugasnya
417. Dalam Kuria keuskupan perhatian dan pengembangan katekese dipercayakan kepada Kantor kateketik keuskupan.[386] Katekese merupakan suatu aktivitas yang sangat fundamental untuk kehidupan suatu Gereja partikular yang setiap keuskupan dituntut untuk memiliki Kantor kateketik-nya sendiri. Kantor ini akan dipimpin oleh seorang penanggung jawab yang mungkin seorang ahli di bidang katekese, yang didukung oleh pribadi-pribadi yang kompeten, supaya berbagai masalah dapat dihadapi dengan tanggung jawab yang seharusnya. Sudah sepantasnya pelayanan diosesan ini terdiri dari imam-imam, biarawan-biarawati dan kaum awam. Kantor kateketik keuskupan berinteraksi dengan Kantor kateketik nasional konferensi episkopal dan dengan lembaga-lembaga nasional yang lain. Selain itu, kantor itu juga membina hubungan-hubungan kerja sama dengan keuskupan-keuskupan lain. Di antara semua tugasnya, Kantor kateketik keuskupan akan berupaya untuk membuat analisis situasi, berkoordinasi dengan seluruh pelayanan pastoral keuskupan, mengembangkan proyek katekese dan program kerjanya, terlibat dalam pembinaan para katekis.
Analisis situasi
418. Dalam menyelenggarakan kegiatan kateketik, Kantor kateketik akan bertolak dari analisis situasi. Penyadaran akan realitas ini menyangkut aspek-aspek sosio-budaya dan religius berdasarkan interpretasi pastoral untuk inkulturasi iman. Analisis situasi ini merupakan bantuan pertama yang bersifat informatif yang ditawarkan kepada para katekis. Analisis konteks sosio-budaya membantu untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mempengaruhi kehidupan setiap orang. Sama halnya pula, analisis situasi religius mempelajari “rasa akan yang sakral, yakni rasa pengalaman-pengalaman manusiawi, yang karena kedalamannya, condong terbuka kepada misteri; rasa akan yang religius, yakni cara-cara konkret di mana orang-orang tertentu memahami dan berkomunikasi dengan Allah; dan situasi iman dalam terang berbagai sifat orang beriman.”[387] Analisis-analisis ini juga memungkinkan untuk melihat sekilas nilai-nilai yang diterima atau ditolak pribadi-pribadi begitu saja. Dalam memahami konteks sosio-budaya dan religius, akan sangat berguna kajian yang diselenggarakan oleh institusi-institusi ilmiah dan pusat-pusat penelitian khusus.
419. Sumbangan-sumbangan ini membantu Kantor Kateketik dalam tugasnya untuk mengevaluasi keadaan katekese dalam proses evangelisasi. Ini menyangkut hal konkret untuk menguji keseimbangan dan jalinan program-program katekese dan berupaya memahami bagaimana program-program itu sesungguhnya berlangsung (isi, gaya, metode, sarana-sarana …). Selain itu, pentinglah mempertimbangkan kondisi para katekis dan pembinaan mereka. Namun demikian, tidak perlu tergelincir ke dalam “kelebihan beban diagnostik, yang tidak selalu disertai dengan metode penanganan yang diperbaiki dan diterapkan secara konkret. Di pihak lain, kita tidak akan dibantu dengan baik oleh suatu analisa sosiologis murni; sebaliknya itu merupakan buah dari penegasan injili. Ini merupakan pandangan seorang murid misioner”,[388] yang, dengan semangat iman dan dalam sikap mendengarkan dan berdialog, dengan menghargai dengan tenang apa yang ada, mengiringi dengan penuh kesabaran pertumbuhan iman.
Koordinasi katekese
420. Pentinglah bahwa katekese dikoordinasi bersama dengan dimensi-dimensi lain pelayanan pastoral Gereja partikular. “Koordinasi katekese bukanlah semata suatu faktor strategis, yang ditata demi kegiatan mengevangelisasi yang lebih efektif, melainkan memiliki dimensi teologis mendasar. Kegiatan mengevangelisasi harus dikoordinasi dengan baik, karena kegiatan ini bertujuan untuk kesatuan iman, yang menopang semua kegiatan Gereja.”[389] Katekese memiliki suatu relasi erat dengan pelayanan pastoral keluarga, orang muda dan panggilan, demikian juga dengan pelayanan pastoral sekolah dan universitas. Meskipun kegiatan pelayanan pastoral Gereja lebih luas daripada katekese, tetapi katekese – berdasarkan fungsi awal mulanya – menghidupkan dan menyuburkan pelayanan pastoral Gereja. Penekanan kerygmatik dan misioner katekese zaman sekarang mendukung pertobatan pastoral dan, karena itu, perubahan misioner Gereja.
421. Kebutuhan akan suatu pelayanan pastoral yang sistematis memerlukan koordinasi katekese dengan aktivitas-aktivitas evangelisasi yang lain. Ini akan dapat menguntungkan, misalnya, bahwa pada Gereja partikular diadakan sebuah komisi untuk inisiasi ke dalam hidup Kristiani, yang di dalamnya bergabung pelayanan pastoral pewartaan pertama dan katekese, pelayanan pastoral liturgi dan Karitas, perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan awam. Komisi ini dapat menawarkan kepada pelayanan pastoral keuskupan pedoman-pedoman umum untuk inisiasi ke dalam kehidupan Kristiani, baik dalam bentuk katekumenat bagi mereka yang tidak dibaptis maupun sebagai inspirasi katekese kateku-menal untuk orang-orang yang dibaptis, karena penting bahwa semua rencana pastoral memiliki inspirasi dasar yang sama.
Program katekese di tingkat Keuskupan
422. Keuskupan perlu melaksanakan suatu kegiatan pastoral yang sistematis, sehingga berbagai karisma, tugas dan pelayanan, struktur dan organisasi ditata dalam proyek evangelisasi yang sama. Dalam konteks lebih luas dari Perencanaan Pastoral Keuskupan, “Perencanaan Katekese Keuskupan adalah seluruh persembahan kateketis Gereja partikular yang, dalam cara yang tertata, terkoordinasi dan koheren, mengintegrasikan pelbagai proses kateketik.”[390] Proyek-proyek ini tidak diselenggarakan secara terpisah, melainkan dalam komplementaritas timbal balik, dengan mempertimbangkan bahwa “prinsip yang mengatur, yang memberi koherensi pada pelbagai proses kateketik yang ditawarkan oleh Gereja partikular, merupakan perhatian kepada katekese bagi orang-orang dewasa. Inilah poros utama di mana berputar dan diilhami katekese”[391] untuk usia-usia lain. Maka, ini bukanlah hal menambah beberapa aktivitas yang ditujukan bagi orang-orang dewasa di samping katekese anak-anak dan remaja, melainkan satu pemahaman ulang atas seluruh kegiatan katekese.
