Evangelii Gaudium
EVANGELII GAUDIUM
SERUAN APOSTOLIK
BAPA SUCI FRANSISKUS
TENTANG
PEWARTAAN INJIL KEPADA DUNIA DEWASA INI
PENGANTAR
1. Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Mereka yang menerima tawaran penyelamatan-Nya dibebaskan dari dosa, penderitaan, kehampaan batin dan kesepian. Bersama Kristus sukacita senantiasa dilahirkan kembali. Dalam Seruan ini saya ingin mendorong umat Kristiani untuk mengawali bab baru evangelisasi yang ditandai oleh sukacita ini, seraya menunjukkan jalan-jalan baru bagi perjalanan Gereja di tahun-tahun mendatang.
I. SUKACITA YANG SENANTIASA BARU, SUKACITA YANG DIBAGIKAN
2. Bahaya besar dalam dunia sekarang ini, yang diliputi oleh konsumerisme, adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan sembrono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang. Ini merupakan bahaya yang sangat nyata bagi kaum beriman juga. Banyak orang menjadi korban, dan berakhir dengan rasa benci, marah dan lesu. Itu bukan jalan hidup yang dipenuhi martabat; ini bukanlah kehendak Allah bagi kita, juga bukan hidup dalam Roh yang bersumber pada hati Kristus yang bangkit.
3. Saya mengajak seluruh umat Kristiani, di mana pun, pada saat ini juga, untuk membarui perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus, atau setidaknya terbuka untuk membiarkan-Nya menjumpai kalian; saya mengajak Anda semua untuk melakukan hal ini tanpa henti setiap hari. Tak seorang pun perlu berpikir bahwa ajakan ini tidak bermakna baginya, karena “tak seorang pun dikecualikan dari sukacita yang dibawa oleh Allah!”[1] Allah tidak mengecewakan mereka yang mengambil risiko ini; kapan pun kita melangkah menuju Yesus, kita menjadi sadar bahwa Dia sudah ada di sana, menunggu kita dengan tangan terbuka. Sekarang saatnya mengatakan pada Yesus, “Tuhan, saya telah membiarkan diriku tertipu; dengan beribu cara saya telah menjauhkan diri dari kasih-Mu, namun di sini saya sekali lagi, memperbarui perjanjian saya dengan-Mu. Saya membutuhkan-Mu. Selamatkan saya sekali lagi, ya Allah, bawalah saya sekali lagi ke dalam pelukan-Mu yang menebus.” Betapa sangat baiknya kita rasakan kembali kepada-Nya ketika kita tersesat! Perkenankan saya mengatakan sekali lagi: Allah tak pernah lelah mengampuni kita; kita adalah orang-orang yang lelah mencari belas kasihan-Nya. Kristus, yang menyuruh kita untuk mengampuni satu sama lain “tujuh puluh kali tujuh” (Mat. 18:22), telah memberikan teladan-Nya kepada kita; Dia telah mengampuni kita tujuh puluh kali tujuh. Berkali-kali Dia memanggul kita pada bahu-Nya. Tak seorang pun dapat menelanjangi martabat yang dianugerahkan kepada kita oleh kasih yang tanpa batas dan tak habis-habisnya. Dengan kelembutan yang tak pernah mengecewakan, namun selalu mampu memulihkan sukacita, Dia memungkinkan kita mengangkat kepala dan memulai baru. Jangan kita lari dari kebangkitan Kristus, jangan kita pernah menyerah, apa pun yang akan terjadi. Tak ada suatu pun yang lebih daripada hidupNya, yang terus mendorong kita maju!
4. Perjanjian Lama meramalkan bahwa sukacita keselamatan akan dipenuhi di zaman mesianis. Nabi Yesaya dengan penuh kegembiraan menghormati Mesias yang ditunggu, “Engkau telah menimbulkan banyak sorak dan sukacita yang besar” (9:2). Ia berseru kepada orang yang tinggal di Sion untuk berangkat menemui-Nya dengan nyanyian, “Berserulah dan bersorak-sorailah!” (12:6). Nabi mengatakan kepada mereka yang telah melihat-Nya dari jauh untuk membawa pesan tersebut kepada yang lain, “Hai Sion, pembawa kabar baik, naiklah ke atas gunung yang tinggi! Hai Yerusalem, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat” (40:9). Seluruh ciptaan berbagi sukacita keselamatan, “Bersorak-sorailah, hai langit, bersorak-soraklah, hai bumi, dan bergembiralah dengan sorak-sorai, hai gunung-gunung! Sebab Tuhan menghibur umat-Nya dan menyayangi orang-orang-Nya yang tertindas.” (49:13)
Zakharia, dengan melihat hari Tuhan, mengundang bangsanya untuk menyambut Sang Raja yang datang “dengan lemah-lembut dan mengendarai seekor keledai,” “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya.” (9:9)
Barangkali undangan yang paling menarik ialah undangan Nabi Zefanya, yang menghadirkan Tuhan dengan umat-Nya di tengah-tengah perayaan yang berlangsung dengan sukacita keselamatan. Saya tergetar membaca kembali teks ini, “Tuhan Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai, seperti pada hari pertemuan raya.” (3:17-18)
Inilah sukacita yang kita alami sehari-hari, di tengah berbagai hal kecil dalam hidup, sebagai tanggapan atas undangan kasih Allah Bapa kita, “Anakku, apabila ada milik hendaklah baik memelihara dirimu, tetapi juga sampaikanlah persembahan yang patut kepada Tuhan... Kebahagiaan sekarang jangan kautolak dari dirimu sendiri.” (Sir. 14:11,14). Betapa kasih kebapaan yang lemah-lembut bergema dalam kata-kata ini!
5. Injil, yang bersinar dengan kemuliaan salib Kristus, terus-menerus mengajak kita untuk bersukacita. Beberapa contoh sudah cukup. “Bersukacitalah!” adalah salam malaikat kepada Maria (Luk. 1:28). Kunjungan Maria kepada Elisabet membuat Yohanes melonjak kegirangan dalam rahim ibunya (bdk. Luk. 1:41). Dalam nyanyian pujiannya, Maria menyatakan, “Hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk. 1:47). Ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, Yohanes berseru, “Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh” (Yoh. 3:29). Yesus sendiri “bergembira dalam Roh Kudus” (Luk. 10:21). Pesan-Nya membawa sukacita bagi kita, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” (Yoh. 15:11). Sukacita Kristiani kita memancar dari hati-Nya yang meluap. Ia berjanji kepada pada murid-Nya, “kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita” (Yoh. 16:20). Kemudian Ia melanjutkan berkata, “tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira, dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yoh. 16:22). Para murid “bersukacita” (Yoh. 20:20) melihat Yesus yang bangkit. Dalam Kitab Para Rasul kita membaca bahwa umat Kristiani perdana “makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati” (2:46). Kemana pun para murid pergi, “sangatlah besar sukacita” (8:8); bahkan di tengah-tengah penganiayaan mereka terus “penuh dengan sukacita” (13:52). Sida-sida yang baru dibaptis pun “meneruskan perjalanannya dengan sukacita” (8:39), sementara orang yang memenjarakan Paulus, “sangat bergembira, bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah” (16:34). Mengapa kita tidak juga masuk dalam aliran besar sukacita ini?
6. Ada umat Kristiani yang hidupnya seperti masa Prapaskah tanpa Paskah. Saya tentu saja menyadari bahwa sukacita tidak selalu diungkapkan dengan cara yang sama dalam hidup, terutama pada saat-saat yang sangat sulit. Sukacita menyesuaikan diri dan berubah, tetapi sekurang-kurangnya tetap, bahkan seperti secercah cahaya yang muncul dari keyakinan pribadi bahwa dirinya dicintai tanpa batas, melebihi segalanya. Saya mengerti dukacita mereka yang harus bertahan dalam penderitaan besar, namun sedikit demi sedikit kita semua harus membiarkan sukacita iman perlahan-lahan mulai bangkit sebagai suatu kepercayaan yang tenang tapi teguh, bahkan dalam kesulitan terbesar, “Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan; aku lupa akan kebahagiaan... Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! ... Adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan” (Rat. 3:17, 21-23, 26).
7. Kadang-kadang kita dicobai untuk mencari alasan dan mengeluh, bertindak seolah-olah kita hanya dapat bahagia jika seribu syarat terpenuhi. Sampai batas tertentu hal ini disebabkan karena “masyarakat teknologi kita telah berhasil melipatgandakan kesempatan kesenangan, namun telah menemukan betapa sulit melahirkan sukacita.”[2] Saya dapat mengatakan bahwa ungkapan sukacita yang paling indah dan alamiah yang pernah saya lihat dalam hidup adalah dalam diri orang miskin yang hanya memiliki sedikit yang bisa diandalkan. Juga, saya memikirkan tentang sukacita nyata yang ditunjukkan oleh orang lain, yang di tengah tekanan kewajiban pekerjaannya, dalam sikap teguh dan kesederhanaan, mampu memelihara sebuah hati yang penuh iman. Dengan cara mereka sendiri, semua contoh sukacita ini mengalir dari kasih Allah yang tanpa batas, yang telah mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada kita dalam Yesus Kristus. Saya tak pernah lelah mengulangi kata-kata Benediktus XVI yang membawa kita kepada inti Injil, “Menjadi seorang Kristiani bukanlah hasil dari pilihan etis atau gagasan mulia, melainkan perjumpaan dengan suatu kejadian, seseorang, yang memberikan cakrawala baru dan arah yang menentukan dalam hidup.”[3]
8. Hanya berkat perjumpaan –atau perjumpaan yang dibarui– dengan kasih Allah ini, yang berkembang dalam suatu persahabatan yang memperkaya, kita dibebaskan dari kesempitan dan keterkungkungan diri. Kita menjadi manusia sepenuhnya ketika kita menjadi lebih dari manusiawi, ketika kita membiarkan Allah membawa kita melampaui diri kita sendiri supaya mencapai kepenuhan kebenaran dari keberadaan kita. Di sini kita menemukan sumber dan ilham dari semua upaya evangelisasi kita. Karena, jika kita telah menerima kasih yang memulihkan makna pada hidup kita, bagaimana kita tak mampu membagikan kasih tersebut pada sesama?
II. SUKACITA YANG MENGGEMBIRAKAN DAN MENGHIBUR UNTUK MEWARTAKAN INJIL
9. Kebaikan selalu cenderung menyebar. Setiap pengalaman autentik tentang kebenaran dan kebaikan pada dasarnya akan berkembang dalam diri kita, dan siapa pun yang telah mengalami pembebasan mendalam menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Ketika pengalaman itu meningkat, kebaikan berakar dan berkembang. Jika kita ingin mengarahkan hidup dengan martabat dan kepenuhan, kita harus menjangkau orang-orang lain dan menemukan kebaikan mereka. Dalam arti ini, beberapa ungkapan Santo Paulus tidak akan mengejutkan kita, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami” (2Kor. 5:14); “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor. 9:16).
10. Injil menawarkan pada kita kesempatan untuk menghayati hidup pada taraf yang lebih tinggi, tetapi tanpa mengurangi intensitasnya: “Hidup bertumbuh dengan dibagikan, dan menjadi lemah dalam pengasingan dan kenyamanan. Sesungguhnya, mereka yang paling beruntung adalah mereka yang mengesampingkan rasa aman dan menjadi berse-mangat dengan perutusan mengomunikasikan hidup pada sesama.”[4] Ketika Gereja meminta umat Kristiani menerima tugas pewartaan, ia sungguh-sungguh sedang menunjukkan sumber pemenuhan pribadi yang autentik. Karena “di sini kita menemukan hukum kenyataan yang mendalam: bahwa hidup tercapai dan menjadi matang sejauh ditawarkan sebagai pemberian kepada sesama. Tentu saja, inilah apa yang dimaksud dengan perutusan.”[5] Konsekuensinya, seorang pewarta Injil tidak pernah boleh seperti orang yang baru pulang dari pemakaman! Marilah kita memulihkan dan memperdalam semangat kita, sehingga ada “sukacita yang menggembirakan dan menghibur untuk mewartakan kabar baik, bahkan bila dengan deraian air mata kita, kita harus menabur... Dan semoga dunia zaman kita, yang sedang mencari, kadangkala dengan kecemasan, kadangkala dengan harapan, mampu menerima kabar baik bukan dari para pewarta yang murung, putus asa, tidak sabar atau kuatir, tetapi dari para pelayan Injil yang hidupnya semarak dengan semangat, yang telah menerima lebih dulu sukacita Kristus.”[6]
Kebaruan yang abadi
11. Pembaruan pewartaan dapat memberikan kepada kaum beriman, juga mereka yang enggan dan tidak menjalankan iman mereka, sukacita baru dalam iman dan keberhasilan dalam karya pewartaan. Inti pesan ini akan selalu sama: Allah yang telah menyatakan kasih-Nya yang amat besar dalam Kristus yang disalib dan bangkit. Allah terus-menerus membarui umat beriman-Nya, berapa pun usia mereka, “Mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yes. 40:31). Kristus adalah Injil yang kekal (Why. 14:6); Dia “tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8), namun kekayaan dan keindahan-Nya tiada habisnya. Dia senantiasa muda dan merupakan sumber kebaruan yang tetap. Gereja tak pernah tidak mengagumi “alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah” (Rom. 11:33). Santo Yohanes dari Salib mengatakan bahwa “rumpun kebijaksanaan dan pengetahuan Allah sangat dalam dan sangat luas sehingga jiwa, betapapun banyaknya telah mengetahui hal itu, dapat selalu masuk lebih dalam menuju kedalamannya.”[7] Atau sebagaimana ditulis oleh Santo Ireneus, “Melalui kedatangan-Nya, Yesus membawa serta pada-Nya segala kebaruan.”[8] Dengan kesegaran ini Dia selalu mampu memperbarui hidup kita dan masyarakat kita, dan bahkan jika pesan Kristiani telah melintasi masa-masa kegelapan dan kelemahan-kelemahan gerejawi, pesan itu tak pernah menjadi tua. Yesus juga dapat menerobos kategori-kategori membosankan yang kita sertakan pada-Nya dan Dia senantiasa membuat kita takjub dengan daya cipta ilahi-Nya. Kapan pun kita berusaha kembali kepada sumber dan memulihkan kesegaran asli Injil, jalan-jalan baru muncul, lorong-lorong kreativitas baru terbuka, dengan berbagai bentuk ungkapan, tanda-tanda dan kata-kata yang lebih fasih dengan makna baru bagi dunia dewasa ini. Setiap bentuk pewartaan Injil yang autentik selalu “baru.”
12. Meskipun benar bahwa perutusan ini membutuhkan kemurahan hati yang besar di pihak kita, akan menjadi salah melihatnya sebagai usaha individu yang heroik, karena pewartaan terutama adalah karya Allah, yang melampaui segala sesuatu yang dapat kita lihat dan mengerti. Yesus adalah “pewarta yang pertama dan terbesar.”[9] Dalam setiap kegiatan pewartaan, keutamaan adalah milik Tuhan, yang telah memanggil kita untuk bekerja sama bersama-Nya dan yang menuntun kita dengan kuasa Roh-Nya. Kebaruan yang nyata adalah kebaruan yang secara misterius ditimbulkan dan diilhami, dibangkitkan, dibimbing dan didampingi oleh Allah sendiri dalam seribu cara. Hidup Gereja seharusnya selalu mengungkapkan secara jelas bahwa Allah mengambil prakarsa, karena “Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh. 4: 19) dan bahwa Dia sendiri “memberi pertumbuhan” (1Kor. 3:7). Keyakinan ini memampukan kita untuk mempertahankan semangat sukacita di tengah tugas yang begitu menuntut dan menantang sehingga melibatkan seluruh hidup kita. Tuhan meminta segala sesuatu dari kita, tetapi pada saat yang sama Dia juga memberikan segala sesuatu pada kita.
13. Kita pun tidak seharusnya memahami kebaruan perutusan ini sebagai semacam pencabutan atau pelupaan sejarah hidup yang mengelilingi kita dan mendorong kita maju. Kenangan adalah dimensi iman kita yang bisa kita sebut “deuteronomis”, tidak berbeda dengan kenangan Israel sendiri. Yesus meninggalkan Ekaristi pada kita sebagai kenangan harian Gereja akan, dan berbagi lebih mendalam pada, peristiwa Paskah-Nya (bdk. Luk. 22:19). Sukacita mewartakan Injil selalu timbul dari kenangan penuh syukur: rahmat yang senantiasa perlu kita mohon. Para rasul tidak pernah melupakan saat ketika Yesus menyentuh hati mereka, “waktu itu kira-kira pukul empat” (Yoh. 1:39). Bersama-sama dengan Yesus, kenangan ini menghadirkan bagi kita “banyak saksi” (Ibr. 12:1), beberapa di antaranya, sebagai kaum beriman, kita kenang kembali dengan sukacita besar, “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu” (Ibr. 13:7). Beberapa dari mereka adalah orang-orang biasa yang dekat dengan kita dan mengenalkan kita pada kehidupan iman, “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike” (2Tim. 1:5). Kaum beriman pada dasarnya adalah “seorang yang mengingat.”
III. EVANGELISASI BARU UNTUK PENYAMPAIAN IMAN
14. Dengan penuh perhatian kepada bisikan Roh Kudus yang membantu kita bersama-sama membaca tanda-tanda zaman, Sidang Umum Biasa ke-13 Sinode Para Uskup berkumpul pada 7–28 Oktober 2012 untuk membahas tema “Evangelisasi Baru untuk Penyampaian Iman Kristiani". Sinode menegaskan kembali bahwa evangelisasi baru merupakan seruan yang ditujukan bagi semua dan bahwa hal itu dilaksanakan dalam tiga bidang utama.[10]
Pada tempat pertama, kita dapat menyebut bidang pelayanan pastoral biasa, yang “digerakkan oleh api Roh, sehingga mengobarkan hati kaum beriman yang secara teratur mengambil bagian dalam ibadat komunitas dan berkumpul pada hari Tuhan untuk disegarkan oleh sabda-Nya dan oleh roti hidup kekal.”[11] Dalam kategori ini kita juga dapat memasukkan para anggota kaum beriman yang mempertahankan iman yang dalam dan tulus, dengan mengungkapkannya dengan berbagai cara, tetapi jarang mengambil bagian dalam ibadat. Pelayanan pastoral biasa perlu membantu umat beriman untuk bertumbuh secara rohani sehingga mereka dapat menanggapi kasih Allah dengan lebih penuh dalam hidup mereka.
Bidang kedua adalah “orang-orang yang dibaptis yang hidupnya tidak mencerminkan tuntutan Baptis,”[12] yang kurang memiliki hubungan berarti dengan Gereja dan tidak lagi mengalami penghiburan yang lahir dari iman. Gereja, dalam keprihatinan keibuannya, mencoba membantu mereka mengalami pertobatan yang akan memulihkan sukacita iman ke dalam hati mereka dan keinginan untuk terlibat dengan Injil.
Akhirnya, kita tak dapat melupakan bahwa evangelisasi terutama adalah mewartakan Injil kepada mereka yang tidak mengenal Yesus Kristus atau mereka yang selalu menolak-Nya. Banyak dari mereka ini diam-diam sedang mencari Allah, dibimbing oleh kerinduan untuk memandang wajah-Nya, bahkan di negara-negara dengan tradisi Kristiani kuno. Mereka semua mempunyai hak untuk menerima Injil. Umat Kristiani berkewajiban mewartakan Injil tanpa mengecualikan seorang pun, bukan sebagai orang yang memaksakan suatu kewajiban baru, melainkan sebagai orang yang berbagi sukacita, yang menunjukkan suatu cakrawala yang indah dan yang menawarkan suatu perjamuan menggiurkan. Gereja bertumbuh tidak melalui upaya penyebaran agama, tetapi “melalui daya tarik.”[13]
15. Yohanes Paulus II meminta kita untuk mengakui bahwa “tidak boleh ada berkurangnya dorongan untuk mewartakan Injil” kepada mereka yang jauh dari Kristus, “karena inilah tugas pertama Gereja.”[14] Sesungguhnya, “kegiatan misioner masa kini masih merupakan tantangan terbesar bagi Gereja"[15] dan “tugas misioner harus tetap menjadi yang utama.”[16] Apakah yang akan terjadi jika kita menangkap kata-kata ini secara sungguh serius? Kita akan menyadari begitu saja bahwa karya misioner adalah paradigma bagi semua kegiatan Gereja. Senada dengan hal ini para Uskup Amerika Latin menyatakan bahwa kita “tidak dapat secara pasif dan diam menunggu dalam gedung gereja kita.”[17]; kita perlu bergerak “dari pelayanan pastoral pelestarian semata menuju pelayanan pastoral misioner yang menentukan.”[18] Tugas ini terus menjadi sumber sukacita besar bagi Gereja, “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk. 15:7)
Ruang lingkup dan batas-batas Seruan ini
16. Saya dengan senang hati menerima permintaan para Bapa Sinode untuk menuliskan Seruan ini.[19] Dengan bertindak demikian, saya menuai buah-buah subur kerja Sinode. Lagipula, saya telah mencari nasihat dari sejumlah orang dan saya bermaksud mengungkapkan keprihatinan saya sendiri tentang bab khusus karya evangelisasi Gereja ini. Tak terhitung tema tentang evangelisasi dewasa ini yang bisa dibahas di sini, tetapi saya telah memilih untuk tidak menelaah masalah yang banyak ini, yang menuntut refleksi dan studi lebih jauh. Saya juga tidak percaya bahwa magisterium kepausan diharapkan harus memberikan kata yang definitif atau lengkap untuk setiap masalah yang mempengaruhi Gereja dan dunia. Tidak disarankan bagi Paus untuk menggantikan para Uskup setempat dalam menimbang-nimbang atas setiap persoalan yang muncul di wilayah mereka. Dalam pengertian ini, saya sadar perlunya memajukan “desentralisasi” yang sehat.
b) Godaan-godaan yang dihadapi oleh pekerja pastoral
c) Gereja, yang dipahami sebagai seluruh Umat Allah yang berevangelisasi
d) Homili dan persiapannya
e) Penyertaan kaum miskin dalam masyarakat
f) Perdamaian dan dialog dalam masyarakat
g) Motivasi rohani untuk perutusan
18. Saya telah mendalami tema-tema ini secara luas, dengan terperinci yang mungkin oleh beberapa orang dirasa berlebihan. Tetapi saya telah melakukannya demikian, bukan dengan maksud memberikan suatu risalah lengkap, melainkan semata-mata sebagai cara menunjukkan implikasi praktisnya yang penting bagi perutusan Gereja masa kini. Semuanya membantu terbentuknya gaya evangelisasi tertentu yang saya minta kepada Anda untuk dipakai dalam setiap kegiatan yang Anda lakukan. Dengan demikian, kita dapat menerima, di tengah upaya-upaya harian kita, seruan Injil, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah” (Flp. 4:4)
BAB I
PERUBAHAN PERUTUSAN GEREJA
19. Evangelisasi berlangsung dalam ketaatan kepada amanat perutusan Yesus, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat. 28:19-20). Dalam ayat-ayat ini kita melihat bagaimana Yesus yang telah bangkit mengutus para pengikut-Nya untuk memberitakan Injil di setiap waktu dan setiap tempat, sehingga iman kepada-Nya dapat tersebar ke setiap penjuru dunia.
I. GEREJA YANG BERGERAK KELUAR
20. Sabda Allah senantiasa menunjukkan pada kita bagaimana Allah menantang mereka yang percaya kepada-Nya “untuk bergerak keluar.” Abraham menerima panggilan untuk pergi ke negeri baru (bdk. Kej. 12:1-3). Musa mendengar panggilan Allah, “Pergilah, Aku mengutus engkau” (kel. 3: 10) dan menuntun bangsanya menuju tanah terjanji (bdk. Kel 3:17). Kepada Yeremia, Allah bersabda, “kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi” (Yer. 1:7). Di zaman kita perintah Yesus untuk “pergi dan menjadikan murid” tampak rencana-rencana dan tantangan-tantangan yang selalu baru bagi tugas perutusan penginjilan Gereja, dan kita semua dipanggil kepada tugas perutusan baru “bergerak keluar” ini. Setiap umat Kristiani dan setiap komunitas harus mencari dan menemukan jalan yang ditunjukkan Tuhan, tetapi kita semua diminta untuk mematuhi panggilan-Nya untuk keluar dari zona nyaman kita untuk menjangkau seluruh “periferi” yang memerlukan terang Injil.
21. Sukacita Injil yang menghidupkan komunitas para murid adalah sukacita perutusan. Tujuh puluh dua murid merasakannya ketika mereka kembali dari tugas perutusan mereka (bdk. Luk. 10:17). Yesus merasakannya ketika Dia bersukacita dalam Roh Kudus dan memuji Bapa karena menyatakan diri-Nya kepada orang miskin dan kecil (bdk. Luk. 10:21). Hal itu juga dirasakan oleh para baptisan pertama yang terkagum-kagum mendengarkan para rasul berkata-kata “dalam bahasa mereka sendiri” (Kis. 2:6) pada hari Pentakosta. Sukacita ini adalah tanda bahwa Injil telah diwartakan dan berbuah. Namun dorongan untuk bergerak keluar dan memberi, untuk keluar dari diri sendiri, untuk terus bergerak maju menaburkan benih baik, tetap ada sampai sekarang. Tuhan bersabda, “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang” (Mrk. 1:38). Setelah benih ditaburkan di suatu tempat, Yesus tidak tinggal berlama-lama untuk menjelaskan segala sesuatu atau membuat lebih banyak tanda; tetapi Roh menggerakkan-Nya untuk keluar menuju kota-kota lain.
22. Sabda Allah tak terduga kekuatannya. Injil berbicara tentang benih, yang sekali ditabur, tumbuh sendiri, bahkan pada saat petani tidur (Mrk. 4:26-29). Gereja harus menerima kebebasan yang sulit dipahami ini dari sabda, yang menyelesaikan apa yang dikehendakinya dengan cara-cara yang mengatasi perkiraan-perkiraan dan cara-cara berpikir kita.
23. Kedekatan Gereja dengan Yesus adalah bagian dari suatu perjalanan bersama; “persekutuan dan perutusan saling terkait secara mendalam.”[20] Dalam kesetiaan kepada teladan Sang Guru, sungguh penting bagi Gereja saat ini untuk pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut. Sukacita Injil adalah bagi semua orang: tak seorang pun dikecualikan. Inilah apa yang diwartakan oleh malaikat kepada para gembala di Betlehem, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (Luk. 2:10). Kitab Wahyu berbicara tentang “Injil yang kekal untuk diberitakannya kepada mereka yang diam di atas bumi dan kepada semua bangsa dan suku dan bahasa dan kaum” (Why. 14:6).
Mengambil langkah pertama, terlibat dan mendukung, berbuah, dan bersukacita
24. Gereja yang “bergerak keluar” adalah komunitas para murid yang diutus yang mengambil langkah pertama, yang terlibat dan mendukung, yang berbuah dan bersukacita. Sebuah komunitas yang mewartakan Injil mengetahui bahwa Tuhan telah mengambil prakarsa, Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita (bdk. 1Yoh. 4:19), sehingga kita dapat bergerak maju, berani mengambil prakarsa, keluar kepada yang lain, mencari mereka yang telah menjauh; berdiri di persimpangan-persimpangan jalan dan menyambut yang tersingkir. Komunitas semacam itu tak pernah kehabisan semangat untuk menunjukkan kemurahan hati, buah dari pengalamannya sendiri akan kekuatan belas kasih Bapa yang tanpa batas. Marilah kita berusaha sedikit lebih keras untuk mengambil langkah pertama dan terlibat. Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Tuhan terlibat dan Dia melibatkan murid-murid-Nya ketika Dia berlutut untuk membasuh kaki mereka. Dia berkata kepada para murid-Nya, “berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh. 13:17). Sebuah komunitas yang mewartakan Injil terlibat dengan kata dan perbuatan dalam hidup orang sehari-hari; komunitas ini menjembatani jarak, mau menghambakan diri jika perlu, serta merangkul hidup manusia, dengan menyentuh kemanusiaan Kristus yang menderita dalam diri sesamanya. Para pewarta Injil memiliki “bau domba” dan domba pun mau mendengar suara mereka. Maka, komunitas yang mewartakan Injil siap “menemani". Menemani kemanusiaan dalam seluruh prosesnya, betapa pun sulit dan lamanya. Komunitas ini terbiasa dengan penantian yang memerlukan kesabaran dan daya tahan kerasulan. Evangelisasi memiliki banyak kesabaran dan mengabaikan kendala waktu. Kesetiaan kepada anugerah Allah ini juga menghasilkan buah. Sebuah komunitas yang mewartakan Injil selalu peduli dengan buah, karena Tuhan menginginkannya berbuah. Komunitas ini memelihara gandum dan tidak menjadi tak sabar dengan ilalang. Penabur, ketika ia melihat ilalang tumbuh di antara gandum, tidak menggerutu atau bereaksi berlebihan. Ia menemukan cara untuk membiarkan sabda menjadi daging dalam situasi tertentu dan membuahkan hidup baru, meskipun tidak sempurna atau tidak lengkap tampaknya. Murid itu siap untuk mempertaruhkan seluruh hidup mereka, bahkan sampai menerima kemartiran, untuk memberikan kesaksian bagi Yesus Kristus, namun tujuannya bukan mencari musuh, melainkan berusaha agar sabda Allah diterima dan kemampuannya untuk pembebasan dan pembaruan dinyatakan. Akhirnya, sebuah komunitas yang mewartakan Injil dipenuhi sukacita, tahu bagaimana selalu bersukacita. Ia merayakan setiap kemenangan kecil, setiap langkah ke depan dalam karya evangelisasi. Evangelisasi dengan sukacita menjadi keindahan dalam liturgi, sebagai bagian dari kepedulian kita sehari-hari untuk menyebarluaskan kebaikan. Gereja mewartakan Injil dan dirinya sendiri menerima Injil melalui keindahan liturgi, yang merupakan perayaan kegiatan evangelisasi sekaligus sumber dorongan pemberian diri yang diperbarui.
II. KEGIATAN PASTORAL DAN PERTOBATAN
25. Saya sadar bahwa sekarang ini dokumen-dokumen tidak menimbulkan minat seperti di masa lalu dan cepat sekali dilupakan. Meskipun demikian, saya ingin menggarisbawahi bahwa apa yang saya coba ungkapkan di sini memiliki makna programatis dan konsekuensi penting. Saya berharap bahwa semua komunitas sungguh-sungguh mengusahakan hal-hal yang diperlukan untuk bergerak maju di jalan pertobatan pastoral dan perutusan, yang tidak dapat membiarkan segala sesuatu sebagaimana adanya. “Hanya administrasi” saja tidak lagi cukup.[21] Di seluruh wilayah dunia, marilah kita ciptakan “situasi perutusan yang permanen.”[22]
26. Paulus VI mengajak kita memperdalam panggilan untuk pembaruan dan memperjelas bahwa pembaruan tidak hanya menjadi perhatian individual, melainkan seluruh Gereja. Marilah kita kembali kepada teks mengesankan yang terus menantang kita. “Gereja harus melihat dengan mata yang menembus ke dalam dirinya sendiri, merenungkan misteri keberadaannya sendiri. [...] Kesadaran diri yang penuh semangat dan hidup ini tak pelak lagi mengarah pada perbandingan antara gambaran ideal Gereja seperti yang dibayangkan Kristus dan dikasihi-Nya sebagai mempelai-Nya yang kudus dan tak bercela (bdk. Ef. 5:27), dan gambaran nyata yang dihadirkan Gereja kepada dunia saat ini. [...] Inilah sumber perjuangan Gereja yang heroik dan tak sabar untuk pembaruan: perjuangan untuk memperbaiki cacat cela yang dibawa oleh anggota-anggotanya. Dengan bercermin pada teladannya, Kristus, pemeriksaan diri Gereja menunjuk cacat cela itu pada dirinya dan menyalahkannya.”[23] Konsili Vatikan II menampilkan pertobatan gerejawi sebagai keterbukaan kepada pembaruan diri terus-menerus yang lahir dari kesetiaan kepada Yesus Kristus: “Semua pembaruan Gereja pada hakikatnya terletak pada berkembangnya kesetiaan terhadap panggilannya. [...] Selama ziarahnya Gereja dipanggil oleh Kristus untuk terus-menerus merombak dirinya, seperti memang selamanya dibutuhkan olehnya sebagai suatu lembaga manusiawi dan duniawi.”[24]
Pembaruan gerejawi yang mendesak
27. Saya memimpikan “opsi perutusan,” yakni, dorongan perutusan yang mampu mengubah segala sesuatu sehingga kebiasaan-kebiasaan Gereja, cara-cara melakukan segala sesuatu, waktu dan agenda, bahasa dan struktur dapat disalurkan dengan tepat untuk evangelisasi dunia masa kini daripada untuk pertahanan diri. Pembaruan struktur-struktur yang dituntut oleh pertobatan pastoral hanya dapat dimengerti dalam terang ini: sebagai bagian dari usaha untuk membuat struktur-struktur tersebut berorientasi pada perutusan, untuk menjadikan kegiatan pastoral pada setiap tingkat bisa lebih inklusif dan terbuka, untuk mengilhami para pekerja pastoral selalu ingin keluar dan dengan demikian mendapatkan tanggapan positif dari semua yang dipanggil Yesus untuk bersahabat dengan-Nya. Sebagaimana Yohanes Paulus II suatu ketika mengatakan kepada para Uskup Oseania, “Semua pembaruan dalam Gereja harus memiliki perutusan sebagai tujuannya jika tidak ingin jatuh menjadi semacam introversi gereja.”[25]
28. Paroki bukanlah lembaga usang, justru karena memiliki daya lentur yang tinggi, dapat menerima berbagai bentuk yang tergantung pada keterbukaan dan kreativitas perutusan dari pastor dan komunitas. Tentu saja, meskipun bukan satu-satunya lembaga yang mewartakan Injil, jika terbukti mampu membarui diri dan senantiasa menyesuaikan diri, paroki akan terus menjadi “Gereja yang hidup di tengah rumah para putra-putrinya.”[26] Hal ini mengandaikan bahwa paroki sungguh berhubungan dengan rumah dan kehidupan umatnya, dan tidak menjadi struktur yang tak berguna di luar kontak dengan umat atau sekelompok orang pilihan yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri. Paroki adalah kehadiran Gereja dalam wilayah tertentu, suatu lingkungan untuk mendengar sabda Allah, untuk bertumbuh dalam hidup Kristiani, untuk dialog, pewartaan, tindakan karitatif berjangkauan luas, ibadat dan perayaan.[27] Dalam segala aktivitasnya paroki mendorong dan melatih para anggotanya untuk menjadi pewarta Injil.[28] Paroki adalah komunitas dari pelbagai komunitas, tempat kudus di mana mereka yang haus datang untuk minum di tengah-tengah perjalanan mereka, dan sebuah pusat perutusan yang senantiasa memiliki jangkauan luas. Meskipun demikian kita harus mengakui bahwa ajakan untuk meninjau kembali dan memperbarui paroki-paroki kita belum cukup membawa paroki-paroki lebih dekat kepada umat, untuk menjadikan mereka lingkungan yang menghayati persekutuan dan partisipasi, serta membuat mereka sungguh-sungguh berorientasi pada perutusan.
29. Lembaga-lembaga Gereja lainnya, komunitas-komunitas basis dan komunitas-komunitas kecil, gerakan-gerakan, serta berbagai bentuk perkumpulan merupakan sumber yang memperkaya bagi Gereja, yang dibangkitkan oleh Roh untuk mewartakan Injil ke seluruh wilayah dan sektor. Seringkali mereka membawa suatu semangat evangelisasi baru dan kemampuan baru untuk berdialog dengan dunia di mana Gereja diperbarui. Tetapi terbukti bermanfaat bagi mereka untuk tidak kehilangan kontak dengan realitas yang kaya dari paroki lokal dan siap sedia berperan serta dalam seluruh kegiatan pastoral Gereja partikular.[29] Integrasi semacam ini akan menghindarkan mereka dari hanya berpusat pada bagian Injil atau Gereja, atau menjadi pengembara tanpa akar.
30. Setiap Gereja partikular, sebagai bagian dari Gereja Katolik di bawah kepemimpinan uskupnya, juga dipanggil untuk pertobatan perutusan. Hal itu merupakan subjek utama evangelisasi[30], karena merupakan perwujudan nyata Gereja yang satu pada satu tempat khusus, dan di dalamnya “Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik sungguh-sungguh hadir dan berkarya.”[31] Inilah Gereja yang berinkarnasi di suatu tempat tertentu, yang dilengkapi dengan segala sarana keselamatan yang dianugerahkan oleh Kristus, tetapi dengan ciri-ciri setempat. Sukacitanya dalam mewartakan Yesus Kristus diungkapkan baik dengan kepeduliaannya untuk mewartakan-Nya ke wilayah-wilayah yang lebih membutuhkan bantuan maupun dengan senantiasa bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahya sendiri atau menuju situasi sosiokultural baru.[32] Di mana pun kebutuhan akan cahaya dan hidup Kristus yang bangkit paling besar, Gereja berkehendak hadir di sana.[33] Untuk menjadikan semangat perutusan ini semakin lebih fokus, murah hati dan berbuah, saya mendorong setiap Gereja partikular untuk menjalankan suatu proses menimbang-nimbang, pembersihan, dan pembaruan yang tegas.
31. Uskup harus selalu meningkatkan persekutuan perutusan ini di Gereja keuskupannya, dengan meneladan cita-cita komunitas Kristiani perdana, di mana umat beriman sehati dan sejiwa (bdk. Kis. 4:32). Dengan bertindak demikian, ia kadang-kadang berjalan di depan umatnya, sambil menunjukkan jalan dan menjaga harapan mereka tetap berkobar. Pada waktu-waktu lain, ia hanya berada di tengah-tengah mereka dengan kehadirannya yang sederhana dan penuh belas kasih. Namun, di saat lain lagi, ia harus berjalan di belakang mereka, dengan membantu mereka yang tertinggal di belakang dan –terutama– mengizinkan kawanan menempuh jalan-jalan baru. Dalam misinya untuk memajukan persekutuan perutusan yang dinamis dan terbuka, ia harus mendorong dan mengembangkan sarana partisipasi yang dianjurkan dalam Kitab Hukum Kanonik,[34] dan bentuk-bentuk lain dialog pastoral, dengan keinginan untuk mendengarkan setiap orang dan tidak hanya mereka yang akan mengatakan padanya apa yang ingin dia dengar. Namun, tujuan utama proses keikutsertaan ini hendaknya bukan organisasi gerejawi, melainkan lebih pada aspirasi perutusan agar menjangkau setiap orang.
32. Karena saya wajib melakukan apa yang saya minta kepada orang lain, saya juga harus memikirkan pertobatan kepausan. Adalah tugas saya, sebagai Uskup Roma, untuk terbuka terhadap saran-saran yang dapat membantu menjadikan pelaksanaan pelayanan saya makin setia pada makna yang ingin diberikan Yesus Kristus dan pada kebutuhan evangelisasi masa kini. Paus Yohanes Paulus II minta bantuan untuk menemukan “suatu cara melaksanakan keprimatan yang, meski sama sekali tidak menolak apa yang mendasar bagi perutusannya, namun terbuka pada situasi baru.”[35] Kami belum membuat banyak kemajuan dalam hal ini. Kepausan dan struktur-struktur sentral Gereja universal perlu mendengar ajakan pertobatan pastoral. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa, seperti Gereja-gereja patriarkal kuno, konferensi-konferensi para uskup dalam posisi “menyumbang banyak cara yang bermanfaat untuk perwujudan nyata semangat kolegial.”[36] Namun keinginan ini tidak sepenuhnya terwujud karena status yuridis konferensi-konferensi para uskup yang memandang konferensi-konferensi tersebut sebagai subjek atribusi konkret, termasuk otoritas autentik dalam hal ajaran, belum dijelaskan secara rinci.[37] Sentralisasi yang berlebihan, alih-alih terbukti membantu, malah memperumit hidup Gereja dan jangkauan perutusannya.
33. Pelayanan pastoral dari sudut pandang perutusan menuntut tindakan meninggalkan sikap puas diri dengan mengatakan, “Kami selalu melakukannya dengan cara ini.” Saya mengajak setiap orang untuk berani dan kreatif dalam tugas ini dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode evangelisasi dalam komunitas mereka masing-masing. Identifikasi tujuan tanpa penelitian komunitas yang memadai terhadap sarana-sarana untuk mencapainya hanya menghasilkan ilusi belaka. Saya mendorong setiap orang untuk menerapkan panduan yang ditemukan dalam dokumen ini dengan murah hati dan berani, tanpa hambatan atau ketakutan. Hal yang penting adalah tidak berjalan sendiri, melainkan saling bergantung sebagai saudara, dan khususnya di bawah kepemimpinan para Uskup, dalam pertimbangan pastoral yang bijaksana dan realistis.
III. DARI POKOK INJIL
34. Jika kita bermaksud meletakkan segala hal dalam perspektif perutusan, hal ini juga akan mempengaruhi cara kita menyampaikan pesan. Dalam komunikasi instan dunia sekarang dan pemberitaan media yang kadang-kadang bias, pesan yang kita sampaikan berisiko lebih besar untuk menyimpang atau direduksi menjadi beberapa aspek sekundernya. Dengan demikian, tema-tema tertentu yang menjadi bagian dari ajaran moral Gereja dikeluarkan dari konteks yang memaknainya. Masalah terbesar adalah ketika pesan yang kita beritakan kemudian tampak diidentikkan dengan aspek sekunder yang, walaupun penting, tidak – dalam dan dari dirinya sendiri– membawa inti pesan Kristus. Kita perlu realistis dan tidak menganggap bahwa para pendengar kita memahami latar belakang sepenuhnya dari apa yang kita katakan, atau mampu menghubungkan apa yang kita sampaikan dengan inti terdalam Injil yang memberikan makna, keindahan dan ketertarikan.
35. Pelayanan pastoral dalam gaya perutusan tidak terbelenggu oleh penyampaian banyak ajaran yang terpisah-pisah, yang dipaksakan secara gigih. Ketika kita memilih tujuan pastoral dan gaya perutusan yang benar-benar menjangkau setiap orang tanpa pengecualian atau pengucilan, pesan harus terpusat pada hal-hal mendasar, pada apa yang paling indah, paling besar, paling menarik dan sekaligus paling diperlukan. Pesan menjadi sederhana, tanpa kehilangan kedalaman dan kebenarannya, dan dengan demikian menjadi lebih kuat dan meyakinkan.
36. Semua kebenaran yang diwahyukan berasal dari sumber ilahi yang sama dan harus dipercayai dengan iman yang sama, namun beberapa di antaranya lebih penting untuk mengungkapkan secara langsung intisari Injil. Dalam inti dasar ini, apa yang memancar adalah keindahan kasih Allah yang menyelamatkan yang dinyatakan dalam Yesus Kristus yang wafat dan bangkit dari mati. Dalam arti ini, Konsili Vatikan II menjelaskan, “dalam ajaran Katolik ada tata urutan atau ‘hierarki’ kebenaran, karena berbeda-bedalah dalam hubungannya dengan dasar iman Kristiani.”[38] Hal ini berlaku baik untuk dogma-dogma iman maupun seluruh kumpulan ajaran Gereja, termasuk ajaran moralnya.
37. Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa ajaran moral Gereja memiliki “hierarki”-nya sendiri, dalam keutamaan-keutamaan dan dalam tindakan-tindakan yang berasal dari keutamaan itu.[39] Apa yang penting di atas segalanya adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6). Pekerjaan kasih yang ditujukan kepada sesama adalah ungkapan lahiriah yang paling sempurna dari rahmat batin Roh: “Dasar Hukum Baru terletak dalam rahmat Roh Kudus, yang diwujudnyatakan dalam iman yang bekerja melalui kasih.”[40] Maka, Thomas menjelaskan bahwa, sejauh menyangkut kegiatan-kegiatan lahiriah, belas kasih menjadi yang terbesar dari segala keutamaan: “Dalam dirinya sendiri belas kasih adalah yang terbesar dari segala keutamaan, ciri khasnya ialah memberi kepada yang lain dan, lebih daripada ini, melengkapi kekurangan-kekurangan dari yang lain. Hal ini berlaku khusus untuk pihak yang lebih tinggi, dan karena itu dikatakan bahwa berbelas kasih adalah ciri hakiki Allah; melalui belas kasih kemahakuasaan Allah dinyatakan pada tingkat yang tertinggi.”[41]
38. Pentinglah menyimpulkan konsekuensi-konsekuensi pastoral dari ajaran Konsili, yang mencerminkan keyakinan kuno Gereja. Pertama, perlulah dikatakan bahwa dalam memberitakan Injil citarasa perimbangan yang pas perlu dipertahankan. Hal ini terlihat dalam seringnya pengambilan tema-tema tertentu dan penekanan yang diberikan pada tema-tema itu dalam khotbah. Misalnya, jika dalam perjalanan tahun liturgi seorang pastor paroki berbicara tentang pengendalian diri sebanyak sepuluh kali, tetapi hanya menyebut amal kasih atau keadilan dua atau tiga kali, terjadilah ketidakseimbangan, dan justru keutamaan-keutamaan yang seharusnya paling banyak ada dalam khotbah dan katekese diabaikan. Hal yang sama terjadi ketika kita berbicara lebih banyak tentang hukum daripada tentang rahmat, lebih banyak tentang Gereja daripada tentang Kristus, lebih banyak tentang Paus daripada tentang sabda Allah.
