Mengenal Kitab Suci dan Penafsirannya
Salah satu tugas pokok orang Kristen adalah mewarta. Apa yang diwartakan? Kasih dan kebaikan Allah yang kisahnya diungkapkan dalam kitab suci dan perwujudannya di masa kini kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa melaksanakan tugas mewarta itu, pertama-tama kita perlu mengenal apa itu Kitab Suci kemudian prinsip-prinsip penafsirannya sehingga bisa mewartakan sabdaNya sesuai dengan situasi zaman sekarang.
A. MENGENAL KITAB SUCI
1. Tiga pilar : Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium
Terkait dengan firman Allah dan penafsirannya, Gereja mempunyai tiga pilar utama: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. "Kitab Suci" adalah Wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus. Dalam Kitab Suci, Allah berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia. Sedangkan "Tradisi Suci" adalah Wahyu ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dengan yang mereka terima dari Yesus dan yang kemudian diturunkan kepada para penerus mereka. Untuk menerima wahyu Allah secara lengkap, kita tidak hanya memerlukan Kitab Suci, namun juga Tradisi Suci. Yang mempunyai kewenangan untuk dapat menafsirkan secara benar wahyu ilahi tersebut adalah Magisterium Gereja (wewenang mengajar) yang adalah Paus dan para Uskup sedunia.
2. Kitab Suci terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pernahkah anda membaca novel, namun hanya membaca bagian akhirnya saja? Walaupun mungkin anda dapat menangkap bagian yang terpenting dari kisah tersebut, namun tentu, kisah tersebut akan lebih dapat dipahami, jika anda membaca buku tersebut mulai dari bagian awal. Demikianlah halnya dengan Kitab Suci, Kitab Kejadian sampai Nubuat Wahyu menyampaikan secara tertulis rencana keselamatan Allah yang dimulai sejak awal mula penciptaan dunia, pelaksanaannya dalam diri Kristus, dan sampai penggenapannya secara penuh di akhir zaman. Oleh karena itu, untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama (sebelum kedatangan Kristus) dan Perjanjian Baru (saat dan setelah kedatangan Kristus), dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu.
3. Penulisan Kitab Suci melibatkan akal budi para penulisnya
Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan. Namun demikian, hal ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budayanya, dst. Maka jika kita ingin memahami Kitab Suci, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Kitab Suci, walaupun ditulis oleh orang yang berbeda-beda, sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
4. Kitab Suci itu diberikan kepada Gereja sebagai pedoman
Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik. Kita dapat melihat bahwa dokumen-dokumen Gereja senantiasa bersumber dari Kitab Suci di samping Tradisi Suci. Demikian juga halnya dengan liturgi Gereja. Kitab Suci mendapatkan tempat istimewa di dalam sakramen-sakramen, liturgi, brevir, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu, dll.
B. MENGENAL PRINSIP-PRINSIP PENAFSIRAN KITAB SUCI
Ketika membaca dengan teks alkitab, kita bisa melihat adanya tiga pihak: orang yang membaca dengan segala pengetahuannya, dunia teks dengan segala latar belakang dan maksud penulisannya, serta jemaat zaman sekarang yang mendengarkan dengan segala situasinya. Bagi orang yang membaca dan jemaat yang mendengarkan, apa yang dimaksud oleh teks alkitab yang dibaca tidak selalu langsung menjadi jelas semuanya. Untuk itu, kita memerlukan tafsir alkitab.
1. Apa itu tafsir kitab suci?
Ilmu tafsir atau hermeneutika (Yunani: hermeneuein = menafsirkan, menterjemahkan) ialah ilmu yang menetapkan prinsip, aturan dan patokan yang membantu dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra atau dokumen tertulis. Dengan demikian, ilmu tafsir alkitabiah adalah: ilmu yang membantu untuk memahami apa yang sesungguhnya dikatakan oleh Kitab Suci dan kemudian memaknainya dalam konteks zaman sekarang. Hasil dari pemahaman dan pemaknaan itu disebut "tafsiran". Penerapan ilmu tafsir disebut "eksegese" (Yunani: eks-egesthai = mengeluarkan, menerangkan). Sedangkan ahlinya disebut sebagai “ekseget”. Dalam Gereja Katolik, para ekseget pun menyelaraskan tafsirannya dengan ajaran resmi Magisterium Gereja.