423. Biasanya proyek katekese disusun menurut umur. Cara mengadakan katekese ini tentu tetap berlaku, namun pada saat sekarang penting juga untuk mempertimbangkan kriteria lain. Sesungguhnya, proyek ini dapat dijalankan dengan memperhitungkan tahap-tahap pertumbuhan iman: Kenyataannya, beberapa orang mengambil langkah-langkah pertama dalam pencarian akan Allah; yang lain, meskipun mempraktikkan iman, tidak cukup mendapat katekese; sementara itu, yang lain lagi minta didampingi dalam pendalaman iman. Kriterium lain mempertimbangkan situasi eksistensial para subjek: orang yang terlibat, pribadi-pribadi yang hidup dalam situasi kerapuhan, para profesional, dan lain-lain. Beragam susunan usulan pembinaan dari Kantor Kateketik akan menghargai proses-proses pribadi dan irama komunitas. Meskipun penting, Proyek katekese keuskupan tidak pernah menggantikan pendampingan pribadi, tetapi sebaliknya akan melayani situasi-situasi khusus ini, dengan menyediakan petunjuk-petunjuk yang perlu agar para katekis dapat mendekatkan diri dengan saudara-saudara mereka dalam alur program yang sedang mereka jalani.
Program kerja
424. Jika proyek katekese keuskupan merupakan suatu rencana sistematis orientasi-orientasi dasar dan untuk jangka panjang, program kerja adalah pelaksanaan konkret untuk suatu situasi khusus dan untuk waktu tertentu. “Pengalaman menunjukkan manfaat program kegiatan yang sedemikian besar bagi katekese. Dengan menentukan beberapa tujuan umum, program ini juga mendesak kita untuk menyatukan upaya-upaya kita dan bekerja dalam perspektif keseluruhan. Jadi, syarat pertamanya adalah realisme, yang digabungkan dengan kesederhanaan, ketepatan, dan kejelasan.”[392] Maka, program tersebut mengidentifikasi isi-isinya, menunjukkan tujuan-tujuan antaranya– yang jelas, bertahap, dapat dinilai –, menyiapkan kegiatan-kegiatan dan teknik-teknik, menjelaskan atau menunjukkan bantuan-bantuan dan bahan-bahan, menentukan waktu. Selain itu, dalam menyusun program akan diberikan penekanan pada momen penilaian, yang memungkinkan untuk mengingat program dan untuk membuka diri kepada perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan.
Pembinaan katekis
425. Kantor Kateketik Keuskupan harus memiliki perhatian khusus untuk pembinaan para katekis[393], dengan mengetahui betul bahwa Roh Kudus berkarya melalui kerja sama mereka yang berharga dan kompeten sehingga Injil dapat diterima oleh semua orang. Pertama-tama, dengan mengevaluasi kebutuhan-kebutuhan riil para katekis dan dengan suatu gaya yang sesuai dengan waktu dan kepekaan kontemporer, Kantor berusaha untuk mempersiapkan tawaran pembinaan yang menjawab dimensi-dimensi cara berada, pengetahuan bagaimana untuk hidup bersama, pengetahuan (alkitabiah-teologis dan ilmu-ilmu kemanusiaan), pengetahuan terapan (pedagogis dan metodologis), dengan menghindari untuk terlalu menonjolkan hanya satu dimensi yang merugikan dimensi-dimensi lainnya. Tujuan, yang dapat diupayakan dengan lebih baik di Pusat-pusat pembinaan yang memadai, adalah untuk menyediakan bagi para katekis suatu pembinaan dasar dan berkelanjutan, dan untuk menyediakan suatu pembinaan khusus bagi para penanggung jawab dan koordinator katekese berdasarkan pilihan-pilihan dan kebutuhan-kebutuhan Gereja partikular. Untuk ini, penting bahwa Kantor Kateketik hendaknya bekerja sama dengan kantor-kantor lain dan semua yang ada di keuskupan dan memupuk suatu hubungan kepercayaan, dukungan dan kerja sama dengan para awam dan para imam dalam komunitas-komunitas paroki, tempat berlangsungnya pembinaan yang teratur bagi para katekis.
426. Persekutuan dengan Yesus Kristus, yang telah wafat namun bangkit, hidup dan selalu hadir di tengah-tengah kita, adalah tujuan akhir dari semua tindakan gerejawi dan juga katekese. Pada kenyataannya, Gereja selalu meneruskan apa yang telah diterimanya sendiri : “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, Ia telah dikuburkan, dan Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya.” (1 Kor 15:3-5). Pengakuan iman pertama dalam Misteri Paskah ini adalah inti dari iman Gereja. Sebagaimana diingatkan oleh rasul Paulus, pada kenyataannya, “andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.” (1 Kor 15:14). Dari Paskah Kristus, kesaksian tertinggi Injil-Nya, muncullah harapan yang membawa kita melampaui cakrawala yang terlihat dari dunia fana untuk menggapai keabadian : “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 Kor 15:19). Katekese, gema Paskah di hati manusia, terus-menerus mengundang kita untuk keluar dari diri kita sendiri untuk bertemu dengan Sang Hidup, Dia yang memberikan kehidupan dalam kepenuhan.
427. Yesus Kristus, Alfa dan Omega, adalah kunci untuk semua sejarah. Ia menemani setiap orang untuk mengungkapkan kasih Allah. Ia yang tersalib namun dibangkitkan berada di pusat waktu untuk menebus semua ciptaan dan manusia di dalamnya. Dari luka-luka Yesus yang tersalib, Roh Kudus tercurahkan bagi dunia dan lahirlah Gereja. Evangelisasi, didukung oleh Sang Parakletus ( : penolong/penghibur), bertujuan untuk membuat semua orang ambil bagian dalam misteri besar ini untuk hidup tanpa perbedaan. Katekese, momen penting dalam proses ini, mengarah pada perjumpaan yang penuh kesadaran dan lebih erat dengan Sang Penebus manusia. Pedoman Katekese berkontribusi pada misi besar ini. Pedoman ini dimaksudkan untuk mendorong dan mendukung mereka yang berkomitmen untuk menyampaikan iman, yang selalu merupakan karya Allah. Bisa bekerja sama dengan-Nya, sekaligus menghibur, meyakinkan dan meneguhkan harapan sesama, adalah alasan untuk sukacita yang besar, karena Tuhan dari semua ciptaan telah memilih makhluk-Nya sebagai rekan kerja.
428. Dalam perutusan yang penuh sukacita dari Gereja untuk mewartakan Injil, selalu bersinarlah Maria, Bunda Tuhan yang, sepenuhnya patuh pada tindakan Roh Kudus, tahu bagaimana mendengarkan dan menyambut Sabda Allah dalam dirinya, sehingga ia pun menjadi “perwujudan iman yang paling murni”.[394] Dengan memastikan suasana rumah tangganya penuh kerendahan hati, kelembutan, kontemplasi dan kepedulian terhadap orang lain, Maria mendidik Yesus, Sabda yang menjadi manusia, melalui jalan keadilan dan ketaatan kepada kehendak Bapa. Pada gilirannya, Sang Bunda belajar untuk mematuhi Sang Putra, menjadi yang pertama dan paling sempurna dari murid-murid-Nya. Dituntun oleh Roh Kudus, pada pagi hari Pentakosta, dengan doanya, Sang Bunda Gereja telah memimpin awal evangelisasi, dan pada hari ini ia senantiasa mendoakan agar orang-orang pada zaman sekarang ini dapat berjumpa dengan Kristus dan, melalui iman mereka kepada-Nya, dapat diselamatkan dengan menerima secara penuh kehidupan anak-anak Allah. Santa Perawan Maria bersinar sebagai teladan dalam katekese, pengajar dalam evangelisasi dan model gerejawi untuk penyampaian iman.
