The Bible’s Inner Power (Kekuatan Kitab Suci)
Semua murid Yesus “ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya [Yesus]“ (Rom 8:29). Dengan demikian, segala hal dalam kehidupan mereka dimaksudkan untuk menarik makna dari kematian dan kebangkitanNya (Misteri Paskah), segala hal dipolakan pada teladan dan ajaranNya, segala hal difokuskan pada ke-Tuhan-anNya dan kemuliaan BapaNya. Supaya semuanya ini terjadi, sarana utamanya adalah keakraban dengan kitab suci. St. Hieronimus dengan tepat menunjukkan bahwa, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus !”
Sebuah kekuatan yang unik
Sabda Allah, tidak seperti karya sastra lainnya, mempunyai kekuatan yang terbangun dari dalam dirinya sendiri; suatu kekuatan yang dinamis, sungguh nyata dan kreatif. Sabda Allah tidak hanya memberikan pengajaran namun juga berdampak seperti yang diwartakannya : “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr 4:12). Kemampuan sabda Allah untuk merasuk ke dalam kesadaran (dan alam bawah sadar) kita membuatnya menjadi sarana yang efisien bagi pembentukan karakter orang Kristen. Kitab Suci adalah sarana favorit bagi Roh Kudus, Tuhan Yesus Kristus dan Sang Pemberi Kehidupan, ketika Ia mau membentuk dan mendandani para murid supaya menjadi secitra dan serupa dengan Yesus, Saudara dan Tuhan mereka (lih 2Kor 3:17dst). Yesus sendiri menyatakan : “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (Yoh 6:63).
Perjanjian Baru berisikan sabda pemberi hidup dari Yesus sendiri. Meskipun demikian, keseluruhan Kitab Suci merupakan pemenuhan janji Allah : “Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, 11 demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yes 55:10-11). Oleh karena itu, Konsili Vatikan II menggunakan ungkapan tegas (yang dikutipkan pada akhir bab 1 di atas) untuk mengajarkan pada semua orang Katolik tentang betapa dahsyatnya Kitab Suci : “demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman…” (Dei Verbum, 21).
Pertumbuhan dan kekuatan iman
“Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom 10:17). Kita bertumbuh dalam iman karena kita bertumbuh dalam hormat dan cinta akan sabda Allah, karena Roh Kudus sepenuhnya bekerja dalam dan melalui Kitab Suci.
Selain itu, sabda Allah melengkapi para murid “dalam setiap perbuatan baik”. Sebagaimana sebuah pesawat terbang, ketika ia mendarat setelah menempuh jarak tertentu, harus mengisi lagi bahan bakar, berganti kru yang lebih segar, dan persediaan bahan makanan dan minuman bagi para penumpang, demikian juga para Murid Kristiani seharusnya terus menerus dilengkapi dengan kekuatan batin (“buah-buah Roh” – Gal 5:22) dan penuntun yang jelas (“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” – Mzm 119:105), supaya mereka mampu menjadi saksi-saksi Kristus pada zaman yang sangat diwarnai oleh sekularisme dan materialisme. Kitab Suci memberi semua kelengkapan itu kepada kita, karena “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim 3:16-17).
Demikian juga, sabda Allah merupakan sebuah senjata ampuh dalam pergulatan rohani. Pada saat mengalami pencobaan, Roh Kudus melengkapi para murid dengan sebuah pedang yang digunakan untuk menundukkan musuh : “terimalah … pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17). Ketika dicobai di padang gurun, Yesus memberikan pada kita teladan sempurna bagaimana menggunakan “pedang” ini (lih Luk 4:1-13).
Mengalami Penyembuhan Batin
Yesus sendiri menjanjikan bahwa sabdanya akan “memerdekakan kita.” Ketika berbicara dengan orang-orang Yahudi yang telah percaya kepadaNya, Yesus berkata, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku (= hidup menurut ajaranku – BIS), kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:31 dst). Dengan kata-kata ini, Tuhan menjamin bahwa devosi pada Kitab Suci akan menghasilkan terjadinya “penyembuhan batin” yang sejati, dan bahwa luka-luka dalam kehidupan ini tidak akan selamanya menyakitkan hati atau melumpuhkan orang yang mencintai Kitab Suci, karena dari hari ke hari mereka seanantiasa mengalami kebebasan anak-anak Allah !