39. Seperti halnya kesatuan organis di antara keutamaan-keutamaan mencegah salah satu keutamaan-keutamaan itu dikecualikan dari cita-cita Kristiani, demikian pula tak satu pun kebenaran bisa disangkal. Integritas pesan Injil tidak boleh dirusak. Lebih-lebih lagi, setiap kebenaran dipahami secara lebih baik ketika dikaitkan dengan keseluruhan yang serasi dari pesan Kristiani; dalam konteks ini seluruh kebenaran penting dan saling menerangi. Ketika khotbah setia pada Injil, sentralitas kebenaran-kebenaran tertentu tampak nyata dan menjadi jelas bahwa moralitas Kristiani bukanlah bentuk stoisisme, atau penyangkalan diri, atau hanya filsafat praktis atau daftar dosa dan kesalahan. Injil pertama-tama mengajak kita untuk menanggapi Allah yang mengasihi dan menyelamatkan kita, untuk memandang Allah dalam diri sesama dan untuk keluar dari diri kita sendiri guna mencari kebaikan sesama. Ajakan ini tidak menjadi samar-samar dalam situasi apa pun! Segala keutamaan siap membantu tanggapan kasih ini. Bila ajakan ini tidak memancar secara kuat dan menarik, bangunan besar ajaran moral Gereja berisiko menjadi rapuh dan mudah hancur, dan inilah risiko terbesar kita. Hal ini berarti bahwa bukan Injil yang diwartakan, melainkan inti ajaran atau moral tertentu yang didasarkan pada pilihan-pilihan ideologis khusus. Pesan tersebut berisiko kehilangan kesegarannya dan tak lagi memiliki “keharuman Injil.”
IV. PERUTUSAN YANG DIWUJUDKAN DALAM KETERBATASAN MANUSIAWI
40. Gereja sendiri merupakan murid yang diutus; Gereja perlu berkembang dalam penafsirannya tentang sabda yang diwahyukan dan pemahamannya tentang kebenaran. Tugas para ekseget dan para teolog membantu “pertimbangan Gereja menjadi masak.”[42] Ilmu pengetahuan lain juga membantu menyempurnakannya, masing-masing dengan caranya sendiri. Dengan mengacu pada ilmu pengetahuan sosial, misalnya, Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja menghargai penelitian mereka, yang membantunya “memperoleh petunjuk-petunjuk konkret yang berguna bagi perutusan pengajarannya.”[43] Dalam Gereja begitu banyak masalah yang dipelajari dan direfleksikan dengan kebebasan besar. Membedakan arus-arus pemikiran dalam filsafat, teologi, dan praktik pastoral, jika terbuka untuk diselaraskan dengan Roh dalam rasa hormat dan kasih, dapat memampukan Gereja untuk bertumbuh, karena semua pemikiran tersebut membantu mengungkapkan secara lebih jelas kekayaan-kekayaan luar biasa dari sabda Allah. Bagi mereka yang merindukan tubuh monolitik ajaran yang dijaga oleh semua dan tidak ada tempat untuk perbedaan, hal ini mungkin tampak sebagai suatu yang tidak di-harapkan dan mengarah pada kebingungan. Tetapi sesungguhnya keragaman seperti itu menimbulkan dan mengembangkan berbagai aspek kekayaan Injil yang tak ada habisnya.[44]
41. Pada saat yang sama, perubahan budaya masa kini yang cepat dan luas menuntut bahwa kita terus berupaya mencari cara-cara mengungkapkan kebenaran yang tak berubah dalam bahasa yang menimbulkan kebaruannya yang abadi. “Warisan iman adalah satu hal ... cara pengungkapannya adalah hal lain.”[45] Ada kalanya ketika mendengarkan bahasa yang sama sekali ortodoks, umat beriman memperoleh sesuatu yang tidak sesuai dengan Injil Yesus Kristus yang autentik, karena ba-hasa tersebut asing bagi cara mereka sendiri berbicara dan memahami satu sama lain. Dengan niat suci menyampaikan kebenaran tentang Allah dan kemanusiaan, kita kadang-kadang memberi mereka dewa palsu atau cita-cita manusiawi yang tidak benar-benar Kristiani. Dengan demikian, kita berpegang teguh pada suatu rumusan namun gagal menyampaikan substansinya. Inilah bahaya terbesar. Jangan pernah kita melupakan bahwa “pengungkapan kebenaran dapat memiliki berbagai bentuk. Pembaruan bentuk-bentuk ungkapan ini menjadi penting demi penyampaian amanat Injil kepada umat masa kini dalam maknanya yang tak berubah.”[46]
42. Semua hal ini memiliki relevansi besar bagi pemberitaan Injil, jika kita sungguh peduli untuk membuat keindahannya secara lebih jelas diakui dan diterima oleh semua orang. Tentu saja, kita tak akan pernah mampu membuat ajaran Gereja dipahami dengan mudah atau segera dihargai oleh setiap orang. Iman selalu tetap menjadi sesuatu dari salib; tetap menyimpan suatu ketidakjelasan tertentu yang tidak mengurangi keteguhan persetujuannya. Beberapa hal dipahami dan dihargai hanya atas dasar persetujuan ini, yang adalah saudari dari kasih, melampaui tingkat kejelasan dari akal budi dan argumen-argumen yang jernih. Kita perlu ingat bahwa semua pengajaran agama akhirnya harus dicerminkan dalam cara hidup sang pewarta Injil, yang membangkitkan persetujuan hati melalui kedekatan, kasih, dan kesaksiannya.
43. Dengan terus-menerus menimbang-nimbang, Gereja juga dapat melihat bahwa adat kebiasaan tertentu yang tidak secara langsung berhubungan dengan inti Injil, bahkan beberapa yang memiliki akar sejarah yang mendalam, tidak lagi dimengerti dan dihargai dengan tepat. Beberapa adat kebiasaan ini mungkin indah, tetapi sekarang tidak lagi dipergunakan dengan sama sebagai sarana penyampaian Injil. Kita tidak perlu takut untuk meninjau kembali adat kebiasaan itu. Demikian pula, Gereja memiliki aturan-aturan atau perintah-perintah yang mungkin cukup efektif pada masanya, tetapi tidak lagi memiliki daya yang sama sebagai saluran pendidikan kehidupan. Santo Thomas Aquinas menunjukkan bahwa perintah-perintah yang diberikan Kristus dan para rasul-Nya kepada umat Allah “sangatlah sedikit.”[47] Dengan mengutip Santo Agustinus, ia mencatat bahwa perintah-perintah yang kemudian disampaikan oleh Gereja harus diberikan tanpa berlebihan “sehingga tidak membebani hidup umat beriman” dan mengubah agama kita menjadi perbudakan, padahal “belas kasih Allah menghendaki bahwa kita harus bebas.”[48] Peringatan ini, yang dilontarkan berabad-abad lalu, sangat tepat saat ini. Peringatan ini perlu menjadi salah satu kriteria yang harus diperhitungkan dalam memikirkan pembaruan Gereja dan pengajarannya yang hendaknya mampu menjangkau setiap orang.
44. Selain itu, para pastor serta seluruh umat beriman awam yang mendampingi saudara-saudarinya dalam iman atau dalam perjalanan keterbukaan kepada Allah harus selalu ingat bahwa Katekismus Gereja Katolik mengajarkan dengan sangat jelas: “Tanggung jawab atas perbuatan bisa berkurang, atau bahkan dapat dihapus sama sekali oleh ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan, serta faktor psikis atau faktor sosial lain.”[49] Maka, tanpa mengurangi cita-cita injili, mereka perlu mendampingi dengan belas kasih dan kesabaran tahap-tahap yang mungkin dari perkembangan pribadi yang berlangsung dari hari ke hari.[50] Saya ingin mengingatkan para imam bahwa tempat pengakuan dosa bukanlah ruang penyiksaan, melainkan suatu perjumpaan dengan belas kasih Allah yang mendorong kita untuk melakukan yang terbaik. Sebuah langkah kecil, di tengah-tengah keterbatasan besar manusiawi, dapat lebih menggembirakan Allah daripada kehidupan lahiriah yang benar dari orang yang melewatkan hari-harinya tanpa menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Setiap orang perlu disentuh oleh penghiburan dan daya tarik kasih Allah yang menyelamatkan, yang secara misterius bekerja dalam diri setiap orang, melampui kesalahan dan kegagalan mereka.
45. Maka, kita melihat bahwa karya evangelisasi berlangsung dalam keterbatasan-keterbatasan bahasa dan keadaan. Karya itu selalu berusaha menyampaikan secara lebih baik kebenaran Injil dalam konteks tertentu, tanpa mengabaikan kebenaran, kebaikan, dan cahaya yang dapat dibawanya ketika kesempurnaan tidak dimungkinkan. Hati pewarta Injil menyadari keterbatasan-keterbatasan ini dan “bagi orang-orang yang lemah menjadi seperti orang yang lemah... bagi semua orang menjadi segala-galanya.” (1Kor. 9:22). Ia tidak pernah menutup diri, tidak pernah mundur ke dalam keamanan dirinya sendiri, tidak pernah memilih sikap keras dan pembelaan diri. Ia menyadari bahwa ia harus tumbuh dalam pemahamannya sendiri akan Injil dan dalam membedakan jalan-jalan Roh, dan dengan demikian selalu melakukan apa yang baik yang dapat dilakukannya, bahkan jika menghadapi risiko menjadi kotor oleh lumpur jalanan.
V. SEORANG IBU DENGAN HATI TERBUKA
46. Gereja yang “bergerak keluar” adalah Gereja yang pintu-pintunya terbuka. Bergerak keluar menjumpai sesama pada pinggir kemanusiaan tidak berarti bergegas tanpa arah dan tujuan ke dunia. Seringkali lebih baik memperlambat gerak, mengesampingkan ketakutan kita untuk melihat dan mendengarkan sesama, mengabaikan hal-hal yang mendesak dan untuk tetap menemani seseorang yang tertatih-tatih di tepi jalan. Kadang-kadang kita harus seperti bapak dari anak yang hilang itu, yang selalu membuka pintunya sehingga ketika si anak kembali, ia dapat dengan mudah memasukinya.
47. Gereja dipanggil untuk menjadi rumah Bapa, dengan pintu-pintu yang selalu terbuka lebar. Satu tanda nyata dari keterbukaan seperti itu adalah bahwa pintu-pintu gereja kita hendaknya selalu terbuka, sehingga jika seseorang, digerakkan oleh Roh, datang ke sana mencari Allah, ia tidak akan mendapati sebuah pintu yang tertutup. Ada pintu-pintu lain yang sebaiknya juga tidak ditutup. Setiap orang dengan cara tertentu dapat mengambil bagian dalam kehidupan menggereja; setiap orang bisa menjadi bagian komunitas, juga tidak seharusnya pintu-pintu sakramen ditutup karena alasan apa pun. Hal ini terutama benar bagi sakramen yang dirinya sendiri adalah “pintu": baptis. Ekaristi, meskipun merupakan kepenuhan hidup sakramen, bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang lemah.[51] Keyakinan-keyakinan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi pastoral yang perlu kita pertimbangkan dengan bijaksana dan berani. Seringkali kita lebih bertindak sebagai penentu daripada fasilitator rahmat. Tetapi Gereja bukanlah pabean melainkan rumah Bapa, di mana ada tempat untuk setiap orang dengan segala permasalahan hidup mereka.
48. Jika menerima dorongan perutusan ini, Gereja seluruhnya harus keluar menjumpai setiap orang tanpa kecuali. Tetapi kepada siapa Gereja pertama-tama harus pergi? Ketika membaca Injil, kita menemukan petunjuk yang jelas: tidak terbatas pada teman-teman dan tetangga-tetangga kita yang kaya, tetapi terutama pada orang-orang miskin dan orang-orang sakit, mereka yang biasanya dihina dan diabaikan, “mereka yang tidak bisa membalasmu” (Luk 14:14). Tidak mungkin ada keraguan atau penjelasan yang melemahkan pesan yang sangat jelas ini. Hari ini dan selalu “kaum miskin adalah para penerima Injil yang memiliki hak istimewa,”[52] dan pewartaan Injil yang disampaikan kepada mereka dengan cuma-cuma adalah tanda Kerajaan yang dibawa oleh kedatangan Yesus. Kita harus menyatakan, dengan terus terang, bahwa “ada ikatan tak terpisahkan antara iman kita dan kaum miskin.” Semoga kita tidak pernah meninggalkan mereka.
49. Maka marilah kita bergerak keluar, marilah kita bergerak keluar menawarkan kepada setiap orang hidup Yesus Kristus. Di sini saya mengulangi bagi seluruh Gereja apa yang telah sering saya katakan kepada para imam dan umat awam di Buenos Aires: saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan berakhir dengan terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur. Kalau ada suatu yang harus dan pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah kenyataan bahwa begitu banyak saudara-saudari kita hidup tanpa kekuatan, terang dan penghiburan yang lahir dari persahabatan dengan Yesus Kristus, tanpa komunitas iman yang mendukung mereka, tanpa makna dan tujuan hidup. Lebih daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut tetap tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda kepada kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk. 6:37).
BAB II
DI TENGAH KRISIS KOMITMEN BERSAMA
50. Sebelum kita mengangkat beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan karya evangelisasi, mungkin bermanfaat menyebutkan secara singkat konteks di mana kita semua harus hidup dan bekerja. Dewasa ini kita sering mendengar “kelebihan beban diagnostik” yang tidak selalu disertai dengan metode penanganan yang diperbaiki dan diterapkan secara konkret. Pun kita tidak akan dibantu dengan baik oleh analisa sosiologis murni yang bertujuan merangkum seluruh realitas dengan menggunakan metode yang menurut dugaan netral dan klinis. Apa yang ingin saya tawarkan adalah sesuatu yang jauh lebih sesuai dengan penegasan injili. Ini merupakan pandangan seorang murid misioner “yang dipupuk oleh terang dan kekuatan Roh Kudus.”[53]
51. Bukanlah tugas Paus untuk memberikan analisa mendetail dan lengkap atas realitas masa kini, tetapi saya sungguh menyerukan kepada semua komunitas untuk “selalu meneliti dengan cermat tanda-tanda zaman.”[54] Sesungguhnya ini merupakan tanggung jawab berat, karena kenyataan-kenyataan tertentu saat ini, jika tidak secara efektif ditangani, bisa menimbulkan proses dehumanisasi yang kemudian sulit diperbaiki. Kita perlu membedakan dengan jelas apa yang mungkin merupakan buah Kerajaan Allah dari apa yang berjalan melawan rencana Allah. Hal ini mencakup tak hanya mengakui dan menegaskan gerak-gerak roh, tetapi juga –dan ini sangat menentukan– memilih gerak roh baik dan menolak gerak roh jahat. Saya mengandaikan berbagai analisis yang telah diajukan dokumen-dokumen lain dari magisterium universal, seperti juga yang diajukan oleh konferensi-konferensi para uskup regional maupun nasional. Dalam Seruan ini saya hanya bermaksud mempertimbangkan secara singkat, dan dari perspektif pastoral, faktor-faktor tertentu yang menghambat atau melemahkan dorongan pembaruan misioner dalam Gereja, baik karena faktor-faktor tersebut mengancam hidup dan martabat umat Allah atau karena hal-hal tersebut mempengaruhi mereka yang secara langsung terlibat di lembaga-lembaga Gereja dan dalam karya evangelisasinya.
I. BEBERAPA TANTANGAN DUNIA SEKARANG
52. Pada zaman kita kemanusiaan sedang mengalami titik balik dalam sejarahnya, sebagaimana dapat kita lihat dari kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam begitu banyak bidang. Kita hanya dapat memuji langkah-langkah yang telah dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang-bidang seperti perawatan kesehatan, pendidikan dan komunikasi. Pada saat yang sama kita harus ingat bahwa kebanyakan orang zaman ini menapaki hidup yang berat dari hari ke hari, dengan kondisi-kondisi yang sangat buruk. Sejumlah penyakit sedang menyebar. Hati banyak orang dicekam rasa takut dan putus asa, bahkan di tempat yang disebut negara-negara kaya. Kegembiraan hidup seringkali memudar, kurangnya rasa hormat kepada sesama dan kekerasan meningkat, dan ketimpangan semakin tampak jelas. Orang harus berjuang untuk hidup, dan seringkali hidup dengan sedikit martabat manusia. Perubahan di zaman yang penting ini telah didorong oleh kemajuan-kemajuan kuantitatif, kualitatif, cepat dan kumulatif, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta oleh penerapannya secara instan dalam berbagai bidang alam dan kehidupan. Kita berada di era pengetahuan dan informasi, sumber bentuk-bentuk baru dari suatu kekuasaan yang sering tak bernama.
Tidak kepada ekonomi pengecualian
53. Sebagaimana perintah “Jangan membunuh” menetapkan batasan jelas demi menjaga nilai hidup manusia, saat ini kita juga harus mengatakan “jangan” pada ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan. Ekonomi semacam itu membunuh. Bagaimana bisa terjadi bahwa bukan suatu berita ketika seorang tunawisma tua meninggal karena kedinginan, tetapi menjadi berita ketika pasar saham turun dua poin? Ini adalah soal pengecualian. Dapatkah kita terus menonton saja ketika makanan dibuang, sementara orang kelaparan? Ini adalah masalah ketidaksetaraan. Sekarang ini segala hal bermain dalam hukum kompetisi dan the survival of the fittest, di mana yang kuat menguasai yang lemah. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar dari itu semua.
Manusia sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang. Kita telah menciptakan budaya “sekali pakai buang” yang sekarang sedang berlaku di mana-mana. Hal ini tidak lagi melulu tentang eksploitasi dan penindasan, tetapi sesuatu yang baru. Pengucilan akhirnya terkait dengan apa artinya menjadi bagian dari masyarakat di mana kita hidup; mereka yang disisihkan tak lagi menjadi kelas bawah atau masyarakat pinggiran atau yang tercabut haknya – mereka bahkan tak lagi menjadi bagian dari masyarakat. Mereka yang tersisih bukanlah orang-orang yang “dieksploitasi”, tetapi orang-orang buangan, “sampah yang dibuang.”
54. Dalam konteks ini, beberapa orang terus mempertahankan teori “tetesan ke bawah” (trickle-down) yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang didorong oleh pasar bebas, pasti akan berhasil dalam menimbulkan keadilan dan pelibatan sosial di dunia. Pendapat ini, yang tidak pernah dikuatkan oleh fakta-fakta, mengungkapkan kepercayaan mentah dan naif pada kebaikan mereka yang memegang kekuatan ekonomi dan pada mekanisme yang disakralkan dari sistem ekonomi yang berlaku. Sementara itu, orang-orang yang terbuang masih menunggu. Untuk mempertahankan gaya hidup yang menyingkirkan sesama, atau untuk mempertahankan antusiasme demi cita-cita egois itu, telah dikembangkan globalisasi ketidakpedulian. Hampir tanpa menyadari hal tersebut, kita akhirnya tak mampu merasakan belas kasihan kepada jeritan kaum miskin, menangis untuk penderitaan sesama, dan merasa perlu membantu mereka, seolah-olah semua ini adalah tanggung jawab orang lain dan bukan tanggung jawab kita sendiri. Budaya kesejahteraan telah mematikan perasaan kita; kita bergairah ketika pasar menawarkan sesuatu yang baru untuk dibeli; dan pada saat yang sama mereka yang hidupnya terhambat karena kurangnya kesempatan tampak hanya sekadar sebuah tontonan belaka; mereka tak mampu menggerakkan hati kita.
Tidak kepada berhala baru: uang
55. Salah satu penyebab situasi ini ditemukan dalam hubungan kita dengan uang, karena kita diam-diam menerima hegemoni uang terhadap diri kita sendiri maupun terhadap masyarakat kita. Krisis finansial dewasa ini bisa membuat kita mengabaikan fakta bahwa hal itu berakar pada krisis manusia yang mendalam: penyangkalan atas keluhuran pribadi manusia. Kita telah menciptakan berhala-berhala baru. Pemujaan kepada anak lembu emas kuno (bdk. Kel. 32: 1-35) telah kembali dalam kedok baru dan kejam dalam pemujaan uang dan kediktatoran ekonomi impersonal yang tidak memiliki tujuan manusiawi sejati. Krisis di seluruh dunia yang memberi kekuasaan kepada keuangan dan ekonomi menunjukkan ketidakseimbangannya dan, terutama, kurangnya perhatian nyata pada manusia; manusia direduksi pada salah satu dari kebutuhannya saja: konsumsi.
56. Sementara pendapatan segelintir orang tumbuh secara tajam, pendapatan sebagian besar orang berada semakin jauh dari kesejahteraan segelintir orang yang beruntung. Ketidakseimbangan ini adalah hasil dari ideologi-ideologi yang mempertahankan otonomi mutlak pasar dan spekulasi finansial. Akibatnya, mereka menolak hak-hak negara, yang bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan umum, untuk melakukan setiap bentuk kontrol. Maka, tirani baru lahir, tak terlihat dan seringkali virtual, yang secara sepihak dan semena-mena memaksakan hukum-hukum dan aturan-aturannya sendiri. Hutang dan akumulasi bunga juga menyulitkan negara-negara untuk mewujudkan potensi ekonomi mereka sendiri dan menyulitkan para warga negara menikmati daya beli riil mereka. Pada semua ini kita dapat menambahkan korupsi yang meruyak dan penggelapan pajak untuk kepentingan diri sendiri, yang telah terjadi di seluruh dunia. Rasa haus kekuasaan dan harta milik tidak mengenal batas. Dalam sistem ini, yang cenderung melahap segala sesuatu demi peningkatan laba, apa pun yang rapuh, seperti lingkungan hidup, tidak berdaya berhadapan dengan kepentingan pasar yang didewakan, yang menjadi aturan tunggal.
Tidak kepada sistem finansial yang menguasai daripada melayani
57. Di balik sikap ini tersembunyi penolakan terhadap etika dan penolakan terhadap Allah. Etika telah dipandang dengan ejekan sinis tertentu. Etika dianggap kontraproduktif, terlalu manusiawi, karena membuat uang dan kekuasaan menjadi relatif. Etika dirasa sebagai ancaman karena mengutuk manipulasi dan degradasi pribadi manusia. Sesungguhnya, etika mengarah kepada Allah yang meminta tanggapan berkomitmen yang ada di luar kategori-kategori pasar. Manakala kategori pasar dimutlakkan, Allah hanya bisa dianggap tak terkuasai, tak bisa diatur, bahkan berbahaya, karena Dia memanggil manusia kepada perwujudan diri yang penuh dan pembebasan dari segala bentuk perbudakan. Etika –etika-etika non-ideologis– memungkinkan terjadinya keseimbangan dan tatanan sosial yang lebih berbelas kasih. Dengan memikirkan hal ini, saya mendorong para ahli keuangan dan para pemimpin politik untuk merenungkan kata-kata sebuah kebijakan kuno: “Tidak berbagi kekayaan dengan kaum papa adalah mencuri dari mereka dan mengambil mata pencaharian mereka. Bukan harta benda kita sendiri yang kita genggam, melainkan milik mereka.”[55]
58. Pembaruan finansial yang terbuka pada pertimbangan etis semacam itu akan memerlukan perubahan besar dari pendekatan para pemimpin politik. Saya mendesak mereka untuk menghadapi tantangan ini dengan keteguhan dan mata menatap ke masa depan, tentu saja dengan tidak mengabaikan kekhususan setiap persoalan. Uang harus melayani, tidak menguasai! Paus mencintai setiap orang, baik kaya maupun miskin, tetapi ia wajib atas nama Kristus untuk mengingatkan semua orang bahwa yang kaya harus membantu, menghormati dan memperkembangkan yang miskin. Saya menyerukan pada Anda semua untuk solidaritas murah hati dan kembalinya ekonomi dan keuangan pada pendekatan etis yang berpihak pada umat manusia.
Tidak kepada ketidaksetaraan yang membuahkan kekerasan
59. Saat ini di banyak tempat orang menuntut keamanan yang lebih besar. Akan tetapi selama pengecualian dan ketidaksetaraan di masyarakat dan di antara bangsa-bangsa tidak dihilangkan, akan sulit untuk menghapus kekerasan. Orang-orang miskin dan bangsa-bangsa yang lebih miskin dituduh melakukan kekerasan, namun selama tak ada kesempatan yang merata, berbagai bentuk agresi dan peperangan akan mendapatkan lahan subur untuk berkembang dan akhirnya meledak. Selama masyarakat –baik lokal, nasional maupun global– bersedia membiarkan sebagian dari dirinya disingkirkan, tak ada program politik atau penegakan hukum atau sistem keamanan yang dapat selamanya menjamin ketenangan. Hal ini terjadi bukan hanya karena ketidaksetaraan memicu reaksi keras dari mereka yang terpinggirkan oleh sistem tersebut, melainkan lebih karena sistem sosial-ekonomi yang tidak adil pada akarnya. Sebagaimana kebaikan cenderung menyebar, demikian juga toleransi akan kejahatan, yakni ketidakadilan, cenderung memperluas pengaruhnya yang merusak dan diam-diam menggerogoti sistem politik dan sosial manapun, tak peduli betapapun tampak kuat sistem tersebut. Jika setiap tindakan memiliki konsekuensinya, kejahatan yang tertanam dalam struktur masyarakat memiliki pula potensi perpecahan dan kematian. Ini adalah kejahatan yang menggumpal dalam struktur sosial yang tidak adil, yang tak dapat menjadi dasar harapan masa depan yang lebih baik. Kita masih jauh dari apa yang disebut “akhir sejarah”, karena prasyarat-prasyarat untuk pengembangan berkelanjutan dan damai belum cukup ditanamkan dan diwujudnyatakan.
60. Mekanisme ekonomi dewasa ini meningkatkan konsumsi berlebihan, namun jelas bahwa konsumerisme tak terkendali yang bergandengan dengan ketidaksetaraan terbukti dua kali lipat merusak struktur sosial. Kesenjangan sosial akhirnya menimbulkan kekerasan, yang tidak pernah dan tidak akan mampu dipecahkan oleh perlombaan senjata. Perlombaan senjata hanya memberikan harapan palsu kepada mereka yang menuntut peningkatan keamanan, meskipun sekarang ini kita tahu bahwa persenjataan dan kekerasan, alih-alih memberikan solusi, justru menciptakan konflik-konflik baru dan yang lebih serius. Beberapa hanya berpuas diri dengan menyalahkan orang-orang miskin dan bangsa-bangsa yang lebih miskin karena masalah-masalah mereka; dengan berpuas dalam generalisasi tak beralasan, mereka mengklaim bahwa solusi adalah “pendidikan” yang dapat menenangkan mereka, yang bisa membuat mereka jinak dan tak berbahaya. Semua ini bahkan akan lebih menjengkelkan mereka yang terpinggirkan, di tengah kenyataan korupsi yang menyebar dan sangat berakar, sebagaimana ditemukan di banyak negara –dalam pemerintahan, bisnis, dan lembaga-lembaga mereka– apapun ideologi politik para pemimpin mereka.
Beberapa perubahan budaya
61. Kita juga mewartakan Injil ketika kita berusaha menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul.[[56] Kadangkala tantangan ini berbentuk serangan-serangan nyata terhadap kebebasan beragama atau penganiayaan baru yang ditujukan pada umat Kristiani; di beberapa negara serangan-serangan tersebut sudah mencapai tingkat kebencian dan kekerasan yang mengkhawatirkan. Di banyak tempat, masalahnya terutama adalah meluasnya ketidakpedulian dan relativisme, yang terkait dengan kekecewaan dan krisis ideologi yang telah muncul sebagai reaksi atas segala sesuatu yang terlihat totaliter. Hal ini tidak hanya membahayakan Gereja, tetapi juga struktur masyarakat secara keseluruhan. Kita mengakui bahwa dalam suatu kebudayaan di mana setiap orang ingin menjadi pembawa kebenaran subjektifnya sendiri, menjadi sulit bagi warga negara untuk mau berperan serta dalam proyek bersama yang melampaui minat dan kepentingan pribadi.
62. Dalam budaya yang dominan dewasa ini, prioritas diberikan kepada hal yang lahiriah, langsung, terlihat, cepat, dangkal dan sementara. Yang nyata memberi tempat kepada yang kelihatan. Di banyak negara globalisasi berarti kemerosotan yang berlangsung begitu cepat dari akar budaya mereka sendiri dan invasi cara berpikir dan bertindak yang dimiliki budaya lain yang secara ekonomi maju, tetapi secara etis lemah. Fakta ini telah dilontarkan oleh para uskup dari berbagai benua dalam berbagai sinode. Para Uskup Afrika, misalnya, yang mengutip Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, memperlihatkan beberapa tahun lalu bahwa telah berkali-kali ada upaya untuk menjadikan negara-negara Afrika “bagian dari mesin, gigi roda pada roda raksasa. Hal ini seringkali benar juga di bidang komunikasi sosial, yang dijalankan oleh pusat-pusat yang sebagian besar ada di belahan bumi utara, dan tidak selalu memberikan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan prioritas-prioritas dan masalah-masalah negara-negara itu atau menghargai tatanan budaya mereka.”[57] Dengan cara yang sama, para Uskup Asia “menggarisbawahi pengaruh-pengaruh dari luar yang merasuki kebudayaan-kebudayaan Asia. Bentuk-bentuk baru perilaku muncul sebagai akibat dari penyajian berlebihan media massa... Akibatnya, aspek-aspek negatif media dan industri-industri hiburan mengancam nilai-nilai tradisional, dan khususnya kesucian perkawinan dan kestabilan keluarga.”[58]
63. Iman Katolik dari banyak bangsa sekarang ini sedang ditantang oleh penyebaran gerakan-gerakan agama baru, beberapa di antaranya mengarah ke fundamentalisme, sementara yang lain tampaknya mengusung spiritualitas tanpa Allah. Hal ini di satu pihak merupakan reaksi manusiawi terhadap masyarakat yang materialistis, konsumeris dan individualis, tetapi ini juga menjadi sarana mengeksploitasi kelemahan-kelemahan orang-orang yang hidup miskin dan di pinggiran masyarakat, orang-orang yang memenuhi kebutuhan di tengah-tengah penderitaan besar manusia dan mencari solusi langsung atas kebutuhan mereka. Gerakan-gerakan keagamaan ini, bukan tanpa kelihaian tertentu, datang untuk mengisi, dalam budaya yang sangat individualistis, suatu kekosongan yang ditinggalkan oleh rasionalisme sekularis. Kita harus mengakui bahwa jika sebagian dari umat kita yang telah dibaptis kekurangan rasa memiliki terhadap Gereja, hal ini juga disebabkan oleh struktur-struktur tertentu dan seringkali adanya suasana yang kadang kurang bersahabat dari beberapa paroki dan komunitas kita, atau pendekatan birokratis dalam menangani permasalahan, entah yang sederhana atau rumit, dalam kehidupan umat kita. Di banyak tempat pendekatan administratif lebih ditekankan daripada pendekatan pastoral, seperti juga penekanan pada pelayanan sakramen tanpa bentuk-bentuk lain pewartaan Injil.
64. Proses sekularisasi cenderung mempersempit iman dan Gereja berada dalam lingkup privat dan personal. Lebih-lebih lagi, dengan sepenuhnya menolak yang transenden, proses itu telah menimbulkan berkembangnya kemerosotan etika, melemahnya makna dosa pribadi dan kolektif serta relativisme yang semakin meningkat. Semua ini telah menyebabkan disorientasi umum, terutama dalam periode-periode masa remaja dan masa dewasa awal yang sangat peka terhadap perubahan. Sebagaimana para Uskup AS telah menunjukkan secara tepat, sementara Gereja tetap berpegang teguh pada keberadaan norma-norma moral objektif yang berlaku untuk setiap orang, “di tengah kebudayaan kita, ada orang yang menyoroti ajaran ini sebagai tidak adil, yakni, berlawanan dengan hak asasi manusia yang mendasar. Pernyataan semacam itu biasanya mengikuti bentuk relativisme moral yang terkait, bukan tanpa inkonsistensi, pada suatu keyakinan akan hak-hak absolut individu. Dalam pandangan ini, Gereja dianggap mempromosikan prasangka tertentu dan menghalangi kebebasan individu.”[59] Kita sedang hidup dalam masyarakat berbasis informasi yang menyerbu kita tanpa pandang bulu dengan data –semua diperlakukan sama pentingnya– dan yang mengarah ke kedangkalan luar biasa di bidang diskresi moral. Untuk menanggapi ini kita perlu memberikan pendidikan yang mengajarkan berpikir kritis dan mendorong pengembangan nilai-nilai moral yang dewasa.
65. Meskipun gelombang sekularisme melanda masyarakat kita, di banyak negara –bahkan negara-negara di mana umat Kristiani adalah minoritas– menurut pendapat umum Gereja Katolik diperhitungkan sebagai lembaga yang dapat dipercaya, juga dipercaya karena solidaritas dan kepeduliannya kepada mereka yang paling membutuhkan. Lagi dan lagi, Gereja telah bertindak sebagai penengah dalam menemukan solusi atas masalah-masalah yang terkait dengan perdamaian, keselarasan sosial, pertanahan, pembelaan hidup, hak-hak manusia dan sipil, dan sebagainya. Dan betapa banyak hal baik telah dibuat oleh sekolah-sekolah dan universitas-universitas Katolik di seluruh dunia! Ini adalah hal yang baik. Namun, kita merasa sulit untuk membuat orang menyadari bahwa ketika kita mengajukan soal-soal lain yang kurang sesuai dengan opini publik, kita melakukannya dalam kesetiaan pada keyakinan yang sama tentang martabat manusia dan kebaikan bersama.
66. Keluarga sedang mengalami krisis budaya yang luar biasa, sebagaimana halnya dengan semua ikatan komunitas dan sosial. Dalam kasus keluarga, melunturnya ikatan-ikatan ini sungguh serius karena keluarga adalah sel dasar masyarakat, di mana kita, meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain; keluarga juga merupakan tempat di mana orangtua mewariskan iman kepada anak-anak mereka. Perkawinan masa kini cenderung dipandang sebagai bentuk kepuasan emosional belaka yang dapat dibangun atau diubah sekehendaknya sendiri. Tetapi sumbangan berharga perkawinan terhadap masyarakat melampaui perasaan dan kebutuhan-kebutuhan sesaat pasangan. Sebagaimana telah diajarkan oleh para Uskup Perancis, perkawinan tidak lahir “dari perasaan cinta, yang bersifat sementara saja menurut definisinya, tetapi dari kedalaman komitmen yang diemban oleh pasangan yang telah bersedia masuk ke dalam persekutuan hidup yang total.”[60]
67. Individualisme zaman pasca-modern dan globalisasi menyukai cara hidup yang melemahkan pengembangan dan stabilitas hubungan antar-pribadi dan merintangi ikatan-ikatan keluarga. Kegiatan pastoral perlu menunjukkan secara lebih jelas fakta bahwa hubungan kita dengan Bapa menuntut dan mendorong persekutuan yang menyembuhkan, mendukung dan meneguhkan ikatan-ikatan antarpribadi. Dalam dunia kita, terutama di beberapa negara, beragam bentuk perang dan konflik sedang muncul kembali, namun kita umat Kristiani tetap teguh dalam niat untuk menghormati sesama, menyembuhkan yang terluka, membangun jembatan dan memperkukuh relasi dan “bertolong-tolongan menanggung beban” (Gal. 6:2). Saat ini bermacam ragam kelompok yang membela hak-hak dan mengejar tujuan mulia didirikan. Hal ini merupakan tanda keinginan banyak orang untuk memberikan sumbangan pada kemajuan sosial dan budaya.
Tantangan-tantangan untuk menginkulturasi iman
68. Adanya landasan Kristiani pada bangsa-bangsa tertentu –kebanyakan ada di Barat– adalah sebuah realitas yang hidup. Di sini kita menemukan, terutama di antara mereka yang paling membutuhkan, sumber moral yang menyimpan nilai-nilai humanisme Kristiani sejati. Dengan melihat realitas dengan mata iman, kita pasti mengakui apa yang sedang ditabur oleh Roh Kudus. Akan menunjukkan kurangnya kepercayaan pada tindakan-Nya yang bebas dan tulus, bila orang berpikir bahwa tidak ada nilai-nilai Kristiani sejati di mana sejumlah besar orang yang telah menerima pembaptisan mengungkapkan iman dan bela rasa mereka kepada sesama dalam berbagai cara. Di sini perlu diakui adanya jauh lebih daripada hanya “benih-benih Sabda”, karena ada iman Kristiani sejati yang memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan diri dan menunjukkan hubungannya dengan Gereja. Sangat pentingnya suatu budaya yang ditandai oleh iman tak dapat diabaikan, karena budaya yang memperoleh pewartaan Injil ini, dengan segala keterbatasannya, memiliki jauh lebih banyak sumber daya daripada hanya sekedar sejumlah total penganutnya yang saat ini berhadapan dengan serangan gencar sekularisme kontemporer. Budaya populer yang terevangelisasi berisi nilai-nilai iman dan bela rasa yang mampu menggerakkan pengembangan masyarakat yang lebih adil dan beriman, serta memiliki kebijaksanaan khusus yang harus dihargai dengan penuh syukur.
69. Adalah keharusan mengevangelisasi budaya-budaya untuk menginkulturasi Injil. Di negara-negara dengan tradisi Katolik, hal ini berarti mendorong, mengembangkan dan memperkuat kekayaan yang sudah ada. Di negara-negara dengan tradisi agama lain, atau negara-negara yang sungguh sekuler, hal ini berarti mendorong proses-proses baru untuk mengevangelisasi budaya, meskipun proses ini akan membutuhkan perencanaan jangka panjang. Namun kita harus ingat bahwa kita senantiasa dipanggil untuk bertumbuh. Setiap budaya dan kelompok sosial memerlukan pemurnian dan pertumbuhan. Dalam kasus budaya populer bangsa-bangsa Katolik, kita dapat melihat kekurangan-kekurangan yang perlu disembuhkan oleh Injil: machismo (gaya jantan berlebihan), alkoholisme, kekerasan domestik, rendahnya kehadiran dalam Misa, gagasan fatalistik atau takhayul yang mengarah ke ilmu sihir, dan yang sejenisnya. Kesalehan populer itu sendiri bisa menjadi titik awal untuk menyembuhkan dan membebaskan dari kelemahan ini.
70. Juga benar bahwa kadang-kadang penekanan lebih besar diletakkan pada ungkapan-ungkapan lahiriah dari tradisi-tradisi beberapa kelompok, atau pada wahyu pribadi hipotesis yang dianggap menggantikan semua yang lain, daripada penekanan pada dorongan kesalehan Kristiani. Ada semacam Kristianitas yang terdiri dari devosi-devosi yang mencerminkan kehidupan iman pribadi dan sentimental yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan “kesalehan populer” autentik. Beberapa orang mempromosikan ungkapan-ungkapan ini, namun tidak sedikit pun peduli dengan perkembangan masyarakat atau pembinaan kaum awam, dan dalam kasus-kasus tertentu mereka melakukan itu untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atau kekuasaan atas orang lain. Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa dalam dekade barubaru ini telah terjadi kebuntuan pada cara umat Katolik mewariskan iman Katolik kepada orang muda. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak orang merasa kecewa dan tak lagi mengidentifikasi diri dengan tradisi Katolik. Bertambah pula jumlah orangtua yang tidak membaptis anak-anak mereka atau mengajar mereka berdoa. Ada juga eksodus tertentu ke komunitas iman lain. Sebab-sebab kebuntuan ini mencakup: kurangnya kesempatan berdialog dalam keluarga-keluarga, pengaruh media komunikasi, subjektivisme yang relatif, konsumerisme tak terkendali yang memacu pasar, kurangnya reksa pastoral bagi kaum papa, kegagalan lembaga-lembaga kita dalam menyapa, serta kesulitan kita dalam mengembalikan kesetiaan mistik pada iman di tengah lingkungan pluralisme agama.
Tantangan-tantangan dari budaya urban
71. Yerusalem baru, kota suci (bdk. Why. 21:2-4) adalah tujuan ke mana seluruh umat manusia mengarahkan diri. Menarik bahwa wahyu Ilahi mengatakan pada kita bahwa kepenuhan umat manusia dan sejarah diwujudkan dalam sebuah kota. Kita perlu melihat ke kota-kota kita dengan pandangan kontemplatif, pandangan iman yang melihat Allah berdiam di rumah-rumah mereka, di jalan-jalan dan lapangan-lapangan mereka. Kehadiran Allah menyertai upaya-upaya tulus pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok untuk menemukan peneguhan dan makna dalam hidup mereka. Dia tinggal di antara mereka, menumbuhkan solidaritas, persaudaraan, serta keinginan akan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Kehadiran ini tidak boleh dibuat-buat melainkan ditemukan, disingkapkan. Allah tidak menyembunyikan diri dari mereka yang mencari-Nya dengan hati tulus, meskipun mereka melakukan itu dengan ragu-ragu, dengan cara yang samar dan kebetulan.
72. Di kota-kota, dimensi kehidupan religius diungkapkan melalui berbagai gaya hidup dan kebiasaan yang berkaitan dengan penghayatan waktu, tempat dan relasi-relasi yang berbeda dengan gaya penduduk desa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka penduduk kota harus seringkali berjuang untuk bertahan hidup dan perjuangan ini mengandung pemahaman mendalam tentang hidup yang biasanya juga mencakup rasa religius yang dalam. Kita harus menguji ini lebih dekat supaya masuk dalam dialog seperti dialog Tuhan kita dengan wanita Samaria di sumur di mana ia berusaha untuk memuaskan dahaganya (bdk. Yoh. 4:1-15).
73. Budaya-budaya baru senantiasa lahir dalam wilayah kediaman manusia yang sangat besar ini di mana umat Kristiani biasanya tak lagi menjadi penafsir atau pembangkit makna. Sebaliknya, mereka menerima dari budaya-budaya ini bahasa-bahasa, simbol-simbol, pesan-pesan dan paradigma-paradigma baru yang mengajukan pendekatan-pendekatan baru akan kehidupan, pendekatan-pendekatan yang seringkali berlawanan dengan Injil Yesus. Budaya yang sama sekali baru telah lahir dan terus berkembang di kota-kota. Sinode mencatat bahwa sekarang ini perubahan-perubahan sedang terjadi di wilayah-wilyah luas dan budaya yang mereka ciptakan menjadi tempat istimewa bagi evangelisasi baru.[61] Hal ini menantang kita untuk membayangkan ruang-ruang doa dan persekutuan yang berciri inovatif dan lebih menarik serta penuh arti bagi para warga kota. Melalui pengaruh media, daerah pedesaan sedang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan budaya yang sama, yang secara signifikan mengubah cara hidup mereka juga.
74. Apa yang diperlukan adalah evangelisasi yang mampu memberi terang kepada cara-cara baru berelasi dengan Allah, dengan sesama serta dengan dunia sekitar kita, dan yang membangkitkan nilai-nilai dasar. Evangelisasi ini harus menjangkau tempat-tempat di mana narasi-narasi dan paradigma-paradigma baru sedang dibentuk, dengan membawa sabda Yesus kepada relung terdalam jiwa-jiwa di kota-kota kita. Kota-kota bersifat multikultural; di kota-kota besar, ditemukan jaringan penghubung di mana kelompok-kelompok orang berbagi imajinasi dan mimpi yang sama tentang hidup, dan menumbuhkan interaksi manusiawi baru, budaya-budaya baru, kota-kota yang tak terlihat. Beragam bentuk budaya hadir berdampingan, namun seringkali melakukan pemisahan dan kekerasan. Gereja dipanggil untuk melayani sebuah dialog yang sulit.
Di satu pihak, ada orang-orang yang memiliki sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengembangkan hidup pribadi dan keluarga mereka, tetapi ada juga banyak “bukan warga negara”, “setengah warga negara” dan “kaum terpinggir kota.” Kota-kota menciptakan semacam suasana pertentangan tetap karena, sementara memberikan penduduknya kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas, kota-kota juga menghadirkan kepada banyak orang sejumlah rintangan untuk pengembangan penuh hidup mereka. Perbedaan ini menimbulkan penderitaan yang menyakitkan. Di banyak bagian dunia, kota-kota menghadirkan pemandangan protes massa di mana beribu-ribu orang menuntut kebebasan, suara dalam ruang publik, keadilan dan berbagai tuntutan lainnya yang, jika tidak dipahami dengan tepat, tidak akan dapat dibungkam dengan kekuatan.
75. Kita tak bisa mengabaikan fakta bahwa di kota-kota terjadi perdagangan manusia, perdagangan narkotika, pelecehan dan eksploitasi anak-anak, pengabaian orang-orang lanjut usia dan lemah, serta berbagai bentuk korupsi dan tindakan kriminal. Pada saat yang sama apa yang seharusnya menjadi tempat-tempat penting bagi perjumpaan dan solidaritas seringkali menjadi tempat-tempat pengasingan dan kesalingtidakpercayaan. Rumah-rumah dan lingkungan sekitarnya lebih sering dibangun untuk mengasingkan diri dan melindungi diri daripada untuk berhubungan dan berintegrasi. Pewartaan Injil akan menjadi dasar untuk memulihkan kembali martabat hidup manusia dalam konteks ini, karena Yesus ingin mencurahkan kelimpahan hidup bagi kota-kota kita (bdk. Yoh. 10:10). Makna hidup manusia yang menyatukan dan utuh sebagaimana ditawarkan Injil adalah obat terbaik untuk luka-luka kota-kota kita, meskipun kita harus menyadari bahwa program yang seragam dan kaku dari evangelisasi tidak cocok dengan realitas yang kompleks ini. Tetapi usaha menghayati kehidupan kita sepenuhnya dan menghadapi setiap tantangan sebagai ragi saksi Injil dalam setiap budaya dan di setiap kota akan membuat kita menjadi umat Kristiani yang lebih baik dan menghasilkan buah di kota-kota kita.