Yang Mulia Paus Fransiskus, dalam Audiensi yang diberikan kepada Presiden yang bertanda tangan di bawah ini pada tanggal 23 Maret 2020, dalam Peringatan liturgi St. Turibius dari Mogrovejo, menyetujui Pedoman Katekese ini dan mengizinkan penerbitannya.
+Salvatore Fisichella
Uskup Agung tituler Voghenza, Presiden
+Octavio Ruiz Arenas
Uskup Agung emeritus Villavicencio, Sekretaris
Dewan Kepausan untuk Budaya
Dewan Kepausan untuk Budaya – Dewan Kepausan untuk dialog antar agama
Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama
Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama – Kongregasi untuk Evangelisasi bangsa-bangsa
Dewan Kepausan "Keadilan dan Perdamaian"
Dewan Kepausan untuk Pastoral Migran dan Pengungsi
Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru
Dewan Kepausan untuk Promosi Persatuan Umat Kristiani
Katekismus Gereja Katolik (11 Oktober 1992) : Libreria Editrice Vaticana, Kota Vatikan, 1992.
Kitab Hukum Kanonik (25 Januari 1983).
Kitab Hukum Kanonik Gereja Timur (18 Oktober 1990).
Komisi untuk Hubungan Agama dengan Yudaisme
Kompendium Katekismus Gereja Katolik (28 Juni 2005) : Libreria Editrice Vaticana, Kota Vatikan, 2005.
Konferensi Umum V para Uskup Amerika Latin dan Karibia
Kongregasi untuk Ajaran Iman
Kongregasi untuk Gereja-gereja Timur
Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Disiplin Sakramen-sakramen
Kongregasi untuk para Imam
Kongregasi untuk Pendidikan Katolik
Kongregasi untuk Pendidikan Katolik – Kongregasi untuk para Imam
Kongregasi Suci untuk Konsili
Konsili Ekumenis Vatikan II
Ordo Initiationis Christianae Adultorum (Ritual Inisiasi Kristen untuk Orang Dewasa)
Paus Benediktus XVI
Paus Fransiskus
Paus Leo XIII
Paus Paulus VI
Paus Pius XI
Paus Yohanes XXIII
Paus Yohanes Paulus II
Sinode Para Uskup
Selain singkatan dari kitab-kitab Kitab Suci dan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II yang disebutkan dalam teks Pedoman ini, juga terdapat singkatan-singkatan lain yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang paling banyak dikutip dalam catatan kaki. Untuk tampilan lengkap dari semua dokumen, lihat Indeks Teks Magisterium.
Kitab Suci
Am | Amos |
Ams | Amsal |
Bar | Barukh |
Ef | Efesus |
Flp | Filipi |
Gal | Galatia |
Hos | Hosea |
Ibr | Ibrani |
Keb | Kebijaksanaan |
Kej | Kejadian |
Kel | Keluaran |
Kis | Kisah Para Rasul |
Kol | Kolose |
Lk | Lukas |
Mrk | Markus |
Mzm | Mazmur |
Mt | Matius |
Rm | Roma |
So | Sophonie |
Ul | Ulangan |
Why | Wahyu |
Yer | Yeremia |
Yes | Yesaya |
Yoh | Yohanes |
Yos | Yosua |
1 Kor | 1 Korintus |
1 P | 1 Petrus |
2 P | 2 Petrus |
1 R | 1 Raja-raja |
1 Tes | 1 Tesalonika |
1 Tm | 1 Timotius |
2 Tm | 2 Timotius |
1 Yoh | 1 Yohanes |
Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II
AA | Apostolicam Actuositatem |
AG | Ad gentes |
CD | Christus Dominus |
DV | Dei Verbum |
GE | Gravissimum educationis |
GS | Gaudium et Spes |
LG | Lumen Gentium |
NA | Nostra Aetate |
OE | Orientalium Ecclesiarum |
OT | Optatam Totius |
PO | Presbyterorum Ordinis |
SC | Sacrosanctum Concilium |
UR | Unitatis Redintegratio |
Singkatan Lainnya
AAS | Acta Apostolicae Sedis |
AL | Amoris Laetitia (Paus Fransikus) |
ASS | Acta Sanctae Sedis |
Bdk. | Bandingkan |
CCL | Corpus Christianorum - Seri Latin |
ChV | Christus Vivit (Paus Fransiskus) |
CT | Catechesi Tradendae (Paus Yohanes Paulus II) |
EG | Evangelii Gaudium (Paus Fransiskus) |
EN | Evangelii Nuntiandi (Paus Paulus VI) |
Id. | Idem |
Kan. | Kanon |
Kk. | Kanon-kanon |
KGK | Katekismus Gereja Katolik |
KHK | Kitab Hukum Kanonik |
KHKGT | Kitab Hukum Kanonik Gereja Timur |
No. | Nomor |
Nos. | Nomor-nomor |
OICA | Ordo Initiationis Christianae Adultorum (Ritual Inisiasi Kristen untuk Orang Dewasa) |
Op.cit. | Opera citata |
PG | Patrologia Graeca (JP Migne) |
PL | Patrologia Latina (JP Migne) |
PUK | Petunjuk Umum Katekese (terbitan tahun 1997) |
Catatan kaki :
- CT 19. ↩
- CT 20. ↩
- Paulus VI, Pidato kepada para peserta sidang umum Konferensi Waligereja Italia (23 Juni 1966). ↩
- Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992), IV. ↩
- EN 14 ↩
- EG 273 ↩
- EG 164-165 ↩
- Fransiskus, Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), 6-7, 14. ↩
- Bdk. EG 164-165. ↩
- Bdk. EG 166. ↩
- Bdk. EG 169-173. ↩
- Bdk. EG 259-283. ↩
- KGK 30. ↩
- BENEDIKTUS XVI, Nasihat Apostolik Pasca-Sinode Verbum Domini (2010, 30 September), 92. ↩
- Yohanes Krisostomus, In Mattheum, homilia 1.2 (PG 57:15). ↩
- PUK 163. ↩
- EN 17. ↩
- AGUSTINUS DARI HIPPO, Pengakuan, 1, 1, 1 : CCL 27, 1 (PL 32, 661). ↩
- PUK 55. ↩
- FRANSISKUS, Surat ensiklik Lumen Fidei (29 Juni 2013), 18; Bdk. THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae, IIa-IIae, q. 2, a. 2. ↩
- KGK 177. ↩
- YOHANES PAULUS II, Surat ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 43. ↩
- Ibid., 13. ↩
- PUK 55. ↩
- FRANSISKUS, Surat ensiklik Lumen Fidei (29 Juni 2013), 19. ↩
- Bdk. KGK 166-167. ↩
- Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 13. ↩
- Vincenzo di Lerino, Commonitorium primum, 23, 9; CCL 64, 178 (PL, 50, 668). ↩
- Benediktus XVI, Anjuran Apostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 18. ↩
- EN 14. ↩
- EN 15. ↩
- Bdk. misalnya, Anselmo D’Aosta, Cur Deus homo, 2, 18: PL 158, 425; “Allah telah menjadi Manusia untuk menyelamatkan manusia”. ↩
- Bdk. misalnya, Gregorius dari Nissa, Oratio catechetica, 37; Gregorii Nysseni Opera ¾, 97-98 (PG 45, 97): “Allah dalam penyataan-Nya menyatukan Diri-Nya dengan alam fana supaya manusia dapat diilahikan bersama dengan Dia dengan ikut serta dalam keilahian”. ↩
