Kitab Hukum Kanonik - Buku 4
Kitab Hukum Kanonik
(1983)
BUKU IV
TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN
Kan. 834 - § 1. Gereja memenuhi tugas menguduskan secara istimewa dengan liturgi suci, yang dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, dimana pengudusan manusia dinyatakan dengan tanda-tanda indrawi serta dihasilkan dengan cara masing-masing yang khas. Dengan liturgi itu dipersembahkan juga ibadat publik yang utuh kepada Allah oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala dan anggota-anggota-Nya.
§ 2. Ibadat semacam ini terjadi apabila dilaksanakan atas nama Gereja oleh orang-orang yang ditugaskan secara legitim dan dengan perbuatan-perbuatan yang telah disetujui oleh otoritas Gereja.
Kan. 835 - § 1. Tugas menguduskan itu dilaksanakan pertama-tama oleh para Uskup, yang adalah imam-imam agung, pembagi-pembagi utama misteri-misteri Allah, dan pemimpin, penggerak dan penjaga seluruh kehidupan liturgi dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya.
§ 2. Tugas itu juga dilaksanakan oleh para imam yang mengambil bagian dalam imamat Kristus, selaku pelayan-Nya dibawah otoritas Us-kup, ditahbiskan untuk merayakan ibadat ilahi dan menguduskan umat.
§ 3. Para diakon mengambil bagian dalam perayaan ibadat ilahi menurut norma ketentuan-ketentuan hukum.
§ 4. Dalam tugas menguduskan itu kaum beriman kristiani lain juga memiliki peranannya sendiri, dengan ambil bagian secara aktif menurut cara masing-masing dalam perayaan-perayaan liturgi, terutama dalam Ekaristi; demikian pula secara khusus mengambil bagian dalam tugas itu para orangtua, dengan hidup berkeluarga dalam semangat kristiani dan mengusahakan pendidikan kristiani bagi anak-anak.
Kan. 836 - Karena ibadat kristiani, dimana dilaksanakan imamat umum umat beriman, harus timbul dari iman dan bertumpu padanya, para pelayan rohani hendaknya giat berusaha untuk membangkitkan serta memupuk iman itu, terutama dengan pelayanan sabda yang melahirkan dan menumbuhkan iman.
Kan. 837 - § 1. Tindakan liturgis bukanlah tindakan privat, melainkan perayaan Gereja sendiri, yang merupakan "sakramen kesatuan", yakni bangsa suci yang dihimpun dan diatur dibawah para Uskup; karena itu perayaan liturgi menyangkut seluruh tubuh Gereja, menunjukkan dan mengenainya; sedangkan setiap anggota terkena dengan pelbagai cara, menurut perbedaan tahbisan, tugas dan partisipasi aktualnya.
§ 2. Tindakan-tindakan liturgis, sejauh dari hakikatnya membawa-serta perayaan bersama, dimana mungkin hendaknya dirayakan dengan kehadiran serta partisipasi aktif umat beriman.
Kan. 838 - § 1. Pengaturan liturgi suci tergantung semata-mata pada otoritas Gereja: yakni pada Takhta Apostolik dan, menurut norma hukum, pada Uskup diosesan.
§ 2. Takhta Apostoliklah yang berwenang mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi, serta memeriksa terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat, dan juga mengawasi agar di mana pun peraturan-peraturan liturgi ditepati dengan setia.
§ 3. Konferensi para Uskup bertugas mempersiapkan terjemahan buku-buku liturgi kedalam bahasa setempat, yang disesuaikan secara wajar dalam batas-batas yang ditentukan dalam buku-buku itu sendiri, dan menerbitkannya, setelah diperiksa (recognitio) oleh Takhta Suci.
§ 4. Dalam batas-batas kewenangannya dan dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya Uskup diosesan bertugas memberikan norma-norma mengenai liturgi yang harus ditaati oleh semua.
Kan. 839 - § 1. Gereja juga melaksanakan tugas pengudusannya dengan cara-cara lain, entah dengan doa-doa permohonan kepada Allah agar umat beriman dikuduskan dalam kebenaran, entah dengan perbuatan tobat dan amal-kasih, yang sangat membantu mengakarkan dan memperkokoh Kerajaan Kristus di dalam hati manusia, dan membawa keselamatan dunia.
§ 2. Hendaklah para Ordinaris wilayah mengusahakan agar doa-doa serta kebaktian-kebaktian saleh dan suci dari umat kristiani sepenuhnya sesuai dengan norma-norma Gereja.
BAGIAN I
SAKRAMEN
Kan. 840 - Sakramen-sakramen Perjanjian Baru, yang diadakan oleh Kristus Tuhan dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai tindakan-tindakan Kristus dan Gereja, merupakan tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman, mempersembahkan penghor-matan kepada Allah serta menghasilkan pengudusan manusia. Dan karena itu sangat membantu untuk menciptakan, memperkokoh dan menampakkan persekutuan gerejawi. Oleh karena itu baik para pelayan suci maupun umat beriman kristiani lain haruslah merayakannya dengan sangat khidmat dan cermat sebagaimana mestinya.