II. GODAAN-GODAAN YANG DIHADAPI OLEH PARA PEKERJA PASTORAL
76. Saya merasa sangat berterima kasih kepada semua yang berkomitmen untuk melayani di dalam dan untuk Gereja. Di sini saya tidak ingin membahas panjang lebar kegiatan-kegiatan dari para pekerja pastoral yang berbeda-beda, dari para uskup ke bawah sampai mereka yang memberikan pelayanan yang paling rendah dan tersembunyi. Sebaliknya, saya ingin merefleksikan tantangan-tantangan yang harus dihadapi semua dalam konteks budaya globalisasi masa kini. Tetapi, saya harus mengatakan pertama-tama demi keadilan bahwa kontribusi Gereja dalam dunia sekarang ini sangat besar. Sakit dan malu yang kita rasakan atas dosa-dosa beberapa anggota Gereja, dan dosa-dosa kita sendiri, tidak harus membuat kita melupakan betapa banyaknya kaum Kristiani memberikan hidup mereka dalam kasih. Mereka membantu begitu banyak orang untuk disembuhkan atau meninggal dalam damai di rumah sakit-rumah sakit darurat. Mereka hadir bagi mereka yang diperbudak oleh bermacam kecanduan di tempat-tempat termiskin di bumi. Mereka mengabdikan diri mereka sendiri untuk pendidikan anak-anak dan orang muda. Mereka merawat orang tua yang telah dilupakan oleh orang lain. Mereka mencari cara-cara untuk menyampaikan nilai-nilai di lingkungan-lingkungan yang bermusuhan. Mereka melayani dengan banyak cara lainnya untuk menunjukkan kasih yang besar bagi umat manusia, yang diilhami oleh Allah yang menjadi manusia. Saya bersyukur atas teladan indah yang diberikan kepada saya oleh begitu banyak umat Kristiani yang dengan sukacita mengorbankan hidup mereka dan waktu mereka. Kesaksian ini menghibur dan menopang saya dalam upaya saya sendiri untuk mengatasi keegoisan dan untuk memberikan diri saya lebih penuh lagi.
77. Namun, sebagai anak-anak zaman ini, kita semua bagaimanapun juga dipengaruhi oleh budaya globalisasi yang, selain menawarkan kita nilai-nilai dan kemungkinan-kemungkinan baru, juga dapat membatasi, mengkondisikan dan akhirnya membahayakan kita. Saya sadar bahwa kita perlu menciptakan ruang-ruang di mana para pekerja pastoral dapat dibantu dan dibimbing, “tempat-tempat di mana iman akan Yesus yang disalibkan dan bangkit diperbarui, di mana persoalan-persoalan yang paling besar dan kekhawatiran sehari-hari dibagikan, di mana diskresi yang lebih dalam tentang pengalaman-pengalaman dan hidup kita sendiri dilakukan dalam terang Injil, dengan tujuan mengarahkan keputusan-keputusan individual dan sosial menuju kebaikan dan keindahan.”[62] Sekaligus, saya ingin meminta perhatian atas godaan-godaan tertentu yang secara khusus dewasa ini mempengaruhi para pekerja pastoral.
Ya pada tantangan spiritualitas misioner
78. Saat ini kita sedang menyaksikan dalam diri banyak pekerja pastoral, termasuk para biarawan dan biarawati, perhatian berlebihan akan kebebasan pribadi dan hidup santai, yang menjadikan mereka melihat karya mereka sebagai suatu tambahan belaka pada hidup mereka, seolah-olah karya itu bukanlah bagian dari identitas mereka sendiri. Pada saat yang sama, kehidupan rohani dipadukan dengan beberapa momen olah kerohanian yang dapat memberikan kenyamanan tertentu tetapi tidak mendorong perjumpaan dengan sesama, keterlibatan dengan dunia atau gairah untuk evangelisasi. Akibatnya, seseorang bisa mengamati pada banyak pelaku evangelisasi, meskipun mereka berdoa, penekanan pada individualisme, krisis identitas dan kendurnya semangat. Ketiga hal buruk ini saling menyulut satu sama lain.
79. Kadang-kadang budaya media kita dan beberapa lingkaran intelektual menyampaikan skeptisme berkaitan dengan pesan Gereja, bersamaan dengan sinisme tertentu. Akibatnya, banyak pekerja pastoral, meskipun mereka berdoa, mengidap semacam rasa rendah diri yang membuat mereka menisbikan atau menyembunyikan identitas Kristiani dan keya-kinan mereka. Hal ini menyebabkan suatu lingkaran setan. Mereka menjadi tak bahagia dengan siapa diri mereka dan apa yang mereka lakukan; mereka tidak dapat mengidentifikasi dengan pengutusan evangelisasi mereka dan hal ini melemahkan komitmen mereka. Mereka akhirnya memadamkan sukacita pengutusan dengan semacam obsesi menjadi seperti orang lain dan memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain. Karya evangelisasi mereka dengan demikian dijalankan dengan terpaksa, dan mereka memberikan sedikit tenaga dan sangat sedikit waktu untuk itu.
80. Para pekerja pastoral dengan demikian dapat jatuh ke dalam relativisme yang, apa pun gaya tertentu spiritualitas mereka atau cara berpikir mereka, terbukti bahkan lebih berbahaya daripada relativisme doktrinal. Hal itu berkaitan dengan keputusan-keputusan yang terdalam dan batiniah yang membentuk cara hidup mereka. Relativisme praktis ini tampak dalam bertindak seolah-olah Allah tidak ada, dengan membuat keputusan-keputusan seolah-olah kaum papa tidak ada, menetapkan tujuan-tujuan seolah-olah orang lain tidak ada, bekerja seolah-olah tak ada orang yang belum menerima Injil. Sungguh mengagetkan bahwa bahkan beberapa orang yang dengan jelas memiliki keyakinan spiritual dan doktrinal yang solid seringkali jatuh ke dalam gaya hidup yang mengarah pada kelekatan pada keamanan finansial, atau keinginan untuk berkuasa atau kemuliaan manusiawi dengan cara apa pun, daripada memberikan diri mereka bagi sesama dalam perutusan. Marilah kita tidak membiarkan diri dicuri semangat misioner kita!
Tidak kepada keegoisan dan kemalasan rohani
81. Pada saat kita paling membutuhkan dinamisme misioner yang akan membawa garam dan terang ke dunia, banyak kaum awam takut bila mereka diminta untuk melakukan beberapa karya kerasulan dan mereka berusaha menghindari tanggung jawab apa pun yang bisa merampas waktu senggang mereka. Misalnya, saat ini sangat sulit menemukan para katekis paroki terlatih yang mau bertahan dalam karya pelayanan ini untuk beberapa tahun. Sesuatu yang mirip juga sedang terjadi pada para imam yang terobsesi dengan melindungi waktu senggang mereka. Hal ini seringkali disebabkan kenyataan bahwa orang merasakan kebutuhan yang mendesak untuk menjaga ruang kebebasan pribadi mereka, seolah-olah tugas mewartakan Injil adalah racun yang berbahaya, bukan tanggapan sukacita atas kasih Allah yang mengutus kita dan membuat kita terpenuhi dan produktif. Beberapa orang malahan menolak mengalami sukacita pengutusan sepenuhnya dan diliputi sikap apatis yang membuat tak berdaya.
82. Masalahnya bukan selalu pada kegiatan yang berlebihan, melainkan lebih pada kegiatan yang dilakukan dengan kurang baik, tanpa motivasi cukup, tanpa spiritualitas yang meresapinya dan membuatnya menjadi menyenangkan. Akibatnya, karya pelayanan menjadi lebih melelahkan daripada diperlukan, bahkan kadang-kadang menimbulkan penyakit. Jauh dari kelelahan yang memuaskan dan membahagiakan, justru pelayanan itu menimbulkan ketegangan, rasa berat, rasa kecewa dan, akhirnya kelelahan yang tak tertahankan. Apatisme pastoral dapat ditimbulkan oleh sejumlah hal. Beberapa jatuh ke dalamnya karena mereka menceburkan diri mereka ke dalam proyek-proyek yang tidak realistis dan tidak puas hanya dengan melakukan apa yang secara realistis dapat mereka lakukan. Yang lain, karena mereka kurang sabar terhadap proses perkembangan yang sulit; mereka mengharapkan segala sesuatunya jatuh dari langit. Orang lain lagi, karena mereka lekat dengan segelintir proyek atau impian kosong kesuksesan. Yang lainnya, karena mereka telah kehilangan kontak nyata dengan orang-orang dan tidak memanusiawikan karya pastoral mereka dengan memberikan perhatian lebih besar pada organisasi daripada orang-orang, sehingga mereka lebih peduli pada peta jalan daripada dengan perjalanan itu sendiri. Yang lain lagi jatuh dalam kelumpuhan rohaniah karena mereka tak mampu menunggu; mereka ingin menguasai irama kehidupan. Kecemasan masa kini untuk mendapatkan hasil-hasil langsung membuat sulit bagi para pekerja pastoral untuk menoleransi apapun yang bernada pertentangan, kemungkinan gagal, kritik dan salib.
83. Dengan demikian, terbentuk ancaman terbesar: “pragmatisme abu-abu dalam hidup harian Gereja, di mana semua kelihatan berlangsung secara normal, padahal kenyataannya iman sedang melemah dan merosot menjadi kepicikan.”[63] Maka, berkembanglah psikologi liang kubur yang perlahan-lahan mengubah umat Kristiani menjadi mumi-mumi di museum. Karena kecewa dengan kenyataan, dengan Gereja dan diri mereka sendiri, mereka mengalami godaan terus-menerus untuk melekat pada kemurungan sendu, kekurangan harapan, yang mencengkeram hati mereka sebagai “ramuan iblis yang paling mahal.”[64] Betapapun dipanggil untuk menerangi dan menyampaikan kehidupan, pada akhirnya mereka terperangkap dalam hal-hal yang hanya menghasilkan kegelapan dan kelelahan batin, dan secara perlahan menghabiskan seluruh semangat untuk merasul. Untuk ini, saya mengulangi: marilah kita tidak membiarkan diri kita dirampas dari sukacita evangelisasi !
Tidak kepada pesimisme yang mandul
84. Sukacita Injil adalah sesuatu yang tak dapat dirampas dari kita oleh siapa pun atau oleh apa pun (bdk. Yoh. 16:22). Kejahatan-kejahatan dunia kita –dan kelemahan-kelemahan Gereja– tidak boleh menjadi alasan untuk memudarkan komitmen kita dan semangat kita. Marilah kita memandang itu semua sebagai tantangan yang membantu kita untuk bertumbuh. Dengan mata iman, kita dapat melihat cahaya yang selalu dipancarkan oleh Roh Kudus di tengah-tengah kegelapan, dengan tiada pernah melupakan bahwa “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rom. 5:20). Iman kita ditantang untuk mengenal dan membedakan bagaimana air diubah menjadi anggur dan bagaimana gandum dapat tumbuh di tengah-tengah ilalang. Lima puluh tahun setelah Konsili Vatikan II, meskipun dihadapkan pada kesulitan-kesulitan zaman kita dan jauh dari optimisme naif, realisme kita yang lebih besar tidak harus berarti kurang percaya pada Roh atau menjadi kurang murah hati. Dalam hal ini, kita sekali lagi mendengarkan kata-kata Beato Yohanes XXIII pada hari yang tak terlupakan 11 Oktober 1962: “Kadang-kadang kita harus mendengarkan, dengan perasaan terhina, suara-suara orang yang, meskipun dengan semangat membara, kekurangan citarasa kebijaksanaan dan ketepatan dalam memandang berbagai hal. Pada zaman modern ini mereka tidak dapat melihat apa pun selain kehancuran dan bencana... Kita merasa bahwa kita harus mengatakan ketidaksetujuan kita pada para nabi kiamat yang selalu meramalkan bencana, seolah-olah akhir dunia sudah dekat. Pada zaman kita, Penyelenggaraan Ilahi sedang membimbing kita menuju tatanan baru hubungan manusia yang, melalui upaya manusiawi dan bahkan melampaui segala harapan, diarahkan kepada pemenuhan rencana Allah yang lebih unggul dan ajaib, di mana segala sesuatu, bahkan kemunduran manusia, menuju kebaikan Gereja.”[65]
85. Salah satu godaan yang lebih serius yang menghambat keberanian dan semangat adalah sikap menyerah kalah yang mengubah kita menjadi orang-orang pesimis yang suka mengeluh dan kecewa, “orang bermuka muram.” Tak ada orang bisa berangkat ke pertempuran, kecuali ia sebelumnya sepenuhnya yakin akan menang. Jika kita memulai tanpa rasa percaya diri, kita telah kalah di pertengahan pertempuran dan kita mengubur talenta-talenta kita. Meskipun kita sangat menyadari kelemahan-kelemahan kita sendiri, kita harus melangkah maju tanpa menyerah, dengan mengingat apa yang disabdakan Tuhan kepada Santo Paulus: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Kor. 12:9). Kemenangan Kristiani selalu merupakan salib, namun salib yang pada saat yang sama merupakan panji kemenangan yang dibawa dengan kelembutan bertempur melawan serangan-serangan kejahatan. Roh jahat dari sifat kalah adalah saudara dari godaan untuk memisahkan, sebelum waktunya, gandum dari ilalang; hasil dari kurangnya kepercayaan yang penuh kekhawatiran dan keberpusatan diri.
86. Jelas bahwa di beberapa tempat telah muncul “padang gurun” roha-ni, sebagai akibat dari percobaan-percobaan oleh beberapa pihak dalam masyarakat untuk membangun tanpa Allah atau untuk menghilangkan akar-akar Kristiani mereka. Di tempat-tempat tersebut “dunia Kristiani menjadi steril dan menguras diri sendiri seperti tanah yang dieksploitasi berlebihan, yang berubah menjadi gurun.”[66] Di negara-negara lain perlawanan keras terhadap Kristianitas memaksa umat Kristiani menyembunyikan iman mereka di tanah air tercinta mereka sendiri. Ini adalah jenis lain padang gurun yang menyakitkan. Juga, keluarga atau tempat kerja mereka sendiri bisa menjadi tempat kering di mana iman mereka, meskipun demikian, tetap harus dipelihara dan dikomunikasikan. Namun, “bermula dari pengalaman padang gurun ini, dari kehampaan ini, kita dapat menemukan kembali sukacita dalam kepercayaan, sesuatu yang sangat penting bagi kita, perempuan dan laki-laki. Di padang gurun kita menemukan kembali nilai dasar untuk hidup; maka dalam dunia masa kini ada tanda-tanda yang tak terhitung banyaknya, yang seringkali diungkapkan secara implisit atau negatif, tentang kehausan akan Allah, akan makna pokok kehidupan. Dan di padang gurun dibutuhkan umat beriman yang, dengan teladan hidup mereka sendiri, menunjukkan jalan menuju Tanah Terjanji, dan tetap membangkitkan harapan.”[67] Dalam situasi-situasi tersebut kita dipanggil untuk menjadi pembawa tempayan air untuk memberi minum kepada orang-orang lain. Kadang-kadang tempayan air ini diubah menjadi sebuah salib yang berat, tetapi dari salib inilah, dari lambung-Nya yang ditikam, Tuhan kita memberikan diri-Nya sendiri bagi kita sebagai sumber air yang hidup. Marilah kita tidak membiarkan harapan kita dirampas!
Ya kepada hubungan-hubungan baru yang dibawa oleh Kristus
87. Dewasa ini, ketika jaringan-jaringan dan sarana-sarana komunikasi manusia telah membuat kemajuan-kemajuan yang tak terkirakan, kita merasakan tantangan untuk menemukan dan membagikan “mistik” hidup bersama, berbaur dan bertemu, saling merangkul dan mendukung satu sama lain, mengambil bagian dalam gelombang yang, meskipun agak kacau, dapat menjadi pengalaman nyata persaudaraan dalam iring-iringan solidaritas, peziarahan suci. Maka, kemungkinan-kemungkinan lebih besar untuk komunikasi berubah menjadi kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk perjumpaan dan solidaritas bagi semua orang. Jika kita mampu mengambil jalan ini, akan sangat baik, begitu menyejukkan, begitu membebaskan dan penuh pengharapan! Keluar dari diri kita sendiri dan bergabung dengan orang lain adalah sesuatu yang sehat bagi kita. Menutup diri menjadikan kita mencicipi racun pahit imanensi, dan kemanusiaan akan menjadi lebih buruk untuk setiap pilihan egois yang kita buat.
88. Cita-cita Kristiani akan selalu mengajak kita mengatasi kecurigaan, ketidakpercayaan permanen, ketakutan kehilangan privasi kita, semua sikap defensif yang ditanamkan dunia dewasa ini pada kita. Banyak orang yang mencoba menjauhkan diri dari orang lain dan berlindung dalam kenyamanan pribadi mereka atau dalam lingkaran kecil teman-teman dekat, dengan menyangkal realisme aspek sosial dari Injil. Sebagaimana sama seperti beberapa orang menginginkan Kristus yang murni spiritual, tanpa daging dan tanpa salib, mereka juga ingin hubungan interpersonal mereka disediakan oleh peralatan yang canggih, dengan layar dan sistem yang dapat dihidupkan dan dimatikan menurut perintah. Sementara itu, Injil mengundang kita terus-menerus menghadapi risiko perjumpaan tatap muka dengan orang lain, dengan kehadiran fisik mereka yang menantang kita, dengan rasa sakit mereka dan permintaan mereka, dengan sukacita mereka yang menulari kita dalam interaksi kita yang akrab dan berkesinambungan. Iman yang benar akan Putra Allah yang menjelma tidak bisa dilepaskan dari pemberian diri, dari keanggotaan dalam komunitas, dari pelayanan, dari rekonsiliasi dengan sesama. Putra Allah, dengan menjadi manusia, mengundang kita kepada revolusi kasih yang lemah lembut.
89. Isolasi, yang merupakan bentuk imanentisme, dapat menemukan ungkapannya dalam otonomi palsu yang mengucilkan Allah. Tetapi dalam ranah agama itu juga bisa mengambil bentuk konsumerisme rohani yang disesuaikan dengan individualismenya yang tak sehat. Kembali kepada kesucian dan pencarian spiritualitas yang menandai zaman kita merupakan fenomena yang mendua. Saat ini tantangan kita bukanlah terutama soal ateisme, namun lebih pada kebutuhan untuk menanggapi dengan tepat rasa haus banyak orang akan Allah, supaya mereka tidak mencoba memuaskannya dengan solusi-solusi yang mengasingkan atau dengan Yesus yang terpisah dari tubuhnya, yang tidak menuntut apa pun dari kita berkaitan dengan sesama. Jika orang-orang ini tidak menemukan dalam Gereja suatu spiritualitas yang dapat menawarkan penyembuhan dan pembebasan, serta mengisi mereka dengan hidup dan perdamaian, seraya sekaligus memanggil mereka kepada persekutuan persaudaraan dan keberhasilan misioner, mereka akhirnya akan ditipu oleh tawaran-tawaran yang tidak membuat hidup sungguh-sungguh manusiawi ataupun membawa kemuliaan bagi Allah.
90. Bentuk-bentuk khas religiositas populer berinkarnasi, karena lahir dari inkarnasi iman Kristiani dalam budaya populer. Oleh karena itu mereka membawa serta hubungan personal, bukan dengan energi yang membawa harmoni, melainkan dengan Allah, dengan Kristus, dengan Maria, dengan para santo-santa. Devosi ini berdaging, memiliki wajah. Ia mampu menumbuhkan hubungan dan bukan sekadar menjadi pelarian individualistis. Di bagian-bagian lain dari masyarakat kita, kita melihat berkembangnya ketertarikan kepada berbagai bentuk “spiritualitas kesejahteraan” yang terpisah dari kehidupan komunitas mana pun, atau kepada “teologi kemakmuran” yang lepas dari tanggung jawab bagi saudara dan saudari kita, atau pengalaman-pengalaman subjektif tanpa wajah, yang direduksi pada suatu pencarian batiniah di dalam dirinya.
91. Satu tantangan penting adalah untuk menunjukkan bahwa penyelesaian tidak pernah ditemukan dengan melarikan diri dari hubungan pribadi dan berkomitmen dengan Allah yang sekaligus melibatkan kita untuk melayani sesama. Hal ini seringkali terjadi sekarang ini, ketika orang-orang beriman berusaha bersembunyi atau menjauh dari sesama, atau dengan cerdik lari dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu tugas ke tugas lain, tanpa menciptakan ikatan-ikatan yang mendalam dan stabil. “Imaginatio locorum et mutatio multos fefellit".[68] Hal ini merupakan obat palsu yang melumpuhkan hati dan demikian juga tubuh. Kita perlu membantu sesama menyadari bahwa satu-satunya jalan adalah belajar bagaimana menjumpai sesama dengan sikap yang benar, yakni menerima dan menghargai mereka sebagai teman perjalanan sepanjang jalan, tanpa perlawanan batin. Akan lebih baik lagi, kalau kita belajar menemukan Yesus dalam wajah-wajah sesama, dalam suara-suara mereka, dalam permintaan-permintaan mereka. Dan kita belajar menderita dalam dekapan Yesus yang disalib ketika kita diserang secara tak adil atau tidak dihargai, dengan tidak pernah lelah dalam pilihan kita untuk hidup dalam persaudaraan.[69]
92. Di situlah kita menemukan penyembuhan sejati karena yang sungguh menyembuhkan bukan melemahkan kita ialah cara berelasi dengan sesama, yakni persaudaraan mistik, suatu persaudaraan kontemplatif. Inilah kasih persaudaraan yang memampukan kita melihat keagungan suci sesama kita, menemukan Allah dalam setiap manusia, menanggung ketidaknyamanan kehidupan bersama dengan berpegang erat pada kasih Allah, membuka hati pada kasih ilahi dan mencari kebahagiaan sesama seperti yang dilakukan Bapa di surga. Justru pada masa sekarang, dan juga di mana ada “kawanan kecil” (Luk. 12:32), murid-murid Tuhan dipanggil untuk hidup sebagai komunitas yang menjadi garam dunia dan terang dunia (bdk. Mat. 5:13-16). Para murid dipanggil untuk memberi kesaksian tentang tugas dan keterlibatan mereka dalam memberitakan Injil dengan cara yang senantiasa baru.[70] Marilah kita tidak membiarkan diri dirampas dari komunitas!
Tidak kepada keduniawian rohani
93. Keduniawian rohani, yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih pada Gereja mencari bukan kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi. Hal inilah apa yang dikecam Allah pada diri orang-orang Farisi: “Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?” (Yoh. 5:44). Keduniawian ini adalah cara halus untuk mencari “kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus” (Flp. 2:21). Sikap ini mengambil banyak bentuk, tergantung pada sifat pribadi dan kondisi-kondisi yang diresapinya. Karena terkait dengan pencarian penam-pilan, keduniawian tidak selalu disertai oleh dosa lahiriah; sepintas dari luar, semuanya tampak baik adanya. Tetapi jika hal itu meresap ke dalam Gereja “akan menjadi malapetaka yang jauh lebih besar daripada keduniawian lain yang hanya bersifat moral.”[71]
94. Keduniawian ini dapat dipupuk dalam dua cara yang saling terkait dengan erat. Yang pertama adalah daya tarik gnostisisme, iman subjektif murni yang hanya mementingkan pengalaman tertentu atau serangkaian gagasan dan pengetahuan yang dianggap dapat menghibur dan memberi pencerahan, tetapi akhirnya memenjara orang pada pikiran dan perasaannya sendiri. Yang lain adalah neo-pelagianisme promothean yang mengandalkan diri sendiri sehingga mereka akhirnya hanya percaya pada kekuatan mereka sendiri dan merasa lebih unggul daripada yang lain, karena mereka mematuhi aturan-aturan tertentu atau tetap setia dengan teguh pada gaya Katolik tertentu masa lalu. Rasa aman yang diandaikan dari doktrin atau ajaran mengarahkan orang sebaliknya kepada elitisme narsistik dan autoritarian, di mana bukannya memberitakan Injil, seseorang malah menganalisa dan menggolongkan yang lain; bukannya membuka pintu kepada rahmat, seseorang justru menguras energinya untuk mengawasi dan memeriksa. Dalam kedua sikap ini, orang tidak sungguh peduli pada Yesus Kristus ataupun sesama. Keduanya merupakan pewujudan dari imanentisme antroposentris. Tidak mungkin membayangkan bahwa dorongan evangelisasi sejati dapat muncul dari bentuk-bentuk Kristianitas yang tercemar ini.
95. Keduniawian yang berbahaya ini tampak dalam sejumlah sikap yang kelihatannya berlawanan, namun semuanya memiliki pretensi yang sama untuk “menguasai ruang Gereja.” Pada beberapa orang kita melihat perhatian yang berlebihan akan liturgi, doktrin, dan akan gengsi Gereja, tetapi tanpa kepedulian apa pun agar Injil memiliki dampak nyata pada umat Allah dan kebutuhan konkret masa kini. Dengan demikian, kehidupan menggereja berubah menjadi sebuah museum atau sesuatu yang menjadi milik beberapa orang terpilih. Dalam diri orang lain, keduniawian rohani ini bersembunyi di balik pesona pencapaian sosial dan politik, atau kebanggaan pada kemampuan mereka untuk mengatur hal-hal praktis, atau obsesi dengan program-program kemandirian dan realisasi diri. Keduniawian ini juga bisa diterjemahkan ke dalam berbagai cara untuk menunjukkan dirinya sangat terlibat dalam kehidupan sosial yang diisi dengan banyak perjalanan, pertemuan-pertemuan, makan malam dan resepsi. Hal ini juga terungkap dalam fungsi manajerial, yang sibuk dengan manajemen, statistik, rencana dan evaluasi di mana penerima manfaatnya bukan umat Allah, melainkan Gereja sebagai institusi. Dalam semua kasus itu meterai Kristus, yang menjelma menjadi manusia, disalib dan bangkit, tidak tampak; terbentuk kelompok-kelompok elite yang tertutup dan tidak ada upaya untuk pergi keluar dan mencari mereka yang jauh ataupun jumlah sangat besar orang yang haus akan Kristus. Semangat evangelisasi digantikan oleh kesenangan hampa akan kepuasan dan pemuasan diri.
96. Cara berpikir demikian juga menumbuhkan kesombongan pada mereka yang puas memiliki sedikit kekuasaan dan lebih suka menjadi jenderal dari pasukan yang dikalahkan daripada prajurit biasa di sebuah unit yang terus berjuang. Betapa sering kita memimpikan proyek-proyek kerasulan yang besar sekali, yang direncanakan dengan cermat, ciri khas para jenderal yang sudah kalah! Dengan demikian, kita menyangkal sejarah kita sebagai Gereja, yang kemuliaannya nyata justru karena sejarah pengorbanannya, harapan-harapan dan perjuangannya sehari-hari, hidup yang dihabiskan dalam pelayanan dan kesetiaan karya, betapa pun melelahkannya, karena semua karya adalah “hasil kerja keras kita.” Sebaliknya, kita sia-sia menghabiskan waktu berbicara tentang “apa yang perlu dilakukan” –dosa “perlu dilakukan”– seperti seorang guru rohani dan ahli pastoral yang memberikan instruksi tanpa melaku-kannya sendiri. Kita berpuas diri dalam fantasi tanpa ujung dan kehilangan kontak dengan kehidupan nyata dan kesulitan-kesulitan umat kita.
97. Mereka yang telah jatuh ke dalam keduniawian ini memandang dari atas dan dari jauh, mereka menolak sabda kenabian saudara-saudari mereka, mereka mengesampingkan orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mereka menunjuk pada kesalahan-kesalahan orang lain dan mereka senantiasa terobsesi oleh penampilan. Hati mereka terbuka hanya bagi pandangan yang terbatas dari imanensi dan kepentingan mereka sendiri, dan sebagai akibatnya mereka tidak belajar dari dosa-dosa mereka atau pun tidak benar-benar terbuka bagi pengampunan. Inilah korupsi luar biasa yang menyamar sebagai hal yang baik. Kita perlu menghindarinya dengan membuat Gereja terus-menerus bergerak keluar dari dirinya sendiri, dengan menjaga perutusannya yang berpusat pada Yesus Kristus, dan komitmennya kepada orang-orang miskin. Allah menyelamatkan kita dari Gereja duniawi dengan hiasan-hiasan spiritual dan pastoral yang dangkal! Keduniawian yang menyesakkan ini hanya dapat disembuhkan dengan menghirup udara murni Roh Kudus yang membebaskan kita dari keberpusatan diri yang berkedok religiositas lahiriah yang kehilangan Allah. Marilah kita tidak membiarkan Injil dirampok dari kita!
Tidak kepada perang antara kita sendiri
98. Betapa banyak perang terjadi di tengah umat Allah dan dalam pelbagai komunitas kita! Dalam lingkungan kita dan di tempat kerja, betapa banyaknya peperangan terjadi yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu, bahkan di antara umat Kristiani sendiri! Keduniawian rohani mendorong beberapa umat Kristiani untuk berperang dengan umat Kristiani lain yang merintangi mereka untuk memperoleh kekuasaan, gengsi, kesenangan dan keterjaminan ekonomi. Beberapa bahkan tidak lagi dengan senang hati hidup sebagai bagian dari komunitas Gereja yang lebih besar, dengan menyalakan semangat perselisihan. Alih-alih menjadi bagian dari seluruh Gereja dengan segala keragamannya yang kaya, mereka justru menjadi bagian kelompok ini atau kelompok itu yang merasa dirinya berbeda atau istimewa.
99. Dunia kita sedang dicabik-cabik oleh peperangan dan kekerasan, serta terluka karena meluasnya individualisme yang memecah belah umat manusia, dengan menjadikan mereka saling melawan satu sama lain ketika mereka mengejar kesejahteraan mereka sendiri. Di berbagai negara, konflik dan perpecahan lama yang dikira sudah selesai sedang muncul kembali. Saya secara khusus meminta umat Kristiani dari segala komunitas di seluruh dunia untuk memberikan kesaksian yang memancar dan berdaya pikat tentang persekutuan persaudaraan. Biarkan setiap orang mengagumi bagaimana Anda saling memperhatikan satu sama lain, bagaimana Anda saling mendukung dan mendampingi satu sama lain. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh. 13:35). Inilah doa tulus Yesus kepada Bapa: “supaya mereka semua menjadi satu... di dalam Kita ... supaya dunia percaya” (Yoh. 17:21). Waspadalah terhadap godaan iri hati! Kita semua di dalam kapal yang sama dan mengarah ke pelabuhan yang sama! Marilah kita mohon rahmat untuk bersukacita dalam keberhasilan orang lain, yang menjadi milik semua orang.
100. Mereka yang terluka oleh perpecahan sejarah menemui kesulitan menerima ajakan untuk pengampunan dan rekonsiliasi, karena mereka berpikir bahwa kita mengabaikan kepedihan mereka atau berharap agar mereka kehilangan ingatan dan cita-cita mereka. Tetapi jika mereka melihat kesaksian komunitas-komunitas persaudaraan yang berekonsiliasi secara autentik, mereka akan menemukan bahwa kesaksian tersebut bersinar dan menarik. Sungguh menyakitkan bagi saya menemukan bagaimana beberapa komunitas Kristiani, dan bahkan kaum religius, dapat membenarkan berbagai bentuk permusuhan, perpecahan, fitnah, pencemaran nama baik, dendam, iri hati dan keinginan untuk memaksakan ide-idenya sendiri dengan cara apa pun, bahkan dengan penganiayaan yang menyerupai perburuan tanpa henti si tukang sihir. Siapa yang akan kita beri warta Injil jika ini adalah cara kita bertindak?
101. Marilah kita memohon Allah untuk membantu kita memahami hukum kasih. Betapa baiknya memiliki hukum ini! Betapa sangat baiknya bagi kita saling mengasihi, apa pun yang terjadi. Ya, apa pun yang terjadi! Seruan Santo Paulus dialamatkan kepada kita masing-masing: “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rom. 12:21). Sekali lagi: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik” (Gal. 6:9). Kita semua memiliki perasaan simpati dan perasaan antipati, dan barangkali pada saat ini kita sedang marah pada seseorang. Setidaknya marilah kita berkata kepada Tuhan: “Tuhan, saya marah pada orang ini, pada orang itu. Saya berdoa pada-Mu bagi mereka.” Berdoa bagi seseorang pada siapa kita jengkel merupakan langkah indah menuju kasih, dan tindakan evangelisasi. Marilah kita melakukan hal ini sekarang juga! Marilah kita tidak membiarkan diri kita dirampok dari cita-cita kasih persaudaraan!
Tantangan-tantangan gerejawi lainnya
102. Kaum awam benar-benar adalah bagian terbesar dari umat Allah. Kaum minoritas –para pelayan tertahbis– siap melayani mereka. Telah berkembang kesadaran tentang identitas dan perutusan kaum awam di Gereja. Kita dapat mengandalkan banyak awam, meskipun masih jauh dari cukup, yang memiliki citarasa komunitas yang berakar dalam dan kesetiaan besar terhadap tugas amal kasih, katekese, serta perayaan iman. Namun, kesadaran jelas akan tanggung jawab kaum awam, yang didasarkan pada sakramen baptis dan sakramen penguatan mereka, tidak muncul dengan cara yang sama di segala tempat. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan karena kaum awam tidak diberi pembinaan yang diperlukan untuk mengemban tanggung jawab-tanggung jawab penting. Dalam kasus-kasus lain, hal ini terjadi karena dalam Gereja-gereja partikular mereka tidak mendapat ruang untuk berbicara dan bertindak karena klerikalisme berlebihan yang menjauhkan mereka dari pengambilan keputusan. Bahkan jika banyak dari kaum awam sekarang terlibat dalam pelayanan awam, keterlibatan ini tidak tercermin dalam nilai-nilai Kristiani yang semakin merasuk ke sektor-sektor sosial, politik maupun ekonomi. Seringkali keterlibatan itu terbatas pada tugas-tugas dalam Gereja, tanpa komitmen nyata untuk menerapkan Injil demi perubahan masyarakat. Pembinaan kaum awam serta evangelisasi kehidupan profesional dan intelektual menggambarkan tantangan pastoral yang signifikan.
103. Gereja mengakui sumbangan yang sangat dibutuhkan dari kaum perempuan kepada masyarakat melalui kepekaan, intuisi dan serangkaian keterampilan istimewa lainnya yang, biasanya lebih daripada laki-laki, mereka miliki. Saya berpikir tentang, misalnya, perhatian khusus yang ditunjukkan kaum perempuan kepada sesama, yang terungkap secara khusus, walaupun tidak eksklusif, dalam keibuan mereka. Saya dengan senang hati mengakui bahwa banyak perempuan berbagi tanggung jawab pastoral dengan para imam, dengan membantu membimbing orang-orang, keluarga-keluarga, serta kelompok-kelompok dan dengan memberikan sumbangan-sumbangan baru pada refleksi teologis. Tetapi kita masih perlu menciptakan kesempatan-kesempatan lebih luas bagi kehadiran perempuan yang lebih berpengaruh di Gereja. Karena “kecerdasan kaum perempuan dibutuhkan dalam semua bentuknya untuk kehidupan masyarakat, dan karenanya kehadiran mereka di tempat kerja mesti juga dijamin.”[72] dan di berbagai tempat lain di mana keputusan-keputusan penting dibuat, baik di Gereja maupun di dalam struktur-struktur kemasyarakatan.
104. Tuntutan-tuntutan agar hak-hak sah kaum perempuan dihargai, yang didasarkan pada keyakinan teguh bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam martabat, mengajukan kepada Gereja pertanyaan-pertanyaan mendalam, yang menantang dan tidak dapat dihindari begitu saja. Reservasi imamat bagi kaum laki-laki, sebagai tanda Kristus Sang Mempelai yang memberikan diri dalam Ekaristi, bukanlah suatu pertanyaan yang terbuka untuk didiskusikan, tetapi bisa sungguh sangat memecah belah jika kekuasaan sakramental terlalu erat diidentikkan dengan kekuasaan pada umumnya. Perlu diingat bahwa ketika kita berbicara tentang kekuasaan sakramental, “kita berada di bidang fungsi, bukan di bidang martabat atau kekudusan.”[73] Imamat pelayanan adalah salah satu sarana yang digunakan Yesus untuk melayani umat-Nya, namun martabat kita yang agung berasal dari Pembaptisan, yang bisa diperoleh semua orang. Kesatuan gambaran imam dengan Kristus Sang Kepala –yakni, sebagai sumber utama rahmat– tidak mengandung arti suatu pengagungan yang akan menempatkannya di atas orang-orang lain. Di dalam Gereja, fungsi-fungsi “tidak memberi tempat bagi superioritas seorang di atas orang lain.”[74] Sungguh, seorang perempuan, Maria lebih penting daripada para uskup. Juga bila fungsi imamat pelayanan dianggap “hierarkis,” harus diingat bahwa “fungsi ini ditata semata-mata demi kekudusan para anggota Kristus.”75 Kunci dan sumbunya bukanlah kekuasaan yang dimengerti sebagai dominasi, melainkan kekuasaan untuk melayani sakramen Ekaristi; dari situlah berasal otoritasnya yang selalu merupakan pelayanan kepada umat Allah. Hal ini menjadi suatu tantangan besar bagi para pastor dan para teolog, yang dapat membantu mengenal dengan lebih baik apa implikasinya terkait dengan peranan yang dapat diambil kaum perempuan dalam pengambilan keputusan penting di berbagai bidang kehidupan Gereja.
105. Karya pastoral kaum muda, sebagaimana dikelola secara tradisional, juga telah terkena dampak perubahan-perubahan sosial. Kaum muda seringkali tidak menemukan jawaban terhadap keprihatinan-keprihatinan, kebutuhan-kebutuhan, masalah-masalah serta luka-luka hati mereka dalam struktur-struktur yang biasa. Sebagai orang dewasa kita menemui kesulitan mendengarkan mereka dengan sabar, menghargai soal-soal dan tuntutan-tuntutan mereka, dan berbicara dengan mereka dalam bahasa yang mereka pahami. Dengan alasan yang sama upaya-upaya kita di bidang pendidikan tidak memberikan hasil yang diharapkan. Muncul dan berkembangnya perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan yang kebanyakan terdiri dari orang-orang muda dapat dipandang sebagai karya Roh Kudus, yang merintis jalan-jalan baru untuk memenuhi harapan-harapan mereka dan pencarian mereka akan spiritualitas yang mendalam serta rasa memiliki yang lebih nyata. Meskipun demikian, masih tetap perlu memantapkan agar perkumpulan-perkumpulan ini berperan serta dalam keseluruhan upaya pastoral Gereja.[76]
106. Meskipun tidak selalu mudah mendekati orang muda, telah ada kemajuan dalam dua bidang: kesadaran bahwa seluruh komunitas dipanggil untuk mendidik dan mewartakan Injil kepada kaum muda, serta kebutuhan mendesak bagi kaum muda untuk mengambil peran utama yang lebih besar. Kita perlu mengakui bahwa meskipun ada krisis masa kini tentang komitmen dan hubungan komunal, banyak orang muda memberikan bantuan dalam solidaritas untuk menghadapi masalah-masalah dunia kita dan melakukan berbagai bentuk kegiatan dan kerja sukarela. Beberapa mengambil bagian dalam hidup menggereja sebagai anggota kelompok pelayanan dan berbagai inisiatif perutusan di keuskupan-keuskupan mereka sendiri dan di tempat-tempat lain. Betapa indahnya mengetahui bahwa orang-orang muda adalah “pengkhotbah-pengkhotbah jalanan,” yang dengan sukacita membawa Yesus ke setiap jalan, setiap lapangan kota dan setiap sudut dunia!
107. Banyak tempat sedang mengalami kelangkaan panggilan imamat dan hidup bakti. Hal ini seringkali disebabkan oleh kurangnya semangat kerasulan yang menyebar ke dalam komunitas-komunitas yang mengakibatkan dinginnya semangat dan daya tarik. Di mana ada hidup, semangat dan gairah untuk membawa Kristus kepada orang-orang lain, panggilan sejati akan tumbuh. Bahkan di paroki-paroki di mana para imam tidak terlalu terlibat atau bergembira, hidup persaudaraan dan semangat komunitas dapat membangkitkan dalam diri kaum muda keinginan untuk mempersembahkan diri mereka sepenuhnya kepada Allah dan untuk mewartakan Injil. Hal ini sungguh-sungguh benar jika komunitas yang demikian itu tekun berdoa untuk panggilan dan berani menawarkan kepada kaum muda jalan pengabdian khusus. Sebaliknya, meskipun panggilan sangat jarang, saat ini kita semakin menyadari perlunya proses yang lebih baik untuk memilih para calon imam. Seminari-seminari tidak dapat menerima para calon berdasarkan motivasi apa pun, terutama jika motivasi-motivasi itu berkaitan dengan ketidakamanan afeksi atau pencarian bentuk kekuasaan, kemuliaan manusiawi atau kesejahteraan ekonomi.
108. Seperti telah saya sebutkan di atas, saya tidak berusaha menawarkan suatu diagnosa yang lengkap, tetapi saya mengajak komunitas-komunitas untuk melengkapi dan memperkaya perspektif ini berdasarkan kesadaran mereka akan tantangan-tantangan yang menghadang mereka dan lingkungan mereka. Dengan bertindak demikian, saya berharap agar mereka menyadari bahwa ketika kita mencoba membaca tanda-tanda zaman, mendengarkan kaum muda dan para lanjut usia sungguh bermanfaat. Keduanya adalah harapan masyarakat. Orang-orang lanjut usia memiliki kenangan dan kebijaksanaan pengalaman, yang mengingatkan kita untuk tidak secara bodoh mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu kita. Orang-orang muda mengajak kita untuk membangkitkan kembali dan menguatkan harapan, karena mereka membawa dalam diri mereka arah-arah baru kemanusiaan dan membukakan kita masa depan, agar jangan sampai kita melekat pada nostalgia akan struktur-struktur dan kebiasaan-kebiasaan yang tak lagi memberi kehidupan di dunia masa sekarang.
109. Tantangan-tantangan ada untuk diatasi! Marilah kita bersikap realistis, tetapi tanpa kehilangan sukacita kita, keberanian kita dan komitmen kita yang penuh harapan. Marilah kita tidak membiarkan diri kita dirampok dari semangat perutusan!
BAB III
PEWARTAAN INJIL
110. Setelah memikirkan beberapa tantangan masa sekarang, saya kini ingin berbicara tentang tugas yang kita emban di setiap masa dan di setiap tempat, karena, “Tidak mungkin ada pewartaan Injil sejati tanpa secara eksplisit memaklumkan Yesus sebagai Tuhan,” dan tanpa “kedudukan tertinggi pewartaan tentang Yesus Kristus di segala karya evangelisasi.”[77] Seraya mengakui keprihatinan-keprihatinan para Uskup Asia, Yohanes Paulus II mengatakan pada mereka bahwa jika Gereja “harus melaksanakan tujuannya yang providensial, penyiaran Injil sebagai pewartaan penuh kegembiraan, kesabaran dan langkah-langkah progresif tentang wafat dan kebangkitan Yesus Kristus yang menyelamatkan umat manusia harus merupakan prioritas mutlak Anda.”[78] Kata-kata ini tetap benar bagi kita semua saat ini.
I. SELURUH UMAT ALLAH MEWARTAKAN INJIL
111. Evangelisasi adalah tugas Gereja. Gereja, sebagai pelaku evangelisasi, lebih dari suatu lembaga organis dan hierarkis; Gereja pertama-tama dan terutama adalah umat yang sedang bergerak maju dalam perjalanan ziarahnya menuju Allah. Tentu saja Gereja adalah misteri yang berakar dalam Trinitas, namun berada secara nyata dalam sejarah sebagai suatu bangsa peziarah dan pewarta Injil, yang melampaui ungkapan kelembagaan mana pun, betapapun diperlukan. Saya ingin berhenti sejenak pada cara memahami Gereja ini, yang dasar utamanya ditemukan dalam inisiatif Allah yang bebas dan cuma-cuma.
Umat bagi setiap orang
112. Keselamatan yang ditawarkan Allah kepada kita adalah karya kerahiman-Nya. Tak ada usaha manusia, seberapa pun baiknya, dapat membuat kita pantas menerima suatu anugerah yang begitu besar. Allah, dengan belas kasih-Nya, menarik kita kepada-Nya dan membuat kita satu dengan diri-Nya.[79] Dia mengutus Rohnya ke dalam hati kita supaya kita menjadi anak-anak-Nya, dengan mengubah kita dan memampukan kita menanggapi kasih-Nya melalui hidup kita. Gereja diutus oleh Yesus Kristus sebagai sakramen keselamatan yang ditawarkan oleh Allah.[80] Melalui kegiatan evangelisasinya, Gereja bekerja sama sebagai sarana rahmat ilahi yang bekerja tanpa henti dan sulit dimengerti. Benediktus XVI menyampaikan pemahaman itu dengan baik pada permulaan refleksi Sinode: “selalu penting untuk mengetahui bahwa kata pertama, inisiatif sejati, aktivitas sejati berasal dari Allah dan hanya dengan menyisipkan diri kita ke dalam inisiatif ilahi, hanya dengan memohon inisiatif ilahi ini, kita juga akan mampu menjadi –bersama dan di dalam Dia– para pewarta Injil.”[81] Prinsip primat rahmat ini harus menjadi mercusuar yang terus-menerus menerangi refleksi kita atas pewartaan Injil.
113. Keselamatan yang telah dilaksanakan oleh Allah, dan diwartakan oleh Gereja dengan sukacita, adalah untuk setiap orang.[82] Allah telah menemukan cara untuk menyatukan Diri-Nya dengan setiap manusia di setiap zaman. Dia telah memilih untuk memanggil mereka bersama-sama sebagai umat dan bukan sebagai individu-individu yang terasing.[83] Tak seorang pun diselamatkan oleh dirinya sendiri secara individual atau oleh usaha-usahanya sendiri. Tuhan menarik kita dengan memperhitungkan jalinan kompleks hubungan antarpribadi yang terdapat dalam hidup masyarakat manusia. Umat yang telah dipilih dan dipanggil Tuhan adalah Gereja. Yesus tidak menyuruh para rasul untuk membentuk kelompok yang eksklusif atau elit. Ia berkata: “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” ((Mat. 28:19). Santo Paulus mengatakan pada kita dalam umat Allah, dalam Gereja, “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, ... karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28). Kepada mereka yang merasa jauh dari Allah dan Gereja, kepada mereka semua yang takut atau acuh tak acuh, saya ingin mengatakan ini: Tuhan, dengan rasa hormat dan kasih yang besar, juga memanggilmu menjadi bagian dari umat-Nya.
