Lectio Divina
“Jika praktek Lectio Divina sungguh dipromosikan dan berbuah baik, saya yakin bahwa hal itu akan menghasilkan musim semi spiritual baru dalam Gereja” (Benediktus XVI, September 2005).
Sebutan Lectio Divina, yang artinya adalah “bacaan suci”, pertama kali dipopulerkan oleh kaum Benediktin, dan terdiri dari permenungan dalam doa atas ayat-ayat Kitab Suci dengan cara tertentu di mana latihan tersebut menjadi sebuah perjumpaan dengan warta Kitab Suci yang memberikan kehidupan. Sabda Allah menerangi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan harian kita, dan sebaliknya kita makin menemukan pengalaman-pengalaman dan situasi-situasi kehidupan kita dalam warta Kitab Suci. Dengan demikian, melalui lectio divina, warta teks suci menjadi sabda kehidupan yang menghidupkan dan menerangi perjalanan hidup harian kita. Sudah sejak Perjanjian Lama, pemazmur mengakui, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105); dan dalam Perjanjian Baru kita mendengarkan pernyataan tegas dari Tuhan Yesus, “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (Yoh 6:63).
Metode lectio divina sangatlah sederhana. Pada dasarnya, ada empat tahap :
Lectio, atau membaca secara cermat dan hormat atas teks yang dipilih. (Kardinal Martini mengusulkan bahwa kita biarkan liturgi yang menentukan bagian mana yang akan menjadi fokus doa setiap harinya, karena dengan mengambil bacaan Kitab Suci dari liturgi harian menghindarkan kita dari ‘memperalat Kitab Suci’ atau memperbudak sabda Allah untuk melayani kepentingan-kepentingan sesaat). Membaca atau mendengar dengan cara ini sungguh berbeda dengan membaca secara cepat seperti kalau orang Kristen modern membaca koran, buku-buku atau bahwan Alkitab. Lectio adalah mendengarkan baik dalam semangat keheningan maupun keterpesonaan; kita mendengarkan “suara Allah yang sayup-sayup terdengar” yang akan berbicara secara personal dengan kita – tidak dengan keras, namun dengan keakraban. Kita membaca dengan pelan, penuh perhatian, mencermati dengan lemah lembut supaya mampu mendengarkan satu kata atau frase yang merupakan sapaan Allah pada kita hari ini.
Meditatio, atau permenungan atas bacaan Kitab Suci, supaya memahami teks tersebut dalam konteksnya, dan yang lebih penting, supaya bisa masuk ke dalam teks dan menghargai tempat kita sendiri di dalamnya. Di sini, kemampuan akal budi dan imaginasi harus mengambil peranan; kita harus membaca kembali perikop tersebut, berusaha mendapatkan makna dasarnya, untuk menemukan unsur-unsur pentingnya : kutipan teks kitab suci ini mengatakan apa? Kita merenungkan selama beberapa menit sebuah kata, sebaris ataupun satu ayat kitab suci tersebut, supaya bisa menemukan makna dari kutipan teks tersebut : apa yang dikatakan teks ini? Bila kita telah menemukan sebuah kata atau bagian tertentu dalam kitab Suci yang berbicara secara personal kepada kita, kita bisa menjumputnya dan “memamahnya” (gambaran hewan memamah biak yang dengan pelan memamah kembali makanannya sejak lama digunakan sebagai simbol orang Kristen yang senantiasa merenungkan Sabda Allah). Orang Kristen selalu melihat undangan Kitab Suci untuk mempraktekkan lectio divina dalam teladan Perawan Maria yang “merenungkan dalam hati” apa yang dilihat dan didengarnya dari Kristus. Melalui meditatio kita membiarkan sabda Allah menjadi sabdaNya bagi kita sendiri, sabda yang menyentuh kita dan merasuki dimensi kehidupan kita yang terdalam.
Oratio, atau doa, dipahami baik sebagai dialog dengan Allah, yaitu sebagai percakapan penuh kasih dengan Dia yang telah mengundang kita untuk masuk ke dalam hadiratNya; maupun sebagai pengudusan, yaitu mempersembahkan kepada Allah bagian-bagian kehidupan kita sendiri yang sebelumnya tidak kita percayai sebagai karya pemeliharaan dari Allah. Dalam doa pengudusan diri ini, kita membiarkan Sabda yang telah kita jumput dan renungkan kembali untuk menyentuh dan mengubah diri kita yang terdalam. Sama seperti seorang imam menguduskan bahan-bahan roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi, dalam lectio divina, Allah mengundang kita untuk menyerahkan kepada Allah pengalaman-pengalaman paling pahit dan penuh luka dalam kehidupan kita, dan dengan lembut menjamahnya dengan sabda penyembuhanNya atau kalimat yang telah diberikanNya dalam meditatio (: permenungan) kita. Dalam doa pengudusan ini, kita membiarkan diri konkret kita sendiri untuk disentuh dan diubah oleh sabda Allah; sehingga kemudian kita diajak untuk bersyukur kepada Allah atas rahmat yang telah kita terima melalui pembacaan kitab suci itu, demikian halnya atas hal baru yang dilakukan Allah dalam hidup kita melalui sabdaNya.