2. Mengapa Kitab Suci membutuhkan tafsiran?
Kitab Suci adalah firman Allah yang disampaikan dalam rupa perkataan manusia. Karena itu ungkapan-ungkapan dalam Kitab Suci ikut mempunyai keterbatasan tertentu dalam menyampaikan apa yang dimaksudkan oleh firman Allah. Kitab Suci ditulis sekian ribu tahun yang lalu. Ia ditulis berdasarkan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan historis tertentu di masa itu yang sekarang tidak kita hidupi lagi. Dan pula, ia ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani yang bukan bahasa kita. Lagi pula, bahasa-bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci sudah tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kitab Suci perlu "diterjemahkan" (= ditafsirkan) ke dalam bahasa dan ungkapan hidup harian. Inilah maksud sebenarnya dari ungkapan bahwa Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan ke dalam alam pikiran zaman sekarang. Dalam proses penafsiran tersebut, kita harus berpegang pada sejumlah prinsip dan patokan penafsirkan Alkitab untuk mencegah salah paham dan kekeliruan. Itulah sebabnya dikembangkanlah ilmu tafsir atau hermeneutika.
3. Patokan penafsiran
Kitab Suci ditafsirkan dan diartikan sesuai dengan prinsip dan patokan umum untuk memahami suatu karya sastra dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
a. Teks yang ditafsirkan haruslah teks asli
Teks asli sebagaimana ditulis oleh pengarangnya harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena dalam penafsiran, orang wajib menggunakan teks dalam bahasa asli dan bukan salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Kalau dalam perjalanan sejarah teks asli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks asli harus dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks. Karena menggunakan teks asli, maka penafsir juga harus memahami bahasa asli yang digunakan dalam kitab suci: Aram, Ibrani dan Yunani.
b. Teks asli ditafsirkan sesuai dengan maksud pengarang
Apa yang dituliskan dalam teks asli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, namun tidak jarang pula pengarang suci menggunakan bahasa kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan diketahui oleh ahli tafsir pula.
c. Penafsiran harus memperhatikan hubungan antar teks
Untuk mengenal maksud si pengarang, Kitab Suci tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan dalam hubungannya dengan teks-teks lainnya. Hubungan semacam itu disebut konteks. Itu bisa berarti konteks kalimatnya, tetapi juga bias konteks seluruh bab, bahkan seluruh kitab. Adakalanya penafsir harus memperhatikan pula tulisan-tulisan lain dari si pengarang yang sama, supaya arti ungkapan-ungkapan tertentu dapat dipahami. Umpamanya istilah “daging” dan “dunia” dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus. Kalau istilah-istilah dan ungkapan tersebut dimengerti secara biasa, si penafsir pasti tidak akan mengerti maksud pengarang suci.
d. Konteks historis
Untuk mengerti arti yang mau disampaikan, tulisan-tulisan dalam Kitab Suci harus ditempatkan dalam konteks historisnya. Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dipahami apabila orang mengetahui latar belakangnya: historis, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Singkat kata, kata situasi konkrit pengarang suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan dengan itu penting sekali mengetahui "jenis sastra" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada zamannya.
e. Membaca Kitab Suci dalam terang tradisi hidup Gereja
Dalam Gereja Katolik, yang berwenang menafsirkan Kitab Suci secara otentik dan benar adalah Magisterium, yaitu Paus dan para Uskup sedunia. Magisteriumlah yang menjaga kesinambungan ajaran iman dan pewartaan sabda dari para rasul sampai zaman kita sekarang. Karena itu, pemahaman, permenungan dan pewartaan Alkitabiah haruslah selaras dengan tafsiran Magisterium. Maka, kita membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama Gereja.