114. Menjadi Gereja berarti menjadi umat Allah, sesuai dengan rencana besar kasih kebapaan-Nya. Hal ini berarti bahwa kita menjadi ragi Allah di tengah-tengah umat manusia. Hal ini berarti mewartakan dan membawa keselamatan Allah ke dalam dunia kita, yang seringkali tersesat dan perlu didukung, diberi pengharapan dan dikuatkan dalam perjalanan. Gereja harus menjadi tempat belas kasihan yang diberikan secara bebas, di mana setiap orang bisa merasa diterima, dikasihi, diampuni dan didukung untuk menghayati hidup yang baik dari Injil.
Umat dengan banyak wajah
115. Umat Allah menjelma dalam bangsa-bangsa di bumi, yang masing-masing memiliki budayanya sendiri. Konsep budaya berharga untuk menangkap berbagai ungkapan kehidupan Kristiani yang ada dalam umat Allah. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup masyarakat tertentu, cara khusus berelasi antara para anggotanya, dengan ciptaan lain dan dengan Allah. Dengan dipahami secara demikian ini, budaya merangkum keseluruhan hidup bangsa.[84] Setiap bangsa dalam perjalanan sejarahnya mengembangkan kebudayaannya dengan otonomi yang sah.[85] Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pribadi manusia, “berdasarkan kodratnya sungguh-sungguh memerlukan hidup kemasyarakatan"[86] dan selalu ada dalam hubungan dengan masyarakat, di sana menemukan cara konkret untuk berhubungan dengan kenyataan. Pribadi manusia selalu ditempatkan dalam sebuah kebudayaan: “kodrat dan kebudayaan berhubungan secara erat sekali.”[87] Rahmat mengandaikan budaya dan anugerah Allah diwujudkan dalam budaya mereka yang menerimanya.
116. Dalam dua milenium pertama Kristiani ini, tak terhitung banyaknya orang yang telah menerima rahmat iman, yang mereka bawa untuk dikembangkan dalam kehidupan mereka sehari-hari dan diteruskan dalam bahasa kebudayaan mereka sendiri. Kapan pun sebuah komunitas menerima pesan keselamatan, Roh Kudus memperkaya budayanya dengan kekuatan Injil yang mengubah. Sejarah Gereja menunjukkan bahwa Kristianitas tidak hanya memiliki satu ungkapan budaya, melainkan lebih tepatnya, “sementara tetap setia pada dirinya, dalam sikap percaya yang kokoh pada pewartaan Injil serta tradisi Gereja, Kristianitas juga memantulkan pelbagai wajah kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa, di tengah mana dirinya diterima dan mengakar.”[88] Dalam keragaman bangsa-bangsa yang mengalami anugerah Allah, masing-masing sesuai dengan budayanya sendiri, Gereja mengungkapkan katolisitasnya yang sejati dan memancarkan “keindahan wajahnya yang beraneka ragam.”[89] Dalam ungkapan-ungkapan kristiani suatu bangsa yang sudah menerima Injil, Roh Allah memperindah Gereja, dengan menunjukkan kepadanya aspek-aspek baru wahyu Allah dan memberinya wajah baru. Melalui inkulturasi, Gereja “membawa masuk bangsa-bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam komunitasnya sendiri.”[90] karena “setiap kebudayaan menawarkan nilai-nilai positif dan bentuk-bentuk yang dapat memperkaya cara Injil diberitakan, dimengerti dan dihayati.”[91] Dengan cara ini, Gereja mengambil nilai-nilai dari berbagai budaya dan menjadi sponsa ornata monilibus suis, “pengantin perempuan yang memakai perhiasannya” (bdk. Yes. 61:10).[92]
117. Bilamana dipahami dengan tepat, keragaman budaya bukanlah ancaman bagi kesatuan Gereja. Roh Kudus, yang diutus oleh Bapa dan Putra, mengubah hati kita dan memampukan kita untuk memasuki persekutuan sempurna dengan Tritunggal Maha Kudus, di mana semua hal menemukan kesatuan mereka. Roh Kudus mengembangkan persekutuan dan keselarasan umat Allah. Roh yang sama adalah keselarasan itu karena Dia sungguh merupakan ikatan kasih antara Bapa dan Putra.[93] Dialah yang membangkitkan bermacam ragam anugerah yang kaya, sementara pada saat yang sama juga menciptakan kesatuan yang tidak pernah merupakan keseragaman, melainkan keselarasan yang beragam dan menarik. Evangelisasi dengan sukacita mengakui harta karun yang beragam ini, yang dicurahkan oleh Roh Kudus kepada Gereja. Kita tentu tidak bertindak adil terhadap logika penjelmaan jika kita berpikir tentang Kristianitas sebagai hal yang monokultural dan monoton. Sementara benarlah bahwa beberapa budaya telah ditautkan secara erat dengan pewartaan Injil dan pengembangan pemikiran Kristiani, pesan pewahyuan tidak identik dengan budaya mana pun; isinya bersifat transkultural. Oleh karena itu, dalam evangelisasi budaya-budaya baru atau budaya-budaya yang belum menerima pesan Kristiani, tidaklah perlu mengenakan sebuah bentuk budaya khusus, tak peduli betapa pun indah atau antiknya, bersamaan dengan pewartaan Injil. Pesan yang kita wartakan selalu memiliki baju budaya tertentu, tetapi kita di Gereja kadang-kadang bisa jatuh ke dalam pengeramatan yang tak perlu atas budaya kita sendiri, dan dengan demikian lebih menunjukkan fanatisme daripada semangat evangelisasi yang sebenarnya.
118. Para Uskup Oseania meminta supaya Gereja “mengembangkan pemahaman dan penyajian kebenaran Kristus dengan bertitik tolak dari tradisi-tradisi dan budaya-budaya daerah” dan mengajak “semua misionaris untuk bekerja dalam keselarasan dengan umat Kristiani pribumi untuk menjamin bahwa iman dan hidup Gereja diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang sah sesuai dengan setiap budaya.”[94] Kita tak dapat menuntut agar bangsa-bangsa dari setiap benua, dalam mengungkapkan iman Kristiani mereka, meniru model-model ungkapan yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa pada suatu saat tertentu dalam sejarah mereka, karena iman tak dapat dipersempit pada batas-batas pemahaman dan ungkapan budaya mana pun.[95] Bahwa tak satu kebudayaan pun dapat menguras habis misteri penebusan kita dalam Kristus adalah fakta yang tak dapat dibantah.
Kita semua adalah murid-murid yang diutus
119. Pada semua orang yang dibaptis, dari yang pertama sampai yang terakhir, kuasa pengudusan Roh bekerja, dengan mendorong kita kepada evangelisasi. Umat Allah adalah kudus berkat pengurapan ini, yang membuatnya tak dapat sesat in credendo. Hal ini berarti bahwa mereka tidak dapat sesat dalam iman, meskipun mereka tak dapat menemukan kata-kata untuk menjelaskan iman tersebut. Roh membimbingnya dalam kebenaran dan mengantarnya menuju keselamatan.96 Sebagai bagian dari misteri kasih-Nya bagi umat manusia, Allah melengkapi seluruh umat beriman dengan cita rasa iman –sensus fidei– yang membantu mereka untuk membedakan apa yang benar-benar dari Allah. Kehadiran Roh memberi umat Kristiani suatu konaturalitas dengan realitas-realitas ilahi, dan kebijaksanaan yang memampukan mereka untuk memahami realitas-realitas tersebut secara intuitif, bahkan ketika mereka kurang memiliki bekal untuk mengungkapkannya dengan tepat.
120. Berkat pembaptisan mereka, semua anggota umat Allah telah menjadi murid-murid yang diutus (bdk. Mat. 28:19). Semua orang yang dibaptis, apa pun kedudukan mereka di Gereja atau tingkat pendidikan mereka dalam iman, adalah pelaku-pelaku evangelisasi, dan akan tidak memadai membayangkan rencana evangelisasi yang dilaksanakan oleh para pelaku yang berkualitas, sementara umat beriman lainnya hanya menjadi penerima pasif. Evangelisasi baru memerlukan keterlibatan pribadi setiap orang yang telah dibaptis. Setiap umat Kristiani ditantang, saat ini dan di sini, untuk secara aktif terlibat dalam evangelisasi; memang, siapapun yang sungguh-sungguh telah mengalami kasih Allah yang menyelamatkan tidak memerlukan banyak waktu atau pelatihan lama untuk bergerak keluar dan mewartakan kasih itu. Setiap umat Kristiani adalah orang yang diutus sejauh ia menjumpai kasih Allah dalam Yesus Kristus: kita tidak lagi mengatakan bahwa kita adalah “para murid” dan “orang-orang yang diutus”, melainkan bahwa kita selalu “murid-murid yang diutus.” Jika kita tidak yakin, marilah kita menengok kepada murid-murid pertama, yang langsung setelah bertemu pandang dengan Yesus, bergerak keluar untuk mewartakan-Nya dengan sukacita: “Kami telah menemukan Mesias!” (Yoh. 1:41). Perempuan Samaria menjadi seorang utusan langsung sesudah berbicara dengan Yesus dan banyak orang Samaria menjadi percaya kepada-Nya “karena perkataan perempuan itu” (Yoh. 4:39). Demikian juga, Santo Paulus, setelah perjumpaannya dengan Yesus Kristus, “ketika itu juga ia memberitakan Yesus” (Kis. 9:20; bdk. 22:6-21). Jadi apa lagi yang kita tunggu?
121. Tentu saja, kita semua dipanggil untuk bertumbuh dalam karya kita sebagai pewarta Injil. Sekaligus, kita ingin mendapatkan pelatihan yang lebih baik, kasih yang lebih mendalam, dan kesaksian yang lebih jelas akan Injil. Dalam arti ini, kita harus membiarkan orang lain terus menyampaikan Kabar Gembira kepada kita. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita perlu menunda perutusan evangelisasi; sebaliknya, kita masing-masing harus menemukan cara-cara untuk memberitakan Yesus di mana pun kita berada. Kita semua dipanggil untuk memberikan kesaksian eksplisit kepada sesama tentang kasih Allah yang menyelamatkan, yang meskipun kita tidak sempurna, menawarkan kepada kita kedekatan-Nya, sabda-Nya, dan kekuatan-Nya serta memberi makna kepada hidup kita. Di dalam hati Anda, Anda tahu bahwa tidaklah sama hidup tanpa Dia; apa yang telah Anda sadari; apa yang telah membantu Anda untuk hidup dan memberi Anda harapan, adalah apa yang juga perlu Anda sampaikan kepada sesama. Ketidaksempurnaan kita tidak boleh menjadi dalih; sebaliknya, perutusan adalah dorongan terus-menerus untuk tidak tetap terperosok ke dalam mediokrisi tetapi untuk terus berkembang. Kesaksian iman, yang diberikan oleh setiap orang Kristiani sebagai panggilannya, membimbing kita untuk berkata bersama Santo Paulus: “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna; melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. (Flp. 3:12-13).
Kekuatan evangelisasi dari kesalehan yang merakyat
122. Dengan cara yang sama, kita dapat melihat bahwa berbagai bangsa di tengah-tengah siapa Injil telah diinkulturasikan adalah subjek kolektif yang aktif atau pelaku-pelaku evangelisasi. Hal ini disebabkan karena setiap bangsa adalah pencipta kebudayaan mereka sendiri dan tokoh utama sejarah mereka sendiri. Kebudayaan adalah realitas dinamis yang senantiasa diciptakan kembali oleh sebuah bangsa; setiap generasi meneruskan seluruh rangkaian cara mendekati berbagai macam situasi eksistensial kepada generasi berikutnya, yang pada gilirannya harus merumuskannya kembali karena menghadapi tantangan-tantangannya sendiri. Manusia “sekaligus adalah anak dan bapak dari kebudayaan yang meliputinya.”[97] Sekali Injil telah diinkulturasikan pada sebuah bangsa, dalam proses meneruskan kebudayaan mereka, mereka juga meneruskan iman dalam bentuk-bentuk yang senantiasa baru; di sinilah pentingnya memahami evangelisasi sebagai inkulturasi. Setiap bagian umat Allah, dengan menerjemahkan karunia Allah ke dalam hidupnya sendiri dan sesuai dengan kecakapannya, memberikan kesaksian tentang iman yang telah diterimanya dan memperkayanya dengan ungkapan-ungkapan baru dan fasih. Dapat dikatakan bahwa “suatu bangsa terus-menerus mengevangelisasi dirinya sendiri.”[98] Di sini terletak pentingnya kesalehan yang merakyat, ungkapan sejati kegiatan perutusan yang spontan dari umat Allah. Ini merupakan proses yang berkelanjutan dan berkembang, di mana Roh Kudus adalah pelaku utamanya.[99]
123. Kesalehan yang merakyat memampukan kita melihat bagaimana iman, sekali diterima, mewujud dalam sebuah kebudayaan dan senantiasa diteruskan. Kesalehan yang merakyat, yang pernah dipandang sebelah mata, dihargai kembali dalam beberapa dasawarsa setelah Konsili. Dalam seruan Evangelii Nuntiadi, Paus Paulus VI memberikan dorongan yang tegas di bidang ini. Di sana ia menyatakan bahwa kesalehan yang merakyat “menampakkan kehausan akan Allah yang hanya dikenal oleh orang-orang sederhana dan miskin"[100] dan bahwa “membuat orang-orang mampu bersikap murah hati dan rela berkorban bahkan bersikap sebagai pahlawan, bila menyangkut soal memberi kesaksian akan kepercayaan.”[101] Lebih dekat dengan zaman kita sendiri, Benediktus XVI, ketika berbicara tentang Amerika Latin, menunjukkan bahwa kesalehan yang merakyat adalah “harta berharga Gereja Katolik,” di mana “kita melihat jiwa bangsa-bangsa Amerika Latin.”[102]
124. Dokumen Aparecida menjelaskan kekayaan yang dicurahkan oleh Roh Kudus dalam kesalehan yang merakyat melalui inisiatifnya yang cuma-cuma. Di dalam benua tercinta itu, di mana banyak umat Kristiani mengungkapkan iman mereka melalui kesalehan yang merakyat, para Uskup juga merujuk padanya sebagai “spiritualitas rakyat” atau “mistisisme rakyat.”[103] Kesalehan yang merakyat sungguh merupakan “spiritualitas yang menjelma dalam kebudayaan rakyat jelata.”[104] Spiritualitas itu bukan tanpa isi; melainkan menemukan dan mengungkapkan isinya lebih dengan cara simbol-simbol daripada dengan penalaran diskursif, dan dalam tindakan iman tekanan yang lebih besar diletakkan pada credere in Deum daripada pada credere Deum.[105] Ini adalah “cara sah menghayati iman, cara merasakan sebagai bagian dari Gereja dan sikap menjadi para misionaris";[106] ini membawa bersama dirinya rahmat menjadi utusan, keluar dari diri sendiri dan menjalani peziarahan: “Berjalan bersama menuju tempat-tempat suci dan mengambil bagian dalam perwujudan kesalehan yang merakyat, juga membawa anak-anaknya dan mengajak orang lain, dalam dirinya sendiri adalah tindak evangelisasi.”[107] Marilah kita tidak melumpuhkan atau terlalu mau mengendalikan kekuatan perutusan ini!
125. Untuk memahami kenyataan ini kita perlu mendekatinya dengan pandangan Gembala yang Baik, yang mencari bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mencintai. Hanya dari konaturalitas afektif yang lahir dari kasih kita dapat menghargai kehidupan teologis yang hadir dalam kesalehan orang-orang Kristiani, terutama di antara kaum miskin mereka. Saya memikirkan iman yang teguh para ibu yang merawat anak-anak mereka yang sakit, yang meskipun mungkin kurang mengenal pasal-pasal syahadat iman, tetap memegang erat rosario; atau seluruh harapan dituangkan pada sebatang lilin yang bernyala dalam sebuah rumah sederhana dengan doa memohon pertolongan Bunda Maria, atau dalam pandangan kasih lemah-lembut yang diarahkan pada Kristus yang disalib. Tak seorang pun yang mengasihi umat kudus Allah akan memandang tindakan-tindakan ini sebagai ungkapan pencarian manusiawi belaka akan keilahian. Tindakan-tindakan itu merupakan perwujudan kehidupan teologis yang disuburkan oleh karya Roh Kudus yang telah dicurahkan ke dalam hati kita (bdk. Rom. 5:5).
126. Kesalehan rakyat, sebagai buah inkulturasi Injil, adalah kekuatan evangelisasi yang aktif, yang tak boleh kita remehkan: bila bertindak demikian kita seperti mengabaikan karya Roh Kudus. Sebaliknya, kita diajak untuk memajukan dan memperkuatnya, agar supaya memperdalam proses inkulturasi yang tak pernah selesai. Ungkapan-ungkapan kesalehan yang merakyat memiliki banyak hal yang diajarkan kepada kita; bagi mereka yang mampu membacanya, ungkapan itu merupakan suatu locus theologicus yang meminta perhatian kita, terutama pada saat kita sedang berpikir tentang evangelisasi baru.
Dari pribadi ke pribadi
127. Dewasa ini, ketika Gereja berusaha mengalami pembaruan perutusan yang mendalam, ada suatu bentuk khotbah yang ditugaskan kepada kita masing-masing sebagai tanggung jawab harian. Hal itu berkaitan dengan mewartakan Injil kepada orang-orang yang kita jumpai, baik mereka adalah tetangga kita ataupun orang yang asing sama sekali. Ini adalah khotbah tidak resmi yang terjadi di tengah-tengah pembicaraan, dan itulah yang juga dilakukan seorang utusan ketika mengunjungi sebuah rumah. Menjadi seorang murid berarti terus-menerus siap membawa kasih Yesus kepada sesama, dan hal ini bisa terjadi tanpa diduga dan di mana pun: di jalan, di lapangan kota, selama bekerja, dalam perjalanan.
128. Dalam pewartaan ini, yang selalu penuh hormat dan lembut, langkah pertama adalah dialog pribadi, ketika orang lain berbicara dan mensharingkan kegembiraan, harapan dan keprihatinan akan orang-orang yang mereka kasihi, atau begitu banyak kebutuhan-kebutuhan lain yang dirasakan. Hanya sesudahnya dimungkinkan mewartakan sabda Allah, mungkin dengan membaca ayat Kitab Suci atau menceritakan suatu kisah, tetapi selalu mengingat pesan yang mendasar: kasih pribadi Allah yang menjadi manusia, yang menyerahkan Diri-Nya bagi kita, yang hidup dan menawarkan kepada kita keselamatan dan persahabatan-Nya. Pesan ini harus dibagikan dengan rendah hati sebagai suatu kesaksian dari pihak orang yang selalu ingin belajar, dalam kesadaran bahwa pesan itu begitu kaya dan begitu dalam sehingga selalu melampaui pemahaman kita. Kadang-kadang pesan itu dapat disampaikan secara langsung, kadang-kadang dengan cara kesaksian pribadi atau gerak isyarat, atau dengan cara yang disarankan Roh Kudus dalam situasi tertentu itu. Jika tampaknya bijaksana dan jika keadaannya cocok, perjumpaan persaudaraan dan misioner ini bisa diakhiri dengan doa singkat berkaitan dengan keprihatinan-keprihatinan yang mungkin telah diungkapkan orang tersebut. Dengan demikian mereka akan memiliki pengalaman didengarkan dan dimengerti; mereka akan mengetahui bahwa situasi khusus mereka telah diletakkan di hadapan Allah, dan bahwa sabda Allah sungguh berbicara kepada hidup mereka.
129. Namun kita tidak boleh berpikir bahwa pesan Injil harus selalu disampaikan dengan rumus-rumus tetap yang dihafalkan atau dengan kata-kata khusus yang mengungkapkan isi yang sama sekali tidak berubah-ubah. Penyampaian Injil ini terjadi dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga tak mungkin menjelaskan atau menuliskan semuanya, dan umat Allah, dengan begitu banyak gerak isyarat dan tanda mereka, adalah subjek kolektifnya. Akibatnya, jika Injil dijelmakan ke dalam sebuah kebudayaan, pesan itu tidak lagi disampaikan hanya dari pribadi ke pribadi. Karena itu, di negara-negara di mana Kristianitas merupakan minoritas, maka bersamaan dengan memberi dorongan kepada setiap orang yang telah dibaptis untuk mewartakan Injil, Gereja-gereja partikular harus secara aktif memajukan setidak-tidaknya bentuk-bentuk awal inkulturasi. Tujuan pokoknya adalah agar Injil, karena diwartakan dalam kategori-kategori tepat untuk setiap kebudayaan, akan menciptakan sintesa baru dengan kebudayaan tersebut. Hal ini akan selalu merupakan suatu proses yang lambat dan kadang-kadang kita dilumpuhkan karena terlalu takut. Jika kita membiarkan keraguan dan ketakutan menciutkan keberanian kita, bukannya menjadi kreatif, justru kita akan tetap merasa nyaman dan tidak membuat kemajuan apa pun. Dengan demikian, kita tidak akan berperan aktif dalam proses sejarah, tetapi sekadar menjadi penonton ketika Gereja perlahan-lahan menuju kemandegan.
Karisma-karisma dalam pelayanan persekutuan yang mewartakan Injil
130. Roh Kudus juga memperkaya seluruh Gereja yang mewartakan Injil dengan berbagai karisma. Karunia-karunia ini dimaksudkan untuk memperbarui dan membangun Gereja.[108] Karunia-karunia ini bukan warisan tertutup, yang dipercayakan kepada sekelompok kecil untuk dijaga; melainkan adalah karunia-karunia Roh yang diintegrasikan ke dalam tubuh Gereja, ditarik menuju pusat yaitu Kristus dan kemudian disalurkan ke dalam dorongan mewartakan Injil. Tanda pasti keaslian suatu karisma adalah sifat gerejawinya, kemampuannya untuk berintegrasi secara harmonis dengan hidup umat Allah yang kudus dan setia demi kebaikan semua orang. Kebaruan sejati yang diilhami oleh Roh tidak perlu membayang-bayangi karunia-karunia dan spiritualitas-spiritualitas lainnya untuk menegaskan dirinya. Semakin karisma diarahkan ke inti Injil, semakin pelaksanaannya akan menjadi lebih gerejawi. Di dalam persekutuanlah, bahkan bila hal ini meminta pengorbanan, karisma akan tampak autentik dan berbuah secara misteri. Apabila menerima tantangan ini, Gereja dapat menjadi contoh perdamaian di dunia kita.
131. Perbedaan-perbedaan di antara orang-orang dan komunitas-komunitas kadang-kadang kurang menyenangkan, tetapi Roh Kudus, yang menjadi sumber keragaman tersebut, dapat menarik sesuatu yang baik dari apa pun dan mengubahnya menjadi sarana evangelisasi yang menarik. Keragaman harus selalu didamaikan dengan bantuan Roh Kudus; hanya Ia dapat menumbuhkan kebhinekaan, pluralitas dan keragaman, meskipun sekaligus juga menghasilkan persatuan. Sebaliknya, bilamana kita mengklaim keragaman itu dan kita menutup diri dalam kekhususan kita, dalam eksklusivitas kita, kita memicu perpecahan; di lain pihak, bilamana kita berusaha menciptakan persatuan berdasarkan perhitungan manusiawi kita, kita akhirnya akan menerapkan keseragaman monolitik. Hal ini tidak menolong tugas perutusan Gereja.
Kebudayaan, pemikiran, dan pendidikan
132. Mewartakan Injil kepada dunia kebudayaan juga mencakup pewartaannya kepada lingkungan-lingkungan kebudayaan profesional, ilmiah dan akademis. Hal ini berarti suatu perjumpaan antara iman, akal budi dan ilmu pengetahuan dengan maksud untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan dan argumen-argumen baru terhadap persoalan tentang kepercayaan, suatu apologetik kreatif[109] yang akan mendorong keterbukaan lebih besar kepada Injil pada semua pihak. Ketika kategorikategori akal budi tertentu dan ilmu-ilmu pengetahuan diterima ke dalam pewartaan pesan Injil, maka kategori-kategori ini kemudian menjadi sarana pewartaan Injil; air diubah menjadi anggur. Apa pun yang diterima tidak hanya ditebus, melainkan menjadi alat Roh untuk menerangi dan memperbarui dunia.
133. Tidaklah cukup bahwa para pewarta Injil memiliki perhatian untuk menjangkau setiap orang, Injil juga harus diwartakan kepada kebudayaan-kebudayaan secara menyeluruh. Karena itu, suatu teologi –dan bukan semata-mata teologi pastoral– yang berdialog dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain dan pengalaman-pengalaman manusiawi adalah hal terpenting bagi pertimbangan kita tentang bagaimana cara terbaik menyampaikan pesan Injil kepada berbagai konteks dan kelompok budaya yang berbeda.[110] Gereja, dalam komitmennya untuk evangelisasi, menghargai dan mendorong karisma para teolog dan daya upaya ilmiah mereka untuk mengembangkan dialog dengan dunia kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Saya mengajak para teolog untuk melaksanakan pelayanan ini sebagai bagian dari tugas perutusan penyelamatan Gereja. Tetapi perlulah, untuk tujuan itu, para teolog harus selalu ingat bahwa Gereja dan teologi ada untuk mewartakan Injil, dan tidak menjadi puas dengan teologi di belakang meja.
134. Universitas-universitas adalah lingkungan terkemuka untuk menyampaikan dan mengembangkan komitmen evangelisasi ini secara interdisipliner dan terpadu. Sekolah-sekolah Katolik, yang selalu berusaha untuk menggabungkan karya pendidikan mereka dengan pewartaan Injil yang eksplisit, merupakan sumber daya yang paling berharga untuk penginjilan budaya, bahkan di negara-negara dan kota-kota di mana situasi-situasi yang bermusuhan menantang kita untuk menjadi lebih kreatif dalam mencari metode-metode yang lebih sesuai.[111]
II. HOMILI
135. Marilah sekarang memikirkan khotbah dalam liturgi, yang memerlukan pertimbangan serius dari para pastor. Saya akan memperhatikan khususnya, dan bahkan dengan amat saksama, homili dan persiapannya, karena begitu banyak keprihatinan telah diutarakan mengenai pelayanan penting ini dan kita tidak dapat menutup telinga begitu saja. Homili merupakan alat uji untuk menilai kedekatan dan kemampuan pastor untuk berkomunikasi dengan umatnya. Kita tahu bahwa umat beriman sangat mementingkan hal itu, dan bahwa baik mereka maupun pelayan tertahbis mereka menderita karena homili: kaum awam menderita karena harus mendengarkannya dan kaum klerus menderita karena harus berkhotbah kepada mereka! Menyedihkan bahwa demikianlah halnya. Homili sebenarnya dapat menjadi pengalaman yang mendalam dan membahagiakan akan Roh, suatu perjumpaan dengan sabda Allah yang menghibur, sumber pembaruan dan pertumbuhan yang tetap.
136. Marilah kita memperbarui kepercayaan diri kita dalam berkhotbah, berdasarkan pada keyakinan kita bahwa Allah yang berusaha menyentuh orang-orang lain melalui pengkhotbah; dan bahwa Ia memperlihatkan kekuasaan-Nya melalui kata-kata manusia. Santo Paulus berbicara dengan tegas tentang perlunya berkhotbah karena Tuhan ingin menjangkau orang lain melalui kata-kata kita (bdk. Rom. 10:14-17). Melalui sabda-Nya Tuhan kita merebut hati umat; mereka datang untuk mendengarkan-Nya dari segala penjuru (bdk. Mrk. 1:45); mereka takjub akan ajaran-ajaran-Nya (bdk. Mrk. 6:2), dan mereka merasakan bahwa Dia berbicara kepada mereka sebagai orang yang berkuasa (bdk. Mrk. 1:27). Melalui kata-kata mereka para rasul, yang ditetapkan Kristus “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Mrk. 3:14), membawa segala bangsa ke pangkuan Gereja (bdk. Mrk. 16:15, 20).
Konteks liturgis
137. Perlu diingat bahwa “pewartaan sabda Allah dalam liturgi, khususnya dalam konteks Perayaan Ekaristi, bukan pertama-tama suatu waktu untuk meditasi dan katekese, melainkan dialog antara Allah dan umat-Nya. Dalam dialog itu karya-karya penyelamatan yang mengagumkan diwartakan, dan tuntutan-tuntutan Perjanjian terus-menerus dinyatakan lagi.”[112] Homili memiliki arti penting yang istimewa karena konteks ekaristisnya: homili melampaui segala bentuk katekese sebagai saat puncak dalam dialog antara Allah dan umat-Nya yang membimbing kepada persekutuan sakramental. Homili mengangkat kembali dialog yang sudah dibuka antara Tuhan dengan umat-Nya. Pengkhotbah harus mengenali hati komunitasnya untuk menemukan di mana kerinduan mereka akan Allah hidup dan berkobar, juga di mana dialog, yang begitu penuh kasih, telah dihalangi dan sekarang tidak berbuah.
138. Homili tidak bisa berbentuk hiburan seperti yang disajikan oleh media, namun sungguh perlu memberikan hidup dan makna kepada perayaan. Homili adalah genre istimewa, karena merupakan khotbah yang ditempatkan dalam kerangka perayaan liturgis; oleh karena itu homili harus singkat dan menghindari kemiripan dengan pidato atau ceramah. Seorang pengkhotbah mungkin dapat menarik perhatian pendengarnya selama satu jam penuh, tetapi dalam hal ini kata-katanya menjadi lebih penting daripada perayaan iman itu sendiri. Jika homili berlangsung terlalu lama, hal itu akan mempengaruhi dua unsur khas perayaan liturgis: keseimbangan antara bagian-bagiannya dan iramanya. Ketika berlangsung dalam konteks liturgi, khotbah menjadi bagian dari persembahan kepada Bapa dan pengantaraan rahmat yang dicurahkan oleh Kristus selama perayaan. Konteks ini mendesak agar khotbah bisa membimbing umat, dan juga pengkhotbah, menuju persekutuan dengan Kristus dalam Ekaristi, suatu persekutuan yang mengubah hidup. Hal ini berarti bahwa kata-kata pengkhotbah harus diupayakan sedemikian rupa, sehingga Tuhan, lebih daripada pelayan-Nya, akan menjadi pusat perhatian.
Percakapan seorang Ibu
139. Kami telah mengatakan bahwa umat Allah, melalui tindakan batin Roh Kudus yang terus-menerus, senantiasa mewartakan Injil kepada dirinya sendiri. Apakah implikasi dari keyakinan ini bagi para pengkhotbah? Hal ini mengingatkan kita bahwa Gereja adalah seorang ibu, dan berkhotbah kepada umatnya seperti seorang ibu yang berbicara kepada anaknya. Gereja mengetahui bahwa anak-anaknya percaya apa yang diajarkannya bermanfaat bagi mereka, karena anak-anak tahu bahwa mereka dicintai. Lebih-lebih lagi, seorang ibu yang baik dapat mengenali segala sesuatu yang disemaikan Allah dalam diri anak-anaknya, ia mendengarkan keprihatinan-keprihatinan mereka dan belajar daripadanya. Semangat kasih yang menjiwai sebuah keluarga membimbing baik ibu maupun anak dalam percakapan mereka; di situ mereka mengajar dan belajar, mengalami perbaikan dan tumbuh dalam penghargaan atas apa yang baik. Sesuatu yang sama terjadi dalam sebuah homili, Roh yang sama yang mengilhami Injil dan yang bertindak dalam Gereja juga mengilhami pengkhotbah untuk mendengar iman umat Allah dan menemukan cara yang tepat untuk berkhotbah pada setiap Ekaristi. Maka, khotbah Kristiani menemukan di dalam kebudayaan umat sumber air hidup, yang membantu pengkhotbah untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya. Seperti halnya kita semua senang berbicara dalam bahasa ibu kita sendiri, demikian juga dalam iman kita senang kalau orang berbicara dalam bahasa “budaya ibu” kita, bahasa daerah kita (bdk, 2 Mak. 7:21, 27), lalu hati kita siap untuk mendengar dengan lebih baik. Bahasa adalah semacam musik yang mengilhami keberanian, ketenangan, kekuatan dan semangat.
140. Suasana keibuan dan gerejawi, yang mewarnai dialog antara Tuhan dan umat-Nya, perlu didorong oleh kedekatan pengkhotbah, kehangatan nada suaranya, kesahajaan cara bicaranya, kegembiraan gerakgeriknya. Bahkan jika homili kadang-kadang mungkin sedikit membosankan, jika semangat keibuan dan gerejawi ini ada, maka akan selalu menghasilkan buah, seperti nasihat-nasihat yang membosankan dari seorang ibu berbuah, pada waktunya, dalam hati anak-anaknya.
141. Seseorang tidak bisa tidak mengagumi sumber-sumber daya yang dipakai Tuhan untuk berdialog dengan umat-Nya, untuk mengungkapkan misteri-Nya kepada semua orang dan menarik orang-orang biasa dengan ajaran-ajaran dan tuntutan-tuntutan-Nya yang luhur. Saya percaya bahwa rahasianya terletak pada cara Yesus memandang orang-orang, yang melihat melampaui kelemahan dan kekurangan mereka: “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu” (Luk. 12:32); Yesus berkhotbah dengan semangat itu. Dengan penuh sukacita dalam Roh, Dia bersyukur pada Bapa yang menarik orang-orang kecil kepada-Nya: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu” (Luk. 10:21). Tuhan sungguh menyukai dialog nyata dengan umat-Nya; pengkhotbah perlu berusaha agar para pendengarnya dapat merasakan rasa suka Tuhan itu kepada umat-Nya.
Kata-kata yang mengobarkan hati
142. Dialog jauh lebih dari komunikasi kebenaran. Dialog timbul dari kegembiraan berbicara dan memperkaya mereka yang mengungkapkan kasih mereka satu sama lain melalui media kata-kata. Hal ini merupakan pengayaan yang tidak terdapat pada objek-objek, tetapi pada orang-orang yang membagikan diri mereka sendiri dalam dialog. Sebuah khotbah yang melulu bersifat moralistik atau doktriner, atau khotbah yang berubah menjadi kuliah tentang tafsir Kitab Suci, mengurangi komunikasi dari hati ke hati ini yang terjadi dalam homili dan memiliki sifat kuasi-sakramen: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom. 10:17). Dalam homili kebenaran berjalan bergandengan tangan dengan keindahan dan kebaikan. Jauh dari keterkaitannya dengan kebenaran abstrak atau silogisme dingin, homili menyampaikan keindahan gambaran yang dipakai oleh Tuhan untuk mendorong pelaksanaan kebaikan. Ingatan umat beriman, sama seperti ingatan Maria, perlu terus dibanjiri dengan hal-hal ajaib yang dilakukan Allah. Hati mereka, yang bertumbuh dalam pengharapan akan pelaksanaan yang menggembirakan dan memungkinkan dari cinta kasih yang telah mereka terima, akan merasakan bahwa setiap kata dari Kitab Suci terlebih dahulu merupakan anugerah sebelum menjadi tuntutan.
143. Tantangan khotbah inkulturasi tercakup dalam penyampaian sintesis pesan Injil, bukan gagasan-gagasan atau nilai-nilai yang terlepas. Di mana sintesis Anda berada, di sanalah terletak hati Anda. Perbedaan antara menjelaskan sintesis dan menjelaskan gagasan-gagasan yang saling terlepas sama dengan perbedaan antara kebosanan dan semangat hati. Pengkhotbah memiliki tugas yang mengagumkan, tetapi sulit untuk menyatukan hati yang penuh kasih, hati Tuhan dengan hati umatNya. Dialog antara Allah dan umat-Nya menguatkan lebih lanjut perjanjian antara mereka dan mengukuhkan ikatan kasih. Selama homili, hati orang beriman diam dan membiarkan Allah berbicara. Tuhan dan umat-Nya berbicara satu sama lain dalam seribu cara secara langsung, tanpa pengantara. Tetapi dalam homili mereka menginginkan seseorang untuk bertindak sebagai sarana dan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga sesudahnya, setiap orang bisa memilih bagaimana ia akan melanjutkan percakapan. Kata pada dasarnya adalah pengantara dan membutuhkan tak hanya dua orang yang berdialog tetapi juga seorang pengkhotbah yang menyampaikannya, karena yakin bahwa “bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor. 4:5).
144. Berbicara dari hati berarti bahwa hati kita tidak hanya harus berkobar-kobar, melainkan juga diterangi oleh kepenuhan wahyu dan oleh jalan yang dilalui sabda Allah dalam hati Gereja dan umat beriman kita sepanjang sejarah. Identitas Kristiani, sebagai pelukan pembaptisan yang diberikan Bapa kepada kita ketika kita kecil, membuat kita merindukan, seperti anak-anak yang hilang –dan anak-anak kesayangan Maria– pelukan yang lain, pelukan Bapa yang penuh belas kasih yang menanti kita dalam kemuliaan. Membantu umat kita untuk merasakan bahwa mereka hidup di tengah-tengah dua pelukan ini merupakan tugas sulit tetapi indah bagi orang yang mewartakan Injil.
III. MEMPERSIAPKAN KHOTBAH
145. Persiapan khotbah merupakan tugas yang sangat penting sehingga waktu yang lama untuk studi, doa, refleksi serta kreativitas pastoral perlu dicurahkan untuk itu. Dengan penuh kasih sayang saya ingin berhenti sesaat dan menawarkan suatu cara untuk mempersiapkan homili. Beberapa orang mungkin berpendapat saran-saran ini sudah jelas dengan sendirinya, tetapi saya menganggap perlu menawarkannya untuk mengingatkan perlunya menyediakan waktu yang berkualitas untuk pelayanan berharga ini. Beberapa pastor mengajukan keberatan bahwa persiapan semacam itu tidak mungkin karena banyaknya tugas yang harus mereka jalankan; meskipun demikian, saya berani meminta agar setiap minggu disediakan waktu pribadi dan komunitas yang cukup untuk tugas ini, bahkan jika lebih sedikit waktu harus diberikan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, meski kegiatan-kegiatan itu penting. Kepercayaan pada Roh Kudus yang bekerja selama homili bukanlah semata-mata pasif, melainkan aktif dan kreatif. Kepercayaan ini menuntut agar kita mempersembahkan diri kita dan segala kemampuan-kemampuan kita sebagai alat (bdk. Rom. 12: 1) yang dapat dipergunakan Allah. Seorang pengkhotbah yang tidak mempersiapkan diri bukan “alat Roh Kudus"; ia tidak jujur dan tidak bertanggung jawab terhadap anugerah-anugerah yang telah ia terima.
Ibadat kebenaran
146. Langkah pertama, setelah memohon bantuan Roh Kudus, adalah memberikan seluruh perhatian pada teks Kitab Suci, yang harus menjadi dasar khotbah. Ketika seorang berhenti sejenak untuk berusaha memahami apa pesan suatu teks, ia melakukan “ibadat kebenaran.”[113] Ini adalah kerendahan hati yang mengakui bahwa sabda selalu melampaui kita, bahwa kita “bukanlah penguasa dan pemilik, tapi hanyalah penjaga, pewarta dan hambanya.”[114] Sikap penghormatan yang rendah hati dan penuh kekaguman atas sabda, diungkapkan dengan meluangkan waktu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan rasa takut saleh, jangan sampai kita memanipulasinya. Untuk menafsirkan suatu teks Kitab Suci, kita perlu sabar, mengesampingkan segala urusan lain, dan mencurahkan waktu, minat dan perhatian kita seutuhnya. Kita harus mengesampingkan soal-soal lain apa pun yang mendesak dan menciptakan lingkungan konsentrasi yang tenang. Tak ada gunanya berusaha membaca suatu teks Kitab Suci jika semua yang kita cari adalah hasil yang cepat, mudah dan segera. Persiapan berkhotbah membutuhkan kasih. Kita hanya menyediakan saat-saat hening untuk hal-hal atau orang-orang yang kita kasihi; yang penting di sini ialah mengasihi Allah, yang ingin berbicara kepada kita. Karena kasih ini, mencurahkan waktu sebanyak yang diperlukan dengan bersikap seperti murid yang berkata: “Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu ini mendengarkan” (1Sam 3:9).
147. Pertama-tama, kita perlu yakin bahwa kita memahami arti kata-kata yang kita baca secara tepat. Saya ingin menegaskan di sini tentang sesuatu yang tampaknya jelas, tetapi yang tidak selalu kita perhatikan: teks Kitab Suci yang kita pelajari berusia dua atau tiga ribu tahun; bahasanya sangat berbeda dengan apa yang kita pakai saat ini. Bahkan jika kita berpikir bahwa kita memahami kata-kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri, hal ini tidak berarti bahwa kita memahami dengan benar apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kudus. Pelbagai sarana yang disediakan oleh analisa literer dikenal dengan baik: memperhatikan kata-kata yang diulang atau yang menonjol, mengenali struktur dan dinamika khusus dari suatu teks, mempertimbangkan peran yang dimainkan berbagai tokoh, dan sebagainya. Tetapi tujuan kita sendiri bukan untuk memahami setiap detil dari sebuah teks; tujuan kita yang terpenting adalah untuk menemukan pesan utamanya, pesan yang memberikan struktur dan kesatuan pada teks itu. Jika pengkhotbah tidak mengusahakan hal ini, khotbahnya mungkin akan tidak memiliki kesatuan ataupun susunan; apa yang disampaikannya hanya akan menjadi kumpulan berbagai macam gagasan tanpa kaitan yang tidak mampu memberi inspirasi bagi orang lain. Pesan pokok adalah apa yang pada dasarnya ingin disampaikan oleh pengarang; pesan pokok tidak hanya memuat gagasan-gagasan pengarang yang harus dipahami, melainkan juga efek yang ingin ditimbulkannya. Jika sebuah teks ditulis untuk menghibur, seharusnya tidak dipakai untuk memperbaiki kesalahan; jika teks itu ditulis sebagai seruan, sebaiknya tidak dipergunakan untuk menyampaikan ajaran; jika ditulis untuk mengajarkan sesuatu tentang Allah, maka tak perlu dipakai untuk menjelaskan secara rinci berbagai pendapat teologis; jika itu ditulis sebagai ajakan untuk memuji atau memotivasi tugas perutusan, marilah kita tidak menggunakannya untuk menyampaikan berita terbaru.
148. Tentu saja, untuk memahami secara tepat makna pesan pokok sebuah teks kita perlu mengaitkannya dengan pengajaran dari seluruh Kitab Suci sebagaimana diwariskan oleh Gereja. Hal ini merupakan prinsip penting dari penafsiran Kitab Suci yang mengakui bahwa Roh Kudus telah mengilhami tidak hanya sebagian dari Kitab Suci, tetapi Kitab Suci sebagai keseluruhan, dan bahwa dalam beberapa hal umat telah berkembang pemahamannya akan kehendak Allah berdasarkan pengalaman yang dihayati. Hal ini juga mencegah penafsiran yang keliru atau tidak utuh yang bertentangan dengan ajaran-ajaran lain dari Kitab Suci yang sama. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh memperlemah tekanan khusus dan khas dari sebuah teks yang diminta untuk kita khotbahkan. Salah satu kekurangan dari khotbah yang membosankan dan tidak efektif adalah justru ketidakmampuannya menyampaikan kekuatan khas dari teks yang telah diwartakan.
Mempribadikan sabda
149. Pewarta sabda “harus pertama-tama mengembangkan keakraban pribadi yang sangat dalam dengan sabda Allah. Pengetahuan aspek linguistik atau eksegetisnya, meskipun tentu saja perlu, belumlah mencukupi. Ia hendaklah mendekati sabda Allah dengan hati yang sungguh terbuka dan dalam sikap doa, sehingga sabda itu secara mendalam meresapi pikiran maupun perasaannya, dan menciptakan wawasan baru padanya.”[115] Adalah baik bagi kita untuk memperbarui semangat kita setiap hari dan setiap Minggu ketika kita mempersiapkan homili, dengan memeriksa diri kita sendiri untuk melihat apakah kita telah bertumbuh dalam kasih akan sabda yang kita khotbahkan. Jangan pula melupakan bahwa “lebih atau kurang kudusnya pelayan mempunyai dampak yang nyata pada pewartaan sabda.”[116] Seperti yang dikatakan Santo Paulus, “kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita” (1Tes. 2:4). Jika kita memiliki keinginan kuat untuk menjadi yang pertama mendengar sabda yang harus kita khotbahkan, hal ini pasti akan disampaikan dengan satu atau lain cara kepada umat beriman Allah, karena “yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Mat. 12:34). Bacaan-bacaan hari Minggu akan bergema dengan cemerlang di hati umat beriman jika bacaan-bacaan itu pertama-tama telah bergema di hati gembala mereka.
