Penafsiran Alkitab
Gereja mendorong SETIAP orang Kristen untuk berdoa, membaca, merenungkan, mempelajari, dan mematuhi Kitab Suci. Namun juga dianjurkan agar kita belajar MENAFSIRKAN Kitab Suci dengan benar, bukan dengan cara individualistis ataupun fundamentalistis, namun dengan menggunakan ketiga prinsip utama dalam gereja untuk menafsirkan Kitab Suci. Ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut :
1. Bentuk sastrawi membantu mengungkapkan maksud pengarang
“Sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia” (Dei Verbum, 13).
Kitab Suci sungguh-sungguh merupakan Sabda Allah, namun diungkapkan dalam bahasa manusiawi yang terbatas. Dengan demikian, pembaca harus selalu berusaha untuk menemukan maksud pengarang manusiawi, dengan memberikan perhatian khusus pada bentuk sastrawi dari teks Kitab Suci yang ingin ia tafsirkan. Konsili Vatikan II mengajarkan :
“Adapun karena Allah dalam Kitab suci bersabda melalui manusia secara manusia, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah akan disampaikan kepada kita penafsir Kitab suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka” (DV, 11).
Kitab Suci adalah kumpulan tulisan yang sungguh ilahi dan sekaligus manusiawi, dengan demikian Kebenarannya harus dilihat dalam apa yang dianggap sebagai kebenaran oleh para pengarangnya. Marilah kita ingat-ingat bahwa untuk menerima suatu pengetahuan religius tertentu yang diinspirasikan oleh Allah, atau pun supaya mampu mengungkapkan pengertian itu, pengarang manusiawi tidak perlu harus mempunyai semua pengetahuan manusiawi terlebih dahulu ! “Inspirasi bisa saja salah, kecuali maksud terdalam dari inspirasi itu sendiri” (Fr. Michael Fallon). Maka Konsili Vatikan II mengajarkan :
Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita (DV, 11).
Para pengarang adalah manusia pada zamannya, dan tulisan-tulisan mereka mengungkapkan banyak sudut pandang yang terbatas pada zamannya sendiri, banyak anggapan mereka yang tidak benar, banyak pula kekeliruan dan kesalahan lainnya (dalam bidang ilmu pengetahuan, biologi, gegrafi, dll; misalnya, bahwa ‘bumi itu datar dan merupakan pusat alam semesta’). Namun kita harus mencari Inspirasi pengetahuannya yang menyingkapkan secercah misteri Allah. Pengarang yang diberi inspirasi tersebut menggunakan bentuk-bentuk sastrawi seperti drama ataupun puisi, kisah perumpamaan maupun historis, tergantung pada penilaiannya tentang cara yang terbaik untuk mengkomunikasikan pengetahuan yang telah diinspirasikan tersebut demi keselamatan kita.
Contohnya adalah Kitab Kejadian bab 1-11, yang semuanya disebut sebagai kisah pra-sejarah. Bagian tersebut berisi kisah-kisah yang diambil dari cerita rakyat (Mesopotamia, Mesir, dll), yang diolah ulang selama berabad-abad dalam tradisi lisan dan refleksi teologis bangsa Israel dalam terang pengalaman mereka sendiri ketika keluar dari tanah Mesir, lepas dari perbudakan, dll. Dengan inspirasi Roh Kudus, penulis kitab suci kemudian menuliskan pengetahuan-pengetahuan tersebut, selalu dalam bahasa simbolis, dengan menggunakan bentuk perumpamaan-perumpamaan, dan tidak ada maksud untuk memberikan penjelasan ilmiah. Bahasa agama adalah bahasa perumpamaan dan puisi. Kebenaran tertinggi (tentang Allah dan hubungan manusia dengan Allah – yang tidak berkaitana dengan sains) hanya dapat diungkapkan dalam simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan, dan bukannya dengan bahasa jurnalistik yang ketat. Dengan demikian, kisah-kisah tentang penciptaan, kejatuhan manusia dalam dosa, Air bah, Menara Babel, dll merupakan perumpamaan-perumpamaan yang disusun pengarang untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran terdalam hidup manusia; sedangkan Adam dan Hawa, Ular, dll merupakan bagian dari prosa tentang symbolisme religius dan bukannya catatan biologi atau geografi (misal, Fr. Fallon mengomentari bahwa si penulis kitab suci memang sungguh tahu seperti kita bahwa ular tidak dapat berbicara, dan pula ia tidak berusaha mengajarkan pada kita bahwa ular menjadi binatang melata karena salah satu dari nenek moyangnya pada zaman dulu, di taman Eden, memberi nasihat yang salah)! Yesus sendiri kemudian memilih memakai sarana sastrawi yang sama, yaitu perumpamaan, untuk mengajarkan tentang Allah dan Kerajaan Allah.
