Ekaristi dan Penindasan
Dalam
bukunya yang menggetarkan batin, “Torture and Eucharist: Theology, Politic, and
the Body of Christ”, William Cavanaugh mengisahkan cerita pilu akan penyiksaan orang-orang
Chile semasa regim General Augusto Pinocet (1973-1990).
Pinocet
menyiksa dengan brutal rakyatnya sendiri demi menciptakan rasa ketakutan sosial
akan kuasanya. Penyiksaan dilakukan setiap hari bagaikan satu ritual untuk menghancurkan
rasa solidaritas.
Satu
kisah dari sebuah keluarga: “Mereka (militer) mengeluarkan kami dari mobil, dan
memasukkan saya ke ruang penyiksaan. Setelah ditelanjangi, tangan dan kaki saya
diikat dan disambungkan dengan kabel setrum. Setiap kali menyetrum, mereka
menyemprotkan air ke tubuh saya. Sementara itu, istri dan ibu mertua saya
diinterogasi mulai jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Tentulah disertai dengan
kekerasan phisik dan psikologis, tamparan dan pukulan di wajah dan seluruh
tubuh.”
Penyiksaan
bagaikan ritus Negara untuk menunjukkan
kekuasaannya, juga senjata perusak semua musuh, terutama Gereja.
Namun
Gereja tak pernah bisa terkalahkan. Perayaan ekaristi menjadi pusat resistensi
terhadap regim penindas. Ritual Ekaristi mingguan memasukkan setiap orang dalam
drama penderitaan Kristus, dan menggelorakan semangat untuk melawan penindasan. Ekaristi menyatukan setiap orang dalam penderitaan yang
sama dan real di depan mata.
Bacaan
pertama dari Keluaran menggemakan cerita yang sama. Perayaan Paska pertama menandai
awal kisah pembebasan dari perbudakan
mesir. Darah kambing yang teroleskan di palang pintu menyatukan semua bani
Israel sebagai umat terpilih. Allah berkata, “Aku akan menghancurkan orang
Mesir, tapi tak akan ada kehancuran padamu.”
Bacaan
kedua memaknai lebih mendalam arti Ekaristi. Jemaat yang menerima tubuh dan darah
Kristus menjadi satu tubuh Kristus sendiri. Ekaristi membuat Kristus yang tak
kelihatan, menjadi nyata hadir secara historis dalam setiap orang yang
merayakannya. Setiap orang yang menyambut
tubuh Kristus, menghadirkan Kristus dalam tubuh insani yang menyejarah.
Dalam
kajian socio-historis kritis akan budaya makan bersama dalam tradisi Romawi, perjamuan hanya akan dihadiri orang
dalam satu golongan saja. Tak akan pernah ada orang dari kasta rendah ikut
makan. Perempuan pun tak punya tempat dalam tradisi makan. Kalaupun ada
perempuan, mereka akan diberi tempat lain, terpisah dari kaum lelaki.
Namun
dalam perjamuan Gereja Perdana, Ekaristi mendobrak tradisi kelas dan gender.
Semua orang hadir bersama, lelaki dan perempuan, kaya dan miskin ada dalam
sebuah meja perjamuan. Ekaristi sejak awalnya mengikat solidaritas tanpa sekat apapun.
Kini
ketika komunitas beriman berekaristi, kita sedang diubah menjadi kelompok yang
menghadirkan Kristus secara nyata dalam masyarakat. Dalam kisah pembasuhan
kaki, Yesus bersabda, “sebagaimana Aku telah membasuhmu, kamu pun akan
melakukannya.”
Ekaristi
adalah pusat spiritualitas kamu beriman utuk menjadi roti yang dipecah dan
dibagi, dimakan orang lain. Tanpa semangat solidaritas, kesamaan derajat
laki-perempuan, serta semangat berbagi, Ekaristi akan kehilangan makna awalnya!
Galih Arga Pr
Sacred Theology Doctoral
Jesuit School of Theology
Santa Clara University,
California, USA
Post a Comment