150. Yesus marah di hadapan mereka yang menyebut dirinya guru dan menuntut banyak dari sesamanya, yang mengajarkan sabda Allah, tetapi tidak membiarkan dirinya diterangi oleh sabda itu: “Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.” (Mat. 23:4) Rasul Yakobus menyerukan: “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” (Yak. 3:1). Siapa pun yang ingin berkhotbah hendaknya pertama-tama membiarkan sabda Allah menggerakkannya secara mendalam dan mewujud dalam hidup hariannya. Dengan demikian khotbah akan terangkum dalam kegiatan itu, begitu mendalam dan berbuah, yakni “menyampaikan kepada orang lain apa yang telah direnungkannya.”[117] Oleh karena semua alasan ini, sebelum mempersiapkan apa yang sebenarnya akan kita katakan ketika berkhotbah, kita perlu membiarkan diri kita sendiri diresapi oleh sabda yang juga akan meresapi orang-orang lain, karena sabda itu adalah sabda yang hidup dan berdaya guna, seperti sebuah pedang “yang menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12) Hal ini sangat penting bagi pastoral. Juga pada masa sekarang orang-orang lebih suka mendengarkan kesaksian: mereka “haus akan hal-hal yang autentik” dan “membutuhkan para penginjil untuk berbicara kepadanya mengenai Allah, yang hendaknya diketahui juga oleh para penginjil sendiri dan hendaknya mereka akrab dengan-Nya, seolah-olah mereka dapat melihat yang tak kelihatan.”[118]
151. Kita tidak diminta untuk tidak bercacat, tetapi untuk terus bertumbuh dan sungguh-sungguh ingin bergerak maju sepanjang jalan Injil; lengan-lengan kita tidak boleh pernah menjadi kendur. Apa yang mendasar adalah keyakinan pengkhotbah bahwa Allah mencintainya, bahwa Yesus Kristus telah menyelamatkannya dan bahwa kasih-Nya selalu memiliki kata terakhir. Berhadapan dengan keindahan semacam itu, pengkhotbah sering merasa bahwa hidupnya tidak memuliakan Allah sebagaimana seharusnya, dan dengan tulus ingin menanggapi secara lebih penuh kasih yang begitu besar tersebut. Namun, jika ia tidak menyediakan waktu untuk mendengarkan sabda Allah dengan hati terbuka, jika ia tidak memperbolehkannya menyentuh hidupnya, mempertanyakannya, mendesaknya, menggoncangkannya, dan jika ia tidak mencurahkan waktu untuk berdoa dengan sabda itu, maka ia akan sungguh menjadi seorang nabi palsu, seorang penipu, seorang pembohong yang dangkal. Tetapi dengan mengakui kemiskinannya, dan ingin bertumbuh dalam komitmen, ia akan selalu mampu menyerahkan dirinya kepada Kristus, dengan mengucapkan kata-kata Petrus: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu” (Kis. 3:6). Tuhan berkehendak menggunakan kita sebagai makhluk yang hidup, bebas dan kreatif yang membiarkan sabda-Nya meresapi hati kita sendiri sebelum meneruskannya kepada orang-orang lain. Pesan Kristus hendaknya sungguh meresapi dan menjadi milik pewarta Injil, bukan hanya secara intelektual melainkan dalam keseluruhan dirinya. Roh Kudus, yang mengilhami sabda, “sekarang ini, persis seperti pada awal Gereja, bertindak di dalam setiap pewarta Injil yang membiarkan dirinya dikuasai dan dipimpin oleh Dia. Roh Kudus meletakkan dalam bibirnya kata-kata, yang orang itu tidak dapat menemukannya sendiri.”[119]
Bacaan rohani (Lectio divina)
152. Ada satu cara khusus untuk mendengarkan apa yang Tuhan ingin katakan kepada kita dalam sabda-Nya dan untuk membiarkan diri kita sendiri diubah oleh Roh. Inilah yang kita sebut lectio divina, yang terdiri dari: membaca sabda Allah dalam suasana doa dan membiarkan sabda itu menerangi serta membarui kita. Membaca Kitab Suci dalam suasana doa ini bukanlah sesuatu yang terpisah dari studi yang dilakukan oleh pengkhotbah untuk memastikan pesan utama teks; sebaliknya, hal itu hendaknya dimulai dengan mempelajari, kemudian dilanjutkan dengan menimbang-nimbang bagaimana pesan yang sama tersebut berbicara kepada hidupnya sendiri. Bacaan rohani dari sebuah teks harus mulai dengan makna harfiahnya. Jika tidak, kita dapat dengan mudah membuat teks tersebut mengatakan apa yang sesuai, bermanfaat untuk membenarkan kita dalam keputusan-keputusan kita sebelumnya, yang cocok dengan pola-pola pemikiran kita sendiri. Pada akhirnya, hal ini akan sama saja dengan memanfaatkan sesuatu yang sakral demi kepentingan kita sendiri dan kemudian meneruskan kekacauan ini kepada umat Allah. Kita tidak pernah boleh lupa bahwa kadang-kadang “Iblis pun menyamar sebagai malaikat Terang” (2Kor. 11:14).
153. Di hadirat Allah, selama merenungkan bacaan teks Kitab Suci, baiklah bertanya, misalnya: “Tuhan, teks ini mau mengatakan apa kepada saya? Apakah ini tentang hidup saya yang hendak Kauubah melalui teks ini? Apa yang mengganggu saya tentang teks ini? Mengapa saya tidak tertarik pada teks ini? Atau barangkali: Apa yang saya sukai dalam sabda ini? Manakah dari sabda ini yang menggerakkan saya? Apa yang membuat saya tertarik? Mengapa sabda itu menarik saya?” Ketika kita berusaha mendengarkan Tuhan, godaan-godaan biasanya muncul. Salah satunya adalah merasa terganggu atau terbebani, lalu menutup diri. Godaan umum lainnya adalah berpikir tentang apa arti teks ini bagi orang lain, dan dengan demikian menghindari penerapannya bagi hidup kita sendiri. Juga bisa terjadi bahwa orang mencari-cari alasan yang memungkinkannya untuk memperlemah pesan tertentu dari teks itu. Atau kita bisa bertanya-tanya apakah Allah menuntut terlalu banyak dari kita, dengan meminta keputusan yang belum siap kita buat. Hal ini menyebabkan banyak orang berhenti menikmati perjumpaan dengan sabda Allah; namun hal ini berarti melupakan bahwa tak ada yang lebih sabar daripada Allah Bapa kita, bahwa tak ada yang lebih memahami dan bersedia menunggu. Ia selalu mengajak kita untuk melangkah maju, tetapi tidak menuntut tanggapan yang penuh jika kita belum siap. Ia semata-mata meminta agar kita dengan tulus memandang hidup kita dan menunjukkan diri kita sejujurnya di hadirat-Nya, dan agar kita bersedia untuk terus bertumbuh, dengan memohon kepada-Nya apa yang belum bisa kita capai.
Telinga bagi umat
154. Pengkhotbah perlu juga mendengarkan umat beriman dan menemukan apa yang perlu mereka dengar. Seorang pengkhotbah hendaknya merenungkan sabda, juga merenungkan umatnya. Dengan demikian, ia belajar dari “aspirasi-aspirasi, kekayaan dan keterbatasan, cara-cara berdoa, mengasihi, melihat hidup dan dunia, yang membedakannya dari kelompok yang ini atau yang itu” seraya memperhatikan “umat yang secara nyata diberi pewartaan, menggunakan bahasa mereka, tanda-tanda dan simbol-simbol mereka, menjawab persoalan-persoalan yang mereka ajukan.”[120] Ia hendaknya mampu mengaitkan pesan teks Kitab Suci dengan suatu situasi manusiawi, dengan suatu yang mereka hayati, dengan suatu pengalaman yang memerlukan terang sabda Allah. Perhatian ini tidak berkaitan dengan sikap oportunis atau diplomatis; tetapi bersifat sangat religus dan pastoral. Pada dasarnya ini adalah “suatu kepekaan rohani yang sejati untuk membaca pesan Allah dalam peristiwa-peristiwa,”[121] dan ini jauh lebih dari sekedar menemukan sesuatu yang menarik untuk disampaikan. Apa yang sedang kita cari adalah “apa yang mau dikatakan Tuhan dalam situasi khusus ini atau itu.”[122] Dengan demikian, persiapan untuk khotbah menjadi latihan dalam penegasan injili, di mana kita berusaha mengenali –dalam terang Roh– “panggilan yang oleh Allah digemakan dalam situasi historis ini. Dalam dan juga melalui situasi ini Allah memanggil orang beriman.”[123]
155. Dalam usaha ini kita hendaknya mempertimbangkan beberapa pengalaman manusiawi yang sering terjadi seperti perjumpaan kembali yang menggembirakan, saat kekecewaan, ketakutan sendirian, rasa iba terhadap penderitaan sesama, ketidakpastian masa depan, keprihatinan terhadap orang yang dikasihi, dan sebagainya. Tetapi kita perlu mengembangkan kepekaan yang luas dan mendalam terhadap apa yang sesungguhnya menyangkut hidup orang lain. Marilah kita juga memperhatikan bahwa kita hendaknya jangan pernah menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang tak ditanyakan orang. Juga tidak tepat berbicara tentang berita terbaru untuk menarik perhatian orang; kita memiliki program-program televisi untuk itu. Namun, dimungkinkan untuk memulai dengan salah satu kejadian atau cerita sehingga sabda Allah dapat dengan kuat menggema dalam seruannya untuk pertobatan, ibadat, komitmen untuk persaudaraan dan pelayanan, dan sebagainya. Namun, akan selalu ada beberapa orang yang suka mendengarkan komentar-komentar seorang pengkhotbah tentang masalah-masalah terkini, sementara tidak membiarkan diri mereka sendiri ditantang olehnya.
Sarana-sarana pendidikan
156. Beberapa orang berpikir mereka bisa menjadi pengkhotbah yang baik karena mereka tahu apa yang seharusnya disampaikan, tetapi mereka tidak memperhatikan bagaimana hal itu harus disampaikan, yakni, cara konkret menyusun suatu khotbah. Mereka mengeluh ketika umat tidak mendengarkan atau menghargai mereka, tetapi mungkin mereka tidak pernah berusaha menemukan cara yang tepat untuk menyampaikan pesan mereka. Marilah kita ingat bahwa “pentingnya isi evangelisasi yang jelas tidak boleh menyebabkan kita lalu mengabaikan pentingnya cara-cara dan sarana-sarana untuk menyampaikannya.”[124] Perhatian pada cara kita berkhotbah juga merupakan sikap rohaniah yang mendalam. Hal itu berarti menanggapi kasih Allah dengan mengabdikan diri kita sendiri lewat segala kemampuan dan kreativitas kita demi pelayanan tugas pengutusan yang diberikan-Nya pada kita. Sekaligus, hal itu merupakan suatu latihan istimewa untuk mengasihi sesama karena kita tidak ingin menawarkan sesuatu yang bermutu rendah kepada orang lain. Dalam Kitab Suci, misalnya, kita dapat menemukan nasihat tentang bagaimana mempersiapkan homili untuk memastikan ukurannya yang tepat: “Hendaknya singkat dan katakanlah banyak dengan kata sedikit” (Sir 32:8).
157. Hanya untuk memberikan sedikit contoh, marilah kita mengingat kembali beberapa sarana praktis yang dapat memperkaya khotbah kita dan membuatnya lebih menarik. Salah satu hal yang terpenting adalah belajar untuk menggunakan bahasa kiasan dalam berkhotbah, yaitu untuk berbicara dengan gambaran-gambaran. Kadang-kadang contoh-contoh dipergunakan untuk menjelaskan hal tertentu, tetapi contoh-contoh ini biasanya hanya menarik bagi pikiran; sebaliknya, gambaran-gambaran membantu orang dengan lebih baik untuk menghargai dan menerima pesan yang ingin disampaikan. Sebuah gambaran yang menarik membuat pesan tampak akrab, mengena, praktis dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Sebuah gambaran yang berhasil dapat membuat orang mencecap pesan, membangkitkan keinginan dan menggerakkan kehendak menuju injil. Homili yang baik, seorang guru tua pernah mengatakan kepada saya, hendaknya memiliki “gagasan, perasaan, gambaran.”
158. Paulus VI mengatakan bahwa “umat beriman... berharap banyak dari khotbah, dan akan memperoleh manfaat yang besar daripadanya, asalkan khotbah itu sederhana, jelas, langsung, disesuaikan dengan mereka.”[125] Kesederhanaan berkaitan dengan bahasa yang kita gunakan. Bahasa itu haruslah yang dipahami orang-orang, agar kita jangan berisiko berbicara kepada ruang hampa. Para pengkhotbah seringkali memakai kata-kata yang dipelajarinya selama studi mereka dan dalam lingkup khusus yang bukan merupakan bahasa sehari-hari para pendengar mereka. Kata-kata ini cocok dalam teologi atau katekese, tetapi maknanya tak dapat dimengerti oleh sebagian besar umat Kristiani. Risiko terbesar bagi seorang pengkhotbah adalah bahwa ia menjadi begitu terbiasa dengan bahasanya sendiri sehingga ia berpikir setiap orang lainnya tentu mengerti dan menggunakannya. Jika kita ingin menyelaraskan diri dengan bahasa umat dan menjangkau mereka dengan sabda Allah, kita perlu berbagi dalam hidup mereka dan memberi perhatian penuh kasih kepada mereka. Kesederhanaan dan kejelasan adalah dua hal yang berbeda. Bahasa kita mungkin sederhana tetapi khotbah kita bisa tidak sangat jelas. Maka, khotbah bisa berakhir tanpa dimengerti karena tidak teratur, tidak logis atau mencoba membicarakan terlalu banyak hal sekaligus. Maka, kita hendaknya memastikan bahwa homili memiliki kesatuan tematis, urutan jelas, dan korelasi antar kalimat-kalimatnya, sehingga umat dapat mengikuti pengkhotbah dengan mudah dan memahami garis pemikirannya.
159. Ciri lain homili yang baik adalah bersifat positif. Homili itu tidak terlalu mementingkan penjelasan tentang apa yang sebaiknya tidak dilakukan, melainkan menyarankan apa yang dapat kita lakukan dengan lebih baik. Bagaimanapun juga, jika homili menyatakan sesuatu yang negatif, perlu juga berusaha menunjukkan suatu nilai positif yang menarik, jangan sampai terjebak dalam keluhan, ratapan, kritik dan celaan. Khotbah yang positif selalu menawarkan harapan, menunjukkan masa depan, tidak meninggalkan kita terjebak dalam hal-hal negatif. Betapa baiknya bila imam-imam, para diakon dan kaum awam berkumpul secara berkala untuk menemukan sarana-sarana yang dapat membuat khotbah menjadi lebih menarik!
IV. EVANGELISASI UNTUK PENDALAMAN KERYGMA
160. Tugas perutusan dari Tuhan mencakup panggilan untuk bertumbuh dalam iman: “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Oleh karena itu, jelaslah bahwa pewartaan pertama juga memerlukan pembinaan berkelanjutan dan pendewasaan. Evangelisasi juga mengusahakan perkembangan, yang memerlukan adanya perhatian yang sungguh-sungguh kepada setiap orang dan rencana yang dimiliki Tuhan baginya. Kita semua perlu berkembang dalam Kristus. Evangelisasi harus mendorong keinginan menuju perkembangan ini sehingga kita masing-masing dapat berkata dengan sepenuh hati: “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20).
161. Tidaklah tepat menafsirkan panggilan untuk berkembang ini secara eksklusif atau terutama sebagai pembinaan doktrinal. Hal ini berkaitan dengan “berpegang pada” apa yang telah ditunjukkan Tuhan kepada kita sebagai tanggapan terhadap kasih-Nya. Seiring dengan segala kebajikan, hal ini terutama berarti perintah baru, yang pertama dan terbesar dari semua perintah, dan yang paling baik mengidentifikasikan kita sebagai murid-murid Kristus: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh. 15:12). Jelaslah, setiap kali para pengarang Perjanjian Baru ingin menyampaikan inti pesan moral Kristiani, mereka menyampaikan tuntutan utama kasih kepada sesamanya: “Barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat... karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rom. 13:8,10). Inilah kata-kata Santo Paulus, bagi siapa perintah kasih tidak hanya merangkum hukum itu, melainkan menjadi intisari dan tujuannya: “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Gal. 5:14). Kepada komunitas-komunitasnya Paulus menunjukkan hidup Kristiani sebagai perjalanan pertumbuhan dalam kasih: “Kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang” (1Tes. 3:12). Demikian juga, Santo Yakobus mengajak orang-orang Kristiani untuk memenuhi “hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, (2:8), agar tidak melanggar perintah apa pun.
162. Sebaliknya, proses tanggapan dan pertumbuhan ini selalu didahului oleh karunia Allah, karena Tuhan pertama-tama bersabda; “Baptislah mereka dalam nama...” (Mat. 28:19). Pengangkatan sebagai anak-anak yang diberikan Bapa dengan cuma-cuma dan prakarsa karunia rahmat-Nya (bdk. Ef. 2:8-9; 1Kor. 4:7), adalah syarat yang memungkinkan pengudusan tetap ini, yang berkenan kepada Allah dan mempersembahkan kemuliaan kepada-Nya. Dengan demikian, kita membiarkan diri kita diubah dalam Kristus melalui hidup yang melangkah maju “menurut Roh” (Rom. 8:5).
Katekese kerygmatis dan mistagogis
163. Pendidikan dan katekese melayani pertumbuhan ini. Kita telah memiliki pelbagai dokumen ajaran dan bahan bantu untuk katekese yang ditawarkan oleh Takhta Suci dan berbagai keuskupan. Saya mengingat khususnya Seruan Apostolik Catechesi Tradendae (1979), Petunjuk Umum Katekese (1997) dan dokumen-dokumen lainnya yang isinya tidak perlu diulangi di sini. Saya ingin menawarkan beberapa pertimbangan yang saya anggap penting untuk digarisbawahi.
164. Dalam katekese juga, kita telah menemukan ada peran pokok pewartaan pertama atau kerygma, yang hendaknya menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi dan seluruh upaya untuk pembaruan Gereja. Kerygma adalah trinitaris. Api Roh diberikan dalam bentuk lidah-lidah dan membimbing kita untuk percaya akan Yesus Kristus yang, dengan wafat dan kebangkitan-Nya, mewahyukan dan menyampaikan kepada kita belas kasih Bapa yang tanpa batas. Melalui bibir-bibir para katekis pewartaan pertama yang seharusnya disuarakan berulang-ulang ialah: “Yesus Kristus mencintaimu; Ia menyerahkan hidup-Nya untuk menyelamatkanmu; dan sekarang Ia tinggal di sampingmu setiap hari untuk menerangi, menguatkan dan membebaskanmu.” Pewartaan pertama ini disebut “pertama” bukan karena ada pada awal dan kemudian dapat dilupakan atau digantikan oleh hal-hal lain yang lebih penting. Pewartaan ini pertama dalam arti kualitatif karena merupakan pewartaan utama, yang harus kita dengar lagi dan lagi dengan berbagai cara, yang harus kita wartakan dengan satu atau lain cara melalui proses katekese, di setiap tingkat dan setiap saat.[126] Karena alasan ini juga, “imam –seperti setiap anggota Gereja lainnya– hendaknya bertumbuh dalam kesadaran bahwa ia sendiri senantiasa juga perlu dievangelisasi.”[127]
165. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa dalam katekese kerygma ditinggalkan demi pembinaan yang dianggap lebih “solid.” Tak ada yang lebih solid, mendalam, aman, dan bermakna dan penuh kebijaksanaan daripada pewartaan awal. Semua pembinaan Kristiani merupakan pendalaman kerygma, yang mendarah daging semakin mendalam dan terus-menerus menerangi karya katekese, sehingga memampukan kita memahami dengan lebih penuh makna setiap tema yang dikembangkan dalam katekese. Inilah pesan yang mampu menanggapi kerinduan pada Yang Tak Terbatas yang ada di dalam setiap hati manusia. Sentralitas kerygma menuntut beberapa ciri pewartaan yang saat ini paling diperlukan di mana-mana: hendaknya mengungkapkan kasih Allah yang menyelamatkan, yang mendahului setiap kewajiban moral dan agama di pihak kita; hendaknya tidak memaksakan kebenaran tetapi mengundang jawaban yang bebas; hendaknya ditandai dengan sukacita, pemberian dorongan, vitalitas dan keutuhan seimbang yang tidak akan mengerdilkan khotbah menjadi segelintir ajaran yang kadang-kadang lebih filosofis daripada injili. Semua ini menuntut di pihak pewarta Injil sikap-sikap tertentu yang membantu orang untuk menerima pesan: keramahtamahan, kesiapan untuk dialog, kesabaran, penerimaan orang dengan hangat tanpa menghakimi.
166. Aspek lain katekese yang telah berkembang dalam dekade baru-baru ini adalah inisiasi mistagogis.[128] Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan dua hal: pengalaman progresif pembinaan yang melibatkan seluruh komunitas dan penghargaan yang dibarui akan tanda-tanda liturgis inisiasi Kristiani. Banyak buku panduan dan program belum cukup memperhitungkan kebutuhan untuk pembaruan mistagogis, yang bentuknya bisa sangat berbeda berdasarkan setiap pertimbangan komunitas yang mendidik. Katekese adalah pewartaan sabda dan selalu berpusat pada sabda, namun juga selalu memerlukan lingkungan yang sesuai dan penyajian yang menarik, pemakaian simbol-simbol yang menyapa, penyisipan ke dalam proses pertumbuhan yang lebih luas dan integrasi semua dimensi pribadi dalam perjalanan untuk mendengar dan menanggapi sebagai komunitas.
167. Adalah baik bila setiap bentuk katekese memberikan perhatian istimewa kepada “jalan keindahan” (via pulchritudinis).[129] Mewartakan Kristus berarti menunjukkan bahwa percaya pada-Nya dan mengikuti-Nya bukan hanya sesuatu yang tepat dan benar, melainkan juga sesuatu yang indah, yang mampu memenuhi hidup dengan semarak yang baru dan sukacita mendalam, bahkan di tengah-tengah kesulitan-kesulitan. Setiap ungkapan keindahan sejati dengan demikian dapat diakui sebagai jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan Yesus. Jadi, hal ini tidak ada kaitannya dengan meningkatkan relativisme estetis[130] yang mengabaikan ikatan tak terpisahkan antara kebenaran, kebaikan dan keindahan, melainkan penghormatan yang diperbarui pada keindahan sebagai sarana menyentuh hati manusia dan memampukan kebenaran serta kebaikan Kristus yang bangkit terpancar di dalamnya. Jika, seperti kata Santo Agustinus, kita hanya mencintai apa yang indah,[131] Putra yang menjelma, sebagai pewahyuan keindahan tanpa batas, sangat patut untuk dicintai dan menarik kita kepada-Nya dengan ikatan cinta. Maka, pembinaan dalam via pulchritudinis harus menjadi bagian dari usaha kita untuk meneruskan iman. Setiap Gereja partikular hendaknya mendorong penggunaan kesenian dalam evangelisasi, dengan menggunakan kekayaan masa lalu sebagai dasar, tetapi juga dengan memanfaatkan ungkapan-ungkapan masa kini yang sangat bervariasi untuk menyampaikan iman dalam “bahasa perumpamaan” yang baru.[132] Kita harus cukup berani untuk menemukan tanda-tanda baru dan simbol-simbol baru, daging baru untuk menjelmakan dan menyampaikan sabda, serta berbagai bentuk keindahan yang dinyatakan dalam situasi budaya yang bermacam ragam, termasuk cara-cara inkonvensional keindahan yang mungkin hanya sedikit berarti bagi para pewarta Injil, tetapi terbukti sangat menarik bagi orang-orang lain.
168. Berkenaan dengan penyajian dalam moral katekese, yang mendorong berkembangnya kesetiaan pada cara hidup menurut Injil, sangat berguna menunjukkan kebaikan yang patut diinginkan, usulan-usulan kehidupan, kematangan, pemenuhan diri dan produktivitas. Dengan diterangi usulan-usulan itu, penolakan kita terhadap kejahatan yang membahayakan hidup itu dapat dipahami dengan lebih baik. Daripada menjadi para ahli dalam ramalan-ramalan apokaliptik, hakim-hakim bermuka muram yang menyibukkan diri dengan menunjukkan setiap ancaman dan penyimpangan, hendaknya kita tampak sebagai utusan-utusan penuh sukacita dari usul-usul yang menantang, penjaga-penjaga kebaikan dan keindahan yang memancar dalam kehidupan yang setia pada Injil.
Pendampingan pribadi dalam proses pertumbuhan
169. Dalam sebuah kebudayaan yang secara paradoks terluka oleh anonimitas dan pada saat yang sama terobsesi dengan detil kehidupan orang lain, yang tanpa rasa malu menderita keingintahuan tidak sehat, Gereja seharusnya melihat lebih dekat dan penuh simpati kepada orang-orang lain bilamana diperlukan. Di dunia kita, para pelayan tertahbis dan pekerja pastoral lainnya dapat menghadirkan aroma kedekatan Kristus dan tatapan pribadi-Nya. Gereja harus memprakarsai semua anggotanya –imam, biarawan/biarawati, kaum awam– masuk ke dalam “seni pendampingan” yang mengajari kita melepaskan alas kaki kita di depan tanah kudus orang lain (bdk. Kel. 3:5). Langkah pendampingan ini hendaknya mantap dan meyakinkan, yang mencerminkan kedekatan kita dan tatapan penuh bela rasa kita yang juga menyembuhkan, membebaskan dan mendorong pertumbuhan dalam hidup Kristiani.
170. Meskipun hal ini tampak jelas, pendampingan rohani hendaknya membimbing orang lain semakin lebih dekat kepada Allah yang di dalam-Nya kita mencapai kebebasan sejati. Beberapa orang berpikir mereka bebas jika mereka dapat menghindari Allah, mereka gagal melihat bahwa secara eksistensial diri mereka tetap yatim piatu, tanpa perlindungan, tanpa tempat kediaman ke mana mereka selalu pulang. Mereka berhenti menjadi peziarah dan menjadi orang gelandangan, yang berputar-putar di dalam diri mereka sendiri dan tak pernah pergi ke manapun. Pendampingan terhadap mereka akan menjadi kontraproduktif jika menjadi semacam terapi yang mendukung ketertutupan diri mereka sendiri dan berhenti menjadi peziarahan bersama Kristus menuju Bapa.
171. Sekarang ini lebih daripada sebelumnya kita memerlukan laki-laki dan perempuan yang, berdasarkan pengalaman mereka mendampingi orang-orang lain, akrab dengan proses-proses yang memerlukan kebijaksanaan, pemahaman, kesabaran, dan ketaatan pada Roh, sehingga mereka dapat melindungi kawanan domba dari serigala-serigala yang akan mencerai-beraikan kawanan. Kita perlu mempraktikkan seni mendengarkan, yang lebih dari sekedar mendengar. Mendengarkan, dalam komunikasi, adalah keterbukaan hati yang memungkinkan kedekatan yang tanpanya perjumpaan rohani sejati tidak dapat terjadi. Mendengarkan membantu kita menemukan sikap tubuh dan kata yang tepat, yang menunjukkan bahwa kita lebih dari sekedar penonton. Hanya melalui mendengarkan yang penuh hormat dan bela rasa kita dapat menemukan jalan-jalan pertumbuhan sejati dan membangkitkan kerinduan akan cita-cita Kristiani: keinginan untuk menanggapi sepenuhnya kasih Allah dan menghasilkan buah atas apa yang telah ditaburkan-Nya dalam hidup kita. Tetapi hal ini selalu menuntut kesabaran seseorang yang mengetahui dengan sungguh baik apa yang dikatakan Santo Thomas Aquinas pada kita: bahwa seseorang dapat memiliki rahmat dan belas kasih, tetapi ia tidak melakukan dengan baik satu pun dari kebajikan-kebajikan itu “karena beberapa kecenderungan yang sebaliknya.”[133] Dengan kata lain, kesatuan organis kebajikan selalu dan perlu ada in habitu (menjadi kebiasaan), meskipun berbagai macam pengkondisian bisa menghambat terlaksananya kebiasaan-kebiasaan yang baik itu. Maka, perlulah “pedagogi, yang akan mengantar orang-orang tahap demi tahap memasuki proses mengenakan misteri pada dirinya secara penuh"[134] Untuk mencapai tingkat kematangan di mana orang perorangan dapat dengan sungguh bebas dan bertanggung jawab membuat keputusan dibutuhkan banyak waktu dan kesabaran, sebagaimana dikatakan oleh Santo Petrus Faber: “Waktu adalah utusan Allah.”
172. Seorang yang mendampingi orang lain hendaknya menyadari bahwa situasi setiap orang di hadapan Allah dan kehidupan mereka dalam rahmat adalah misteri yang tak seorang pun dapat sepenuhnya memahami dari luar. Injil menganjurkan kita untuk memperbaiki orang lain atau membantunya bertumbuh berdasarkan pengakuan akan kejahatan objektif tindakan-tindakannya (bdk. Mat. 18:15), tetapi tanpa membuat penghakiman atas tanggung jawab dan kesalahan mereka (bdk. Mat. 7:1; Luk. 6:37). Seorang yang baik dalam pendampingan semacam itu tak membiarkan sikap tunduk pada nasib atau rasa kecil hati. Ia mengajak orang lain membiarkan diri mereka sendiri disembuhkan, mengangkat tikar mereka, memeluk salib, meninggalkan segalanya dan melangkah keluar untuk mewartakan Injil. Pengalaman pribadi kita didampingi dan dibantu, dan keterbukaan pada mereka yang mendampingi kita, akan mengajar kita menjadi sabar dan berbela rasa terhadap orang-orang lain, serta menemukan cara tepat mendapatkan rasa percaya mereka, keterbukaan mereka dan kesiapsediaan mereka untuk bertumbuh.
173. Pendampingan rohani sejati selalu mulai dan berkembang dalam konteks pelayanan pada perutusan mewartakan Injil. Hubungan Paulus dengan Timotius dan Titus memberikan contoh pendampingan dan pembinaan yang terjadi di tengah-tengah kegiatan kerasulan. Dengan mempercayakan kepada mereka perutusan tinggal di setiap kota untuk “menata apa yang masih harus dilakukan” (Tit. 1:5; bdk. 1Tim. 1:3-5), Paulus juga memberi mereka peraturan-peraturan untuk kehidupan pribadi mereka dan kegiatan pastoral mereka. Hal ini secara jelas berbeda dari setiap jenis pendampingan yang diarahkan ke dalam, ke perwujudan diri yang terisolasi. Murid-murid misioner mendampingi murid-murid misioner.
Berpusat pada sabda Allah
174. Tak hanya homili harus membekali diri dengan sabda Allah. Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi. Akibatnya, kita perlu terus-menerus dilatih mendengar sabda. Gereja tidak mewartakan Injil apabila tidak terus-menerus membiarkan dirinya diberi warta Injil. Sungguh penting bahwa sabda Allah “semakin menjadi pusat setiap kegiatan gerejawi.”[135] Sabda Allah, yang didengarkan dan dirayakan, terutama dalam Ekaristi, memelihara dan secara batiniah memperkuat umat Kristiani, dengan memampukan mereka memberikan kesaksian autentik terhadap Injil dalam kehidupan sehari-hari. Kita sudah lama meninggalkan pertentangan lama antara sabda dan sakramen. Pewartaan sabda, yang hidup dan efektif, mempersiapkan penerimaan sakramen, dan dalam sakramen sabda mencapai kemanjurannya yang maksimal.
175. Studi Kitab Suci harus menjadi pintu yang terbuka bagi setiap orang beriman.[136] Penting bahwa sabda yang diwahyukan secara radikal memperkaya katekese kita dan seluruh daya upaya kita untuk meneruskan iman.[137] Evangelisasi menuntut keakraban dengan sabda Allah, yang meminta keuskupan-keuskupan, paroki-paroki dan perkumpulan-perkumpulan Katolik untuk mengadakan studi serius dan berkelanjutan tentang Kitab Suci, seraya mendorong pembacaannya dengan semangat doa, baik secara pribadi maupun bersama.[138] Kita tidak perlu merabaraba untuk mencari Allah, atau menunggu-Nya berbicara kepada kita terlebih dulu, karena “Allah telah berbicara, Ia bukan lagi Yang Tak Dikenal, tetapi telah memperlihatkan diri-Nya dan tidak ada yang perlu kita ketahui lebih lanjut, yang tidak dinyatakan kepada kita.”[139] Marilah kita menerima harta luhur sabda yang diwahyukan.
BAB IV
DIMENSI SOSIAL EVANGELISASI
176. Evangelisasi adalah menghadirkan kerajaan Allah di dunia. Namun “setiap rumusan yang berat sebelah dan fragmentaris, yang mencoba menyajikan kenyataan evangelisasi dengan segala kekayaannya, kompleksitasnya dan dinamismenya, menempuh risiko akan memiskinkan, bahkan menyelewengkan evangelisasi.”[140] Saya sekarang ingin membagikan keprihatinan saya tentang dimensi sosial evangelisasi, terutama karena jika dimensi ini tidak dijelaskan secara tepat, selalu ada risiko menyelewengkan makna autentik dan integral dari perutusan evangelisasi.
I. GEMA KOMUNAL DAN SOSIAL DARI KERYGMA
177. Kerygma memiliki isi sosial yang jelas: dalam intisari Injil terdapat kehidupan dalam komunitas dan keterlibatan dengan orang-orang lain. Isi pewartaan yang pertama memiliki implikasi moral langsung yang berpusat pada cinta kasih.
Pengakuan iman dan komitmen pada masyarakat
178. Percaya pada Bapa yang mengasihi semua manusia dengan kasih tanpa batas berarti menyadari bahwa “Ia dengan kasih yang demikian menganugerahkan kepada mereka martabat yang tak terbatas.”[141] Percaya bahwa Putra Allah telah menanggung kedagingan manusiawi kita berarti bahwa setiap pribadi manusia telah diangkat ke dalam jantung hati Allah sendiri. Percaya bahwa Yesus telah mencurahkan darah-Nya bagi kita menghilangkan setiap keraguan tentang kasih tanpa batas yang memuliakan setiap makhluk manusia. Penebusan kita memiliki dimensi sosial karena “Allah, di dalam Kristus, menebus tidak hanya orang perorangan, melainkan juga hubungan sosial yang ada di antara manusia.”[142] Percaya bahwa Roh Kudus berkarya pada setiap orang berarti menyadari bahwa Ia berusaha meresapi setiap situasi manusiawi dan semua ikatan sosial: “Roh Kudus dapat dikatakan memiliki kreativitas tak terbatas, tepat untuk pikiran ilahi, yang tahu bagaimana melonggarkan simpul-simpul permasalahan manusia, bahkan yang paling rumit dan sulit dipahami.”[143] Evangelisasi juga berusaha bekerja sama dengan karya Roh Kudus yang membebaskan ini. Misteri Trinitas sendiri mengingatkan kita bahwa kita telah diciptakan dalam citra persekutuan ilahi, dan dengan demikian kita tidak dapat mencapai pemenuhan atau keselamatan sendirian saja. Dari inti Injil kita melihat hubungan mendalam antara evangelisasi dan kemajuan manusiawi, yang harus menemukan ungkapan dan berkembang dalam setiap karya evangelisasi. Menerima pewartaan pertama, yang mengundang kita untuk menerima kasih Allah dan membalas mengasihi-Nya dengan kasih yang merupakan anugerah-Nya, menimbulkan dalam hidup serta tindakan kita tanggapan utama dan mendasar: menginginkan, mengusahakan dan memperhatikan kebaikan orang-orang lain.
179. Ikatan tak terpisahkan antara penerimaan kita akan pesan keselamatan dan kasih persaudaraan sejati terungkap dalam beberapa teks Kitab Suci yang baik untuk kita pertimbangkan dan renungkan secara cermat, untuk menarik semua konsekuensi darinya. Pesan Kitab Suci itu seringkali kita terima begitu saja, dan kita dapat mengulanginya hampir secara mekanis, tanpa menyadari bahwa pesan itu perlu memiliki dampak nyata dalam hidup kita dan komunitas kita. Betapa berbahaya dan merugikan hal ini, karena membuat kita kehilangan rasa takjub kita, kegembiraan kita dan semangat kita untuk menghayati Injil persaudaraan dan keadilan! Sabda Allah mengajarkan bahwa saudara-saudari kita adalah perpanjangan penjelmaan Tuhan yang berlangsung terus bagi kita masing-masing: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Cara kita memperlakukan sesama memiliki dimensi transenden: “ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Mat. 7:2). Hal ini sesuai dengan belas kasih yang telah ditunjukkan Allah kepada kita: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan kamu akan diberi ... Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Luk. 6:36-38). Apa yang diungkapkan dalam ayat-ayat ini adalah prioritas mutlak “untuk keluar dari diri kita sendiri menuju saudara-saudari kita” sebagai satu dari dua perintah utama yang mendasari setiap norma moral dan sebagai tanda paling jelas untuk menimbang-nimbang pertumbuhan rohani dalam menanggapi anugerah Allah yang sungguh cuma-cuma. Oleh sebab itu, “pelayanan amal kasih juga merupakan unsur pokok perutusan Gereja dan ungkapan tak terpisahkan dari hakikatnya sendiri.”[144] Menurut kodratnya sendiri Gereja bersifat misioner; demikian juga dalam kodratnya itu mengalirlah amal kasih yang efektif bagi sesama dan bela rasa yang memahami, membantu dan memajukan.
Kerajaan Allah dan tantangannya
180. Dengan membaca Kitab Suci juga menjadi jelas bahwa tawaran Injil bukanlah semata-mata tentang hubungan pribadi dengan Allah. Juga seharusnya, tanggapan kasih kita tidak dilihat hanya sebagai akumulasi perbuatan-perbuatan kecil untuk mereka yang membutuhkan, semacam “amal kasih à la carte, yang bisa dipilih sesukanya,” serangkaian tindakan yang hanya bertujuan menentramkan hati nurani kita. Yang ditawarkan Injil adalah Kerajaan Allah (bdk. Luk. 4:43); Yang perlu adalah mengasihi Allah yang meraja di dunia kita. Sejauh Dia berhasil meraja dalam diri kita, kehidupan masyarakat akan menjadi tempat persaudaraan, keadilan, perdamaian dan martabat untuk semua manusia. Maka, baik pewartaan maupun pengalaman Kristiani dimaksudkan agar membawa dampak dalam masyarakat: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Misi Yesus adalah meresmikan kerajaan Bapa-Nya; Dia menyuruh murid-murid-Nya untuk mewartakan Kabar Baik bahwa “Kerajaan Surga sudah dekat” (Mat. 10:7).
181. Kerajaan Allah, yang sudah mulai hadir dan berkembang di tengah-tengah kita, melibatkan kita di setiap tingkat keberadaan kita dan mengingatkan kita akan prinsip kearifan yang diterapkan Paus Paulus VI bagi perkembangan sejati: perkembangan itu harus diarahkan bagi “semua manusia dan manusia seutuhnya.”[145] Kita tahu bahwa “evangelisasi tidak akan lengkap bila tidak memperhitungkan interaksi yang terus-menerus antara Injil dan hidup manusia yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial.”[146] Inilah prinsip universalitas intrinsik Injil, karena Bapa menginginkan keselamatan setiap laki-laki dan perempuan, dan rencana keselamatan-Nya adalah “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef. 1:10). Amanat-Nya bagi kita berbunyi “pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15), karena “dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rom. 8:19). Di sini “seluruh makhluk” mengacu pada setiap aspek hidup manusia; maka, “tugas perutusan mewartakan Kabar Baik Yesus Kristus memiliki tujuan universal. Mandat amal kasih tugas perutusan itu meliputi segala dimensi keberadaan, semua pribadi manusia, segala bidang kehidupan masyarakat, dan semua bangsa. Tak ada aspek manusiawi yang dapat terasing dari mandat amal kasih itu.”[147] Harapan Kristiani sejati, yang mencari Kerajaan eskatologis, selalu melahirkan sejarah.
Ajaran Gereja tentang masalah-masalah sosial
182. Ajaran-ajaran Gereja yang menyangkut situasi-situasi dunia yang tidak menentu bergantung pada perkembangan-perkembangan baru dan lebih jauh serta bisa didiskusikan, namun kita harus konkret –tanpa berpretensi masuk ke hal-hal yang mendetail– agar jangan sampai prinsip-prinsip sosial yang penting tetap menjadi petunjuk-petunjuk umum belaka yang tidak menantang seorang pun. Perlulah menarik kesimpulan praktis sehingga “akan memiliki dampak lebih besar terhadap kompleksitas dari berbagai situasi dewasa ini.”[148] Para gembala Gereja, dengan mempertimbangkan sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan, berhak memberikan pendapat-pendapat tentang segala sesuatu yang menyangkut hidup umat manusia, karena tugas evangelisasi mencakup dan menuntut perkembangan seutuhnya setiap manusia. Tak mungkin lagi menyatakan bahwa agama hendaknya dibatasi pada lingkungan pribadi dan ada hanya untuk mempersiapkan jiwa-jiwa menuju surga. Kita tahu bahwa Allah menginginkan anak-anak-Nya bahagia di dunia ini juga, meskipun mereka dipanggil untuk pemenuhan dalam keabadian, karena Dia telah menciptakan segala sesuatu “untuk dinikmati” (1Tim. 6:17), untuk dinikmati oleh setiap orang. Hal ini berarti bahwa pertobatan Kristiani menuntut meninjau kembali terutama segala aspek yang “terkait dengan tatanan sosial dan pencapaian kesejahteraan umum.”[149]
183. Akibatnya, tak seorang pun dapat menuntut dari kita agar agama disingkirkan ke kedalaman tersembunyi dari kehidupan pribadi, tanpa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan nasional, tanpa peduli kepada kesehatan lembaga-lembaga sipil, tanpa hak memberikan pendapat tentang peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi masyarakat. Siapa berani mengunci di tempat ibadah dan membungkam pesan Santo Fransiskus Assisi atau Beata Teresa dari Kalkuta? Mereka tentu tidak akan menerima hal ini. Iman sejati –yang tak pernah nyaman atau sepenuhnya individual– selalu melibatkan hasrat mendalam untuk mengubah dunia, meneruskan nilai-nilai, meninggalkan dunia ini agak lebih baik daripada ketika kita temukan. Kita mencintai planet yang sangat indah ini di mana Tuhan telah menempatkan kita di dalamnya, dan kita mencintai keluarga umat manusia yang mendiaminya di sini, dengan segala kisah sedih dan perjuangannya, harapan-harapan dan aspirasi-aspirasinya, kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Bumi adalah rumah kita bersama dan kita semua adalah saudara dan saudari. Biarpun “tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tanggung jawab utama politik,” namun Gereja “tidak dapat dan tidak perlu tinggal terpinggirkan dari medan perjuangan keadilan.”[150] Seluruh umat Kristiani, termasuk para pastor mereka, dipanggil untuk menunjukkan kepedulian membangun dunia yang lebih baik. Hal ini penting karena ajaran sosial Gereja pada dasarnya positif: menawarkan usulan-usulan, berkarya untuk perubahan dan dalam arti ini terus-menerus menunjukkan harapan yang lahir dari hati Yesus Kristus yang penuh kasih. Pada saat yang sama, ajaran sosial Gereja menyatukan “komitmennya dengan komitmen dalam ranah sosial yang dilaksanakan oleh Gereja-gereja lain dan Jemaat-jemaat gerejawi lainnya, entah pada tingkat refleksi doktrinal atau pada ajang praktis.”[151]
184. Sekarang bukanlah waktu atau tempat untuk mengkaji secara rinci semua masalah sosial yang berat yang menandai dunia masa kini. Beberapa di antaranya telah saya bahas dalam bab dua. Seruan ini bukan dokumen sosial, dan untuk merefleksikan berbagai tema kita memiliki alat yang amat sesuai dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja, yang sungguh saya anjurkan untuk digunakan dan dipelajari. Selain itu, baik Paus maupun Gereja tidak memiliki monopoli penafsiran terhadap kenyataan sosial maupun usulan pemecahan masalah-masalah masa kini. Di sini saya dapat mengulangi pengamatan mendalam Paus Paulus VI: “Dalam menghadapi situasi yang begitu luas dan bermacam ragam, kami merasa sulit menyampaikan pesan yang senada dan memberikan pemecahan yang bisa diberlakukan di mana pun. Hal ini bukan ambisi kami, juga bukan tugas perutusan kami. Terserah kepada komunitas-komunitas Kristianilah untuk menganalisa secara objektif situasi yang khas bagi negara mereka sendiri.”[152]
185. Selanjutnya, saya berusaha memusatkan perhatian pada dua soal besar yang saya pikir menjadi soal mendasar pada saat ini dalam sejarah. Saya akan membahas kedua soal itu dengan lebih luas karena saya beranggapan bahwa hal-hal itu akan menentukan masa depan kemanusiaan. Soal-soal ini adalah pertama, pelibatan kaum miskin dalam masyarakat, dan kedua, perdamaian dan dialog sosial.
II. PELIBATAN KAUM MISKIN DALAM MASYARAKAT
186. Iman kita akan Kristus, yang menjadi miskin, dan selalu dekat dengan kaum miskin dan kaum tersingkir, adalah dasar kepedulian kita pada pengembangan seutuhnya para anggota masyarakat yang paling terabaikan.
Dalam persatuan dengan Allah, kita mendengar suatu jeritan
187. Setiap orang Kristiani dan setiap komunitas dipanggil sebagai sarana Allah untuk membebaskan dan memajukan kaum miskin, dan untuk memampukan mereka menjadi bagian masyarakat sepenuhnya. Hal ini menuntut agar kita siap sedia dan penuh perhatian mendengarkan jeritan kaum miskin dan membantu mereka. Dengan melihat sekilas pada Kitab Suci, cukup bagi kita untuk mengetahui betapa Bapa yang mahamurah ingin mendengarkan jeritan kaum miskin ini: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka... Aku mengutus engkau...” (Kel. 3:7-8, 10). Kita juga melihat bagaimana Dia memperhatikan kebutuhan mereka: “Lalu orang Israel berseru kepada Tuhan, maka Tuhan membangkitkan bagi mereka seorang penyelamat” (Hak. 3:15). Jika kita, yang menjadi sarana Allah untuk mendengar kaum miskin, menulikan telinga kita terhadap jeritan ini, kita menentang kehendak Bapa dan rencana-Nya; orang miskin itu “berseru kepada Tuhan tentang engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu” (Ul. 15:9). Kurangnya solidaritas terhadap kebutuhan mereka akan secara langung mempengaruhi relasi kita dengan Allah: “Bila engkau dikutuk seseorang dalam duka nestapanya, niscaya permohonannya didengarkan oleh Penciptanya” (Sir. 4:6). Pertanyaan lama selalu muncul kembali: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh. 3:17). Marilah kita mengingat kembali betapa meyakinkan Rasul Yakobus berbicara tentang jeritan kaum tertindas: “Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (5:4).
188. Gereja menyadari bahwa perlunya mengindahkan jeritan ini lahir dari karya rahmat yang membebaskan dalam diri kita masing-masing, dan dengan demikian hal ini bukan masalah tugas perutusan yang dikhususkan hanya bagi sedikit orang: “Gereja, dibimbing oleh Injil belas kasih dan cinta kasih kepada umat manusia, mendengarkan jeritan akan keadilan dan bermaksud menanggapinya dengan seluruh tenaganya.”[153] Dalam konteks ini kita dapat memahami perintah Yesus kepada murid-murid-Nya: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk. 6:37); hal ini melibatkan baik kerja sama untuk menghapus sebab-sebab struktural kemiskinan dan memajukan pengembangan seutuhnya kaum miskin, maupun juga tindakan-tindakan solidaritas kecil sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata yang kita jumpai. Kata “solidaritas” sedikit usang dan kadang-kadang sulit dipahami, tetapi merujuk pada sesuatu yang lebih daripada beberapa tindakan murah hati yang sporadis. Solidaritas membutuhkan terciptanya mentalitas baru yang berpikir dalam kategori-kategori masyarakat dan prioritas hidup semua orang yang lebih utama daripada perolehan harta kekayaan oleh segelintir orang.