N.B. Mohon jangan menceritakan dengan begitu saja pada mereka yang belum pernah mengikuti suatu “kursus/pembelajaran” Alkitab bahwa, misalnya, “Adam dan Hawa tidak pernah ada!” Alkitab adalah sabda Allah, yang isinya hanyalah kebenaran yang diwahyukan. Kitab Suci bukanlah sebuah dongen tentang segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau khayalan belaka; dan di sisi lain, tidak semua bagian dalam Kitab Suci dimaksudkan oleh para pengarang manusia yang diberi inspirasi itu agar ditangkap secara harafiah, karena mereka menggunakan berbagai simbol dan kiasan. Dalam contoh di atas, manusia pertama yang menjadi leluhur kita secara simbolis disebut Adam (adamah = berasal dari tanah atau bumi) dan Hawa (hawwah = makhluk hidup). [Dalam buku Teologi Tubuh, Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan dengan jelas bahwa Adam dan Hawa bukanlah nama pribadi tertentu namun untuk menyebut suatu “kumpulan / kebersamaan”]. Maksud pengarang dalam Kej 1 dan 2 bukan untuk mengajar tentang sejarah secara ilmiah namun, dengan menggunakan simbol-simbol, mau mengajarkan suatu kebenaran rohani, abhwa setiap manusia bukan hanya suatu hasil dari proses perubahan belaka namun dikehendaki dan diciptakan oleh Allah. Alkitab mengajarkan dengan tak dapat sesat bahwa manusia pertama, dan kita semua yang diwakilinya, diciptakan dengan penuh kasih oleh Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya sendiri, dan bahwa kebenaran ini mempunyai pengaruh terhadap sikap perilaku semua generasi manusia.
2. Pentingnya Konteks
Masing-masing bagian harus dibaca sesuai dengan konteks dari keseluruhan kitab. Kita tidak boleh ‘mengutip suatu teks keluar dari konteksnya dan membuatnya menjadi suatu alasan palsu’ untuk membenarkan tindakan/kepercayaan kita sendiri. Mabil contoh saja, misalnya, “(Orang beriman) akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh” (Mrk 16:18). Orang tua dari seorang bayi yang sedang sekarat tidak boleh menggunakan teks ini untuk membenarkan kepercayaan mereka hanya pada doa saja untuk penyembuhan anak mereka (dan menolak campur tangan dokter/perawat). Orang disebut “fundamentalis” bila mereka menafsirkan setiap teks Kitab Suci secara harafiah, tanpa mempertimbangkan konteksnya, dan tanpa mempertimbangkan maksud pengarang sebagaimana ditunjukkan dalam bentuk sastra yang digunakannya.
3. Kesatuan Pewahyuan Allah
Dalam menyampaikan Kebenaran, Kitab Suci tidak pernah menyangkal dirinya sendiri! Dengan demikian, dalam menafsirkan sebuah teks yang sulit, pesan utuh dari keseluruhan Alkitab (kesatuannya) harus dipertimbangkan.
Misalnya, sebuah teks dalam Perjanjian Lama menyatakan, “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku” (Kel 20:5,6; Ul 5:9,10). Di sisi lain, teks lain (Ul 7:10) dengan terus terang menyatakan : “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, … terhadap diri setiap orang dari mereka yang membenci Dia, Ia melakukan pembalasan dengan membinasakan orang itu. Ia tidak bertangguh terhadap orang yang membenci Dia. Ia langsung mengadakan pembalasan terhadap orang itu.” Tekanan teks ini ada pada ganjaran individual, dan temanya kemudian diambil lagi oleh para nabi besar, yang mengajarkan bahwa dosa-dosa orang tua tidak diwariskan pada anam-anak mereka namun bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas dosa-dosanya sendiri (Yer 31:229,30; Yeh 18:20).
Demikian juga Yesus, ketika ditanyai apakah seorang dilahirkan buta karena dosa orang tuanya, Ia menyatakan secara gamblang : “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi [ia dilahirkan buta] karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh 9:3).
Ul 30:19 menyimpulkan sikap Allah : “Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu,…” Allah menghendaki agar umatNya berada dalam relasi kasih yang personal denganNya. Inilah berat terbesar yang diterima manusia. Maka sewajarnya bahwa kutukan terbesar yang diderita manusia adalah terpisah dari Allah. Orang yang tidak taat padaNya mengalami kutukan keterpisahan dari Allah ini bagi dirinya sendiri.
Untuk menyimpulkan bab ini, marilah kita selalu ingat untuk menafsirkan Kitab Suci seturut ketiga prinsip hermeneutis (penafsiran) ini, sehingga kita akan sungguh mengalami “roh dan kehidupan” (Yoh 6:63) dalam kelimpahan, melalui penghormatan (devosi) kita pada Sabda Allah.
Post a Comment