- Bdk. PUK 48. ↩
- Bdk. EN 21. ↩
- PUK 56a; bdk. juga RICA 12 e 111. ↩
- Bdk. PUK 56b. ↩
- Bdk. RICA 7, 9-13. ↩
- PUK 56c. ↩
- Bdk. RICA 7, 14-36. ↩
- PUK 56d. ↩
- Bdk. RICA 7.37-40. ↩
- EN 22. ↩
- EG 1, 17. ↩
- Bdk. EN 2; Yohanes Paulus II, Homili dalam Misa Kudus di Santuario Salib Suci (9 Juni 1979); Ibid., Anjuran apostolik Christifideles laici (30 Desember 1988), 34; Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, Enchiridion evangelisasi baru. Teks Magisterium Kepausan dan Konsili 1939-2012(2012); EG 14-18. ↩
- EG 280. ↩
- Bdk. EG 20-33. ↩
- EG 120; bdk. juga Konferensi Umum ke V Para Uskup Amerika latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 129-346. ↩
- Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 33. ↩
- EG 14. ↩
- EG 14. ↩
- Benediktus XVI, Homili Misa Kudus penutupan Sidang Umum Biasa Sinode Uskup-Uskup ke XIII (28 Oktober 2012). ↩
- EG 14; bdk. juga Benediktus XVI, Homili Misa Kudus pada Pembukaan Konferensi Umum ke V para Uskup Amerika latin dan Karibia (13 Mei 2007). ↩
- Yohanes Paulus II, Surat apostolik Novo millenio ineunte (6 Januari 2001), 56. ↩
- Ibid. ↩
- EG 69. ↩
- Yohanes XXIII, Pidato pembukaan Konsili Ekumenis Vatikan II (11 Oktober 1962). ↩
- Benediktus XVI, Surat apostolik Ubicumque et semper (21 September 2010). ↩
- EG 62. ↩
- Benediktus XVI, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial (28 Februari 2011). ↩
- Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke XLVIII (24 Januari 2014). ↩
- EG 15. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 33. ↩
- EG 23; bdk. juga Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik Christifideles laici (30 Desember 1988), 32. ↩
- Bdk. Fransiskus, Bulla Pemberitahuan Yubileum Luar Biasa Kerahiman Misericordiae Vultus (11 April 2015), 12. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisai Baru (14 Oktober 2013). ↩
- St. Agustinus dari Hippo, De catechizandis rudibus, 1, 14, 22; CCL 46, 146 (PL 40, 327). ↩
- Paulus VI, Surat ensiklik Ecclesiam suam (6 Agustus 1964), 67. ↩
- Bdk. Ibid, 73-79. ↩
- Bdk. EG 238-258. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Kongres pastoral internasional di kota-kota besar dunia (27 November 2014). ↩
- Kata kerja Yunani katechein berarti “bergema”, “menggemakan kembali”. ↩
- EG 165. ↩
- EG 164. ↩
- Tentang istilah “Injil”: bdk. Benediktus XVI, Meditasi selama Kongres umum I Sinode para Uskup (8 Oktober 2010): “Injil mengartikan: Allah telah memecah keheningan-Nya, Allah telah berbicara, Allah ada. Hal ini sama dengan keselamatan: Allah mengenal kita, Allah mengasihi kita, Dia memasuki sejarah. Yesus adalah Sabda-Nya, Allah beserta kita, Allah yang menunjukkan kepada kita bahwa Dia yang mengasihi kita, bahwa dia yang menderita bersama kita sampai pada kematian dan Dia bangkit. Inilah Injil itu. Allah telah berbicara, Dia bukan lagi orang asing, tetapi Dia telah menunjukkan Diri-Nya sendiri dan ini adalah keselamatan”. ↩
- Di antara banyak rumusan kerygma, sebagai judul contoh, bdk. berikut ini: “Yesus adalah Putra Allah, Emmanuel, Allah beserta kita” (bdk. Mat 1: 23); “Kerajaan Allah sudah dekat: bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1: 15); “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3: 16); “Aku datang seupaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam kelimpahan” (Yoh 10: 10); (Kis 10: 38); “Yesus yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4: 25); “Yesus adalah Tuhan”(1Kor 12: 3); “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita”(1Kor 15: 3); “Putra Allah telah mengasihi aku dan telah memberikan Diri-Nya untuk aku” (Gal 2: 20). ↩
- EG 164. ↩
- EG 165. ↩
- EG 177. ↩
- EG 34. ↩
- Orang-orang ini dapat disebut calon katekumen; bdk. CT 44. ↩
- Bdk. KGK 1231 dan Konferensi umum ke V para Uskup Amerika latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 286-288. ↩
- RICA 295. ↩
- RICA 6: “Maka ada tiga tingkat atau bagian atau pintu yang harus dipertimbangkan sebagai momen-momen paling penting dan terkuat dari inisiasi. Tahap-tahap ini ditandai oleh tiga ritus liturgis: pertama Ritus penerimaan kepada katekument, kedua pemilihan dan ketiga perayaan sakramen-sakramen.” ↩
- Waktu ini meliputi perayaan-perayaan Sabda Allah, pengusiran setan, pemberkatan dan ritus-ritus yang lain. Bdk. RICA 68-132. ↩
- Bersamaan dengan penyerahan yang disebutkan di atas, selama periode ini katekumen menjalani pemeriksaan cermat dan upacara-upacara lainnya yang segera dipersiapkan untuk perayaan sakramen-sakramen. Bdk. RICA 133-207. ↩
- Bdk. RICA 208-239. ↩
- EG 166. ↩
- EG 166. ↩
- EG 166; bdk. juga RICA 4-6. ↩
- EN 51. ↩
- EG 164. ↩
- Benediktus XVI, Ensiklik Deus caritas est (25 Desember 2005), 1. ↩
- PUK 66. ↩
- KGK 1122. ↩
- Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 251. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik Sacramentum caritatis (22 Februari 2007), 17. ↩
- Ibid., 18. ↩
- PUK 67. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 74. Hendaklah dihargai semua inisiatif yang menempatkan Kitab Suci sebagai keutamaan pastoralnya, seperti Hari Minggu Sabda Allah: bdk. Surat apostolik Aperuit illis (30 September 2019). ↩
- CT 5. ↩
- Dalam EN 41, tujuan katekese adalah “membentuk kebiasaan-kebiasaan hidup kristiani.” ↩
- Terkait proses penerimaan iman secara pribadi iman, bdk. no. 396 Petunjuk ini. ↩
- PUK 59; bdk. juga Kongregasi untuk Klerus, Petunjuk Umum Katekese (11 April 1971), 20 dan CT 43. ↩