Contemplatio : kita benar-benar berada dalam kehadiran Dia yang telah menggunakan sabdaNya sebagai sarana untuk mengundang kita agar mau menerima jamahanNya yang mengubah hidup kita. Tak seorang pun yang pernah jatuh cinta masih perlu diingatkan bahwa ada saat-saat tertentu dalam hubungan percintaan di mana kata-kata tidaklah menjadi begitu penting. Demikian juga sama halnya dalam hubungan kita dengan Allah. Berada dalam keheningan, tanpa kata-kata, dalam kehadiran Dia yang mengasihi kita, oleh tradisi Kristiani disebut sebagai kontemplasi (: contemplatio). Kita mengheningkan diri, tanpa berkata-kata, hanya menikmati pengalaman tinggal dan berada dalam kehadiran Allah.
Lectio divina tidak punya tujuan lain selain tinggal dan berada bersama Allah lewat perantaraan sabdaNya. Jumlah waktu yang kita habiskan dalam setiap unsur lectio divina, apakah itu meditatio, oratio ataupun contemplatio, tergantung pada tuntunan Roh Kudus, bukannya kehendak kita sendiri. Inilah cara membiarkan Kitab Suci agar kembali menjadi apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Allah – yaitu sebagai sebuah sarana untuk mempersatukan kita denganNya sendiri.
|
DOA PEMBUKAAN: Datanglah ya Roh Kudus, ajarilah aku agar mampu menanggapi ajaran Yesus dengan penuh iman dan kasih; hari ini bawalah aku lebih dalam memasuki sabda Allah, sehingga aku mampu menjadi seorang murid Yesus yang sejati.
TAHAP 1 : LECTIO – Dalam suasana doa, penuh hormat dan perhatian, Bacalah teks berikut ini paling tidak dua kali.
Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya. Pemimpin-pemimpin mengejek Dia, katanya: “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah.” Juga prajurit-prajurit mengolok-olokkan Dia; mereka mengunjukkan anggur asam kepada-Nya dan berkata: “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” Ada juga tulisan di atas kepala-Nya: “Inilah raja orang Yahudi”.
Seorang dari penjahat yang di gantung itu menghujat Dia, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” Tetapi yang seorang menegor dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
TAHAP 2 : MEDITATIO (Permenungan dengan pemahaman dan penerapannya dalam hidup saat ini)
A. Pemahaman akan teks
(i) Dalam ay 35-39, dilontarkanlah komentar-komentar bernada permusuhan, yang ironisnya justru merupakan kebenaran, kepada Yesus yang tersalib. Namun dalam ay 40-43 (juga dalam ay 47-49), pewahyuan Allah dalam Yesus ditanggapi secara positif dalam iman dan pertobatan. (ii) Orang-orang yang menghina Yesus adalah para pemimpin agama, para prajurit, dan salah seorang penjahat. Lukas menggambarkan secara berlawanan antara orang-orang yang berada di hadapan salib, ‘mengamati’ Yesus, dan para pejabat lembaga agama yang mencerca dan memaki Yesus. (iii) Lukas mengutip Mazmur 22 untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi pada diri Yesus (lih Mzm 22:7-8). (iv) ‘Mesias, orang yang dipilih Allah’ : ejekan ini ironisnya adalah benar adanya (lih pengakuan Petrus dalam 9:20; lih juga 9:35). (v) ‘Penjahat’ yang baik memberikan tanggapan positif pada Yesus, ia percaya bahwa Yesus tidak bersalah. Ia memanggil Yesus langsung dengan namaNya, ‘Yesus’ : dengan pengakuan ini, Lukas menyatakan makna penyaliban Yesus : hanya dalam nama Yesus kita mendapatkan keselamatan (lih Kis 4:12). (vi) ay 43 : Yesus, yang akan segera mengalami kemenangan atas kematian, dan yang ‘ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati’ (Kis 10:42), memberikan pengampunan dan kehidupan abadi bagi penjahat yang bertobat itu; ‘Hari ini’ : kematian Yesus yang menyelamatkan sungguh bermakna dan berdaya guna secara abadi.