4. Beberapa metode penafsiran Kitab Suci
a. Metode historis-kritis
Metode ini menerapkan penyelidikan atas teks-teks kuno Alkitab dan kemudian memahami maknanya dari sudut pandang historis. Metode ini berusaha menerangkan proses-proses historis yang memunculkan teks-teks biblis. Metode ini memandang pembentukan Alkitab sebagai suatu proses diakronis yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang lama. Sebab dalam tahap-tahap dari proses tersebut, teks Kitab Suci dialamatkan pada para pendengar dan pembaca dari aneka macam golongan, yang hidup di tempat dan waktu yang berbeda.
b. Metode analisa naratif
Metode ini menggali bagaimana sebuah teks menceritakan suatu kisah sehingga mampu mengikat pembaca dalam dunia penceritaan dan sistem nilai yang terkandung di dalamnya. Metode ini memberi perhatian secara khusus pada unsur-unsur dalam teks yang berkaitan dengan alur (plot), penokohan, dan sudut pandang (point of view) yang diambil oleh seorang narator. Yang penting dalam pendekatan ini adalah membaca kisah itu sendiri berulang-ulang kali.
Metode Narasi membuat seseorang, ketika membaca alkitab, dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang terjadi dalam kisah yang ditampilkan oleh penulis. Hal itu membawa setiap pembaca "Hadir" di sana dan terlibat dalam setiap peristiwa yang dikisahkan, merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadiannya. Melalui jalan masuk ke dalam peristiwa ini, pembaca "disadarkan kembali" ke dalam dunia saat ini. Maka akan terjadi suatu pergumulan iman dengan titik tolak yang benar karena ia "pernah hadir disana". Jika kemudian sebuah tuntunan di dalam pergumulan imannya dibangun, maka ia akan berada pada dasar pijak yang tepat dan sama seperti yang dialami oleh penulis di dalam setting kisahnya.
Metode Narasi membuat seseorang, ketika membaca alkitab, dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang terjadi dalam kisah yang ditampilkan oleh penulis. Hal itu membawa setiap pembaca "Hadir" di sana dan terlibat dalam setiap peristiwa yang dikisahkan, merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadiannya. Melalui jalan masuk ke dalam peristiwa ini, pembaca "disadarkan kembali" ke dalam dunia saat ini. Maka akan terjadi suatu pergumulan iman dengan titik tolak yang benar karena ia "pernah hadir disana". Jika kemudian sebuah tuntunan di dalam pergumulan imannya dibangun, maka ia akan berada pada dasar pijak yang tepat dan sama seperti yang dialami oleh penulis di dalam setting kisahnya.
5. Menafsirkan sesuai arti ungkapan-ungkapan dalam Kitab Suci
Secara umum, ungkapan-ungkapan dalam Kitab Suci mempunyai dua macam arti : ‘literal/harafiah’ dan ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis. Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
a. Arti literal/ harafiah
Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah.” Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini berasal dari arti harafiah.
b. Arti alegoris
Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:
- Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).
- Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan gambaran kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7).
- Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
- Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), roti manna (Kel 25:30), tongkat Harun sang imam(Ibr 9:4); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Imam Agung (Ibr 8:1).
c. Arti moral
Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam Kitab Suci. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).
- Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
- Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
- Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita.
d. Arti anagogis
4. Membaca-merenungkan Kitab Suci dengan kontemplasi dan lectio divina
Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contoh:
- Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).
- Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).
Sebuah pepatah dari Abad Pertengahan menunjukkan hubungan ke-empat arti Kitab Suci tersebut: “Apa yang tertulis dalam Kitab Suci mengajarkan tentang apa yang terjadi (arti literal); apa yang harus kau percaya (arti alegori); apa yang harus kau lakukan (arti moral); dan ke mana kau harus mengarahkan hidup (arti anagogi).
C. MEWARTAKAN SABDA SESUAI SITUASI ZAMAN SEKARANG
Sebenarnya, semua pembaca adalah penafsir. Sebab, ketika membaca Alkitab, pembaca selalu melibatkan juga pemahaman, pengalaman, budaya, dan pengertiannya sendiri. Maka dalam taraf praktis, penafsiran Kitab Suci bukan hanya monopoli Magisterium dan para ekseget. Dalam semangat Dei Verbum, umat beriman perlu didorong, dilibatkan dan diberi fasilitas agar dapat membaca dan memahami kitab suci sesuai dengan kaidah ilmu penafsiran (eksegese) dan selaras dengan ajaran magisterium Gereja sehingga bisa mewartakan sabda sesuai situasi zaman sekarang. Berikut adalah beberapa prinsipnya.