- PUK 82. ↩
- Tentang panggilan kepada kekudusan dalam dunia kontemporer lihat: Fransiskus, Seruan apostolik Gaudete et exsultate (19 Maret 2018). ↩
- Ibid. 63. ↩
- EG 168. ↩
- PUK 85. ↩
- Bdk. KGK 2626-2649. ↩
- KGK 435; “Doa dari hati, kebiasaan orang-orang Timur dan disebut doa Yesus, berbunyi: “Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah aku orang berdosa”. Rumusan doa yang diucapkan dengan mulut perlahan-lahan diterima oleh akal budi untuk selanjutnya turun ke hati dan menciptakan hati yang cerdas, dengan menyatukan batin manusia dari dalam dan membuatnya menjadi utuh. ↩
- Fransiskus, Audiensi umum (15 Januari 2014). ↩
- Benediktus XVI, Ensiklik Deus caritas est (25 Desember 2005), 17. ↩
- EG 175. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 121. ↩
- Bdk. Benediktus XVI, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru (30 Mei 2011). ↩
- KGK 1074. ↩
- CT 23. ↩
- Bdk. Benediktus XVI, Anjuran apostolik Sacramentum caritatis (22 Februari 2007), 64. ↩
- Tertullianus, Apologeticum, 50, 13; CCL 1, 171 (PL 1, 603). ↩
- Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et ratio (14 September 1998), 99. ↩
- Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Donum veritatis (24 Mei 1990), 7. ↩
- EN 20. ↩
- Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 85. ↩
- EG 167. Bdk. Dewan Kepausan untuk Budaya, Via pulchritudisnis, perjalanan evangelisasi dan dialog (2006). ↩
- KHK kan. 759; bdk. juga KKGKT kan. 624 § 3. ↩
- CT 13. ↩
- PUK 219. ↩
- Bdk. Fransiskus, Homili Misa Kudus pada Hari Katekis dalam kesempatan Tahun Iman (29 September 2013). ↩
- Bdk. EG 169-173: proses formatif, yakni pendampingan pribadi dalam proses pertumbuhan, memudahkan pematangan tindakan iman dan intenalisasi kebajikan-kebajikan kristiani. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinodal Pastores gregis (Gembala-gembala kawanan, 16 Oktober 2003), 26. Bdk. DGC 222. ↩
- CT 63, bdk. juga KHK kan. 775 § 1; KKGKT kan. 623 § 1. ↩
- Bdk. juga KHK kan. 780. ↩
- Bdk. Kongregasi untuk Klerus Direktorium untuk pelayanan dan hidup para imam (11 Februari 2013), 65. Bdk PUK 224. ↩
- Yohanes Paulus II, Pidato kepada para peserta Sidang “Tugas dari para imam dalam katekese di Eropa” (8 Mei 2003). 3. ↩
- Kongregasi untuk Pendidikan Katolik – Kongregasi untuk Klerus, Direktorium untuk pelayanan dan hidup para diakon permanen (22 Februari 1998), 25. ↩
- Ibid. 26. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik Vita consecrata (25 Maret 1996), 20. ↩
- PUK 229. ↩
- KGK 429. ↩
- PUK 231. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik Familiaris consortio (22 November 1981), 38. ↩
- AL 200. ↩
- AL 85. ↩
- RICA 43. ↩
- Bdk. KHK kan. 874; KKGKT kan. 685. ↩
- Bdk. Fransiskus, Audiensi umum (4 dan 11 Maret 2015). ↩
- Benediktus XVI, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Keluarga (5 April 2008). ↩
- PUK 254. ↩
- PUK 237. Bdk. juga Kongregasi untuk Klerus, Petunjuk Umum Katekese (11 April 1971), 31. ↩
- PUK 237. Bdk. EG 171: “Lebih daripada sebelumnya kita memerlukan laki-laki dan perempuan yang, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi orang-orang lain, akrab dengan proses-proses.” ↩
- Bdk. Yohanes Paulus II, Pidato pada Vigili doa pada akhir Hari Orang Muda Sedunia ke XV (19 Agustus 2000): proses untuk mengalami secara nyata pematangan satu sikap iman sebagai unsur perubahan batin telah dikemukakan oleh Yohanes Paulus II sebagai satu laboratorium iman. ↩
- EG 121. ↩
- PUK 239. ↩
- Tentang aspek khusus ini, bdk. nomor 88-89 (Pengantar kepada hidup berkomunitas) dari Petunjuk ini. ↩
- Fransiskus, Surat apostolik Vos estis lux mundi (kamu adalah terang dunia, 7 Mei 2019). ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 74. ↩
- EG 132; bdk. juga Sinode para Uskup, Sidang Umum Biasa XIII, Evangelisasi baru untuk penerusan iman kristiani. Daftar rancangan (27 Oktober 2012), 17. ↩
- Bdk. PUK 243. ↩
- PUK 244. ↩
- Bdk. Kongregasi untuk Klerus, Anugerah panggilan imam. Ratio Fundamentalis Sacerdotalis (8 Desember 2016), khususnya nomor 59, 72, 157b, 177, 181, 185. ↩
- CT 9. ↩
- EG 1. ↩
- EG 259. ↩
- PUK 141; bdk. juga KGK 169. ↩
- EG 41. ↩
- KGK 234. ↩
- PUK 98. ↩
- Bdk. KGK 512 dst. ↩
- PUK 107. ↩
- Bdk. Fransikus, Ensiklik Laudato si’ (24 Mei 2015), 17-52. ↩
- EG 237. ↩
- KGK 1697. ↩
- EG 24. ↩
- EG 167. ↩
- Dalam EG no. 165 disebutkan secara langsung beberapa “ciri pewartaan yang saat ini paling diperlukan di mana-mana.” ↩
- Fransikus, Ensiklik Lumen fidei (29 Juni 2013). ↩
- PUK 105. ↩
- CT 30. ↩
- EG 36. ↩
- Bdk. PUK 147; GE 1-4; CT 58. ↩
- Bdk. Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum (11 Oktober 1992), I; KGK 11. ↩
- PUK 124. ↩
- Fransikus, Ensiklik Lumen Fidei (29 Juni 2013), 46. ↩
- Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum (11 Oktober 1992), IV. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat apostolik Laetamur magnopere (15 Agustus 1997). ↩
- Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum (11 Oktober 1992), I. ↩
- KGK 102. ↩
- Agustinus dari Hippo, Enaratio in Psalmum 103, 4, 1: CCL 40, 1521 (PL, 37, 1378). ↩
- Teks Kis 2: 42 telah dikutip pada nomor 79 Petunjuk ini: dari dimensi-dimensi fundamental kehidupan kristiani muncul tugas-tugas katekese dan, karena itu, susunan Katekismus Gereja Katolik. ↩
- Bdk. KGK 24. ↩
- Benediktus XVI, Surat apostolik, Porta fidei (11 Oktober 2011), 11. ↩
- Benediktus XVI, Motu proprio untuk persetujuan dan penerbitan Kompendium Katekismus Gereja Katolik (28 Juni 2005). ↩
- Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Pengantar dari Kardinal Joseph Ratzinger (20 Maret 2005), 4. ↩
- CT 51. ↩
- CT 55. ↩
- PUK 155. ↩
- KGK 170-171. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru (29 Juni 2015). ↩
- Bdk. Yohanes Paulus II, Surat apostolik Duodeciumm saeculum (4 Desember 1987), 11. ↩
- Adversus Constantinum Caballinum, 10: PG 95, 325. ↩
- Agustinus dari Hippo, Confessiones, 9, 6, 14: CCL 27, 141 (PL 32, 769-770). ↩
- EG 167. ↩
- Tentang kebudayaan digital secara umum, bdk. no. 359-372 (Katekese dan kebudayaan digital)Petunjuk ini. ↩
- Benediktus XVI, Pesan pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke XLVII (24 Januari 2013). ↩
- Fransikus, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial (21 September 2013). ↩
- EG 87. ↩
- Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor hominis (4 Maret 1979), 13. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik, Familiaris consortio (22 November 1981), 15. ↩
- AL 86. ↩
- PUK 255. ↩
- AL 200; bdk. juga EG 1. ↩
- AL 58; bdk. juga EG 35 dan 164. ↩
- AL 289. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik Familiaris consortio (22 November 1981), 53. ↩
- Bdk. AL 205-216. ↩
- AL 207. ↩
- Bdk. AL 217-230. ↩
- AL 41. ↩
- AL 78. ↩
- AL 297. ↩
- EG 160. ↩
- PUK 177. ↩
- Bdk. Fransiskus, Surat apostolik Admirabile signum (1 Desember 2019). ↩
- ChV 100. ↩
- Paulus VI, Amanat untuk beatifikasi Nunsius Sulprizio (1 Desember 1963). ↩
- Istilah praremaja mempunyai arti yang berbeda-beda dalam berbagai budaya. Di sini menunjukkan waktu yang dimulai dengan pubertas dan berlangsung kira-kira dari usia 10 sampai 14 tahun. Di tempat lain momen ini disebut sebagai remaja awal (early adolescence), sementara istilah preadolescence menunjukkan tahap akhir masa kanak-kanak (9-10 tahun). ↩
- Fransiskus, Pidato pada Sidang Pastoral Keuskupan Roma (19 Juni 2017). ↩
- Sinode Para Uskup, Sidang Umum Biasa ke XV, Dokumen final (27 Oktober 2018), 63. ↩
- ChV 204. ↩
- ChV 213. ↩
- Bdk. ChV, bab VIII. ↩
- Bdk. ChV 219-220. ↩
- Sinode Para Uskup, Sidang Umum Biasa ke XV, Dokumen final (27 Oktober 2018), 133. ↩
- CT 44. ↩
- Bdk. EG 127-129. ↩
- Fransiskus, Audiensi umum (4 Maret 2015). ↩
- PUK 187. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta pada Sidang untuk orang-orang difabel (11 Juni 2016). ↩
- Bdk. Fransiskus, Pidato di depan para peserta Sidang “Katekese dan orang-orang difabel (Oktober 2017). ↩
- Bdk. AL 47. ↩
- Bdk. Benediktus XVI, Anjuran apostolik Sacramentum caritatis (22 Februari 2007), 58. ↩
- Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in veritate (29 Juni 2009), 62. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Kongres pelayanan pastoral para migran ke VII (21 November 2014), 6. ↩
- Ibid., 4. Bdk. juga Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Pastores gregis (16 Oktober 2003), 72. ↩
- Dewan Kepausan untuk Pastoral para Migran dan Perantau, Egra migrantes charitas Christi (3 Mei 2004), 41. ↩
- Bdk. Ibid., 49. ↩
- Dalam KHK: misi dengan pemeliharaan jiwa-jiwa atau “quasi paroki” (kanon 518); paroki-paroki personal (kanon 518); kapelan-kapelan (kanon 564 dst.); prelatur personal (kanon 294 dst.); imam-imam dan vikaris episkopal (kanon 383 § 2). Dalam KKGKT: kanon 16, 38, 147-148, 193, 588, 916. Sehubungan dengan umat beriman Katolik ritus Timur di dalam wilayah Latin, bdk. Fransiskus, Surat apostolik, De concordia inter codices (31 Mei 2016). ↩
- Bdk. KHK kanon 851, 889, 913-914, 1063. ↩
- Paulus VI, Amanat pada awal Sesi kedua Konsili Vatikan II (29 September 1963). Bdk. EG 209-212. ↩
- Fransiskus, Surat apostolik Misericordia et misera (20 November 2016), 19. ↩
- EG 200. ↩
- Fransiskus, Homili dalam Misa Kudus untuk Yubileum para narapidana (6 November 2016). ↩
- Ibid. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode Verbum Domini, (30 September 2010), 3. ↩
- EG 174. ↩
- EG 22. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran aspostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 93. ↩
- EN 23. ↩
- Agustinus dari Hippo, In Iohannis evangelium tractatus, 12: 5: CCL 36, 123 (PL 35, 1486). ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode Verbum Domini (30 September 2010), 55. ↩
- EG 111. ↩
- EG 120. ↩
- Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Surat Iuvenescit Ecclesia (15 Mei 2016), 10. ↩
- Fransiskus, Pidato peringatan ulang tahun yang ke-50 Penetapan Sinode para Uskup (17 Oktober 2015); bdk. juga EG 171. ↩
- Kongregasi untuk Gereja-Gereja Timur, Instruksi untuk penerapan norma-norma liturgis dari Kitab Kanon Gereja-Gereja (Katolik) Timur (6 Januari 1996), 10. ↩
- KKGKT kanon 621 § 2. ↩
- Kongregasi untuk Gereja-Gereja Timur, Instruksi untuk penerapan, op. cit., 30. ↩
- KKGKT kanon 41. ↩
- PUK 217. Dalam seluruh dokumen, istilah Gereja partikular merujuk pada keuskupandan semua yang bergabung kepadanya (KHK kanon 368). Istilah Gereja lokal mengacu pada kumpulan Gereja-Gereja partikular, yang didirikan di suatu wilayah atau negara, atau juga dalam kumpulan negara-negara yang disatukan oleh ikatan-ikatan tertentu. ↩
- EG 30. ↩
- EN 62. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 26. ↩
- PUK 257. ↩
- EG 28; bdk. juga Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 26. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Ecclesia in America (22 Januari 1999), 41. ↩
- EG 30. ↩
- Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 72. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 29. ↩
- Ibid. 30. Kriteria kegerejaan adalah: keutamaan yang diberikan kepada panggilan setiap orang kristiani menuju kekudusan; tanggung jawab mengakui iman Katolik; kesaksian akan persekutuan yang teguh dan pasti, dalam relasi sebagai anak dengan Paus dan dengan Uskup; kesesuaian dan partisipasi pada tujuan kerasulan Gereja; komitmen kehadiran dalam masyarakat manusiawi. ↩
- EG 29. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 51; bdk. juga EN 58. ↩
- Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pascasinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 62; bdk. PUK 261. ↩
- Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik. Lineamenta untuk refleksi dan revisi (7 April 1988), 31. ↩
- Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Sekolah Katolik pada awal milenium ketiga (28 Desember 1997), 11. ↩
- Ibid. 9. ↩
- Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Mendidik untuk dialog antarbudaya di sekola-sekolah Katolik. Hidup dalam keselarasan demi peradaban kasih (28 Oktober 2013), 74. ↩
- PUK 73. ↩
- Benediktus XVI, Anjuran apostolik pascasinode, Verbum Domini (30 Setember 2010), 111. ↩
- Benediktus XVI, Pidato kepada para peserta dalam pertemuan guru-guru agama Katolik (25 April 2009). ↩
- Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Mendidik untuk dialog, op. cit., 72. ↩
- PUK 74. ↩
- Bdk. KHK kanon 804 § 2 dan kanon 805. ↩
- EG 176. ↩
- Model polyhedron dipakai terutama untuk menjelaskan hubungan antara lokalisasi dan globalisasi; bdk. EG 236 dan Fransiskus, Pesan untuk Perayaan ke III Ajaran Sosial Gereja (21 November 2013). Model ini juga dapat menerangkan refleksi atas makna karisma-karisma dan karunia-karunia dalam kesatuan gerejani; bdk. Fransiskus, Pidato pada gerakan Pembaruan dalam Roh (3 Juli 2015) dan ChV 207. Akhirnya, polyhedron menyertai dinamika discernment pastoral dalam situasi kompleks: bdk. AL 4. Dalam pengertian terakhir inilah yang dimaksudkan itu. ↩
- EG 64. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Kongres internasional tentang pastoral dari kota-kota besar” (27 November 2014). ↩
- EG 73. ↩
- EG 71. ↩
- Sidang Umum ke V Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 518. ↩
- EG 74. ↩
- EG 75. ↩
- EG 73. ↩
- EG 62. ↩
- EG 68. ↩
- EG 116; bdk. juga Yohanes Paulus II, Surat apostolik Novo millenio ineunte (6 Januari 2001), 295. ↩
- PUK 195; bdk. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen-sakramen, Pedoman tentang kesalehan umat. Prinsip-prinsip dan petunjuk (17 Desember 2001). ↩
- EG 124; bdk. juga Sidang Umum ke V para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 262-263. ↩
- EG 125. ↩
- EN 48. ↩
- Bdk. EG 69. ↩
- Sidang Umum ke V para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 264. ↩
- EG 122. ↩
- EG 126. ↩
- EN 48. ↩
- Fransiskus, Surat apostolik Sanctuarium in Ecclesia (11 Februari 2017). ↩
- Dewan Kepausan untuk Pastoral Bagi para Migran dan Perantau, Tempat suci, ingatan, kehadiran, dan nubuat Allah yang hidup (8 Mei 1999), 10. ↩
- Sidang Umum ke V para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Documento di Aparecida (30 Mei 2007), 259. ↩
- Tentang ciri khas dialogis Gereja, bdk. no. 53-54 (Katekese sebagai laboratorium dialog) dari Direktorium ini. ↩
- Itulah yang disebut “ekumene darah”: bdk. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Tertio millenio adveniente (10 November 1994), 37; Fransikus, Homili pada Vesper Solemnitas Pertobatan St. Paulus (25 Januari 2016). ↩
- Bdk. En 77 dan EG 244. ↩
- Dewan Kepausan untuk Promosi Persatuan Orang-orang Kristiani, Direttorio per l’applicazione dei principi e delle norme sull’ecumenismo (25 Maret 1993), 61. Bdk. juga Yohanes Paulus II. ↩
- CT 33. ↩
- EG 246. ↩
- KGK 839. Bdk. Komisi untuk Hubungan Religius dengan Yudaisme, Tujuan-tujuan dan saran-saran untuk aplikasi atas pernyataan konsili Nostra Aetate no. 4 (1 Desember 1974); Ibid. Bantuan untuk presentasi tentang orang-orang Yahudi dan Yudaisme dalam kotbah dan katekese dari Gereja Katolik (24 Juni 1985); Ibid. « Karena karunia-karunia dan pangglan Allah tak dapat dibatalkan » (Rm 11: 29). Refleksi tentang persoalan-persoalan teologis yang terkait dengan relasi Katolik-Yudaisme pada kesempatan ulang tahun ke 50 Nostra Aetate no. 4 (10 Desember 2015). Bdk. juga EG 247-249. ↩
- Komisi untuk Hubungan Religius dengan Yudaisme, « Karena karunia-karunia dan panggilan Allah tak dapat dibatalkan », op. cit., 14. ↩
- Ibid. 25. ↩
- Bdk. EN 53; Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 55-57; Dewan Kepausan untuk Dialog Interreligius – Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-bangsa, Dialog dan pewartaan. Refleksi dan Orientasi untuk dialog interreligius (19 Mei 2014); Fransiskus – Ahmad Al-Tayyeb, Dokumen tentang persaudaraan manusiawi untuk kedamaian dunia dan kehidupan bersama (4 Februari 2019). ↩
- Bdk. EG 252-254. ↩
- Dewan Kepausan untuk Kebudayaan – Dewan Kepausan untuk Dialog Interreligius, Yesus Kristus pembawa air hidup. Sebuah refleksi kristiani tentang “New Age” (2003). ↩
- EG 63. ↩
- Di antara semua dokumen tersebut, yang paling menonjol adalah ensiklik Fides et Ratio dari YOHANES PAULUS II, yang secara khusus didedikasikan untuk tema ini. Lihat juga beberapa bagian dari Dokumen Konsili Vatikan II: GS 5, 36, 57, 62 ; OT 13, 15 dan AA 7 ; dan beberapa nomor artikel dari KGK : 31-34, 39, 159, 2292-2296, 2417. Selain itu, Paus juga telah menyampaikan sejumlah pidato di Universitas, di hadapan para ilmuwan, dan para penggiat budaya. ↩