189. Solidaritas adalah reaksi spontan dari mereka yang mengetahui bahwa fungsi sosial harta milik dan tujuan universal harta benda adalah kenyataan yang mendahului kekayaan pribadi. Kepemilikan pribadi harta benda dibenarkan bila harta benda itu ditambah dan dijaga dengan cara yang dapat melayani dengan lebih baik kesejahteraan umum; oleh sebab itu, solidaritas harus dihayati sebagai keputusan untuk mengembalikan kepada kaum miskin apa yang menjadi milik mereka. Keyakinan dan praktik solidaritas ini, ketika mendarah daging, membuka jalan kepada perubahan-perubahan struktural lainnya dan memungkinkan terjadinya hal itu. Mengubah struktur tanpa menghasilkan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap baru hanya akan mengakibatkan bahwa struktur-struktur yang sama itu cepat atau lambat akan menjadi korup, menindas serta tidak efektif.
190. Kadang-kadang perlu mendengarkan jeritan bangsa-bangsa seluruhnya, bangsa-bangsa paling miskin di dunia karena “perdamaian dilandaskan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi juga pada penghormatan terhadap hak bangsa-bangsa.”[154] Sayangnya, bahkan hak-hak asasi manusia bisa digunakan sebagai pembenaran untuk membela secara berlebihan hak-hak individu atau hak bangsa-bangsa yang lebih kaya. Dengan rasa hormat yang tepat pada otonomi dan kebudayaan setiap bangsa, kita tidak boleh melupakan bahwa planet ini milik seluruh umat manusia dan dimaksudkan untuk seluruh umat manusia; fakta belaka bahwa beberapa orang dilahirkan di tempat-tempat yang memiliki sumber-sumber daya yang lebih sedikit atau perkembangan yang kurang tidak membenarkan bahwa mereka hidup secara kurang bermartabat. Harus dikatakan berulang-ulang bahwa “mereka yang lebih beruntung hendaknya mengikhlaskan beberapa hak mereka, untuk makin berjiwa besar mengabdikan harta kekayaan mereka kepada sesama.”[155] Untuk berbicara dengan tepat tentang hak-hak kita sendiri, kita perlu memperluas cakrawala kita dan mendengarkan jeritan bangsa-bangsa lain atau wilayah-wilayah lain daripada jeritan negeri kita sendiri. Kita perlu bertumbuh dalam solidaritas yang “akan memperbolehkan semua bangsa memperjuangkan dan menciptakan hari depan mereka sendiri,”[156] seperti juga “setiap orang dipanggil untuk mengembangkan dirinya.”[157]
191. Di segala tempat dan keadaan, umat Kristiani, dengan didorong oleh para pastor mereka, dipanggil untuk mendengarkan jeritan kaum miskin, seperti ditegaskan dengan sangat baik oleh para uskup Brasil: “Kami ingin menanggung setiap hari, sukacita dan harapan, kesulitan dan penderitaan rakyat Brasilia, terutama mereka yang hidup di perkampungan-perkampungan kumuh dan padat serta di pedesaan –tanpa tanah, tanpa rumah, kurang makanan dan pelayanan kesehatan– yang dirampas dari hak-hak mereka. Dengan mengamati kemiskinan mereka, mendengar jeritan mereka dan mengetahui penderitaan mereka, kami menjadi malu karena kami mengetahui bahwa ada cukup makanan bagi setiap orang dan bahwa kelaparan adalah akibat dari kurang baiknya pembagian barang-barang dan penghasilan. Persoalan ini diperburuk dengan praktik pemborosan yang meluas.”158
192. Namun kita bahkan menginginkan lebih daripada ini: impian kita membumbung lebih tinggi. Kita tidak hanya berbicara tentang kepastian adanya makanan atau “nafkah bermartabat” bagi semua orang, tetapi juga “agar semua mencapai kesejahteraan dalam aneka aspeknya.”159 Hal ini berarti pendidikan, akses kepada pelayanan kesehatan, dan terutama pekerjaan, karena melalui kerja yang bebas, kreatif, partisipatif dan saling mendukunglah manusia dapat mengungkapkan dan meningkatkan martabat hidup mereka. Upah yang adil memampukan mereka memiliki akses yang memadai kepada semua hal-hal baik lain yang ditujukan untuk pemakaian kita bersama.
Kesetiaan kepada Injil, supaya kita tidak berjalan dengan sia-sia
193. Perintah mendengarkan jeritan kaum miskin mendarah daging dalam diri kita bilamana kita sangat tersentuh oleh penderitaan orang-orang lain. Marilah kita mendengarkan apa yang diajarkan sabda Allah kepada kita tentang kemurahan hati, dan membiarkan sabda itu menggema dalam hidup Gereja. Injil mengatakan kepada kita: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat. 5:7). Rasul Yakobus mengajarkan bahwa belas kasih kita kepada sesama akan membebaskan kita pada hari penghakiman Allah: “Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang. Sebab penghakiman yang tidak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman"(Yak. 2:12-13). Dalam kutipan ini Yakobus setia pada tradisi sangat kaya dari spiritualitas Yahudi pasca-pembuangan, yang mengaitkan belas kasih dengan nilai penyelamatan yang istimewa: “Lepaskanlah diri tuanku daripada dosa dengan melakukan keadilan, dan daripada kesalahan dengan menunjukkan belas kasihan terhadap orang yang tertindas; dengan demikian kebahagiaan tuanku akan dilanjutkan!” (Dan. 4:27). Dalam perspektif yang sama juga sastra kebijaksanaan berbicara tentang derma sebagai pelaksanaan konkret belas kasih kepada mereka yang membutuhkan: “Memang sedekah melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa. Orang yang melakukan sedekah akan menjadi puas dengan umurnya” (Tob. 12:9). Gagasan tersebut bahkan diungkapkan dengan cara yang lebih plastis oleh Kitab Sirakh: “Api yang bernyala-nyala dipa-damkan air, dan dosa dipulihkan kedermawanan” (Sir. 3:30). Sintesis yang sama tampak dalam Perjanjian Baru: “Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” (1Ptr. 4:8). Kebenaran ini sangat mempengaruhi cara berpikir para Bapa Gereja dan membantu menciptakan perlawanan profetis, sebagai budaya tandingan menghadapi hedonisme egosentris dari mereka yang tidak beriman. Kita dapat mengingat satu contoh: “Jika kita berada dalam bahaya api, kita pasti akan segera berlari ke air untuk memadamkan api... begitu juga, jika percikan dosa menyala dari jerami kita, dan kita sangat susah karenanya, bilamana saja kita memiliki kesempatan untuk melakukan karya belas kasih, kita akan bersukacita, seolah-olah sebuah mata air terbuka di depan kita sehingga api bisa dipadamkan.”[160]
194. Pesan ini sangat jelas dan langsung, begitu sederhana dan fasih, sehingga tak ada penafsiran gerejawi berhak untuk menisbikannya. Refleksi Gereja terhadap teks-teks ini jangan sampai mengaburkan atau melemahkan daya kekuatannya, tetapi mendorong kita untuk menerima seruannya dengan keberanian dan semangat. Mengapa memperumit hal yang begitu sederhana? Sarana-sarana konseptual ada untuk meningkatkan hubungan dengan kenyataan yang mereka coba jelaskan, bukan untuk menjauhkan kita dari kenyataan itu. Hal ini khususnya dalam kaitan dengan seruan-seruan Kitab Suci yang memerintahkan kita dengan tegas untuk melaksanakan kasih persaudaraan, untuk melayani dengan rendah hati dan murah hati, untuk berlaku adil serta berbelas kasih kepada kaum miskin. Yesus telah mengajari kita jalan pengakuan terhadap orang-orang lain dengan kata-kata dan tindakan-tindakan-Nya. Jadi, mengapa menutupi sesuatu yang begitu jelas? Marilah kita tak hanya berusaha menghindar jatuh ke dalam kesalahan ajaran, tetapi juga tetap setia kepada jalan hidup dan kebijaksanaan yang dipenuhi cahaya ini. Karena “para pembela ortodoksi kadang-kadang dituduh pasif, membiarkan, atau bersalah terlibat dalam situasi ketidakadilan yang tak bisa ditolerir dan dalam rezim politik yang mempertahankan situasi itu.”[161]
195. Ketika Santo Paulus menemui para rasul di Yerusalem untuk mempertimbangkan apakah ia “sedang berusaha atau telah berusaha dengan percuma” (Gal. 2:2), kriteria utama dari keaslian yang mereka sampaikan adalah bahwa ia tidak boleh melupakan orang-orang miskin (bdk. Gal. 2:10). Prinsip penting ini, yakni bahwa komunitas-komunitas Paulus tidak tunduk pada gaya hidup egosentris orang-orang yang tidak beriman, tetap aktual hingga hari ini, ketika semangat baru orangorang tidak beriman yang egosentris cenderung bertumbuh. Kita mungkin tidak selalu dapat merefleksikan dengan tepat keindahan Injil, tetapi ada satu tanda yang selalu harus kita nyatakan: pilihan pada mereka yang terkecil, mereka yang dibuang dan dipinggirkan oleh masyarakat.
196. Kadangkala kita keras hati dan keras kepala; kita lupa, kita bersenang-senang, kita terpukau oleh kemungkinan-kemungkinan tanpa batas akan konsumsi dan hiburan yang ditawarkan oleh masyarakat dewasa ini. Hal ini mengarah ke semacam pengasingan yang menyangkut kita semua, karena “masyarakat mengalami keterasingan, bila bentuk-bentuk organisasi sosial, produksi dan konsumsinya membuatnya lebih sulit untuk mewujudkan persembahan diri dan membangun solidaritas antarmanusia.”[162]
Tempat khusus kaum miskin di dalam umat Allah
197. Hati Allah memiliki tempat khusus bagi kaum miskin, sedemikian besarnya sehingga Ia sendiri “menjadi miskin” (2Kor. 8:9). Seluruh sejarah keselamatan kita ditandai oleh kehadiran orang-orang miskin. Keselamatan datang kepada kita dari “ya” yang diucapkan oleh seorang gadis kalangan bawah dari kampung kecil di pinggiran sebuah kerajaan besar. Penyelamat lahir di sebuah palungan, di tengah-tengah hewan-hewan, seperti anak-anak dari keluarga miskin; Dia telah dipersembahkan di Bait Allah bersama dengan dua tekukur, persembahan orang-orang yang tidak mampu mempersembahkan domba (bdk. Luk. 2:24; Im. 5:7). Dia dibesarkan dalam sebuah rumah pekerja biasa dan melakukan pekerjaan tangan untuk mendapatkan nafkah-Nya. Ketika Dia mulai mewartakan Kerajaan Allah, kerumunan orang-orang yang dirampas hak-hak mereka mengikuti Dia, dan dengan demikian Ia mewujudkan apa yang telah disabdakan-Nya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk. 4:18). Dia meyakinkan mereka yang dibebani oleh kesusahan dan dihimpit oleh kemiskinan bahwa Allah memiliki tempat istimewa bagi mereka di hati-Nya: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk. 6:20). Dia menyamakan diri-Nya dengan mereka: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan;” dan Dia mengajarkan bahwa belas kasih kepada mereka ini adalah kunci menuju surga (bdk. Mat. 25:35 dan seterusnya).
198. Bagi Gereja, keberpihakan pada orang-orang miskin pada pokoknya adalah kategori teologis daripada kategori budaya, sosiologis, politis atau filosofis. Allah menunjukkan kepada kaum miskin “kemurahan hati-Nya yang pertama.”[163] Preferensi ilahi ini memiliki konsekuensi bagi hidup beriman semua umat Kristiani, karena kita dipanggil untuk memiliki “pikiran... yang terdapat juga dalam Yesus Kristus” (Flp. 2:5). Diilhami oleh sabda ini, Gereja telah memihak orang-orang miskin yang dipahami sebagai “bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu.”[164] Pemihakan ini, seperti diajarkan oleh Benediktus XVI, “tersirat dalam iman Kristiani kita akan Allah yang menjadi miskin bagi kita, agar kita menjadi kaya karena kemiskinan-Nya.”[165] Inilah mengapa saya menginginkan Gereja yang miskin dan bagi orang-orang miskin. Mereka memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita. Mereka tidak hanya berbagi dalam sensus fidei, tetapi dalam kesulitan-kesulitan mereka, mereka mengenal Kristus yang menderita. Kita perlu membiarkan diri kita diberi pewartaan Kabar Baik oleh mereka. Evangelisasi baru merupakan undangan untuk mengakui daya penyelamatan yang bekerja dalam hidup mereka dan untuk menaruh mereka di pusat jalan peziarahan Gereja. Kita dipanggil untuk menemukan Kristus di dalam diri mereka, untuk meminjamkan suara kita bagi perkara-perkara mereka, tetapi juga menjadi sahabat-sahabat mereka, mendengarkan mereka, memahami mereka dan menerima hikmat tersembunyi yang ingin disampaikan Allah kepada kita melalui mereka.
199. Komitmen kita tidak hanya terdiri dari kegiatan-kegiatan atau program-program peningkatan dan bantuan; apa yang digerakkan oleh Roh Kudus bukanlah kegiatan yang berlebihan, melainkan terutama perhatian yang menganggap orang lain “sebagai salah seorang dari diri kita sendiri.”[166] Perhatian penuh kasih ini adalah awal dari keprihatinan sejati pada pribadi mereka yang mengilhami saya secara efektif untuk mengusahakan kesejahteraan mereka. Hal ini menyangkut penghargaan terhadap orang-orang miskin dalam kebaikan mereka, dalam pengalaman hidup mereka, dalam budaya mereka, dan dalam cara mereka menghayati iman. Kasih sejati selalu kontemplatif, dan memungkinkan kita untuk melayani orang lain bukan karena kebutuhan atau kesombongan, melainkan karena ia bagus melampaui penampilannya: “Cinta yang membuat kita merasakan orang lain menyenangkan mendorong kita memberikan sesuatu kepadanya dengan cuma-cuma.”[167] Orang miskin, bilamana dicintai, “dihargai sebagai yang sangat bernilai,”[168] dan inilah apa yang membuat pemihakan sejati kepada orang-orang miskin berbeda dari ideologi lain, dari setiap upaya untuk mengeksploitasi orang-orang miskin demi kepentingan pribadi atau politiknya sendiri. Hanya berdasarkan kedekatan nyata dan tulus inilah kita dapat dengan tepat mendampingi orang-orang miskin di jalan pembebasan mereka. Hanya hal ini akan menjamin bahwa “dalam setiap komunitas Kristiani orang-orang miskin merasa kerasan. Bukankah pendekatan ini merupakan penyampaian Kabar Baik Kerajaan Allah yang paling luhur dan paling efektif?"[169] Tanpa keberpihakan kepada orang-orang miskin “pewartaan Injil, yang merupakan tindakan amal kasih yang pertama, menghadapi risiko disalahpahami atau tenggelam dalam samudera kata-kata yang sehari-hari membanjiri kita dalam masyarakat media komunikasi massa.”[170]
200. Karena Seruan ini ditujukan kepada para warga Gereja Katolik, dengan menyesal saya ingin mengatakan bahwa diskriminasi terburuk yang diderita orang-orang miskin adalah kurangnya pelayanan rohani. Sebagian besar orang-orang miskin memiliki keterbukaan istimewa pada iman; mereka membutuhkan Allah dan kita tidak boleh gagal memberikan mereka persahabatan-Nya, berkat-Nya, sabda-Nya, perayaan sakramen-sakramen dan perjalanan pertumbuhan dan kedewasaan dalam iman. Keberpihakan istimewa kita pada orang-orang miskin terutama harus diterjemahkan ke dalam pelayanan iman yang istimewa dan diberi prioritas.
201. Tak seorang pun seharusnya mengatakan bahwa mereka menjauhkan diri dari orang-orang miskin karena pilihan hidup mereka menuntut perhatian lebih banyak kepada tugas-tugas lainnya. Hal ini adalah alasan yang biasa terdengar di kalangan akademis, bisnis atau profesional, dan bahkan di kalangan Gereja. Meski dapat dikatakan pada umumnya bahwa panggilan dan misi utama kaum awam adalah untuk berusaha agar kenyataan duniawi dan semua kegiatan manusiawi diubah oleh Injil[171], tak seorang pun dari kita boleh berpikir bahwa kita dibebaskan dari kepedulian terhadap kaum miskin dan terhadap keadilan sosial: “Pertobatan rohani, intensitas kasih akan Allah dan sesama, semangat untuk keadilan dan perdamaian, makna Injil tentang kaum miskin dan kemiskinan, diperlukan setiap orang.”[172] Saya khawatir bahwa kata-kata ini juga hanya akan menimbulkan komentar atau diskusi tanpa dampak praktis yang nyata. Walaupun demikian, saya percaya pada keterbukaan dan kesiapan seluruh umat Kristiani, dan saya minta Anda mengusahakan, sebagai sebuah komunitas, cara-cara baru untuk menerima panggilan yang dibarui ini.
Ekonomi dan pembagian pendapatan
202. Perlunya mengatasi sebab-sebab struktural kemiskinan tak dapat ditunda, bukan hanya karena alasan pragmatis untuk memperoleh hasil dan demi tatanan masyarakat yang baik, melainkan karena masyarakat memerlukan penyembuhan dari penyakit yang membuatnya lemah dan tak layak, serta yang hanya dapat mengarah ke krisis baru. Rencana-rencana bantuan untuk mengatasi beberapa kebutuhan yang mendesak hendaknya dipertimbangkan hanya sebagai jawaban sementara. Sejauh masalah-masalah kaum miskin tidak dipecahkan secara tuntas dengan menolak otonomi mutlak dari pasar serta spekulasi keuangan dan dengan mengecam penyebab struktural ketidaksetaraan,[173] tidak ada pemecahan akan ditemukan bagi masalah-masalah dunia atau, dalam hal ini, untuk masalah apa pun. Ketidaksetaraan adalah akar penyakit-penyakit sosial.
203. Martabat setiap pribadi manusia dan usaha kesejahteraan umum adalah keprihatinan yang harus membentuk semua kebijakan ekonomi. Namun, kadang-kadang, kebijakan ekonomi itu hanya tampak sebagai lampiran yang ditambahkan secara lahiriah untuk melengkapi wacana politik tanpa perspektif atau rencana untuk pengembangan sejati dan seutuhnya. Betapa banyaknya kata-kata menjengkelkan untuk sistem ini! Menjengkelkan ketika orang berbicara tentang etika. Menjengkelkan ketika orang berbicara tentang solidaritas global. Menjengkelkan ketika orang berbicara tentang pembagian kekayaan. Menjengkelkan ketika orang berbicara tentang perlindungan tenaga kerja dan pembelaan martabat mereka yang tak berdaya. Menjengkelkan ketika orang berbicara tentang Allah yang menuntut perjuangan untuk keadilan. Pada waktu yang lain terjadi bahwa kata-kata ini menjadi objek suatu manipulasi oportunistis yang merendahkannya. Ketidakpedulian seenaknya dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu mengosongkan hidup kita dan kata-kata kita dari setiap makna. Pekerjaan para pengusaha merupakan karya yang luhur, asalkan mereka membiarkan diri ditantang oleh makna lebih besar dalam hidup; hal ini akan memampukan mereka sungguh mengabdi kesejahteraan umum dengan berusaha meningkatkan harta benda duniawi dan membuatnya lebih mudah didapat oleh semua orang.
204. Kita tidak lagi dapat mempercayai kekuatan-kekuatan yang tak kelihatan dan tangan pasar yang tidak tampak. Pertumbuhan dalam keadilan memerlukan lebih daripada sekedar pertumbuhan ekonomis, meskipun mengandaikannya. Pertumbuhan dalam keadilan membutuhkan keputusan-keputusan, program-program, mekanisme-mekanisme, serta proses-proses yang memacu pemerataan pendapatan yang lebih baik, penciptaan kesempatan kerja dan kemajuan seutuhnya orang-orang miskin yang melebihi pemberian bantuan belaka. Saya tak bermaksud sama sekali mengusulkan populisme yang tidak bertanggung jawab, tetapi ekonomi tidak dapat lagi lari kembali ke obat yang merupakan racun baru, seperti ketika seseorang berusaha meningkatkan keuntungan dengan mengurangi pasar tenaga kerja dan dengan demikian menambah barisan orang-orang yang tersingkir.
205. Saya mohon pada Allah untuk memberi kita lebih banyak politisi yang mampu berdialog dengan tulus dan efektif dengan tujuan menyembuhkan akar-akar terdalam –dan bukan hanya yang nampak saja– dari hal-hal yang buruk di dunia kita! Politik, meskipun seringkali dicela, tetap menjadi panggilan luhur dan salah satu bentuk paling bernilai dari amal kasih, sejauh itu mengusahakan kesejahteraan umum.[174] Kita perlu yakin bahwa amal kasih “adalah prinsip tak hanya tentang hubungan mikro (dengan teman-teman, dengan para anggota keluarga atau di dalam kelompok-kelompok kecil), melainkan juga hubungan makro (hubungan sosial, ekonomi dan politik).”[175] Saya mohon kepada Tuhan agar memberi kita lebih banyak politisi yang sungguh-sungguh memiliki kepedulian kepada masyarakat, rakyat, dan kehidupan orang-orang miskin! Sangat penting bahwa para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keuangan memperhatikan dan memperluas cakrawala mereka, dengan bekerja untuk memastikan bahwa semua warga negara memiliki pekerjaan yang bermartabat, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Mengapa tidak berpaling kepada Allah dan meminta kepada-Nya untuk mengilhami rencana-rencana mereka? Saya sungguh yakin bahwa keterbukaan pada yang transenden dapat menghasilkan pola pemikiran politis dan ekonomis baru yang membantu merobohkan tembok pemisah antara ekonomi dan kesejahteraan umum masyarakat.
206. Ekonomi, seperti ditunjukkan oleh kata dasarnya sendiri, hendaknya menjadi seni untuk mencapai pengelolaan yang tepat atas rumah kita bersama, yakni dunia sebagai suatu keseluruhan. Setiap tindakan ekonomi dalam skala tertentu yang dilaksanakan di satu bagian dunia memiliki dampak di bagian lain manapun; akibatnya, tak satu pemerintahan pun dapat bertindak tanpa memperhatikan tanggung jawab bersama. Memang menjadi semakin sulit untuk menemukan pemecahan lokal bagi masalah-masalah global yang sangat besar yang melanda politik lokal dengan kesulitan-kesulitan yang harus diselesaikan. Jika kita sungguh-sungguh ingin mencapai ekonomi dunia yang sehat, apa yang diperlukan pada fase sejarah saat ini adalah cara yang lebih efisien untuk berinteraksi yang, dengan menghormati kedaulatan setiap bangsa, menjamin kesejahteraan ekonomi dari semua negara, bukan hanya dari beberapa saja.
207. Setiap komunitas Gereja, jika berpikir bisa nyaman dengan caranya sendiri tanpa keprihatinan kreatif serta kerja sama efektif untuk membantu orang-orang miskin hidup bermartabat dan tanpa ada yang dikucilkan, akan berisiko mengalami kehancuran, betapapun banyak berbicara tentang masalah-masalah sosial atau mengecam pemerintah. Komunitas Gereja akan mudah jatuh ke dalam keduniawian rohani yang berselubungkan praktik religius, dengan pertemuan-pertemuan tanpa hasil atau banyak pembicaraan kosong.
208. Jika siapa pun merasa tersinggung oleh kata-kata saya, saya akan mengatakan kepadanya bahwa saya berbicara dengan kasih sayang dan dengan niat terbaik, jauh dari kepentingan pribadi atau ideologi politik. Kata-kata saya bukanlah kata-kata musuh atau lawan. Saya hanya tertarik untuk membantu mereka yang menjadi budak mentalitas individualistis, acuh tak acuh dan egois agar dibebaskan dari belenggu-belenggu tak layak itu dan mencapai cara hidup dan cara berpikir yang lebih manusiawi, lebih luhur dan lebih berguna yang akan memberi martabat bagi kehadiran mereka di bumi ini.
Kepedulian terhadap yang lemah
209. Yesus, Sang Penginjil yang amat hebat dan Injil yang mempribadi, menyamakan Diri terutama dengan mereka yang hina (bdk. Mat 25:40). Hal ini mengingatkan kita umat Kristiani bahwa kita dipanggil untuk memperhatikan mereka yang lemah di bumi. Namun model saat ini, yang menekankan keberhasilan dan hak pribadi, tidak tampak mendukung investasi dalam upaya-upaya membantu mereka yang tertinggal, yang lemah atau yang kurang berbakat untuk dapat menemukan peluang-peluang dalam hidup.
210. Sangat perlu memberi perhatian dan mendekatkan diri kepada bentuk-bentuk baru kemiskinan dan kerentanan, di mana kita dipanggil untuk mengenali Kristus yang menderita, bahkan jika hal ini tampaknya tidak memberi kita manfaat nyata dan langsung. Saya berpikir tentang para tunawisma, para pecandu napza, para pengungsi, penduduk asli, orang lanjut usia yang semakin terasing dan terlantar, dan banyak orang lainnya. Para migran memberikan tantangan khusus bagi saya, karena saya adalah imam dari sebuah Gereja tanpa perbatasan, Gereja yang menganggap dirinya ibu bagi semua. Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada setiap negara untuk memiliki keterbukaan murah hati yang akan mampu menciptakan bentuk-bentuk sintesis budaya baru tanpa perlu takut kehilangan identitas lokal. Betapa indahnya kota-kota yang mampu mengatasi kecurigaan yang melumpuhkan, mengintegrasikan orang-orang yang berbeda dan menjadikan integrasi ini suatu faktor baru dari pengembangan! Betapa menariknya kota-kota yang, bahkan dalam rancangan arsitekturnya, penuh dengan ruang yang menghubungkan, menciptakan relasi dan mendukung pengakuan akan yang lain!
211. Saya selalu merasa sedih karena banyak orang menjadi korban berbagai jenis perdagangan manusia. Betapa saya berharap agar kita semua mau mendengar seruan Allah “Di mana adikmu?” (Kej. 4:9). Di mana saudara-saudarimu yang kauperbudak? Di mana saudara dan saudarimu yang kaubunuh setiap hari di pabrik kecil yang tersembunyi, di jaringan prostitusi, dalam diri anak-anak yang diperalat untuk mengemis, dalam diri orang yang harus bekerja secara sembunyi-sembunyi karena tidak memiliki dokumen resmi? Mari kita jangan berdalih apa pun. Ada banyak cara keterlibatan. Persoalan ini mengenai semua orang! Jaringan kejahatan keji ini sekarang tertanam di kota-kota kita, dan tangan banyak orang berlumuran darah akibat keterlibatan mereka yang nyaman dan diam.
212. Yang menderita kemalangan ganda adalah para perempuan yang menanggung situasi pengasingan, pelecehan dan kekerasan, karena mereka seringkali tidak mampu membela hak-hak mereka. Meskipun demikian, kita terus-menerus menyaksikan di antara mereka teladan-teladan mengagumkan akan kepahlawanan sehari-hari dalam membela dan melindungi keluarga-keluarga mereka yang rentan.
213. Di antara mereka yang rentan yang ingin diperhatikan Gereja dengan cinta kasih dan perhatian istimewa adalah anak-anak yang belum dilahirkan, mereka yang paling tidak mampu membela diri dan paling tidak berdosa di antara kita. Sekarang ini dilakukan upaya-upaya untuk mengingkari martabat manusiawi mereka dan memperlakukan mereka semau sendiri, dengan menghabisi hidup mereka dan membuat hukum sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dapat menghalangi tindak kejahatan itu. Seringkali, sebagai cara mencemooh upaya Gereja untuk membela hidup mereka yang belum lahir, dilakukan berbagai usaha untuk menunjukkan posisi Gereja sebagai ideologis, kolot dan konservatif. Namun pembelaan atas hidup yang belum dilahirkan ini berkaitan erat dengan pembelaan atas hak-hak asasi setiap manusia. Hal ini mencakup keyakinan bahwa seorang manusia selalu suci dan tak bisa diganggu gugat, di setiap situasi dan di setiap tahap mana pun dari perkembangannya. Manusia adalah tujuan dalam dirinya sendiri dan tak pernah menjadi sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan lain. Sekali keyakinan ini hilang, hilanglah pula dasar-dasar yang kuat dan abadi untuk membela hak-hak asasi manusia, yang akan selalu tunduk pada apa yang kebetulan cocok bagi mereka yang sedang berkuasa. Akal budi saja sudah cukup untuk mengenal nilai yang tak boleh dilanggar dari setiap hidup manusia, tetapi jika kita juga melihat permasalahan itu dari sudut pandang iman, “setiap pelanggaran martabat pribadi makhluk manusia berteriak menuntut pembalasan pada Allah dan merupakan penghinaan terhadap Pencipta manusia.”[176]
214. Justru karena hal ini mencakup konsistensi internal pesan kami tentang nilai pribadi manusia, Gereja tidak dapat diharapkan untuk mengubah posisinya atas soal ini. Saya ingin benar-benar jujur dalam hal ini. Ini bukanlah argumen yang bisa berubah oleh pembaruan yang diperkirakan atau “modernisasi". Juga bukanlah sikap progresif mengira bisa mengatasi masalah dengan meniadakan hidup manusia. Namun, benar juga bahwa kita baru berupaya sedikit untuk secara memadai mendampingi para perempuan dalam situasi-situasi yang sangat sulit, di mana aborsi nampak sebagai solusi cepat untuk penderitaan mereka yang mendalam, terutama ketika hidup yang sedang tumbuh di dalam rahim mereka adalah akibat dari pemerkosaan atau situasi kemelaratan ekstrem. Siapa yang dapat tetap tidak tergerak hatinya berhadapan dengan situasi-situasi menyakitkan semacam itu?
215. Ada makhluk lain yang lemah dan tidak berdaya, yang seringkali di dalam kekuasaan kepentingan ekonomi dan eksploitasi sembarangan. Saya berbicara tentang ciptaan secara keseluruhan. Kita umat manusia bukan hanya penerima manfaat, melainkan juga menjadi penjaga makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Melalui tubuh kita, Tuhan menyatukan kita begitu erat dengan dunia di sekitar kita sehingga kita dapat merasakan penggundulan tanah hampir seperti penyakit pada setiap orang, dan punahnya sebuah spesies seperti mutilasi yang menyakitkan. Marilah kita tidak meninggalkan jejak-jejak kehancuran dan kematian di jalan kita yang akan mempengaruhi hidup kita sendiri dan hidup generasi masa depan.[177] Dalam hal ini saya ingin menjadikan sebagai milik saya sendiri ratapan yang menyentuh dan profetis yang diungkapkan beberapa tahun lalu oleh para Uskup Filipina: “Berbagai jenis serangga yang menakjubkan hidup di hutan-hutan dan sibuk dengan berbagai macam tugas...Burung-burung terbang di udara, bulu-bulu mereka yang cerah dan kicauan mereka yang beraneka ragam menambah warna dan nyanyian pada hijaunya hutan... Allah memperuntukkan tanah ini bagi kita, makhluk-Nya yang istimewa, tetapi tidak dimaksudkan sedemikian sehingga kita bisa menghancurkannya atau mengubahnya menjadi tanah tandus... Sesudah hujan semalaman, lihatlah sungai-sungai kecoklatan di daerahmu dan ingatlah bahwa mereka sedang membawa darah kehidupan dari tanah ke dalam lautan? Bagaimana ikan dapat berenang dalam parit air kotor seperti sungai Pasig dan begitu banyak lagi sungai-sungai lain yang telah kita cemari? Siapa telah mengubah lautan yang menakjubkan menjadi kuburan bawah laut yang kehilangan kehidupan dan warna-warninya.” [178]
216. Kecil namun kokoh dalam kasih Allah, seperti Santo Fransiskus dari Assisi, kita semua, sebagai umat Kristiani, dipanggil untuk menjaga dan melindungi dunia yang rapuh di mana kita hidup, dan semua orang di dalamnya.
III. KESEJAHTERAAN UMUM DAN PERDAMAIAN DALAM MASYARAKAT
217. Kita telah berbicara panjang lebar tentang sukacita dan cinta kasih, tetapi sabda Allah juga berbicara tentang buah perdamaian (bdk. Gal. 5:22).
218. Perdamaian dalam masyarakat tak dapat dipahami sebagai hal yang menenangkan atau hanya tidak adanya kekerasan akibat dominasi salah satu bagian dari masyarakat terhadap yang lain. Perdamaian sejati juga tidak berlaku sebagai dalih untuk membenarkan suatu struktur sosial yang membungkam atau menenteramkan orang-orang miskin, sehingga mereka yang lebih makmur dengan tenang dapat menunjang gaya hidup mereka, sementara yang lain harus bertahan hidup selama mereka mampu. Tuntutan-tuntutan sosial yang terkait dengan pembagian kekayaan, perhatian bagi orang-orang miskin dan hak-hak asasi manusia tidak dapat ditekan dengan dalih menciptakan konsensus tertulis atau perdamaian sementara bagi minoritas yang merasa puas. Martabat pribadi manusia dan kesejahteraan umum memiliki kedudukan lebih tinggi daripada kenyamanan mereka yang menolak untuk meninggalkan hak-hak istimewa mereka. Ketika nilai-nilai ini terancam, suara kenabian harus diteriakkan.
219. Perdamaian juga tidak “semata-mata berarti tidak adanya perang, berdasarkan keseimbangan kekuatan yang mudah sekali goncang. Damai diwujudkan melalui usaha-usaha yang dari hari ke hari ditujukan kepada pembangunan tata dunia seperti dikehendaki oleh Allah, disertai perwujudan keadilan yang lebih sempurna antarmanusia.”[179] Pada akhirnya, perdamaian yang bukan hasil perkembangan seutuhnya tidak akan memiliki masa depan dan akan selalu menjadi benih konflik-konflik baru dan berbagai bentuk kekerasan.
220. Orang-orang di setiap negara meningkatkan dimensi sosial hidup mereka dengan bertindak sebagai warga negara yang memiliki komitmen dan bertanggung jawab, bukan sebagai massa yang digiring oleh kekuasaan yang ada. Marilah kita tidak melupakan bahwa “kewarganegaraan yang bertanggung jawab adalah sebuah kebajikan, dan peran serta dalam kehidupan politik adalah kewajiban moral.”[180] Namun menjadi sebuah bangsa menuntut sesuatu yang lebih. Ini adalah sebuah proses terus-menerus di mana setiap generasi baru harus ikut berperan serta: sebuah upaya perlahan dan sulit yang menuntut kemauan berintegrasi dan belajar melaksanakannya demi mengembangkan sebuah budaya perjumpaan dalam suatu keselarasan yang beragam.
221. Untuk memajukan pembangunan suatu bangsa dalam perdamaian, keadilan dan persaudaraan ada empat prinsip yang berkaitan dengan ketegangan-ketegangan yang selalu hadir dalam setiap realitas sosial. Keempat prinsip itu berasal dari pilar-pilar ajaran sosial Gereja, yang bertindak sebagai “parameter rujukan yang utama dan fundamental untuk menafsir dan menilai gejala sosial.”[181] Dalam terang pilar-pilar itu saya sekarang ingin mengajukan empat prinsip khusus ini yang dapat membimbing perkembangan hidup dalam masyarakat dan pembangunan bangsa di mana perbedaan-perbedaan diselaraskan dalam usaha bersama. Saya berbuat demikian atas dasar keyakinan bahwa penerapan keempat prinsip tersebut bisa menjadi jalan sejati menuju perdamaian di setiap bangsa dan di seluruh dunia.
Waktu lebih besar daripada ruang
222. Ketegangan terus-menerus terjadi antara kepenuhan dan keterbatasan. Kepenuhan membangkitkan keinginan untuk memiliki segalanya, sementara keterbatasan merupakan dinding yang dipasang di hadapan kita. “Waktu” dalam arti luas merujuk pada kepenuhan sebagai ungkapan cakrawala yang senantiasa terbentang di hadapan kita, sementara “saat” merupakan ungkapan keterbatasan yang dihayati dalam sebuah ruang yang terbatas. Warga masyarakat hidup dalam tegangan antara segala kejadian saat ini dan cahaya waktu, cakrawala yang lebih luas, utopia yang terbuka pada masa depan sebagai sebab akhir yang menarik kita pada dirinya. Di sini kita melihat prinsip pertama untuk memajukan pembangunan sebuah bangsa: waktu lebih besar daripada ruang.
223. Prinsip ini memampukan kita untuk bekerja dalam jangka panjang, tanpa terobsesi dengan hasil yang segera. Prinsip ini membantu kita dengan sabar bertahan dalam situasi yang sulit dan merugikan, atau perubahan-perubahan dalam rencana-rencana kita sebagai akibat perkembangan realitas. Kita diundang untuk menerima ketegangan antara kepenuhan dan keterbatasan, dan memberikan prioritas kepada waktu. Salah satu kesalahan yang kadang-kadang kita amati dalam kegiatan sosio-politik adalah bahwa ruang dan kekuasaan lebih disukai daripada waktu dan proses. Memberikan prioritas pada ruang berarti berusaha mati-matian untuk menyelesaikan secara bersamaan segala hal pada saat ini, dengan berusaha menguasai semua ruang kekuasaan dan pementingan diri. Hal ini berarti membekukan proses dan mengandaikan bisa menghentikannya. Memberikan prioritas kepada waktu berarti melibatkan diri dalam memulai proses daripada memiliki ruang. Waktu mengatur ruang-ruang, meneranginya dan menghubungkannya dalam rantai yang terus berkembang, tanpa kemungkinan mundur kembali. Maka, apa yang kita butuhkan kemudian adalah memberikan prioritas kepada tindakan yang menghasilkan proses baru dalam masyarakat dan melibatkan orang-orang serta kelompok-kelompok lain yang dapat mengembangkannya hingga mereka berbuah dalam peristiwa-peristiwa bersejarah penting lainnya. Tanpa kekuatiran, tetapi dengan keyakinan dan kegigihan yang jelas.
224. Kadang-kadang saya bertanya-tanya siapa orang-orang di dunia sekarang ini yang sungguh-sungguh memiliki keprihatinan untuk menghasilkan proses pembangunan bangsa, lebih daripada memperoleh hasil langsung yang menciptakan suatu keuntungan politik yang mudah, cepat dan akan segera berlalu, tetapi tidak membangun kepenuhan manusia. Sejarah barangkali akan menilai yang belakangan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Romano Guardini: “Satu-satunya ukuran untuk dengan tepat menilai suatu masa adalah menanyakan sejauh mana masa itu telah memupuk perkembangan dan pencapaian eksistensi manusia secara penuh dan dengan makna sejati, sesuai dengan karakter khas dan kemampuan masa itu.”[182]
225. Kriteria ini juga berlaku untuk evangelisasi yang meminta perhatian terhadap cakrawala lebih luas, keterbukaan terhadap proses-proses yang sesuai dan jalan yang panjang. Tuhan sendiri, selama hidup-Nya di dunia, seringkali mengingatkan para murid-Nya bahwa ada banyak hal yang belum mereka pahami dan bahwa mereka harus menunggu Roh Kudus (bdk. Yoh. 16:12-13). Perumpamaan ilalang di antara gandum (bdk. Mat. 13:24-30) secara plastis menggambarkan aspek penting evangelisasi, yang menunjukkan bagaimana musuh dapat menyusup ke dalam kerajaan dan menaburkan kejahatan dengan ilalang, tetapi pada akhirnya ia dikalahkan oleh kebaikan gandum.
Kesatuan menang atas pertentangan
226. Konflik tidak dapat diabaikan atau pun disembunyikan. Pertentangan harus dihadapi. Tetapi jika kita tetap terjebak dalam pertentangan, kita kehilangan perspektif kita, cakrawala kita menyusut dan realitas sendiri mulai berantakan. Bilamana kita bersikeras dalam situasi konflik, kita kehilangan rasa terhadap kesatuan mendalam realitas kita.
227. Ketika timbul konflik, beberapa orang hanya melihatnya saja dan berlalu seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang terjadi; mereka cuci tangan atas hal itu dan melanjutkan kehidupan mereka. Orang-orang lain menerimanya sedemikian rupa sehingga mereka menjadi para tahanannya; mereka kehilangan cakrawala mereka, memproyeksikan ke segala institusi kebingungan dan ketidakpuasan mereka sendiri dan dengan demikian membuat kesatuan mustahil terjadi. Tapi ada juga cara ketiga, dan itu merupakan cara terbaik untuk menangani pertentangan. Cara itu adalah kemauan untuk menghadapi pertentangan yang dijumpai, untuk menyelesaikannya dan untuk mengubahnya menjadi mata rantai dari sebuah proses baru. “Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat. 5:9).
228. Dengan cara ini dimungkinkan membangun persekutuan di tengah-tengah pertentangan, tetapi hal ini hanya dapat dicapai oleh pribadi-pribadi luhur yang mau menembus permukaan konflik dan memandang orang-orang lain dalam martabat terdalam mereka. Hal ini membutuhkan pengakuan akan prinsip yang sangat diperlukan untuk membangun persahabatan dalam masyarakat; yakni, bahwa persatuan lebih unggul daripada pertentangan. Solidaritas, dalam artinya yang paling dalam dan paling menantang, dengan demikian menjadi cara menciptakan sejarah dalam panggung kehidupan di mana pertentangan, ketegangan dan permusuhan dapat mencapai suatu kesatuan beragam yang melahirkan suatu kehidupan baru. Hal ini tidak berarti mendorong ke arah sinkretisme, atau ke penyerapan yang satu ke dalam yang lain, tetapi merupakan suatu pemecahan yang terjadi pada tataran lebih tinggi yang mempertahankan apa yang sah dan bermanfaat pada kedua belah pihak.
229. Prinsip ini, yang diambil dari Injil, mengingatkan kita bahwa Kristus telah menyatukan segala sesuatu dalam diri-Nya sendiri: surga dan bumi, Allah dan manusia, waktu dan keabadian, badan dan jiwa, pribadi dan masyarakat. Tanda kesatuan dan rekonsiliasi segala sesuatu dalam diri-Nya ini adalah damai. Kristus adalah “damai kita"(Ef. 2:14). Pewartaan Injil selalu mulai dengan salam damai, dan damai selalu memahkotai dan meneguhkan relasi antara para murid. Damai dimungkinkan karena Tuhan telah mengalahkan dunia dan pertentangannya yang terus-menerus “dengan mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20). Tetapi jika kita melihat lebih dekat pada teks-teks Kitab Suci ini, kita menemukan bahwa medan pertama di mana kita dipanggil untuk mengadakan pendamaian di tengah pelbagai pertentangan ada di dalam diri kita sendiri, di dalam hidup kita sendiri, yang selalu terancam oleh penyebaran dialektika.[183] Jika hati pecah berkeping-keping, tidak mudah menciptakan perdamaian sejati di masyarakat.
230. Pesan perdamaian bukan tentang damai hasil tawar-menawar, melainkan lebih merupakan keyakinan bahwa kesatuan yang dibawa oleh Roh dapat menyelaraskan setiap keragaman. Perdamaian itu mengatasi setiap konflik dengan menciptakan sebuah sintesis baru dan menjanjikan. Keragaman itu indah bilamana senantiasa rela masuk ke dalam proses rekonsiliasi dan memeteraikan semacam perjanjian budaya yang menghasilkan “keragaman yang diperdamaikan,” sebagaimana telah diajarkan dengan baik oleh para Uskup di Kongo: “Keragaman etnis kita adalah kekayaan kita... Hanya dalam kesatuan, melalui pertobatan hati dan rekonsiliasi, kita akan mampu memajukan negara kita.”[184]
Kenyataan lebih penting daripada gagasan
231. Juga ada tegangan tanpa henti antara gagasan dan kenyataan. Kenyataan hanya ada, sedangkan gagasan perlu dikembangkan. Harus ada dialog berkesinambungan antara keduanya, agar jangan sampai gagasan terlepas dari kenyataan. Berbahayalah hidup hanya dalam dunia kata-kata saja, dunia imajinasi dan penalaran cerdik. Maka, prinsip ketiga perlu diberlakukan: kenyataan lebih besar daripada gagasan. Hal ini berarti menghindari berbagai bentuk yang menyembunyikan realitas: puritanisme, relativisme yang merajalela, konsep-konsep yang hanya menerangkan tanpa esensi, proyek-proyek yang lebih formal daripada nyata, fundamentalisme yang tidak menyejarah, sistem etika tanpa kebaikan, wacana intelektual tanpa kebijaksanaan.
232. Gagasan–elaborasi konseptual- melayani komunikasi, pemahaman dan praksis. Gagasan yang terlepas dari realitas menimbulkan bentuk-bentuk idealisme dan nominalisme yang tidak efektif, yang paling mampu mengklasifikasi dan mendefinisikan, tetapi tidak mengajak untuk bertindak. Apa yang mengajak kita untuk bertindak adalah realitas yang diterangi oleh akal budi. Hendaknya orang beralih dari nominalisme formal ke objektivitas yang selaras. Kalau tidak, kebenaran dimanipulasi, kosmetik menggantikan perawatan nyata untuk tubuh kita.[185] Kita memiliki para politisi –dan bahkan para pemimpin agama– yang heran mengapa orang-orang tidak memahami dan mengikuti mereka, padahal usul-usul mereka begitu jelas dan logis. Barangkali itu karena mereka terpaku hanya pada dunia gagasan-gagasan murni dan akhirnya mereduksi politik atau iman menjadi wacana belaka. Yang lain telah meninggalkan kesederhaan dan mengimpor rasionalitas yang asing bagi kebanyakan orang.