1. Alkitab jangan dianggap sebagai sebuah buku!
Alkitab bisa dibayangkan seperti sebuah perpustakaan yang terdiri dari 75 buku, yang ditulis oleh begitu banyak penulis, masing-masing dengan alasan penulisan yang berbeda-beda dan juga hidup dalam situasi yang berbeda-beda – dalam rentang waktu yang terbentang lebih dari satu millenium. Setiap buku ini harus dibaca sesuai dengan situasi khasnya.
2. Hal-hal pokok dalam merenungkan dan mewartakan sabda pada zaman sekarang agar sabda Allah berbuah dalam kehidupan
a. Terarah kepada praksis
Permenungan kitab suci harus praxis-oriented, bermuara pada perbuatan/tingkah laku. Permenungan yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Permenungan yang hanya olah-rasional-spekulatif belaka tidak banyak gunanya.
b. Rendah hati dan tidak sombong
Permenungan kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan.
c. Menyuburkan cinta kasih
Penafsiran kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih dan jangan sampai menjadi ajang untuk menabur dan menebar kebencian. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya.
d. Selalu membangun pemaknaan baru dan mau belajar
Menafsirkan/merenungkan adalah sebuah proses mereproduksi dan merekonstruksi makna. Itu adalah sebuah proses terus menerus untuk memaknai secara baru suatu pesan (firman) dari zaman lampau. Karena itu, setiap penafsir harus selalu kritis untuk menggali satu segi/dimensi baru dan membangun pemaknaan baru. Pewarta pun harus mau selalu belajar, baik belajar tentang ajaran magisterium maupun ketrampilan-ketrampilan praktis dalam mewarta.
3. Berlatihlah senantiasa untuk mengenali dalam setiap perikop/teks Kitab Suci:
a. Tokoh utama
b. Peran dari tokoh utama
c. Situasi dan keadaan sekitar tokoh utama
d. Kata-kata yang muncul
e. Orang-orang yang ada dalam teks
f. Reaksi dan respon
g. Segala macam aspek yang ada didalam teks
4. Membaca-merenungkan Kitab Suci dengan kontemplasi dan lectio divina
Lectio divina, yang dalam arti harafiahnya adalah pembacaan ilahi, merupakan sebuah cara doa dengan menggunakan Kitab Suci. Cara doa ini memanggil orang untuk mempelajari, menyelami, mendengarkan, dan akhirnya berdoa dari Sabda Tuhan.Melalui lectio divina, warta Kitab Suci menjadi sabda kehidupan yang menghidupkan dan menerangi perjalanan hidup harian kita. Hal ini diakui Kitab Mazmur: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105); dan Yesus sendiri menyatakan dengan tegas: “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (Yoh 6:63).
Metode lectio divina sangatlah sederhana. Pada dasarnya, ada empat tahap : Lectio (membaca secara cermat dan hormat atas teks yang dipilih); Meditatio(menggunakan akal budi untuk merenungkannya); Oratio (doa dan dialog dengan Allah); serta Contemplatio (masuk dalam kehadiran Allah).
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
- Ambillah sikap doa, bawalah diri kita dalam hadirat Allah. Resapkanlah kehadiranNya dan mohonlah agar Dia memimpin dan mengubah hidup kita melalui bacaan Kitab Suci hari itu.
- Mohonlah kepada Roh Kudus untuk membantu kita memahami perikop itu dengan pengertian yang benar.
- Bacalah perikop Kitab Suci tersebut secara perlahan dan dengan seksama, jika mungkin ulangi lagi sampai beberapa kali.
- Renungkanlah selama beberapa menit satu kata atau ayat dalam perikop tersebut dan renungkan: “Apakah yang diajarkan oleh Allah melalui perikop ini kepadaku?”
- Tutuplah doa dengan satu atau lebih keputusan praktis yang akan kita lakukan untuk menerapkan pokok-pokok ajaran perikop tersebut dalam hidup kita sekarang ini.
PENUTUP
Kitab Suci menjadi berbuah ketika dibaca, direnungkan dan diwartakan. Marilah kita memulainya dengan membaca Kitab Suci sehingga semakin mengenal Kristus yang mengasihi kita. Hieronimus mengatakan: orang yang tidak mengenal Kitab Suci, ia tidak mengenal Kristus. Maka: ambillah Kitab Suci, bacalah, renungkanlah, wartakanlah dan laksanakanlah.
Post a Comment