- Scientisme mereduksi fenomena manusia yang kompleks menjadi komponen materialnya saja. Menurut pandangan ini, karena realitas spiritual, etika dan agama, tidak dapat dialami secara empiris, maka realitas tersebut tidaklah nyata dan terbatas pada imajinasi subjektif belaka. Bdk. YOHANES PAULUS II, surat ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 88. ↩
- EG 242. ↩
- EG 132. ↩
- Bdk. YOHANES PAULUS II, Pidato di Akademi Pontifikal Ilmu Pengetahuan (13 November 2000). ↩
- ChV 86. ↩
- ChV 87. ↩
- ChV 88. ↩
- ChV 89. ↩
- ChV 89. ↩
- Fransiskus, Ensiklik Laudato si' (24 Mei 2015), 47. ↩
- Fransiskus, Pidato kepada para peserta Pertemuan kenangan ulang tahun ke XXV Katekismus Gereja Katolik (11 Oktober 2017). ↩
- Ibid.; bdk. juga CCC 2267 (edisi baru 1 Agustus 2018). ↩
- Fransiskus, Surat ensiklik Laudato si’ (24 Mei 2015), 105. ↩
- Bdk. secara khusus Paulus VI, Octogesima adveniens (14 Mei 1971); Yohanes Paulus II, Centesimus annus (1 Mei 1991); Benediktus XVI, Caritas in veritate (29 Juni 2009). Ensiklik Laudato si’ dari Paus Fransiskus memiliki tempat yang menonjol terkait permasalahan ekologis. ↩
- Yohanes Paulus II, Pesan pada Hari Perdamaian Sedunia 1990 (8 Desember 1989), 15. ↩
- Fransiskus, Surat ensiklik Laudato si’ (24 Mei 2015), 64. ↩
- Bdk. Ibid. bab II dan CCC 279-384. ↩
- Hendaknya dilihat, dalam ensiklik Laudato Si’, indikasi tentang tingkah laku yang menghalangi: no. 14; tentang motivasi: no. 62-64 dan 216; tentang aksi nyata: bab V-VI. ↩
- Bdk. Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Sollicitudo rei socialis (30 Desember 1987), 42. ↩
- Untuk mengetahui Magisterium tentang opsi kepada orang-orang miskin dalam dua abad terkahir, bdk. Leo XIII, Rerum novarum (15 Mei 1891); Pius XI, Quadragesimo anno (15 Mei 1931); Yohanes XXIII, Mater et magistra (15 Mei 1961); Konsili Ekumenis Vatikan II, Gaudium et spes (7 Desember 1965); Paulus VI, Populorum progressio (26 Maret 1967); Yohanes Paulus II, Sollicitudo rei socialis (30 Desember 1987); Ibid., Centesimus annus (1 Mei 1991); Konsili Kepausan tentang Keadilan dan Damai, Compendio della Dottrina della Chiesa (2 April 2004); Benediktus XVI, Caritas in veritate (29 Juni 2009). ↩
- EG 198. ↩
- EG 198. ↩
- Fransiskus, Pesan untuk Pekan Orang-orang Miskin Sedunia ↩
- EG 180; bdk. juga EG 178-185. ↩
- Bdk. Paulus VI, Surat ensiklik Populorum progressio (26 Maret 1967), 14. ↩
- EG 183. ↩
- Untuk suatu pandangan sintesis ajaran sosial Gereja hendaknya dilihat: Dewan Kapausan untuk Keadilan dan Kedamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2 April 2004). ↩
- Fransiskus, Surat ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 231; bdk. juga Benediktus XVI, Surat ensiklik Caritas in veritate (29 Juni 2009), 2. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Laborem exercens (14 September 1981), 1. ↩
- EN 63. ↩
- EG 122. ↩
- EG 129. ↩
- CT 4. Tentang tema inkulturasi iman di berbagai wilayah geografis, penting adanya anjuran-anjuran apostolik sesudah Sinode-sinode kontinental: Yohanes Paulus II, Ecclesia in Africa (14 September 1995); Ibid., Ecclesia in America (22 Januari 1999); Ibid., Ecclesia in Asia (6 November 1999); Ibid., Ecclesia in Oceania (22 November 2001); Ibid., Ecclesia in Europa(28 Juni 2003); Benediktus XVI, Africae munus (19 September 2011); Ibid., Ecclesia in Medio Oriente (14 September 2012); Fransiskus, Querida Amazonia (2 Februari 2020). ↩
- Bdk. PUK 203; bdk. juga CT 53. ↩
- PUK 204; bdk. juga EN 20. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat ensiklik Redemptoris missio (7 Desember 1990), 54. ↩
- Tentang konteks-konteks budaya kontemporer, bdk. Bab X dari Pedoman ini. ↩
- EG 129. ↩
- Bdk. KHK kanon 775 § 1. ↩
- Bdk. KHK kanon 775 § 2. ↩
- CT 53. ↩
- Tentang empat dimensi kehidupan kristiani, bdk. no. 79-87 (Tugas katekis) dan no. 189 (Sumber-sumber dan struktur Katekismus) dari Pedoman ini. Beberapa Katekismus mempunyai struktur trinitaris atau digambarkan menurut momen-momen sejarah keselamatan atau menurut tema biblis atau teologis (misalnya: perjanjian, Kerajaan Allah). Yang lain, sebaliknya, disusun berdasarkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang arti atau berdasarkan tahap-tahap perkembangan manusiawi dan spiritual atau berdasarkan beberapa stuasi khusus kehidupan dari subjek. ↩
- EG 167. ↩
- EG 11. ↩
- PUK 285. ↩
- Benediktus XVI, Surat apostolik Fides per doctrinam (16 Januari 2013). ↩
- KKGKT kanon 621 § 1. ↩
- Bdk. KKGKT kanon 621 § 3. ↩
- Bdk. KKGKT kanon 622. ↩
- KHK kanon 775 § 3. ↩
- Yohanes Paulus II, Surat apostolik Apostolos suos (21 Mei 1998), 18. ↩
- Bdk. PUK 282. Teks-teks tersebut disebut dengan berbagai cara: Direktorium kateketik, Orientasi kateketik, Dokumen dasar, Teks referensi, dan lain-lain. ↩
- EG 111. ↩
- Kantor kateketik keuskupan (officium catecheticum) didirikan dengan dekrit Provido Sane; bdk. Kongregasi Suci untuk Dewan, Dekrit Provido Sane (12 Januari 1935); bdk. KHK kanon 775 § 1. ↩
- PUK 279. ↩
- EG 50. ↩
- PUK 272. ↩
- PUK 274. ↩
- PUK 275. ↩
- PUK 281. ↩
- Tentang prinsip-prinsip umum pembinaan para katekis, bdk. Bab IV dari Pedoman ini. ↩
- KGK 149 ↩
Sebagian nomor dari Pedoman Katekese ini diterjemahkan dari dokumen versi bahasa perancis, dalam perbandingan dengan versi bahasa inggris; sebagian lagi diambil dari dokumen versi bahasa indonesia. (kembali ke Daftar Isi) ↩
#evangelisasi #katekese #pedoman_katekese