233. Kenyataan melebihi gagasan. Prinsip ini berkaitan dengan penjelmaan sabda Allah dan pelaksanaannya dalam praktik: “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah” (1Yoh. 4:2). Prinsip dari kenyataan, dari Sabda yang telah menjelma dan terus berusaha untuk menjelma, adalah penting untuk evangelisasi. Hal ini membantu kita untuk melihat bahwa sejarah Gereja adalah sejarah keselamatan, untuk mengingat para kudus yang telah menginkulturasikan Injil ke dalam kehidupan bangsa-bangsa kita dan untuk memetik buah kaya tradisi Gereja selama dua ribu tahun, tanpa pretensi dapat mengembangkan pemikiran yang terlepas dari kekayaan tradisi ini, seolah-olah kita ingin menjadi penemu Injil. Pada saat yang sama, prinsip ini memaksa kita untuk mempraktikkan sabda, untuk melakukan karya-karya keadilan dan cinta kasih yang membuat sabda itu berbuah. Tidak mempraktikkan sabda, tidak mewujudkannya dalam kenyataan, berarti membangun di atas pasir, tetap tinggal dalam dunia gagasan semata dan berakhir dalam egoisme dan gnotisisme yang tidak hidup serta tidak berbuah.
Keseluruhan lebih besar daripada bagian
234. Juga ada tegangan antara keglobalan dan kelokalan. Kita perlu memperhatikan dimensi global untuk menghindari kepicikan dan kedangkalan. Namun, kita juga perlu melihat yang lokal, untuk menjaga kaki kita tetap berpijak di tanah. Bersama-sama, keduanya mencegah kita jatuh ke dalam salah satu ekstrem. Yang pertama, orang terjebak dalam universalisme yang abstrak dan mengglobal, yang hanya mengikuti langkah orang lain, dengan mengagumi gemerlapnya dunia orang lain, dengan mulut ternganga memberikan tepuk tangan untuk program-programnya. Pada ekstrem yang lain, mereka berubah menjadi museum cerita rakyat setempat, yang terpisah dari dunia, dihukum untuk berulang-ulang melakukan hal yang sama, dan tidak mampu menghadapi tantangan hal-hal baru dan menghargai keindahan yang dianugerahkan Allah di luar batas-batas mereka.
235. Keseluruhan melebihi bagian, dan juga melebihi jumlah bagian-bagiannya. Maka, tak perlu terlalu terobsesi dengan soal-soal yang terbatas dan khusus. Kita senantiasa harus memperluas cakrawala kita dan memandang kebaikan yang lebih besar yang bermanfaat bagi kita semua. Tetapi hal ini harus dilakukan tanpa menjadi pelarian atau kehilangan akar. Kita perlu menanamkan akar-akar kita lebih dalam ke tanah yang subur dan sejarah tempat asal kita, yang merupakan anugerah Allah. Kita dapat bekerja pada skala kecil di lingkungan kita sendiri, tetapi dengan perspektif yang lebih luas. Juga orang-orang yang dengan sepenuh hati masuk ke dalam kehidupan sebuah komunitas tidak perlu kehilangan karakter pribadi mereka atau menyembunyikan identitas mereka; Sebaliknya, mereka menerima dorongan-dorongan baru untuk pertumbuhan pribadi. Lingkungan global tidak perlu melenyapkan, bagian yang khusus pun tak perlu memandulkan.
236. Model kita bukanlah lingkaran, yang tidak melebihi bagian-bagiannya, di mana setiap titik berjarak sama dari pusat, dan tidak ada perbedaan di antara titik yang satu dengan titik yang lain. Model kita adalah polyhedron, yang memantulkan konvergensi dari semua bagian-bagiannya, yang masing-masing mempertahankan kekhasannya. Kegiatan pastoral dan politik sama-sama berusaha mengumpulkan dalam polyhedron ini yang terbaik dari masing-masing. Ada tempat bagi orang-orang miskin dan kebudayaan mereka, aspirasi mereka dan potensi mereka. Bahkan orang-orang yang dianggap meragukan karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri memiliki sesuatu untuk ditawarkan yang tidak boleh diabaikan. Ini adalah konvergensi bangsa-bangsa yang, dalam tatanan universal, mempertahankan kekhasan mereka sendiri; ini adalah jumlah keseluruhan orang-orang dalam sebuah masyarakat yang mengupayakan kesejahteraan umum, yang sungguh-sungguh memiliki tempat bagi setiap orang.
237. Bagi kita umat Kristiani, prinsip ini juga berbicara tentang totalitas atau integritas Injil yang diwariskan Gereja kepada kita dan mengutus kita untuk mewartakannya. Kekayaan yang penuh merangkul orang-orang terpelajar dan pekerja, pengusaha dan seniman, singkat kata, semua orang. “Penghayatan iman yang kerakyatan” menerima dengan caranya sendiri seluruh Injil dan mewujudkannya dalam ungkapan doa, persaudaraan, keadilan, perjuangan dan perayaan. Kabar Baik adalah sukacita Bapa yang menginginkan bahwa tak satu pun dari anak-anak-Nya yang kecil itu hilang, sukacita Gembala Baik yang menemukan domba yang hilang dan membawanya kembali kepada kawanannya. Injil adalah ragi yang menyebabkan adonan mengembang dan kota di atas bukit yang cahayanya menerangi semua bangsa. Injil memiliki prinsip totalitas yang intrinsik: Injil tidak akan berhenti menjadi Kabar Baik selama belum diwartakan kepada semua orang, selama belum menyembuhkan dan menguatkan setiap aspek kemanusiaan, selama belum menyatukan semua manusia di meja perjamuan Kerajaan Allah. Keseluruhan lebih besar daripada bagian.
IV. DIALOG SOSIAL SEBAGAI SUMBANGAN UNTUK PERDAMAIAN
238. Evangelisasi juga menyangkut jalan dialog. Bagi Gereja masa kini, ada tiga bidang dialog yang menonjol di mana Gereja perlu hadir untuk memajukan pengembangan manusia seutuhnya dan mengusahakan kesejahteraan umum: dialog dengan negara, dialog dengan masyarakat –termasuk dialog dengan kebudayaan dan ilmu pengetahuan–, serta dialog dengan umat beriman lain yang bukan bagian dari Gereja Katolik. Di setiap perkara, “Gereja berbicara dari terang yang disampaikan iman.”[186] dengan menyumbangkan pengalamannya selama dua ribu tahun dan dengan terus mengingat hidup dan penderitaan umat manusia. Cahaya ini melampaui akal budi manusia, namun juga terbukti bermakna dan memperkaya mereka yang bukan umat beriman dan mendorong akal budi untuk memperluas perspektifnya.
239. Gereja mewartakan “Injil damai sejahtera” (Ef. 6:15) dan ingin bekerja sama dengan semua pemimpin nasional dan internasional untuk memelihara kebaikan universal yang sangat besar ini. Dengan mewartakan Yesus Kristus, yang adalah damai sejahtera sendiri (bdk. Ef. 2:14), evangelisasi baru meminta setiap orang yang dibaptis untuk menjadi pembawa damai dan saksi terpercaya tentang hidup yang didamaikan.[187] Sudah saatnya untuk mengetahui bagaimana, dalam sebuah budaya yang mengistimewakan dialog sebagai bentuk perjumpaan, merancang sarana untuk membangun konsensus dan kesepakatan tanpa memisahkannya dari upaya untuk suatu masyarakat yang adil, peduli dan inklusif. Penggubah utama, pelaku historis dari proses ini, adalah seluruh bangsa dan kebudayaan mereka, dan bukan hanya kelas, fraksi, kelompok atau kaum elit saja. Kita tidak membutuhkan rencana yang disusun oleh sedikit orang untuk yang sedikit itu, atau minoritas yang pandai dan “vokal” yang mengklaim berbicara untuk semua orang. Yang diperlukan adalah persetujuan untuk hidup bersama, pakta sosial dan budaya.
240. Tanggung jawab negaralah untuk menjaga dan memajukan kesejahteraan umum.[188] Berdasarkan prinsip-prinsip subsidiaritas dan solidaritas, dan dengan melibatkan diri sepenuhnya dalam dialog politik dan penciptaan persetujuan bersama, negara memainkan peran mendasar yang tak bisa diwakilkan, dalam mengusahakan pengembangan semua orang seutuhnya. Peran ini pada masa sekarang memerlukan kerendahan hati sosial yang mendalam.
241. Dalam dialognya dengan negara dan masyarakat, Gereja tidak memiliki jalan keluar untuk setiap masalah khusus. Bersama dengan berbagai sektor masyarakat, Gereja mendukung program-program yang paling baik menanggapi martabat setiap orang dan kesejahteraan umum. Dalam melakukan hal ini, Gereja secara jelas menawarkan nilai-nilai fundamental hidup manusia dan keyakinan-keyakinan yang kemudian dapat menemukan ungkapannya dalam kegiatan politik.
Dialog antara iman, akal budi, dan ilmu pengetahuan
242. Dialog antara iman dan ilmu pengetahuan juga merupakan bagian karya evangelisasi demi terciptanya perdamaian.[189] Sementara positivisme dan saintisme “menolak untuk mengakui keabsahan bentuk-bentuk pengetahuan selain bentuk-bentuk ilmu-ilmu positif,”[190] Gereja menawarkan jalan lain, yang menuntut sintesis antara penggunaan secara bertanggung jawab metode yang tepat untuk ilmu-ilmu empiris dan bidang-bidang pengetahuan lainnya seperti filsafat, teologi, juga iman sendiri yang mengangkat kita ke dalam misteri yang melampui kodrat dan kemampuan akal budi manusia. Iman tidak takut akan akal budi; sebaliknya, iman mencari dan memercayai akal budi, karena “terang akal budi dan terang iman keduanya berasal dari Allah"[191] dan tak dapat dipertentangkan satu sama lain. Evangelisasi memperhatikan kemajuan ilmu dan ingin mencurahkan kepadanya terang iman dan hukum kodrat sehingga kemajuan ilmu pengetahuan tetap menghargai sentralitas dan nilai tertinggi pribadi manusia pada setiap tahap kehidupan. Seluruh masyarakat bisa diperkaya berkat dialog ini yang membuka cakrawala baru pada pemikiran dan memperluas kemungkinan-kemungkinan akal budi. Hal ini juga merupakan suatu jalan harmoni dan perdamaian.
243. Gereja tidak ingin menahan laju perkembangan ilmu pengetahuan yang menakjubkan. Sebaliknya ia bersukacita dan bahkan bergembira mengakui kemampuan luar biasa yang diberikan Allah kepada pikiran manusia. Bilamana ilmu pengetahuan –yang secara cermat memusatkan perhatiannya pada bidang khusus penelitian mereka– sampai pada kesimpulan yang tidak dapat disangkal oleh akal budi, iman pun tidak membantahnya. Juga umat beriman tidak dapat mengklaim bahwa pendapat ilmiah yang menarik tetapi tidak cukup teruji, memiliki bobot yang sama seperti dogma iman. Tetapi pada beberapa kesempatan, beberapa ilmuwan telah melampui batas-batas kemampuan ilmiah mereka dengan membuat pernyataan-pernyataan atau klaim-klaim tentang hal-hal yang melampaui bidang formal ilmu mereka. Dalam hal ini masalahnya bukan dengan alasan ilmiah yang disodorkan, melainkan dengan ideologi tertentu yang menghambat jalan menuju dialog sejati, yang damai dan produktif.
Dialog ekumenis
244. Komitmen pada ekumenisme menanggapi doa Tuhan Yesus “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Sifat pesan Kristiani yang patut dipercayai akan menjadi lebih kuat jika umat Kristiani mampu mengatasi perpecahan mereka dan Gereja dapat mewujudkan “kepenuhan ciri katoliknya sendiri dalam diri putra-putrinya yang, meskipun bersatu dengannya oleh pembaptisan, namun terpisah dari persekutuan penuh dengannya.”[192] Kita tidak pernah boleh melupakan bahwa kita adalah para peziarah yang berjalan berdampingan satu sama lain. Hal ini berarti bahwa kita harus memiliki kepercayaan yang tulus pada teman sepeziarahan kita, dengan mengesampingkan segera kecurigaan atau ketidakpercayaan, dan mengarahkan pandangan kita pada apa yang kita cari: kedamaian di hadapan Allah yang Esa. Mempercayai orang lain adalah seni, demikian juga kedamaian adalah seni. Yesus berkata pada kita: “Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat. 5:9). Dalam mengemban tugas ini, juga di antara kita sendiri, kita memenuhi nubuat kenabian kuno: “mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak” (Yes. 2:4).
245. Dalam perspektif ini, ekumenisme dapat dipandang sebagai sumbangan untuk kesatuan keluarga manusia. Pada saat Sinode, kehadiran Patriark Konstantinopel, Yang Tersuci Bartolomeus I, serta Uskup Agung Canterbury, Yang terberkati Rowan Williams, adalah anugerah sejati dari Allah dan kesaksian Kristiani yang berharga.[193]
246. Mengingat seriusnya kontra-kesaksian dari perpecahan di antara umat Kristiani, terutama di Asia dan Afrika, pencarian jalan menuju kesatuan menjadi sangat mendesak. Para misionaris di kedua benua itu seringkali menyebutkan munculnya kritik, keluhan dan cemooh yang mereka terima akibat skandal perpecahan umat Kristiani. Jika kita memusatkan diri pada keyakinan kita bersama, dan jika kita mengingat prinsip hierarki kebenaran, kita akan mampu berjalan cepat menuju ungkapan bersama dalam pewartaan, pelayanan dan kesaksian. Jumlah sangat besar orang yang tidak menerima Injil Yesus Kristus tidak dapat membiarkan kita bersikap acuh tak acuh. Akibatnya, komitmen untuk kesatuan yang membantu mereka menerima Yesus bukan lagi menjadi soal diplomasi belaka atau kepatuhan yang terpaksa, melainkan jalan yang sangat diperlukan bagi evangelisasi. Tanda-tanda perpecahan di antara umat Kristiani di negara-negara yang dirusak oleh kekerasan menambah lagi kasus-kasus konflik di pihak mereka yang seharusnya menjadi ragi bagi perdamaian. Betapa banyak hal-hal penting mempersatukan kita! Jika kita sungguh percaya akan karya cuma-cuma yang melimpah dari Roh Kudus, kita bisa belajar sangat banyak satu sama lain! Ini bukan hanya hal mendapat informasi mengenai orang-orang lain untuk memahami mereka dengan lebih baik, melainkan lebih tentang menuai apa yang telah ditaburkan oleh Roh ke dalam diri mereka, yang juga berarti anugerah bagi kita. Untuk memberikan satu contoh, dalam dialog dengan saudara-saudari kita dari Gereja Ortodoks, kita umat katolik memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang makna kolegialitas para uskup dan pengalaman mereka bersinode. Melalui pertukaran karunia, Roh dapat membimbing kita lebih penuh menuju kebenaran dan kebaikan.
Hubungan dengan bangsa Yahudi
247. Kita memandang bangsa Yahudi secara istimewa karena perjanjian mereka dengan Allah tidak pernah dibatalkan, karena “Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya” (Rom. 11:29). Gereja, yang berbagi dengan kaum Yahudi bagian penting Kitab Suci, memandang bangsa Perjanjian dan iman mereka sebagai salah satu akar suci dari identitas Kristianinya sendiri (bdk. Rom. 11:16-18). Sebagai umat Kristiani kita tidak bisa menganggap agama Yahudi sebagai agama asing, juga kita tidak memasukkan bangsa Yahudi di antara mereka yang dipanggil untuk meninggalkan berhala-berhala dan berbalik kepada Allah yang benar (bdk. 1Tes. 1: 9). Bersama mereka, kita percaya akan satu Allah yang bertindak dalam sejarah, dan bersama mereka kita menerima sabda-Nya yang diwahyukan.
248. Dialog dan persahabatan dengan anak-anak Israel merupakan bagian hidup para murid Yesus. Persahabatan yang telah tumbuh di antara kita membuat kita dengan getir dan dengan tulus menyesali penganiayaan mengerikan yang telah mereka derita, dan terus mereka alami, terutama penganiayaan yang telah melibatkan umat Kristiani.
249. Allah terus bekerja di antara umat Perjanjian Lama dan membawa khazanah kekayaan kebijaksanaan yang mengalir dari perjumpaan mereka dengan sabda-Nya. Karena itu, Gereja juga diperkaya ketika menerima nilai-nilai Yudaisme. Sementara memang benar bahwa kepercayaan Kristiani tertentu tak bisa diterima oleh Yudaisme, dan bahwa Gereja tak bisa berhenti memberitakan Yesus sebagai Tuhan dan Mesias, ada juga banyak kesempatan untuk saling melengkapi yang memungkinkan kita membaca teks-teks Kitab Suci Ibrani bersama-sama dan untuk saling membantu menggali kekayaan sabda Allah. Kita juga bisa berbagi banyak keyakinan etis dan keprihatinan bersama untuk keadilan dan pengembangan bangsa-bangsa.
Dialog antaragama
250. Sikap keterbukaan terhadap kebenaran dan terhadap kasih harus menjadi ciri dialog dengan para pengikut agama non-Kristiani, meskipun ada berbagai kendala dan kesulitan, terutama bentuk-bentuk fundamentalisme pada kedua pihak, Dialog antaragama merupakan syarat yang perlu untuk perdamaian dunia, dan dengan demikian menjadi tugas bagi umat Kristiani serta komunitas-komunitas religius lainnya. Dialog ini pertama-tama adalah pembicaraan tentang keberadaan manusia atau semata-mata, seperti yang telah disampaikan oleh para Uskup India, soal “terbuka pada mereka, ikut berbagi dengan suka dan duka mereka.”[194] Dengan demikian kita belajar menerima orang lain dan cara hidup, cara berpikir serta cara berbicara mereka yang berbeda. Dengan cara ini, kita kemudian dapat bersama-sama mengemban tugas melayani keadilan dan perdamaian, yang seharusnya menjadi ukuran dasar bagi semua tindakan tukar-menukar kita. Dialog yang mengupayakan keadilan dan perdamaian sosial, dalam dirinya sendiri, melampaui segala yang merupakan pertimbangan praktis belaka, merupakan komitmen etis yang menciptakan situasi sosial baru. Upaya-upaya berdialog seputar tema khusus bisa menjadi suatu proses di mana, dengan saling mendengarkan, kedua pihak dapat dimurnikan dan diperkaya. Oleh karena itu, upaya-upaya ini juga bisa mengungkapkan kasih akan kebenaran.
251. Dalam dialog ini, yang selalu bersahabat dan tulus, perhatian harus selalu diberikan kepada ikatan penting antara dialog dan pewartaan, yang membimbing Gereja untuk memelihara dan meningkatkan hubungannya dengan umat non-Kristiani.[195] Sinkretisme yang mencari damai pada dasarnya akan menjadi sikap totaliter di pihak mereka yang berpretensi mendamaikan dengan mengabaikan nilai-nilai lebih luhur yang tidak mereka kuasai. Keterbukaan sejati mengandung sikap tetap teguh dalam keyakinannya sendiri yang terdalam dengan identitas yang jelas dan gembira, sementara pada saat yang sama “terbuka untuk memahami tradisi-tradisi dan pendirian-pendirian keagamaan dari pihak lain” dan “mengetahui bahwa dialog dapat memperkaya pihak masing-masing.”[196] Apa yang tidak bermanfaat adalah keterbukaan diplomatis yang mengatakan “ya” pada segala hal demi menghindari masalah, karena merupakan cara menipu orang lain dan menolak kebaikan mereka yang telah diberikan kepada kita untuk dibagikan kepada orang lain dengan murah hati. Evangelisasi dan dialog antaragama, jauh dari bertentangan, saling mendukung dan menyuburkan satu sama lain.[197]
252. Relasi kita dengan pengikut Islam menjadi sangat penting pada masa kini karena mereka kini secara signifikan hadir di banyak negara-negara bertradisi Kristiani, di mana mereka secara bebas dapat beribadat dan menjadi bagian penuh dari masyarakat. Kita tak boleh pernah melupakan bahwa mereka “menyatakan berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat.”[198] Tulisan-tulisan suci Islam menyimpan beberapa ajaran Kristiani; Yesus dan Maria menerima penghormatan yang mendalam dan sungguh mengagumkan melihat bagaimana kaum Muslim baik tua atau muda, perempuan dan laki-laki, meluangkan waktu untuk doa harian dan dengan setia mengambil bagian dalam kebaktian keagamaan. Banyak dari mereka juga memiliki keyakinan mendalam bahwa hidup mereka secara keseluruhan berasal dari Allah dan untuk Allah. Mereka juga mengakui perlunya menanggapi Allah dengan komitmen etis dan dengan belas kasih terhadap mereka yang paling membutuhkan.
253. Untuk mendukung dialog dengan Islam, pelatihan yang memadai penting bagi semua yang terlibat, bukan hanya supaya mereka dengan kokoh dan sukacita berakar pada identitas mereka sendiri, melainkan supaya mereka juga mampu mengakui nilai-nilai orang lain, memahami keprihatinan yang mendasari tuntutan mereka dan mampu menemukan keyakinan-keyakinan bersama. Kita umat Kristiani hendaknya menyambut dengan penuh kasih dan rasa hormat para imigran Muslim yang masuk ke negara-negara kita seperti kita mengharapkan dan meminta untuk diterima dan dihargai di negara-negara dengan tradisi Islam. Saya minta dan dengan rendah hati saya mohon dengan sangat kepada negara-negara tersebut agar memberi umat Kristiani kebebasan untuk beribadat dan merayakan iman mereka, dalam terang kebebasan yang dinikmati oleh para pengikut Islam di negara-negara Barat! Berhadapan dengan episode-episode fundamentalisme dengan kekerasan yang mencemaskan kita, rasa hormat kita pada para pengikut Islam sejati hendaknya membimbing kita untuk menghindari generalisasi yang penuh kebencian, karena Islam sejati dan interpretasi terhadap Alquran yang tepat bertentangan dengan setiap bentuk kekerasan.
254. Orang-orang non-Kristiani, karena prakarsa Allah yang cuma-cuma, bilamana mereka setia pada suara hati mereka sendiri, bisa hidup “dibenarkan oleh rahmat Allah"[199] dan dengan demikian “dihubungkan dengan misteri Paskah Yesus Kristus.”[200] Tetapi karena dimensi sakramental rahmat pengudusan, karya Allah dalam diri mereka menghasilkan tanda-tanda dan upacara-upacara, ungkapan-ungkapan suci yang pada gilirannya membawa orang lainnya kepada pengalaman komunitarian perjalanan menuju Allah.[201] Tanda-tanda dan upacara-upacara suci itu tidak memiliki makna dan keampuhan sakramen-sakramen yang ditetapkan oleh Kristus, namun bisa menjadi saluran-saluran yang dibangkitkan oleh Roh yang sama untuk membebaskan orang-orang non-Kristiani dari imanentisme ateistik atau dari pengalaman-pengalaman religius yang semata-mata individual. Roh yang sama mengilhami semua untuk berbagi aneka bentuk kebijaksanaan praktis yang membantu orang untuk menanggung penderitaan dan hidup dalam perdamaian dan harmoni yang lebih besar. Sebagai umat Kristiani, kita juga dapat memperoleh manfaat dari kekayaan ini yang diperkokoh selama berabad-abad, yang dapat membantu kita menghayati keyakinan kita sendiri dengan lebih baik.
Dialog sosial dalam konteks kebebasan beragama
255. Para Bapa Sinode menyuarakan pentingnya rasa hormat pada kebebasan beragama, yang dipandang sebagai hak asasi manusia.[202] Hal ini mencakup “kebebasan untuk memilih agama yang dianggap benar dan untuk menyatakan imannya di depan publik.”[203] Pluralisme yang sehat, yang benar-benar menghormati perbedaan-perbedaan dan nilai-nilai seperti adanya, tidak berarti privatisasi agama yang berupaya mereduksinya ke dalam ketersembunyian dan kegelapan hati nurani setiap individu atau meminggirkannya ke wilayah-wilayah tertutup gereja-gereja, sinagoga-sinagoga atau masjid-masjid. Hal ini tentu akan merupakan bentuk baru diskriminasi dan otoritarianisme Rasa hormat kepada minoritas agnostik atau orang-orang yang tak beriman tidak boleh dipaksakan secara sewenang-wenang sehingga membungkam keyakinan mayoritas orang yang percaya atau mengabaikan kekayaan tradisi religius. Dalam jangka panjang hal ini akan menumbuhkan kebencian daripada toleransi dan perdamaian.
256. Ketika mempertimbangkan pengaruh agama pada kehidupan publik, orang harus membedakan pelbagai cara menghayati agama. Baik para cendekiawan maupun komentar para wartawan seringkali jatuh ke dalam generalisasi yang mentah dan dangkal ketika membicarakan kekurangan-kekurangan agama, dan seringkali tidak mampu membedakan bahwa tidak semua umat beriman –atau para pemimpin agama– adalah sama. Beberapa politisi memanfaatkan kekacauan ini untuk membenarkan tindakan-tindakan diskriminasi. Di saat-saat lain, orang menyepelekan tulisan-tulisan yang muncul dalam sebuah konteks keyakinan agama, dengan melupakan bahwa naskah-naskah keagamaan klasik dapat memberikan makna bagi segala zaman; memiliki kekuatan menggerakkan yang selalu membuka cakrawala baru, merangsang pemikiran, memperluas pikiran dan perasaan. Naskah-naskah ini tidak dihargai karena kepicikan paham rasionalisme. Apakah masuk akal dan dapat dimengerti mengesampingkan tulisan-tulisan tertentu semata-mata karena berasal dari konteks keyakinan agama? Tulisan-tulisan ini mengandung prinsip-prinsip yang secara mendalam bersifat humanistik, dan meskipun diwarnai dengan simbol-simbol dan ajaran-ajaran agama, memiliki nilai yang dapat diterima oleh akal budi.
257. Sebagai orang beriman, kita juga merasa dekat dengan mereka yang tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai bagian dari tradisi religius apa pun, namun dengan tulus mencari kebenaran, kebaikan dan keindahan yang kita percaya memiliki ungkapan dan sumbernya yang tertinggi dalam Allah. Kita mengganggap mereka sebagai kawan berharga dalam komitmen membela martabat manusia, dalam membangun koeksistensi damai di antara bangsa-bangsa dan dalam melindungi ciptaan. Ruang perjumpaan istimewa ditawarkan oleh Areopagus baru semacam “halaman orang-orang yang tidak beriman”, di mana “orang beriman dan orang tak beriman dapat melibatkan diri dalam dialog mengenai soal-soal fundamental tentang etika, seni dan ilmu pengetahuan, dan tentang pencarian akan yang transenden.”[204] Hal ini juga merupakan jalan menuju perdamaian di dunia kita yang bermasalah.
258. Berawal dari soal-soal sosial tertentu yang sangat penting bagi masa depan umat manusia, saya mencoba sekali lagi menjelaskan dimensi sosial yang tak terelakkan dari pesan Injil dan mendorong seluruh umat Kristiani untuk menunjukkannya melalui kata, sikap dan perbuatan mereka.
BAB V
PARA PEWARTA INJIL YANG DIPENUHI ROH
259. Para pewarta Injil yang dipenuhi Roh berarti para pewarta yang berani terbuka bagi karya Roh Kudus. Pada Pentakosta Roh membuat para rasul keluar dari diri mereka sendiri dan mengubah mereka menjadi pewarta perbuatan-perbuatan ajaib Allah, mampu berbicara dengan tiap-tiap orang dengan bahasa mereka sendiri. Roh Kudus juga memberikan keteguhan hati untuk mewartakan kebaruan Injil dengan keberanian (parrhesía) di setiap waktu dan segala tempat, bahkan ketika menghadapi perlawanan. Marilah kita berseru kepada-Nya sekarang ini, berakar kuat dalam doa, karena tanpa doa semua kegiatan kita berisiko menjadi sia-sia dan pewartaan kita menjadi hampa. Yesus menginginkan para pewarta Injil yang menyampaikan kabar baik tak hanya dengan kata-kata, melainkan terutama melalui hidup yang diubah oleh kehadiran Allah.
260. Dalam bab terakhir ini, saya tidak bermaksud memberikan sintesis spiritualitas Kristiani, atau untuk menggali tema-tema besar seperti doa, adorasi Ekaristi atau perayaan liturgi iman. Untuk semua ini kita sudah memiliki teks-teks berharga dari magisterium dan tulisan-tulisan terkenal dari para pengarang besar. Saya tidak berpretensi menggantikan atau memperbaiki kekayaan yang sangat berharga ini. Saya hanya ingin menawarkan beberapa pemikiran tentang semangat evangelisasi baru.
261. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu “dijiwai Roh”, hal ini biasanya merujuk pada dorongan batiniah yang mendorong, memotivasi, menyemangati dan memberikan makna kepada kegiatan individu dan komunal kita. Evangelisasi yang dipenuhi semangat Roh sangat berbeda dari serangkaian tugas yang dilaksanakan sebagai suatu kewajiban berat yang ditoleransi begitu saja, atau yang ditanggung sebagai suatu yang berlawanan dengan kecenderungan dan keinginan pribadinya. Betapa saya merindukan dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk membangkitkan antusiasme akan babak baru evangelisasi yang penuh semangat, sukacita, kemurahan hati, keberanian, kasih tak terbatas dan daya tarik! Namun saya menyadari bahwa tak ada kata-kata penyemangat yang cukup kecuali api Roh Kudus sendiri bernyala dalam hati kita. Evangelisasi yang penuh semangat adalah evangelisasi yang dibimbing oleh Roh Kudus, karena Dia adalah jiwa Gereja yang dipanggil untuk mewartakan Injil. Sebelum memberikan beberapa motivasi rohani dan saran-saran, sekali lagi saya memohon bantuan Roh Kudus, saya mohon kepada-Nya untuk membarui, menggoncangkan, serta mendorong Gereja supaya berani keluar dari dirinya sendiri untuk mewartakan Injil kepada semua bangsa.
I. ALASAN-ALASAN BAGI DORONGAN PERUTUSAN YANG DIPERBARUI
262. Para pewarta Injil yang penuh semangat Roh adalah mereka yang berdoa dan bekerja. Dari sudut pandang evangelisasi, tidak ada gunanya usulan-usulan mistis tanpa komitmen sosial dan misioner yang kuat, juga tidak ada gunanya pembicaraan-pembicaraan dan praktik-praktik sosial dan pastoral tanpa spiritualitas yang mengubah hati. Usulan-usulan yang tidak lengkap dan tidak berhubungan ini hanya menjangkau segelintir kelompok dan tidak memiliki kekuatan penetrasi yang luas, karena melemahkan Injil. Apa yang dibutuhkan adalah kemampuan memupuk ruang batin yang dapat memberi makna Kristiani pada komitmen dan kegiatan.[205] Tanpa saat-saat adorasi yang panjang, saat-saat perjumpaan dengan sabda dalam suasana doa, saat-saat percakapan tulus dengan Tuhan, kerja kita dengan mudah menjadi tanpa arti; kita kehilangan kekuatan sebagai akibat dari kelelahan dan kesulitan, dan semangat kita padam. Gereja sungguh-sungguh membutuhkan nafas doa yang dalam, dan saya sungguh bersukacita karena di semua lembaga gereja berkembanglah kelompok-kelompok doa, kelompok-kelompok para pemohon, kelompok-kelompok pembacaan sabda Allah dalam suasana doa dan adorasi abadi Ekaristi. Sekaligus, “kita harus menolak godaan spiritualitas privat dan individualistis, yang tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan cinta kasih, maupun paham Penjelmaan.”[206] Selalu ada risiko bahwa saat-saat doa bisa menjadi alasan untuk tidak mempersembahkan hidup pribadi bagi perutusan; gaya hidup yang menekankan lingkup privat dapat mendorong umat Kristiani untuk lari ke dalam spiritualitas palsu.
263. Perlulah mengingat umat Kristiani perdana dan banyak saudara-saudari kita sepanjang sejarah yang penuh dengan sukacita, keberanian dan semangat yang tak kunjung padam dalam mewartakan Injil. Beberapa orang sekarang ini menghibur diri dengan mengatakan bahwa keadaan sekarang lebih sulit, namun kita harus mengakui bahwa keadaan kerajaan Romawi tidak menguntungkan bagi pewartaan Injil, maupun bagi perjuangan demi keadilan, atau pembelaan martabat manusia. Setiap periode sejarah ditandai oleh hadirnya kelemahan manusiawi, ketertutupan diri, kepuasan diri dan egoisme, serta tentu saja nafsu yang mengancam kita semua. Kenyataan seperti itu selalu hadir dalam satu bentuk atau yang lain; itu berasal dari keterbatasan manusiawi kita daripada dari keadaan tertentu. Maka, kita tidak dapat mengatakan bahwa sekarang ini lebih sulit; saat ini berbeda. Tetapi marilah kita juga belajar dari para kudus yang telah mendahului kita, yang menghadapi kesulitan-kesulitan zaman mereka sendiri. Maka, saya menyarankan agar kita berhenti sejenak untuk menemukan kembali beberapa alasan yang dapat membantu kita meniru mereka di zaman ini.[207]
Perjumpaan pribadi dengan kasih Yesus yang menyelamatkan
264. Alasan utama untuk evangelisasi adalah kasih Yesus yang telah kita terima, pengalaman keselamatan yang mendorong kita untuk selalu lebih mencintai-Nya. Kasih macam apa yang tidak merasa perlu berbicara tentang orang yang dikasihinya, memperkenalkannya, membuatnya dikenal? Jika kita tidak merasakan keinginan kuat untuk membagikan kasih ini, kita perlu berdoa lebih tekun sehingga Dia akan sekali lagi menyentuh hati kita. Kita perlu memohon rahmat-Nya setiap hari, seraya meminta-Nya membuka hati kita yang dingin dan menggoncang-goncangkan hidup kita yang suam-suam kuku dan dangkal. Dengan hati terbuka berdiri di hadapan Yesus dan membiarkan-Nya memandang kita, kita melihat pandangan kasih yang dilihat sekilas oleh Natanael ketika Yesus berkata padanya: “Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara” (Yoh. 1:48). Betapa baiknya berdiri di hadapan salib, atau berlutut di hadapan Sakramen Mahakudus, dan hanya berada di hadirat-Nya! Betapa baik bagi kita bila membiarkan Yesus sekali lagi menyentuh hidup kita dan mendorong kita membagikan hidup-Nya yang baru. Apa yang kemudian terjadi adalah bahwa “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar, itu kami beritakan” (1Yoh. 1:3). Motivasi terbaik untuk menyampaikan Injil adalah merenungkannya dengan kasih, berlama-lama pada halaman-halamannya dan membacanya dengan hati. Jika kita mendekati Injil dengan cara ini, keindahannya akan membuat kita terpukau dan terus-menerus menggairahkan kita. Maka, sangat penting memulihkan semangat kontemplatif yang memampukan kita setiap hari menyadari kembali bahwa kita adalah para penjaga harta warisan yang membuat kita menjadi lebih manusiawi dan membantu kita untuk menjalani kehidupan baru. Tidak ada yang lebih berharga yang dapat kita berikan kepada orang-orang lain.
265. Seluruh hidup Yesus, caranya menghadapi kaum miskin, perbuatan-perbuatan-Nya, integritas-Nya, tindakan-tindakan kemurahan hatiNya sehari-hari yang sederhana, dan akhirnya pemberian diri-Nya sepenuhnya, sungguh berharga dan berbicara kepada hidup pribadi kita. Setiap kali kita menjumpai-Nya kembali, kita menjadi yakin bahwa inilah yang sesungguhnya dibutuhkan orang-orang lain, meskipun mungkin mereka tidak mengakuinya: “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis. 17:23). Kadang-kadang kita kehilangan antusiasme kita untuk tugas perutusan karena kita lupa bahwa Injil menanggapi kebutuhan kita yang terdalam, karena kita diciptakan untuk apa yang ditawarkan Injil kepada kita: persahabatan dengan Yesus dan kasih pada saudara-saudari kita. Jika kita berhasil mengungkapkan secara memadai dan dengan keindahan isi pokok Injil, pasti pesan ini akan menanggapi kerinduan terdalam hati manusia. “Misionaris yakin bahwa, melalui karya Roh, sudah ada harapan dalam diri individu-individu dan bangsa-bangsa, sekalipun suatu harapan yang tidak disadari; suatu harapan untuk mengetahui kebenaran tentang Allah, tentang manusia, dan tentang bagaimana kita dibebaskan dari dosa dan kematian. Semangat misionaris dalam mewartakan Kristus berasal dari keyakinan bahwa Dia menjawab harapan semacam itu.”[208] Antusiasme untuk evangelisasi didasarkan pada keyakinan ini. Kita memiliki harta kekayaan kehidupan dan kasih yang tak dapat menipu, dan pesan yang tidak dapat menyesatkan dan mengecewakan. Itulah tanggapan yang menembus kedalaman hati kita, yang menopang dan mengangkat kita. Ini adalah kebenaran yang tidak pernah ketinggalan zaman karena mampu menjangkau bagian diri kita yang tak terjangkau oleh apa pun yang lain. Kesedihan kita yang tanpa batas hanya dapat disembuhkan oleh kasih yang tanpa batas.
266. Tetapi keyakinan ini ditopang oleh pengalaman pribadi yang terus dibarui untuk mengecap persahabatan Kristus dan pesan-Nya. Tidak mungkin bertekun dalam evangelisasi dengan penuh semangat, kecuali kita meyakini dari pengalaman pribadi bahwa tidaklah sama telah mengenal Kristus dengan tidak mengenal-Nya; tidaklah sama berjalan bersama-Nya dengan berjalan meraba-raba; tidaklah sama dapat mendengar sabda-Nya dengan tidak mengetahuinya; dan tidaklah sama dapat memandang-Nya, menyembah-Nya, menemukan damai kita di dalam Dia dengan tidak dapat melakukan hal-hal itu. Tidaklah sama berupaya membangun dunia dengan Injil-Nya dengan berusaha melakukannya dengan terang kita sendiri. Kita sungguh mengerti bahwa bersama Yesus kehidupan diperkaya dan bahwa bersama-Nya lebih mudah menemukan makna dalam segala hal. Inilah sebabnya mengapa kita mewartakan sabda. Seorang misionaris sejati, yang tidak pernah berhenti menjadi murid, mengerti bahwa Yesus berjalan bersamanya, berbicara kepadanya, bernafas bersamanya, bekerja dengannya. Ia merasakan Yesus hidup bersamanya di tengah-tengah upaya perutusan. Jika kita tidak melihat-Nya hadir di jantung komitmen perutusan kita, antusiasme kita segera meredup dan kita tak lagi yakin akan apa yang kita sampaikan; kita kehilangan semangat dan gairah. Seorang pribadi yang tidak yakin, tidak bersemangat, tidak pasti dan tidak mengasihi, tidak akan meyakinkan siapa pun.
267. Bersatu dengan Yesus, kita mencari apa yang Dia cari serta mengasihi apa yang Dia kasihi. Akhirnya, apa yang kita cari adalah kemuliaan Bapa; kita hidup dan bertindak “supaya terpujilah kasih karuniaNya yang mulia” (Ef. 1:6). Jika kita ingin melibatkan diri kita sepenuhnya dan dengan teguh hati, kita perlu meninggalkan setiap motivasi lainnya. Inilah motivasi kita yang definitif, terdalam dan terbesar, alasan dan makna pokok di balik semua yang kita lakukan: kemuliaan Bapa yang dicari Yesus di setiap saat dalam hidup-Nya. Sebagai Putra, Dia bersukacita selamanya karena “ada di pangkuan Bapa” (Yoh. 1:18). Jika kita adalah para misionaris, itu terutama karena Yesus memberitahu kita bahwa “dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak” (Yoh. 15:8). Di luar semua pilihan dan kepentingan kita sendiri, pengetahuan dan motivasi kita, kita mewartakan Injil untuk semakin besarnya kemuliaan Bapa yang mengasihi kita.
Kegembiraan rohani menjadi umat
268. Sabda Allah juga mengundang kita untuk mengakui bahwa kita adalah umat: “Kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya” (1Ptr. 2:10). Untuk menjadi pewarta Injil yang autentik, kita hendaknya mengembangkan cita rasa rohani untuk menjadi dekat dengan hidup umat dan untuk menemukan bahwa hal ini adalah sumber sukacita yang lebih besar. Perutusan adalah hasrat akan Yesus sekaligus hasrat akan umat-Nya. Ketika kita berdiri di hadapan Yesus yang disalib, kita mengenali segala kasih-Nya yang menopang kita dan memberi kita martabat, tetapi pada saat yang sama, kecuali kita buta, kita mulai menyadari bahwa pandangan Yesus melebar dan penuh kasih sayang dan dan penuh semangat yang diarahkan kepada semua umat-Nya. Kita menyadari sekali lagi bahwa Dia ingin menggunakan kita untuk semakin mendekati umat yang dikasihi-Nya. Dia mengambil kita dari tengah-tengah umat-Nya dan mengutus kita kepada umat-Nya, sehingga identitas kita tak bisa dipahami tanpa keanggotaan ini.
269. Yesus sendiri adalah model pilihan evangelisasi ini yang membawa kita kepada jantung umat-Nya. Betapa baiknya bagi kita merenungkan kedekatan yang ditunjukkan-Nya kepada setiap orang. Jika Dia berbicara kepada seseorang, Dia memandang ke dalam matanya dengan kasih dan perhatian yang dalam: “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya” (Mrk. 10:21). Kita melihat betapa mudahnya Dia didekati, ketika Dia mendekati seorang buta (bdk. Mrk. 10:46-52) dan makan serta minum bersama para pendosa (bdk. Mrk. 2:16) tanpa khawatir diri-Nya dianggap sebagai seorang pelahap dan peminum (bdk. Mat. 11:19). Kita melihat kepekaan-Nya dalam memperbolehkan seorang wanita berdosa meminyaki kaki-Nya (bdk. Luk. 7:36-50) dan dalam menerima Nikodemus pada waktu malam (bdk. Yoh. 3:1-15). Pengorbanan Yesus di kayu salib tidak lain adalah puncak cara Dia menghayati seluruh hidup-Nya. Tergerak oleh teladan-Nya, kita ingin masuk sepenuhnya ke masyarakat, berbagi kehidupan dengan semua orang, mendengarkan keprihatinan mereka, membantu mereka secara material dan rohani dalam kebutuhan mereka, bersukacita dengan mereka yang bersukacita, menangis bersama mereka yang menangis; bergandengan tangan dengan orang-orang lain, kita berkomitmen untuk membangun dunia baru. Tetapi kita bertindak demikian bukan karena rasa kewajiban, bukan sebagai tugas berat, melainkan sebagai hasil keputusan pribadi yang membawa sukacita bagi kita dan memberi identitas bagi kita.
270. Kadang-kadang kita tergoda menjadi orang Kristiani yang mengambil jarak dengan luka-luka Tuhan. Namun Yesus ingin kita menyentuh penderitaan manusia, menyentuh daging orang-orang lain yang menderita. Dia berharap agar kita berhenti mencari tempat nyaman pribadi atau kelompok yang melindungi kita dari pusaran kemalangan manusia dan sebaliknya memasuki realitas hidup orang lain dan mengerti daya kelemah-lembutan. Bilamana kita berbuat demikian, hidup kita menjadi rumit tetapi selalu menakjubkan, dan kita menghayati pengalaman intens menjadi umat, pengalaman menjadi bagian dari umat.
271. Benarlah bahwa dalam hubungan kita dengan dunia, kita diundang untuk memberikan pertanggungjawaban tentang harapan kita, tetapi bukan sebagai musuh yang mengritik atau menghukum. Kita diminta dengan sangat jelas: “haruslah dengan lemah lembut dan hormat” (1Ptr. 3:15) dan “sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rom. 12:18). Kita juga diminta untuk mengalahkan “kejahatan dengan kebaikan!” (Rom 12:21) dan untuk “berbuat baik kepada semua orang” (Gal. 6:10). Jauh dari mencoba tampil lebih baik daripada orang lain, kita hendaknya “dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama” daripada diri kita sendiri (Flp. 2:3). Sesungguhnya, para rasul Tuhan “disukai semua orang” (Kis.2:47; 4:21, 33; 5:13). Dengan jelas Yesus tidak menginginkan kita menjadi kaum bangsawan yang memandang rendah orang-orang lain, tetapi laki-laki dan perempuan di tengah rakyat. Hal ini bukan pendapat Paus, juga bukan salah satu pilihan pastoral di antara lainnya yang mungkin; ini adalah perintah yang termuat dalam sabda Allah yang begitu jelas, langsung dan meyakinkan sehingga tidak memerlukan penafsiran yang mungkin justru mengurangi daya tantangnya terhadap kita. Marilah kita menghayatinya sine glossa, tanpa komentar. Dengan berbuat demikian kita akan mengalami sukacita misioner berbagi hidup dengan umat yang setia pada Allah, sambil berusaha menyalakan api di dalam hati dunia.
272. Mengasihi sesama adalah kekuatan rohani yang mempermudah perjumpaan penuh dengan Allah; sesungguhnya orang yang tidak mengasihi sesamanya “berada di dalam kegelapan” (1Yoh. 2:11), “tetap di dalam maut” (1Yoh. 3:14) dan “tidak mengenal Allah” (1Yoh. 4:8). Benediktus XVI telah mengatakan bahwa “menutup mata terhadap sesama kita juga membutakan kita terhadap Allah,”[209] dan bahwa kasih, pada dasarnya, adalah satu-satunya cahaya yang “dapat selalu menyinari dunia yang kelam dan memberi kita keberanian yang diperlukan untuk tetap hidup dan berkarya.”[210] Ketika kita menghayati spiritualitas yang lebih mendekatkan diri kepada sesama dan mengusahakan kesejahteraan mereka, hati kita terbuka lebar terhadap rahmat Tuhan yang terbesar dan terindah. Bilamana kita menjumpai orang lain dalam kasih, kita belajar sesuatu yang baru tentang Allah. Bilamana mata kita terbuka untuk mengakui sesama, kita bertumbuh dalam terang iman dan pengetahuan tentang Allah. Jika kita ingin maju dalam hidup rohani, kita harus terus menjadi para misionaris. Karya evangelisasi memperkaya pikiran dan hati; karya itu membuka cakrawala rohani; membuat kita menjadi semakin peka dalam mengenal karya-karya Roh Kudus, dan membawa kita keluar dari skema rohani kita yang terbatas. Seorang utusan yang yang secara penuh membaktikan diri pada karyanya mengalami kegembiraan sebagai sumber yang meluap-luap dan menyegarkan orang-orang lain. Hanya mereka yang merasa bahagia dalam mencari kebaikan orang-orang lain, dalam menginginkan kebahagiaan mereka, bisa menjadi utusan. Keterbukaan hati ini adalah sumber sukacita, karena “lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35). Kita tidak hidup lebih baik ketika kita melarikan diri, bersembunyi, menolak berbagi, berhenti memberi dan mengurung diri dalam kenyamanan kita sendiri. Hidup semacam itu tidak lain dari tindakan bunuh diri secara pelan-pelan.
