Diskusi Trinitas
Lontaran Mgr. Sunarka SJ
Ytk. Teman Teman Peduli Ajaran Iman Katulik tentang TRINITAS. Berkah Dalem. Di bawah ini saya kirimkan bacaan rohaniku tentang Trinitas untuk menghangatkan kuliah teologi kita demi pendalaman iman kita.
nuwun : j.sunarka,sj
The concept of a Trinity of divine beings was not an idea put forth by Jesus. This doctrine, now subscribed to by Christians all over the world, is entirely man-made in origin.
DOCTRINE TAKES SHAPE While Paul of Tarsus, the man who could rightfully be considered the true founder of Christianity, did formulate many of its doctrines, that of the Trinity was not among them. He did, however, lay the groundwork for such when he put forth the idea of Jesus being a "divine Son." After all, a Son does need a Father, and what about a vehicle for God's revelations to man? In essence, Paul named the principal players, but it was the later Church people who put the matter together. Tertullian, a lawyer and presbyter of the third century Church in Carthage, was the first to use the word "Trinity" when he put forth the theory that the Son and the Spirit participate in the being of God, but all are of one being of substance with the Father.
A FORMAL DOCTRINE IS DRAWN UP When controversy over the matter of the Trinity blew up in 318 between two church men from Alexandria - Arius, the deacon, and Alexander, his bishop - Emperor Constantine stepped into the fray. Although Christian dogma was a complete mystery to him, he did realize that a unified church was necessary for a strong kingdom. When negotiation failed to settle the dispute, Constantine called for the first ecumenical council in Church history in order to settle the matter once and for all. Six weeks after the 300 bishops first gathered at Nicea in 325, the doctrine of the Trinity was hammered out. The God of the Christians was now seen as having three essences, or natures, in the form of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
THE CHURCH PUTS ITS FOOT DOWN
The matter was far from settled, however, despite high hopes for such on the part of Constantine. Arius and the new bishop of Alexandria, a man named Athanasius, began arguing over the matter even as the Nicene Creedwas being signed; "Arianism" became a catch-word from that time onward for anyone who did not hold to thedoctrine of the Trinity. It wasn't until 451, at the Council of Chalcedon that,with the approval of the Pope, the Nicene/Constantinop le Creed was set as authoritative. Debate on the matter was no longer tolerated; to speak out against the Trinity was now considered blasphemy, and such earned stiff sentences that ranged from mutilation to death. Christians now turned on Christians, maiming and slaughtering thousands because of a difference of opinion.
DEBATE CONTINUES
Brutal punishments and even death did not stop the controversy over the doctrine of the Trinity, however, and the said controversy continues even today. The majority of Christians, when asked to explain this fundamental doctrine of their faith, can offer nothing more than "I believe it because I was told to do so." It is explained away as "mystery" - yet the Bible says in I Corinthians 14:33 that "... God is not the author of confusion... " The Unitarian denomination of Christianity has kept alive the teachings of Arius in saying that God is one; they do not believe in the Trinity. As a result, mainstream Christians abhor them, and the National Council of Churches has refused their admittance. In Unitarianism, the hope is kept alive that Christians will someday return to the preachings of Jesus: "...Thou shalt worship the Lord thy God, and Him only shalt thou serve." (Luke 4:8)
Tanggapan Galih Arga Pr:
Memahami Trinitas dengan kembali ke Kitab Suci
Dalam suratnya kepada umat di Korintus (1 Kor 8:5-6) Paulus berkata, “tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa…bagi kita hanya ada SATU Allah saja, yaitu bapa, yang kepadaNya kita berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu LORD (bahasa indo menterjemahkan Tuhan!!) saja yaitu Yesus Kristus yang olehnya segala sesuatu telah dijadikan dan karena Dia kita hidup.”
Gereja awal sungguh-sungguh menghayati monoteisme sebagaimana ada dalam 1 Kor 8:5-6 itu. Ada ketegasan pemisahan antara peran Yesus yang subordinat dari ALLAH sebagai pencipta, serta peran dia sebagai perantara ciptaan dan penebusan.
Namun konsili nicea telah memutuskan jauh melebihi apa yang ada dalam kitab suci guna melawan arianisme. Nicea memakai khasanah filsafat untuk membahasakan relasi Yesus dan Bapa, serta eksistensi Yesus dengan bahasa homoousious (sehakekat- essensinya sama)!
Inilah yang membingungkan, sehingga membuat seolah-olah God-ketemu-God.
Apalagi kitab suci bahasa Indonesia makin membuat rancu pembacanya karena menterjemahkan istilah Lord (kurios) dengan TUHAN, sehingga tidak membedakan antara Bapa yang adalah Tuhan Allah, dan Yesus yang lord (pangeran, sinuwun, yang dipertuan).
Teologi Paulus juga tidak punya bahasa trinitas. Walau ia beberapa kali menyebut roh kudus (misalnya di 1 Cor 12:3), dia tidak pernah memaksudkannya dengan konsep trinitas yang di miliki Nicea.
Hutardo, teolog Kitab suci, dalam bukunya “How on earth Jesus became God?”, menganalisa dalam researchnya lebih dari 20 tahun, dia menemukan bahwa ide tentang kealahan Yesus tidak bersifat evolutif, namun tiba-tiba seperti volcano eruption! Tulisan kisah pemujaan Yesus sebagai divine lord sudah muncul awal sekali pada komunitas murid di lingkungan Yahudi, bukan diaspora. Dalam pemujaan pada Yesus, ada berbagai istilah yang dengan jelas memujaNya: memanggil nama Yesus untuk pengusiran setan, doa pada Allah lewat dan dalam Yesus, perjamuan makan bersama dalam nama Yesus dan panggilan nama Yesus dalam baptisan. Ritus-ritus ini men jadi embrio bagi sebuah mutasi kristianitas dari Yahudi.
Penyembahan pada diri Yesus menjadi sangat khas dan unik karena tidak ada padanannya dalam tradisi Yahudi. "None of the principal agent figure in the relevant Jewish texts functions in the way that Jesus does in the devotional practice of earliest Christian." Tradis Yahudi punya istilah perantara bagi Allah seperti "Wisdom, Logos, para nabi dan malaikat", tapi semua itu tak bisa dipadankan dengan pribadi Yesus sebagai pengantara. Kepengantaraan Jesus jauh melebihi semua yang ada dalam tradisi Yahudi.
Maka bagaimana peran Jesus bisa diterangkan?
Saya setuju dengan Raymond E Brown yang berkata, bahwa tradisi Kitab suci PB menyetujui bahwa ada seorang manusia yang berfikir dan bertindak atas nama Allah. Dia memiliki kuasa tinggi yang melebihi para nabi. Dia punya relasi yang amat personal dengan Tuhan Allah melebihi segala agent yang lain (malaikat, nabi, wisdom), dan Tuhan bertindak tidak hanya lewat dia tapi dalam dia. Dia adalah Jesus. Dan sesudah kebangkitanNya, dia adalah benar-benar messias dan pembawa keselamatan penuh dari Allah.
Tapi bagaimanapun juga peran Yesus lebih sub ordinat dari Bapa! Dia tidak sama dengan bapa. Yesus pun mengakuinya, “Bapa lebih besar dari pada aku”, “seorang utusan tidak lebih besar dari pada yang mengutus”, dan tidak ada yang tahu kapan akhir dunia kecuali Bapa (Markus 13:32)
Semoga membantu!
Galih Arga
Weston Jesuit School of Theology
Cambridge, USA
Post a Comment