Setiap manusia mempunyai alam bawah-sadar tertentu dalam diri mereka yang berisikan semua ingatan akan pengalaman kegembiraan dan kesedihan mereka di masa lalu. Setiap pribadi yang mempunyai pengalaman trauma dan luka batin yang lebih besar dari pada pengalaman kegembiraannya secara patologis bisa menjadi pribadi yang penuh ketakutan dan kecurigaan, dan memandang kehidupan secara negatif. Namun, melalui devosi harian mereka pada Sabda Allah, orang akan dibebaskan dari ketakutan, rasa bersalah, rasa minder, dan semua hal-hal negatif yang membelenggu mereka!
Dalam karyaku sebagai seorang pastor kapelan Universitas, selalu saja ada mahasiswa/i yang berkonsultasi tentang permasalahan-permasalhan pribadi mereka, misalnya, soal kemarahan yang tak terkontrol, atau masturbasi, atau kegelisahan, dll. Aku selalu menunjukkan pada mereka teks Kitab Suci dari Yoh 8:31 dan Ibr 4:12, dan menasihati mereka untuk bertindak sesuai dengan teks-teks Kitab Suci itu. “Pemisahan jiwa dan roh” (Ibr 4:12) sebenarnya adalah alam bawah sadar kita yang menjadi tempat di mana ingatan akan masa lalu kita disimpan dan perlu disembuhkan. Maka, “membedakan pertimbangan dan pikiran hati” berarti memisahkan perasaan-perasaan positif dari perasaan-perasaan negatif, dan dengan demikian akan membebaskan kita. Dengan demikian, Ibr 4:12 juga bicara tentang menerima penyembuhan batin dari Sabda Allah.
Aku menasihati para mahasiswa/i yang datang padaku supaya sebelum mereka membaca dengan penuh perhatian, hanya selama selama 2 – 3 menit setiap malam sebelum tidur, satu atau dua paragraf dari Perjanjian Baru, dan kemudian berdoa berdasarkan janji dan iman akan Yesus : “Tuhan, Engkau telah berjanji bahwa sabdaMu akan membebaskan aku, kumohon bebaskanlah aku dari masalah …. ini.” Setelah selesai membaca, mereka kembali kuanjurkan untuk berdoa dalam iman, “Tuhan, terima kasih karena sabdaMu telah merasuk ke dalam alam bawah sadarku, dan selama aku tidur, akan hidup dan berkarya untuk membebaskanku “ (lih Mrk 11:24). Banyak di antara para mahasiswa/i itu yang kemudian datang lagi dan bercerita bahwa mereka telah menerima jawaban atas doa mereka yang memohonkan penyembuhan batin.
Memang, ketika Yesus mengatakan bahwa kita harus menjadi sabdaNya sebagai rumah kita, Ia berbicara tentang keakraban nyata dengan sabdaNya, dan bukannya sekedar pengenalan secara sepintas saja. Yoh 8:31 dan Ibr 4:12 tidak hanya menunjuk pada penyembuhan batin kita, namun juga pada keseluruhan kualitas kehidupan dan pelayanan kita. Dengan demikian, aku juga mengusulkan pada mereka yang datang meminta nasehatku agar mereka meluangkan saat-saat khusus dalam sehari untuk mempraktikkan Lectio Divina (bacaan suci sabda Allah), dan mendoakan, “ya Tuhan, semoga sabdaMu ini menerangiku, membentuk dan mendandaniku seturut citraMu sendiri, semoga pula sabdaMu menjadi ‘Roh dan kehidupan’ (Yoh 6:63) bagiku!”
Kekuatan sabda Allah sungguh menakjubkan, dan sekaligus mempertobatkan banyak dari antara orang-orang kudus kita. Beberapa kali aku mendengar ungkapan, “Orang-orang Katolik tidak akrab dengan Alkitab, sedangkan orang-orang Kristen lainnya sangat mengenalnya.” Jawabanku adalah, “Ya, tapi tidak demikian adanya bagi para kudus kita! Mereka mengenal dengan baik ajaran Alkitab, mereka membacanya dengan penuh cinta, dan mematuhinya!” Misalnya, St. Teresa Kanak-kanank Yesus menulis dalam otobiografinya,
“Ketika aku membaca semua buku tentang kebenaran dan kekudusan, otakku yang demikian kecil ini segera saja menjadi letih dan hatiku menjadi kering. Maka, aku menyingkirkan buku-buku itu dan kemudian beralih pada Kitab Suci – dan semuanya pun menjadi terang dan segar kembali.”
“Sebab firman Allah
hidup dan kuat
dan lebih tajam dari pada pedang bermata
dua mana pun; ia menusuk
amat dalam sampai memisahkan jiwa
dan roh, sendi-sendi dan
sumsum; ia sanggup membedakan
pertimbangan dan
pikiran hati kita.”
(Ibr 4:12)
Post a Comment