273. Perutusan ke tengah umat bukan hanya menjadi bagian hidup saya atau lencana yang bisa saya tanggalkan; perutusan ini bukanlah suatu “tambahan” atau hanya suatu momen lain dalam hidup. Sebaliknya, itu adalah sesuatu yang tak dapat saya cabut dari keberadaan saya tanpa menghancurkan diri saya sendiri. Saya adalah perutusan di atas bumi ini; itulah alasan mengapa saya berada di dunia ini. Kita harus mengenal diri kita sebagai dimeteraikan, atau ditandai, bagi perutusan untuk membawa terang, memberkati, memberi daya hidup, membangkitkan, menyembuhkan dan membebaskan ini. Di situlah nampak para perawat dengan segenap jiwa, para guru dengan segenap jiwa, para politisi dengan segenap jiwa, orang-orang yang telah memilih terlibat mendalam dengan sesama dan bagi sesama. Tetapi sekali kita memisahkan kewajiban kita di satu sisi dari hidup pribadi kita di sisi lain, segala hal berubah menjadi kelam dan kita akan selalu mencari pengakuan atau membela kebutuhan-kebutuhan kita. Kita berhenti menjadi umat.
274. Untuk berbagi hidup dengan sesama dan untuk dengan murah hati memberi diri kita sendiri, kita juga harus menyadari bahwa setiap orang pantas menerima pengabdian kita. Bukan karena penampilan fisik mereka, kemampuan mereka, bahasa mereka, cara berpikir mereka, atau karena kepuasan apa pun yang kita terima, melainkan karena mereka adalah karya tangan Allah, ciptaan-Nya. Allah menciptakan orang itu menurut citra-Nya, dan ia mencerminkan sesuatu dari kemuliaan Allah. Setiap makhluk hidup adalah objek kelembutan Allah yang tak terbatas, dan Dia sendiri hadir dalam hidupnya. Yesus menumpahkan darah-Nya yang berharga di kayu salib untuk orang tersebut. Seperti apa pun penampilannya, setiap orang sangat kudus dan layak kita kasihi dan layani. Akibatnya, jika saya dapat membantu setidaknya satu orang untuk hidup yang lebih baik, hal itu telah membenarkan persembahan hidup saya. Sungguh mengagumkan menjadi umat Allah yang setia. Kita mencapai pemenuhan ketika kita merobohkan dinding dan hati kita dipenuhi dengan wajah-wajah dan nama-nama!
Karya tersembunyi dari Kristus yang bangkit beserta Roh-Nya
275. Dalam bab dua, kita berefleksi tentang kurang dalamnya spiritualitas yang berubah menjadi pesimisme, fatalisme, dan ketidakpercayaan. Beberapa orang tidak mempersembahkan diri sepenuhnya bagi tugas perutusan karena mereka berpikir bahwa tak satu pun akan berubah dan tak ada gunanya berupaya. Mereka berpikir: “Mengapa saya sendiri harus menolak kenyamanan dan kenikmatan diri saya jika saya tidak akan melihal hasil yang berarti?” Sikap ini membuat mustahil menjadi seorang utusan. Ini hanya merupakan alasan berbahaya untuk tetap terjebak dalam kenyamanan, kemalasan, ketidakpuasan samar-samar dan egoisme kosong. Ini adalah sikap merusak diri karena “manusia tak dapat hidup tanpa harapan: hidup akan menjadi tak bermakna dan tak dapat ditanggung.”[211] Jika kita berpikir bahwa segala sesuatu tidak akan berubah, kita perlu mengingat bahwa Yesus Kristus telah menang atas dosa dan kematian, dan sekarang menjadi Mahakuasa. Yesus Kristus sungguh hidup. Dengan kata lain, “andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami” (1Kor. 15:14). Injil menceritakan pada kita bahwa ketika para murid pertama pergi keluar untuk mewartakan, “Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu” (Mrk. 16:20). Hal yang sama terjadi sekarang ini. Kita diundang untuk menemukan hal ini, untuk mengalaminya. Kristus, yang bangkit dan dimuliakan, adalah sumber mendalam harapan kita dan kita tidak akan kekurangan bantuan-Nya untuk melaksanakan tugas perutusan yang telah dipercayakan-Nya pada kita.
276. Kebangkitan Kristus bukanlah peristiwa masa lalu; peristiwa itu mengandung kekuatan vital yang telah meresapi dunia ini. Di mana segala hal tampak mati, tanda-tanda kebangkitan tiba-tiba muncul. Ini adalah daya kekuatan yang tidak dapat ditolak. Benar bahwa seringkali seakan-akan Allah tidak ada: di sekitar kita terus-menerus tampak ketidakadilan, kejahatan, ketakpedulian dan kekejaman. Tetapi benar juga bahwa di tengah-tengah kegelapan sesuatu yang baru selalu muncul dalam kehidupan dan cepat atau lambat menghasilkan buah. Di atas tanah yang diratakan kembali kehidupan muncul, gigih dan tak terkalahkan. Betapapun gelapnya segala sesuatu, kebaikan selalu muncul kembali dan menyebar. Setiap hari di dunia kita keindahan dilahirkan baru, muncul ditransformasikan melalui badai sejarah. Nilai-nilai selalu cenderung muncul kembali dalam bentuk-bentuk baru, dan umat manusia seringkali bangkit dari waktu ke waktu dari situasi-situasi yang tampaknya kelam. Seperti itulah kekuatan kebangkitan, dan semua yang mewartakan Injil adalah alat-alat dari kekuatan itu.
277. Pada saat yang sama, kesulitan-kesulitan baru senantiasa muncul: pengalaman kegagalan dan kelemahan manusiawi yang menimbulkan begitu banyak rasa sakit. Kita semua tahu dari pengalaman bahwa kadang-kadang suatu tugas tak memberikan kepuasan yang kita cari, hasil sedikit dan perubahan lambat, dan kita tergoda menjadi lelah. Namun, melemaskan tangan-tangan kita sejenak dari keletihan tidaklah sama dengan melemaskannya selamanya, dikalahkan oleh ketidakpuasan kronis dan kelesuan yang mengeringkan jiwa kita. Juga dapat terjadi, hati kita lelah berjuang karena pada akhirnya kita terkurung dalam diri kita sendiri, dalam mengejar karier yang haus akan pengakuan, tepuk tangan, penghargaan dan status. Dalam hal ini kita tidak saja menurunkan lengan kita, tetapi tak lagi menjangkau apa yang kita cari, kebangkitan tak ada di sana. Dengan demikian, Injil, pesan terindah yang ada di dunia ini, tetap terkubur di bawah setumpuk alasan.
278. Iman juga berarti percaya akan Allah, percaya bahwa Dia sungguh mengasihi kita, bahwa Dia hidup, bahwa Dia secara misterius mampu ikut campur tangan, bahwa Dia tidak meninggalkan kita dan bahwa Dia menghasilkan kebaikan dari kejahatan karena kuasa-Nya dan daya cipta-Nya yang tak terbatas. Iman berarti percaya bahwa Dia berjalan penuh kemenangan dalam sejarah bersama mereka yang “terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia” (Why 17:14). Marilah kita percaya pada Injil yang mengatakan pada kita bahwa kerajaan Allah sudah hadir di dunia ini dan sedang berkembang, di sana-sini, dan dalam berbagai cara: seperti benih kecil yang tumbuh menjadi pohon besar (bdk. Mat. 13:31-32), seperti takaran ragi yang membuat adonan mengembang (bdk. Mat. 13:33), seperti benih yang baik yang tumbuh di antara ilalang (bdk. Mat. 13:24-30) dan selalu dapat memberi kejutan yang menyenangkan bagi kita. Kerajaan itu ada di sini, datang lagi, berjuang untuk berkembang secara baru. Kebangkitan Kristus di manapun menumbuhkan tunas-tunas dunia baru, bahkan jika dipotong, tunas-tunas itu tumbuh kembali, karena kebangkitan Tuhan sudah menembus alur cerita yang tersembunyi ini, karena Yesus tidak bangkit sia-sia. Marilah kita tidak tinggal di pinggir jalan pengharapan yang hidup ini!
279. Karena kita tidak selalu menyaksikan tunas-tunas baru ini sedang tumbuh, maka kita membutuhkan kepastian, keyakinan batiniah bahwa Allah dapat bertindak dalam setiap situasi, juga di tengah hal-hal yang nampaknya gagal, sebab “harta ini kita punyai dalam bejana tanah liat” (2Kor. 4:7). Kepastian ini seringkali disebut “kepekaan akan misteri.” Ini adalah mengetahui dengan pasti bahwa semua orang yang mempercayakan diri pada Allah dalam kasih akan berbuah banyak (bdk. Yoh. 15:5). Kesuburan ini sering tak kelihatan, sulit dipahami, dan tak bisa dihitung. Kita bisa mengetahui dengan sungguh baik bahwa hidup kita akan berbuah, tanpa berpretensi mengetahui bagaimana, atau di mana atau kapan. Kita bisa yakin bahwa tak akan hilang satu pun tindakan kasih kita, begitu juga dengan tindakan kepedulian tulus kita kepada orang lain. Tak akan hilang satu pun tindakan kasih bagi Allah, tak ada upaya murah hati akan sia-sia, tak akan hilang satu pun kesabaran yang menyakitkan. Semuanya itu mengelilingi di dunia sebagai suatu daya kehidupan. Kadang-kadang kerja kita nampaknya tidak memberi hasil, tetapi perutusan tidak seperti transaksi bisnis atau investasi, atau bahkan kegiatan kemanusiaan. Perutusan bukanlah pertunjukan di mana kita menghitung berapa banyak orang datang sebagai hasil pemberitaan kita;perutusan jauh lebih dalam, yang melampaui segala ukuran. Mungkin Tuhan menggunakan pengorbanan kita untuk mencurahkan rahmat-Nya di bagian dunia lain yang belum pernah kita kunjungi. Roh Kudus berkarya sesuai dengan kehendak-Nya, kapan Dia mau dan di mana Dia mau; kita mempercayakan diri kita tanpa mengharapkan melihat hasil-hasil yang terlihat nyata. Kita hanya tahu bahwa komitmen kita itu perlu. Marilah kita belajar beristirahat dalam kelembutan tangan Bapa di tengah-tengah komitmen kita yang kreatif dan murah hati; marilah kita terus bergerak maju; marilah kita meletakkan segala hal di dalam Dia, membiarkan Dia membuat upaya-upaya kita berbuah pada waktu sebagaimana yang Dia pandang baik.
280. Untuk menjaga agar semangat perutusan kita tetap hidup diperlukan kepercayaan teguh pada Roh Kudus, karena Dialah yang “membantu kita dalam kelemahan kita” (Rom 8:26). Tetapi kepercayaan murah hati ini harus dipelihara, dan karena itu kita perlu senantiasa memohon kepada Roh Kudus. Dia dapat menyembuhkan kita dari apa pun yang membuat kita kehilangan semangat dalam upaya perutusan kita. Memang benar bahwa kepercayaan pada yang tak kelihatan ini bisa membuat kita kehilangan orientasi: hal ini seperti menceburkan diri ke dalam laut tanpa mengetahui apa yang akan kita jumpai. Saya sendiri telah berulangkali mengalami hal ini. Namun, tak ada kebebasan lebih besar daripada membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus, dengan melepaskan usaha untuk merencanakan dan mengontrol segalanya dengan sangat terperinci dan sebaliknya membiarkan-Nya menerangi, membimbing dan mengarahkan kita, membawa kita ke mana pun dikehendaki-Nya. Roh Kudus mengetahui dengan baik apa yang diperlukan di setiap waktu dan di setiap saat. Inilah apa yang dimaksud dengan berbuah secara misterius!
Daya perutusan doa permohonan
281. Ada sebentuk doa yang mendorong kita secara khusus untuk terlibat dalam evangelisasi dan memotivasi kita untuk mengupayakan kebaikan orang lain: yaitu doa permohonan. Marilah kita mengamati sejenak batin seorang pewarta agung seperti Santo Paulus untuk memahami seperti apa doanya. Doa ini berisi penuh dengan umat: “setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa .... sebab kamu ada di dalam hatiku” (Flp. 1:4, 7) Maka, kita menemukan bahwa doa per-mohonan tidak menjauhkan kita dari kontemplasi yang benar karena kontemplasi yang tidak memberi tempat kepada orang lain adalah suatu kebohongan.
282. Sikap ini terungkap juga dalam doa syukur pada Allah bagi orang lain. “Pertama-tama aku mengucap syukur kepada Allahku oleh Yesus Kristus atas kamu sekalian” (Rom. 1:8). Inilah ungkapan syukur yang terus-menerus: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus” (1Kor. 1:4); “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu” (Flp. 1:3). Jauh dari rasa curiga, negatif dan putus asa, ini adalah pandangan rohani yang lahir dari kedalaman iman yang mengakui bahwa Allah sedang berkarya dalam hidup orang-orang lain. Pada saat yang sama, ini adalah ungkapan syukur yang mengalir dari hati yang penuh perhatian pada sesama. Ketika seorang pewarta Injil selesai berdoa, hatinya menjadi lebih terbuka, bebas dari keterasingan diri, dan berhasrat untuk melakukan kebaikan dan berbagi hidup dengan sesama.
283. Perempuan dan laki-laki hebat dari Allah adalah para pendoa permohonan yang hebat. Doa permohonan bagaikan “ragi di jantung Trinitas". Ini adalah cara menembus hati Bapa dan menemukan dimensi baru yang dapat menerangi situasi konkret dan mengubahnya. Kita dapat mengatakan bahwa hati Tuhan tersentuh oleh doa permohonan kita, namun pada kenyataannya Dia selalu yang mendahului kita. Apa yang dapat kita lakukan dengan doa permohonan kita adalah bahwa kekuasaan, kasih dan kesetiaan-Nya menyatakan diri lebih jelas di tengah-tengah umat.
II. MARIA, BUNDA EVANGELISASI
284. Bersama Roh Kudus, Maria selalu hadir di tengah-tengah umat. Dia bergabung bersama para murid dalam doa mohon datangnya Roh Kudus (Kis. 1:14) dan dengan demikian memungkinkan ledakan peru-tusan yang terjadi pada hari Pentakosta. Dia adalah Bunda Gereja yang mewartakan Injil, dan tanpa dia kita tak pernah dapat sungguh-sungguh memahami jiwa evangelisasi baru.
Anugerah Yesus bagi umat-Nya
285. Di kayu salib ketika Yesus dalam ketubuhan-Nya, menderita perjumpaan dramatis antara dosa dunia dan kerahiman Allah, Dia dapat melihat di kaki-Nya kehadiran yang menghibur dari ibu-Nya dan sahabat-Nya. Pada saat yang genting, sebelum sepenuhnya menuntaskan karya yang telah dipercayakan Bapa-Nya kepada-Nya, Yesus berkata kepada Maria: “Ibu, inilah anakmu.” Kemudian, Dia berkata kepada murid kesayangan-Nya: “Inilah ibumu” (Yoh.19:26-27). Kata-kata Yesus menjelang wafat-Nya ini tidak pertama-tama mengungkapkan kepeduliaan bela rasa-Nya kepada ibu-Nya; melainkan lebih-lebih adalah rumusan pewahyuan yang menunjukkan misteri perutusan istimewa yang menyelamatkan. Yesus meninggalkan pada kita ibu-Nya untuk menjadi ibu kita. Hanya setelah melakukan hal itu, Yesus tahu bahwa “segala sesuatu telah selesai” (Yoh. 19:28), Di kaki salib, pada saat puncak ciptaan baru, Kristus membimbing kita kepada Maria. Dia membawa kita kepadanya karena Dia tidak menginginkan kita berjalan tanpa seorang ibu, dan umat membaca dalam citra keibuan ini semua misteri Injil. Tuhan tidak ingin meninggalkan Gereja tanpa ikon keperempuanan ini. Maria,yang melahirkan-Nya ke dunia dengan iman yang besar, juga menyertai “keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus” (Why. 12:17). Hubungan erat antara Maria, Gereja dan setiap orang beriman, berdasarkan fakta bahwa masing-masing dengan caranya sendiri telah melahirkan Kristus, dilukiskan dengan indah oleh Beato Isaac dari Stella: “Dalam Kitab Suci yang diwahyukan secara ilahi, apa yang dimaksudkan secara umum oleh Gereja, Perawan dan Bunda, dimaksudkan secara khusus tentang Perawan Maria... Dengan demikian, setiap jiwa yang setia juga menjadi pengantin sabda Allah, ibu Kristus, putri dan saudari, yang sekaligus perawan dan ibu yang subur... Kristus telah tinggal selama sembilan bulan dalam rahim Maria. Ia akan tinggal dalam tabernakel iman Gereja sampai akhir zaman, dan dalam pengetahuan serta kasih setiap jiwa yang setia sepanjang segala abad.”[212]
286. Maria mampu mengubah kandang menjadi rumah bagi Yesus, dengan kain lampin sederhana dan kasih yang melimpah. Dia adalah hamba Bapa yang mengidungkan puji-pujian bagi-Nya. Dia adalah sahabat yang selalu peduli agar anggur tidak akan habis dalam hidup kita. Dia adalah perempuan yang hatinya tertusuk oleh pedang dan yang memahami semua rasa sakit kita. Sebagai ibu semua orang, dia adalah tanda harapan bagi orang-orang yang menderita sakit karena melahirkan keadilan. Dia adalah misionaris yang mendekati kita dan mendampingi kita sepanjang hidup, yang membuka hati kita kepada iman dengan kasih keibuannya. Sebagai seorang ibu sejati, dia berjalan bersama kita, dia berjuang bersama kita dan dia tanpa henti mencurahkan kedekatan kasih Allah. Melalui pelbagai devosi kepada Maria, yang seringkali dikaitkan dengan tempat-tempat peziarahan, Maria berbagi sejarah dari setiap bangsa yang telah menerima Injil dan dia menjadi bagian dari identitas sejarah mereka. Banyak orang tua Kristiani meminta anak-anak mereka dibaptis di tempat ziarah Maria, sebagai tanda iman mereka akan keibuannya yang melahirkan anak-anak baru bagi Allah. Di sana, di banyak tempat ziarah ini kita bisa melihat bagaimana Maria menyatukan anak-anaknya yang bersusah payah datang sebagai para peziarah untuk menjumpainya dan dijumpai olehnya. Di sini mereka menemukan kekuatan dari Allah untuk menanggung kepenatan dan penderitaan dalam hidup mereka. Sebagaimana yang dilakukannya pada Santo Juan Diego, Maria memberi mereka rasa nyaman dan kasih seorang ibu, serta berbisik di telinga mereka: “Jangan biarkan hatimu gelisah... Bukankah aku, Bundamu, ada di sini?"[213]
Bintang evangelisasi baru
287. Kepada Bunda Injil yang hidup marilah kita mohon supaya menjadi perantara agar undangan menuju tahap baru evangelisasi ini akan diterima oleh seluruh komunitas gerejawi. Maria adalah perempuan iman, yang hidup dan berkembang dalam iman,[214] dan “peziarahan imannya yang luar biasa itu merupakan titik acuan yang terus-menerus bagi Gereja.”[215] Maria membiarkan dirinya dibimbing oleh Roh Kudus melintasi perjalanan iman menuju tujuan pelayanan dan kesuburan. Saat ini kita memandangnya dan memohon padanya agar membantu kita mewartakan pesan keselamatan kepada semua orang dan agar me-mampukan para murid baru menjadi para pewarta iman yang giat.[216] Sepanjang peziarahan evangelisasi ini kita akan mengalami saat-saat kegersangan, kegelapan dan bahkan keletihan seperti yang dialami oleh Maria dalam tahun-tahun masa kanak-kanak Yesus di Nasaret: “Inilah permulaan Injil, Kabar Baik yang menggembirakan. Namun tidak sulit untuk mengamati pada permulaan itu suatu beban hati yang luar biasa, dikaitkan dengan semacam “kegelapan iman” –untuk menggunakan kata-kata Santo Yohanes Salib– semacam “selubung”, yang harus disingkapkan orang untuk menghampiri Yang Tak Terlihat dan hidup secara erat dengan misteri. Sesungguhnya, dengan cara inilah Maria, selama bertahun-tahun, tinggal dalam hubungan erat dengan misteri Putranya, dan terus maju dalam peziarahan imannya.”[217]
288. Ada “gaya” Maria dalam karya evangelisasi Gereja. Sebab, setiap kali kita memandang Maria, kita percaya sekali lagi akan daya revolusioner kasih dan kelembutan. Di dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting. Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena “menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya” dan “menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa semangat dalam usaha kita meraih keadilan. (Luk. 1:52-53) Dia juga yang menyimpan secara cermat “segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk. 2:19). Maria mampu mengenali jejak-jejak Roh Allah dalam peristiwa-peristiwa besar, juga dalam peristiwa-peristiwa yang nampaknya kecil. Dia senantiasa merenungkan misteri Allah di dunia kita, dalam sejarah manusia dan dalam hidup kita sehari-hari. Dia adalah perempuan pendoa dan pekerja di Nasaret sekaligus dia juga Ratu yang siap dan cepat membantu, yang berangkat dari kotanya “langsung” (Luk. 1:39) untuk melayani sesama. Dinamika keadilan dan kelembutan ini, kontemplasi dan perjalanan menuju orang-orang lain adalah apa yang membuat Maria menjadi teladan Gereja untuk evangelisasi. Kita mohon melalui perantaraan keibuannya untuk membantu kita agar Gereja dapat menjadi rumah bagi banyak orang, seorang ibu untuk semua bangsa, dan agar memungkinkan kelahiran dunia baru. Kristus yang bangkitlah yang memberitahu kita, dengan kuasa yang mengisi kita dengan keyakinan dan harapan teguh: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why. 21:5). Bersama Maria kita bergerak maju dengan penuh keyakinan menuju kepenuhan janji ini dan kepadanya kita berdoa:
Maria, Perawan dan Bunda,
Engkau yang digerakkan oleh Roh Kudus,
Menyambut sabda kehidupan
Di kedalaman imanmu yang sederhana:
Seperti saat engkau memberikan dirimu sepenuhnya pada
Yang Mahaabadi,
Bantulah kami mengatakan “ya” kami
Pada panggilan mendesak, sebagaimana selalu demikian,
untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus.
Dipenuhi kehadiran Kristus,
Engkau membawa sukacita kepada Yohanes Pembaptis
yang membuatnya bersorak di dalam rahim bundanya
Meluap dengan sukacita,
Engkau menyanyikan hal-hal besar yang dikerjakan Allah
Berdiri di kaki salib dengan iman yang pantang menyerah,
Engkau menerima penghiburan kebangkitan yang menggembirakan
Dan bergabung dengan para murid menantikan Roh Kudus
yang akan melahirkan Gereja yang mewartakan Injil.
Bantulah kami sekarang memperoleh semangat baru kebangkitan,
Supaya kami boleh menyampaikan kepada semua orang
Injil kehidupan yang menang atas kematian.
Berilah kami keberanian suci untuk mencari jalan-jalan baru,
supaya anugerah keindahan yang tak pudar dapat mencapai setiap orang,
perempuan dan laki-laki.
Perawan yang mendengarkan dan merenungkan,
Bunda cinta kasih, Mempelai perjamuan perkawinan abadi
Doakanlah Gereja, yang memiliki ikon murni pada dirimu
supaya tidak menutup diri atau kehilangan gairah
untuk membangun Kerajaan Allah.
Bintang evangelisasi baru,
Bantulah kami menjadi saksi yang cemerlang dalam persekutuan,
pelayanan, iman yang penuh semangat dan kemurahan hati,
keadilan dan kasih bagi orang-orang miskin
Supaya sukacita Injil dapat mencapai ujung-ujung bumi,
bersinar bahkan sampai ke pinggir-pinggir dunia kami.
Bunda Injil yang hidup,
Mata air sumber kebahagiaan bagi umat kecil Allah,
doakanlah kami.
Amin. Alleluya!
Diberikan di Roma, di Basilika Santo Petrus, pada 24 November, pada Pesta Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Semesta Alam, dan penutupan Tahun Iman, tahun 2013, tahun pertama masa kepausan saya.
FRANSISKUS
Catatan kaki :
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Gaudete in Domino (9 Mei 1975), 22: AAS 67 (1975), 297.
- Ibid. 8: AAS 67 (1975), 292.
- Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 1: AAS 98 (2006), 217.
- Sidang Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 360.
- Ibid.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 80: AAS 68 (1976), 75.
- Madah Rohani, 36, 10.
- Adversus Haereses, IV, c. 34, n. 1: PG 7, pars prior, 1083: "Omnem novitatem attulit, semetipsum afferens."
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 7: AAS 68 (1976), 9.
- Bdk. Propositio 7.
- BENEDIKTUS XVI, Homili pada Misa Penutupan Sinode Para Uskup (28 Oktober 2012): AAS 104 (2012), 890.
- Ibid.
- BENEDIKTUS XVI, Homili pada Misa Pembukaan Sidang Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia (13 Mei 2007), Aparecida, Brazil: AAS 99 (2007), 437.
- Ensiklik, Redemptoris Missio (7 Desember 1990), 34: AAS 83 (1991), 280.
- Ibid., 40: AAS 83 (1991), 287.
- Ibid., 86: AAS 83 (1991), 333.
- Sidang Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 548.
- Ibid., 370.
- Bdk. Propositio 1.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Christifideles Laici (30 Desember 1988), 32: AAS 81 (1989) 451.
- Sidang Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 201.
- Ibid., 551.
- PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam (6 Agustus 1964), 9, 10, 11: AAS 56 (1964), 611-612.
- KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekret tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, 6.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Oceania (22 November 2001), 19: AAS 94 (2002), 390.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Christifideles Laici (30 September 1988), 26: AAS 81 (1989), 438.
- Bdk. Propositio 26.
- Bdk. Propositio 44.
- Bdk. Propositio 26.
- Bdk. Propositio 41.
- KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekret tentang Tugas Kegembalaan Para Uskup Christus Dominus, 11.
- Bdk. BENEDIKTUS XVI, Amanat pada Perayaan 40 tahun Dekret Ad Gentes (11 Maret 2006): AAS 98 (2006), 337
- Bdk. Propositio 42.
- Bdk. KHK Kanon-kanon 460-468; 492-502; 511-514; 536-537.
- Ensiklik Ut Unum Sint (25 Mei 1995), 95: AAS 87 (1995), 977-978.
- KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 23.
- YOHANES PAULUS II, Motu Proprio Apostolos Suos (21 Mei 1998): AAS 90 (1998), 641-658.
- KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekret tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, no. 11.
- Bdk. S. Th., I-II, q. 66, a. 4-6.
- S. Th., I-II, q. 108, a. 1.
- S. Th, II-II, q. 30, a. 4: "Kita menyembah Allah dengan pengurbanan dan persembahan lahiriah bukan demi manfaat bagi-Nya, melainkan untuk kepentingan kita dan sesama kita. Dia tidak memerlukan persembahan kita, tetapi Dia meminta agar persembahan itu kita sampaikan sebagai devosi dan demi kepentingan sesama kita. Bagi-Nya, belas kasih, yang mengatasi kekurangan devosi dan persembahan kita adalah persembahan yang paling menyenangkan, karena belas kasihlah yang pertama-tama mengusahakan kebaikan sesama" (S. Th., II-II, q. 30, a. 4, ad 1).
- KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum, 12.
- Motu Proprio Socialium Scientiarum (1 Januari 1994): AAS 86 (1994), 209.
- Santo Thomas Aquinas mencatat bahwa keanekaragaman dan variasi "adalah maksud pelaku pertama," yang menginginkan agar "apa yang menjadi kekurangan setiap hal untuk mencerminkan kebaikan ilahi disempurnakan oleh hal-hal lainnya," karena kebaikan Pencipta "tak dapat dicerminkan dengan tepat hanya oleh satu ciptaan" (S. Th., I, q. 47, a. 1). Akibatnya, kita perlu menyerap keragaman berbagai hal dalam relasi-relasi ganda mereka (bdk. S. Th., I, q. 47, a. 2, ad 1; q. 47, a. 3). Secara analog kita perlu saling mendengarkan dan saling melengkapi dalam penerimaan parsial kita tentang realitas dan Injil.
- 45 YOHANES XXIII, Amanat pada Pembukaan Konsili Vatikan II (11 Oktober 1962): AAS 54 (1962), 792: "Est enim aliud ipsum depositum fidei, seu veritates, quae veneranda doctrina nostra continentur, aliud modus, quo eaedem enuntiantur".46
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Ut Unum Sint (25 Mei 1995), 19: AAS 87 (1995), 933.
- S. Th., I-II, q. 107, a. 4.
- Ibid.
- No. 1735
- Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Familiaris Consortio (22 November 1981), 34: AAS 74 (1982), 123.
- Bdk. St. Ambrosius, De Sacramentis, IV, 6, 28: PL 16, 464: "Saya harus menerimanya selalu, sehingga dosa-dosaku selalu bisa diampuni. Jika saya terus berdosa, saya harus selalu mendapatkan penyembuhan"; ID., op. cit., IV, 5, 24: PL 16, 463: "Mereka yang makan manna mati; mereka yang menyantap tubuh ini akan memperoleh pengampunan atas dosa-dosa mereka"; St. Cyrilus dari Alexandria, In Joh. Evang., IV, 2: PG 73, 584-585: "Saya memeriksa diri saya dan menemukan diri saya tak pantas. Bagi mereka yang mengatakan demikian saya berkata: kapan kamu akan merasa layak? Kapan kamu akhirnya menghadap Kristus? Dan jika dosa-dosamu menghalangimu untuk mendekat, dan kamu tak pernah berhenti jatuh – karena, seperti yang dikatakan Pemazmur, "siapakah mengetahui kesalahan-kesalahannya?" – akankah kamu tetap tidak ambil bagian dalam pengudusan yang memberi hidup abadi?"
- BENEDIKTUS XVI, Amanat kepada Para Uskup Brasil di Katedral of São Paulo, Brasil (11 Mei 2007), 3: AAS 99 (2007), 428.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), 10: AAS 84 (1992), 673.
- PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam (6 Agustus 1964), 19: AAS 56 (1964), 609.
- SANTO YOHANES CHRYSOSTOMUS, De Lazaro Concio, II, 6: PG 48, 992D.
- Bdk. Propositio 13.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Ecclesia in Africa (14 September 1995), 52: AAS 88 (1996), 32-33; ID., Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (30 Desember 1987), 22: AAS 80 (1988), 539.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Ecclesia in Asia (6 November 1999), 7: AAS 92 (2000), 458.
- KONFERENSI PARA USKUP AMERIKA SERIKAT, Pelayanan bagi Orang-orang dengan Kecenderungan Homoseksual:Panduan untuk Pelayanan Pastoral (2006), 17.
- KONFERENSI PARA USKUP PERANCIS, Dewan Keluarga dan Masyarakat, Melonggarkan perkawinan dengan orang-orang dengan jenis kelamin sama? Membuka perdebatan! (28 September 2012).
- Bdk. Propositio 25.
- AZIONE CATTOLICA ITALIANA, Pesan dari Majelis Nasional XIV untuk Gereja dan Negara (8 Mei 2011).
- J. RATZINGER, The Current Situation of Faith and Theology. Konferensi yang disampaikan pada Pertemuan Ketua-Ketua Komisi Ajaran Iman Keuskupan se-Amerika Latin, Guadalajara, Mexico, 1996. Terjemahan dalam L’Osservatore Romano, Edisi bahasa Inggris, 6 November 1996. Bdk. Sidang Umum ke-5 Konferensi Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 12.
- G. BERNANOS, Journal d’un curé de campagne, Paris, 1974, 135.
- Amanat pada Pembukaan Konsili Vatikan II (11 Oktober 1962): 4, 2-4: AAS 54 (1962), 789.
- J.H. NEWMAN, Surat 26 Januari 1833, dalam The Letters and Diaries of John Henry Newman, vol. III, Oxford 1979, 204.
- BENEDIKTUS XVI, Homili pada Misa Pembukaan Tahun Iman (11 Oktober 2012): AAS 104 (2012), 881.
- THOMAS À KEMPIS, De Imitatione Christi, Lib. I, IX, 5: “Memimpikan berbagai tempat dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, telah menyesatkan banyak orang”.
- Kita dapat mengambil manfaat dari kesaksian St. Theresia dari Lisieux, yang berbicara tentang seorang Suster tertentu yang dirasanya tidak menyenangkan, di mana pengalaman batin memiliki dampak menentukan: "Pada satu sore di musim dingin seperti biasa aku disibukkan dengan tugas sederhanaku. Saat itu dingin dan menjelang gelap... Tiba-tiba kudengar di kejauhan suara merdu sebuah alat musik. Aku mulai membayangkan sebuah ruangan yang diterangi dengan baik, dihias dengan emas, dan di dalamnya para gadis muda yang berpakaian anggun saling bertukar sapa dan pujian duniawi. Kemudian aku memandang perempuan sakit dan miskin yang kurawat. Sebagai ganti melodi, kudengar erangan sesekali dan desahan... Aku tak dapat mengutarakan apa yang terjadi dalam jiwaku. Semua yang kutahu adalah bahwa Tuhan meneranginya dengan cahaya kebenaran yang begitu melampaui kerlap-kerlipnya cahaya pesta pora dunia, sehingga aku nyaris tak dapat mempercayai kebahagiaanku." (Ms. C, 29v-30r, in Oeuvres Complètes, Paris, 1992, 274-275).
- Bdk. Propositio 8.
- H. DE LUBAC, Méditation sur l’Église, Paris, 1968, 321.
- DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 295.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Christifideles Laici (30 Desember 1988), 51: AAS 81 (1989), 413.
- KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Deklarasi Inter Insigniores tentang Persoalan Penerimaan Perempuan dalam Imamat Ministerial (15 Oktober 1976): AAS 68 (1977) 115, dikutip dalam YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Christifideles Laici (30 Desember 1988), catatan 190: AAS 81 (1989), 493.
- YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (15 Agustus 1988), 27: AAS 80 (1988), 1718.
- Bdk. Propositio 51.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Asia (6 November 1999), 19: AAS 92
- Ibid., 2: AAS 92 (2000), 451.
- Bdk. Propositio 4.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 1.
- Meditasi selama Kongregasi Jenderal Pertama dari Sidang Umum Biasa ke XIII Sinode Para Uskup (8 Oktober 2012): AAS 104 (2012), 897.
- Bdk. Propositio 6; KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes, 22.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 9.
- Bdk. KONFERENSI UMUM KETIGA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Puebla Document, 23 Maret 1979, No. 386-387.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes, 36.
- Ibid., 25.
- Ibid., 53.
- YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 40: AAS 93 (2001), 295.
- Ibid.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990), 52: AAS 83 (1991), 300;bdk. Seruan Apostolik Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979) 53: AAS 71 (1979), 1321.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Oceania (22 November 2001), 16: AAS 94 (2002), 383.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Africa (14 September 1995), 61: AAS 88 (1996), 39.
- SANTO THOMAS AQUINAS, S. Th. I, q. 39, a. 8 kons. 2: "Tanpa Roh Kudus yang menjadi pengikat keduanya, orang tak dapat memahami kesatuan hubungan antara Bapa dan Putra"; bdk. I, q. 37, a. 1, ad 3.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Oceania (22 November 2001), 17: AAS 94 (2002), 385.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Asia (6 November 1999), 20: AAS 92 (2000), 478-482.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium,12.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 71: AAS 91 (1999), 60.
- KONFERENSI UMUM KETIGA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Puebla Document, 23 Maret 1979, 450; bdk. KONFERENSI UMUM KELIMA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 264.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Asia (6 November 1999), 21: AAS 92 (2000), 482-484.
- No. 48: AAS 68 (1976), 38.
- Ibid.
- Amanat pada Pembukaan Konferensi Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia (13 Mei 2007), 1: AAS 90 (2007), 446.
- KONFERENSI UMUM KELIMA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 262.
- Ibid., 263.
- Bdk.. ST. THOMAS AQUINAS, S. Th., II-II, q. 2, a. 2.
- KONFERENSI UMUM KELIMA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 264.
- Ibid.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 12.
- Bdk. Propositio 17.
- Bdk. Propositio 30.
- Bdk. Propositio 27.
- YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Dies Domini (31 Mei 1998), 41: AAS 90 (1998), 738-739.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 78: AAS 68 (1976), 71.
- Ibid.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), 26: AAS 84 (1992), 698.
- Ibid., 25: AAS 84 (1992), 696.
- ST. THOMAS AQUINAS, S. Th. II-II, q. 188, a. 6.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 76: AAS 68 (1976), 68.
- Ibid., 75: AAS 68 (1976), 65.
- Ibid., 63: AAS 68 (1976), 53
- Ibid., 43: AAS 68 (1976), 33
- Ibid.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), 10: AAS 84 (1992), 672.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 40: AAS 68 (1976), 31.
- Ibid., 43: AAS 68 (1976), 33.
- Bdk. Propositio 9.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), 26: AAS 84 (1992), 698.
- Bdk. Propositio 38.
- Bdk. Propositio 20.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Sarana Komunikasi Sosial Inter Mirifica, 6.
- Bdk. De Musica, VI, 13, 38: PL 32, 1183-1184; Confessiones, IV, 13.20: PL 32, 701.
- BENEDIKTUS XVI, Amanat tentang Penyaringan Dokumen "Art and Faith" – Via Pulchritudinis (25 Oktober 2012): L’Osservatore Romano (27 Oktober 2012), 7.
- S. Th., I-II, q. 65, a. 3, ad 2: "propter aliquas dispositiones contrarias."
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Asia (6 November 1999), 20: AAS 92 (2000), 481.
- BENEDIKTUS XVI , Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Verbum Domini (30 September 2010), 1: AAS 102 (2010), 682.
- Bdk. Propositio 11.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum, 21-22.
- Bdk. BENEDIKTUS XVI , Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Verbum Domini (30 September 2010), 86-87: AAS 102 (2010), 757-760.
- BENEDIKTUS XVI, Amanat selama Kongregasi Jenderal Pertama Sinode Para Uskup (8 Oktober 2012): AAS 104 (2012), 896.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 17: AAS 68 (1976), 17.
- YOHANES PAULUS II, Pesan untuk Penyandang Cacat, Angelus (16 November 1980): Insegnamenti, 3/2 (1980), 1232.
- DEWAN KEAPUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 52.
- YOHANES PAULUS II, Katekese (24 April 1991): Insegnamenti, 14/1 (1991), 853.
- BENEDIKTUS XVI, Motu Proprio Intima Ecclesiae Natura (11 November 2012): AAS 104 (2012), 996.
- Ensiklik Populorum Progressio (16 Maret 1967), 14: AAS 59 (1967), 264.
- PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 29: AAS 68 (1976), 25.
- KONFERENSI UMUM KELIMA PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Aparecida Document, 29 Juni 2007, 380.
- DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 9.
- YOHANES PAULUS II,, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in America (22 Januari 1999), 27: AAS 91 (1999), 762.
- BENEDIKTUS XVI, Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 28: AAS 98 (2006), 239-240.
- DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 12.
- Surat Apostolik Octogesima Adveniens (14 Mei 1971), 4: AAS 63 (1971), 403.
- KONGREGASI AJARAN IMAN, Instruksi Libertatis Nuntius (6 Agustus 1984), XI, 1: AAS 76 (1984), 903.
- DEWAN KEAPUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 157.
- PAULUS VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens (14 Mei 1971), 23: AAS 63 (1971), 418.
- PAULUS VI, Ensiklik Populorum Progressio (26 Maret 1967), 65: AAS 59 (1967), 289.
- Ibid., 15: AAS 59 (1967), 265.
- KONFERENSI NASIONAL PARA USKUP BRASILIA, Exigências evangélicas e éticas de superação da miséria e da fome" (April 2002), Pendahuluan, 2.
- YOHANES XIII, Ensiklik Mater et Magistra (15 Mei 1961), 3: AAS 53 (1961), 402.
- SANTO AGUSTINUS, De Catechizandis Rudibus, I, XIX, 22: PL 40, 327.
- KONGREGASI AJARAN IMAN, Instruksi Libertatis Nuntius (6 Agustus 1984), XI, 18: AAS 76 (1984), 907-908.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 41: AAS 83 (1991), 844-845.
- YOHANES PAULUS II, Homili pada Misa untuk Evangelisasi Bangsa-bangsa di Santo Domingo (11 Oktober 1984), 5: AAS 77 (1985), 358.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (30 Desember 1987), 42: AAS 80 (1988), 572.
- Amanat pada Sidang Pelantikan Konferensi Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia (13 Mei 2007), 3: AAS 99 (2007), 450.
- ST. THOMAS AQUINAS, S. Th., II-II, q. 27, a. 2.
- Ibid., I-II, q. 110, a. 1.
- Ibid., I-II, q. 26, a. 3.
- YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 50: AAS 93 (2001), 303.
- Ibid.
- Bdk. Propositio 45.
- KONGREGASI AJARAN IMAN, Instruksi Libertatis Nuntius (6 Agustus 1984), XI, 18: AAS 76 (1984), 908.
- Hal ini menegaskan komitmen untuk "meniadakan penyebab struktural disfungsi ekonomi global": BENEDIKTUS XVI, Amanat kepada Korps Diplomatik (8 Januari 2007): AAS 99 (2007), 73.
- Bdk. KOMISI SOSIAL KEUSKUPAN PERANCIS, Réhabiliter la politique (17 Februari 1999); bdk. PIUS XI, Pesan 18 Desember 1927.
- BENEDIKTUS XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), 2: AAS 101 (2009), 642.
- YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Christifideles Laici (30 Desember 1988), 37: AAS 81 (1989), 461.
- Bdk. Propositio 56.
- KONFERENSI PARA USKUP KATOLIK FILIPINA, Surat Pastoral Apa yang sedang terjadi pada tanah air kita yang indah ini? (29 Januari 1988).
- PAULUS VI, Ensiklik Populorum Progressio (26 Maret 1967), 76: AAS 59 (1967), 294-295.
- KONFERENSI PARA USKUP KATOLIK AMERIKA SERIKAT, Surat Pastoral Membentuk Hati Nurani bagi Kewarganegaraan yang setia (November 2007), 13.
- DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 161.
- Das Ende der Neuzeit, Würzburg, 1965, 30-31.
- Bdk. I. QUILES, S.J., Filosofía de la educación personalista, Buenos Aires, 1981, 46-53.
- KOMISI TETAP KONFERENSI PARA USKUP KONGO, Message sur la situation sécuritaire dans le pays (Pesan pada situasi keamanan negara) (5 Desember 2012), 11.
- Bdk. PLATO, Gorgias, 465.
- BENEDIKTUS XVI, Pesan pada Kuria Romana (21 Desember 2012): AAS 105 (2013), 51.
- Bdk. Propositio 14.
- Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1910; DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 168.
- Bdk. Propositio 54.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 88: AAS 91 (1999), 74.
- SANTO THOMAS AQUINAS, Summa contra Gentiles, I, 7; bdk. YOHANES PAULUS II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 43: AAS 91 (1999), 39.
- KONSILI VATIKAN II, Dekret tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, 4.
- Bdk. Propositio 52.
- KONFERENSI PARA USKUP INDIA, Deklarasi Akhir Sidang ke XXX: Peran Gereja untuk India yang Lebih Baik (8 Maret 2013), 8.9.
- Bdk. Propositio 53.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990), 56: AAS 83 (1991), 304.
- Bdk. BENEDIKTUS XVI, Amanat kepada Kuria Romana (21 Desember 2012): AAS 105 (2006), 51; KONSILI VATIKAN II, Dekret tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 9; Katekismus Gereja Katolik, 856.
- KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 16.
- KOMISI TEOLOGI INTERNASIONAL, Kristianitas dan Agama-agama Dunia (1996), 72: Enchiridion Vaticanum 15, No. 1061.
- Ibid.
- Bdk. Ibid., 81-87: Enchiridion Vaticanum 15, No. 1070-1076.
- Bdk. Propositio 16.
- BENEDIKTUS XVI, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal Ecclesia in Medio Oriente (14 September 2012), 26: AAS 104 (2012), 762.
- Bdk. Propositio 55.
- Bdk. Propositio 36.
- YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 52: AAS 93 (2001), 304.
- Bdk. V.M. FERNÁNDEZ, "Spiritualitas untuk harapan aktif. Pidato pada Pembukaan Kongres Nasional I dari Ajaran Sosial Gereja (Rosario 2011)", dalam UCActualidad, 142 (2011), 16.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990), 45: AAS 83 (1991), 292.
- BENEDIKTUS XVI, Ensiklik, Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 16: AAS 98 (2006), 230.
- Ibid., 39: AAS 98 (2006), 250.
- SIDANG ISTIMEWA KEDUA UNTUK EROPA DARI SINODE PARA USKUP, Pesan Akhir, 1: L’Osservatore Romano, Edisi mingguan dalam bahasa Inggris, 27 Oktober 1999, 5.
- ISHAK DARI STELLA, Sermo 51: PL 194, 1863, 1865.
- Nican Mopohua, 118-119.
- Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 52-69.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Redemptoris Mater (25 Maret 1987), 6: AAS 79 (1987), 366-367.
- Bdk. Propositio 58.
- YOHANES PAULUS II, Ensiklik Redemptoris Mater (25 Maret 1987), 6: AAS 79 (1987), 381.
Sumber Teks ini :
Seri Dokumen Gerejawi, Dokpen KWI
#evangelisasi #katekese #evangelii_gaudium
Post a Comment