B. Mewujudnyatakan teks. Pada saat ini, masuklah dengan penuh kesungguhan ke dalam hati dan pikiranmu dan bertanyalah pada dirimu masing-masing pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
(i) Ketika aku berpikir tentang sengsara dan wafat Tuhan [dengan melepaskan diri dari rasa perasaan kesalehan belaka, dan dengan sadar membacanya dari Kitab Suci atau pun merenungkan realitas kesengsaraan dan kematian Yesus], apakah perasaanku yang terdalam terhadap Yesus, Hamba Allah yang menderita? (ii) Bagaimana secara spontan aku menanggapi Yesus dan salibNya, baik secara pribadi maupun di hadapan orang lain? (iii) Yesus Kristus adalah Raja! Apakah makna dari realitas kuasa Yesus ini bagiku dalam kehidupan harianku sebagai orang Kristen?
TAHAP 3 & 4 : ORATIO et CONTEMPLATIO – DOA & PERMENUNGAN
A. Pilihlah sebuah frase dari teks tersebut. Bacalah berulang-ulang dengan lembut, biarkan dirimu diubah oleh Sabda Allah.
· Yesus, Engkaulah Mesias, orang yang dipilih Allah !
· Orang ini (Yesus) tidak berbuat sesuatu yang salah !
· Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja !
B. Dalam keheningan, bermenunglah, tataplah Yesus yang tergantung di kayu salib di hadapanmu, dan tanggapilah tawaranNya dengan membuka pintu hatimu lebar-lebar bagi Yesus supaya ia tinggal dalam hatimu dan berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku, apakah kamu tidak merasakannya?” Tinggallah dalam persatuan denganNya selama beberapa menit.
DOA PENUTUP : Terima kasih Yesus karena Engkau menawarkan kehidupanmu bagi kami masing-masing, sehingga kehidupanku pun makin berkelimpahan rahmatMu. Ya Yesus, aku menerima kemahakuasaanMu dalam kehidupanku dan kumohon agar Engkau sudi menjadi pusat kehidupanku dan kehidupan keluargaku. Jadilah penebus dan Raja kami!
~~~~
Sebagaimana bisa dialami dalam latihan di atas, “Lectio Divina” merupakan sebuah dialog antara sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci dan pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman hidup kita menerangi kata-kata dalam Kitab Suci, membuatnya hidup dan berdaya guna bagi kita sehingga kita sendiri merasa nyaman dengannya, dan sebaliknya kata-kata dalam Kitab Suci menerangi pengalaman hidup kita, sehingga kemudian berubah menjadi Sabda Allah yang disampaikanNya kepada kita melalui Kitab Suci.
Lectio divina berbeda dengan metode-metode membaca Kitab Suci lainnya karena semua orang bisa dengan mudah mempraktekkannya, baik itu orang yang buta huruf maupun berpendidikan tinggi – bahkan orang yang tidak bisa membaca ataupun menulis pun telah melakukan lectio, misalnya dalam biara-biara di zaman dahulu kala, ketika hanya sedikit biarawan saja yang bisa membaca; salah seorang biarawan yang bisa membaca akan membacakan salah satu kutipan teks dengan keras dua kali bagi para biarawan lainnya, kemudian mereka masing-masing akan merenungkan dan berdoa sendiri-sendiri, baik selama mereka duduk dengan tentang di kapel maupun saat mereka sibuk bekerja.
Hal yang sama juga bisa sangat bermanfaat bila dilakukan di zaman sekarang, oleh kita masing-masing, maupun dalam komunitas kristiani kita yang tidak terlalu besar jumlahnya. Satu-satunya permasalahan adalah kepercayaan penuh kita pada sabda Yesus dan kelimpahan rahmat kasih Allah kepada kita. Kemurahan kasih Allah pasti akan memimpin kita keluar dari pencarian diri kita sendiri menuju pada penyerahan diri kepada Allah sehingga kita akan menjumpai tantangan-tantangan dalam menegakkan Kerajaan Allah dalam diri dan di antara kita.
Sabda Allah mampu mendorong dan memampukan kita. Namun kita harus memasukinya dengan penuh iman dan harapan! Sama seperti ketika kita maju untuk menerima Tubuh dan Darah Yesus dengan penuh iman dan kepercayaan yang teguh bahwa Tubuh dan Darah Yesus akan menghidupkan dan mengubah kita, sehingga kita harus datang menjumpai sabda Allah, dengan iman, kepercayaan dan harapan yang sama bahwa sabda Allah akan menghidupkan kita (menguatkan kita dan memberi kehidupan kepada kita) dan mengubah kita. “Seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, … Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani” (Dei Verbum, 21). Ini karena Sabda Allah mempunyai kekuatan untuk “melaksanakan apa yang dinyatakannya” (lih Ibr 2:4; Yoh 8:31; 2 Tim 3:16dst; Yes 55:10dst; Rom 10:17, dll). Marilah menemukannya bagi diri kita sendiri.
Post a Comment