Kan. 841 - Karena sakramen-sakramen adalah sama untuk seluruh Gereja dan termasuk khazanah ilahi, hanya otoritas tertinggi Gerejalah yang berwenang menyetujui atau menetapkan hal-hal yang dituntut demi sahnya sakramen-sakramen itu; ada adalah hak dari otoritas itu atau dari otoritas lain yang berwenang menurut norma kan. 838, § 3 dan § 4, untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut perayaan, pelayanan dan penerimaannya secara licit, dan juga tata-perayaan yang harus ditepati.
Kan. 842 - § 1. Orang yang belum dibaptis tidak dapat diizinkan menerima sakramen-sakramen lain dengan sah.
§ 2. Sakramen-sakramen baptis, penguatan dan Ekaristi mahakudus terjalin satu sama lain, sedemikian sehingga dituntut untuk inisiasi kristiani yang penuh.
Kan. 843 - § 1. Pelayan suci tidak boleh menolak pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintanya secara wajar, berdisposisi baik, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya.
§ 2. Para gembala jiwa-jiwa dan kaum beriman kristiani lain, menurut tugas gerejawi masing-masing, berkewajiban mengusahakan agar mereka yang meminta sakramen-sakramen dipersiapkan untuk menerimanya dengan pewartaan injil serta pengajaran kateketik yang semestinya, dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 844 - § 1. Para pelayan katolik menerimakan sakramen-sakramen secara licit hanya kepada orang-orang beriman katolik, yang memang juga hanya menerimanya secara licit dari pelayan katolik, dengan tetap berlaku ketentuan § 2, § 3 dan § 4 kanon ini dan kan. 861, § 2.
§ 2. Setiap kali keadaan mendesak atau manfaat rohani benar-benar menganjurkan, dan asal tercegah bahaya kesesatan atau indiferentisme, orang beriman kristiani yang secara fisik atau moril tidak mungkin menghadap pelayan katolik, diperbolehkan menerima sakramen tobat, Ekaristi serta pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan tidak katolik, jika dalam Gereja mereka sakramen-sakramen tersebut adalah sah.
§ 3. Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota-anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas.
§ 4. Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.
§ 5. Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma-norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak katolik yang bersangkutan.
Kan. 845 - § 1. Sakramen-sakramen baptis, penguatan dan tahbisan, karena memberikan meterai (character), tidak dapat diulang.
§ 2. Jika setelah dilakukan penyelidikan seksama masih ada keraguan arif apakah sakramen-sakramen yang disebut dalam § 1 sungguh-sungguh telah diberikan atau telah diberikan secara sah, hendaknya diberikan dengan bersyarat.
Kan. 846 - § 1. Dalam merayakan sakramen-sakramen hendaknya ditepati dengan setia buku-buku liturgi yang telah disetujui oleh otoritas yang berwenang; karena itu tak seorang pun boleh menambah, menghapus atau mengubah sesuatu pun dalam hal itu atas kuasanya sendiri.
§ 2. Pelayan hendaknya merayakan sakramen-sakramen menurut ritusnya masing-masing.
Kan. 847 - § 1. Dalam menerimakan sakramen-sakramen yang menggunakan minyak suci, pelayan harus mempergunakan minyak zaitun atau minyak lain yang diperas dari tumbuhan dan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 999, 20, dikonsekrasi atau diberkati oleh Uskup, dan baru; sedangkan yang lama jangan digunakan, kecuali bila terpaksa.
§ 2. Pastor paroki hendaknya minta minyak suci dari Uskupnya sendiri dan secara pantas menyimpannya dengan seksama.
Kan. 848 - Pelayan sakramen tidak boleh menuntut apa-apa bagi pelayanannya selain persembahan (oblationes) yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, tetapi selalu harus dijaga agar orang yang miskin jangan sampai tidak mendapat bantuan sakramen-sakramen karena kemiskinannya.
JUDUL I
BAPTIS
Kan. 849 - Baptis, gerbang sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau setidak-tidaknya dalam kerinduan, dengan mana manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh meterai yang tak terhapuskan, hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang diwajibkan.
BAB I
PERAYAAN BAPTIS
Kan. 850 - Baptis hendaknya diterimakan menurut tata-perayaan dalam buku-buku liturgi yang disetujui, kecuali dalam keadaan darurat, dimana harus ditepati hanya hal-hal yang dituntut untuk sahnya sakramen.
Kan. 851 - Perayaan baptis haruslah disiapkan dengan semestinya; maka dari itu:
10 orang dewasa yang bermaksud menerima baptis hendaknya diterima dalam katekumenat dan, sejauh mungkin, dibimbing ke inisiasi sakramental lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi para Uskup dan norma-norma khusus yang dikeluarkan olehnya;
20 orangtua dari kanak-kanak yang harus dibaptis, demikian pula mereka yang akan menerima tugas sebagai wali baptis, hendaknya diberitahu dengan baik tentang makna sakramen ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat padanya. Pastor paroki hendaknya mengusahakan, sendiri atau lewat orang-orang lain, agar para orangtua dipersiapkan dengan semestinya lewat nasihat-nasihat pastoral, dan bahkan dengan doa bersama, dengan mengumpulkan keluarga-keluarga dan, bila mungkin, juga dengan mengunjungi mereka.
Kan. 852 - § 1. Ketentuan-ketentuan yang dalam kanon-kanon mengenai baptis orang dewasa diterapkan pada semua yang telah melewati usia kanak-kanak dan dapat menggunakan akalbudinya.
§ 2. Juga dalam hal baptis orang yang tidak dapat bertanggungjawab atas tindakan sendiri (non sui compos) disamakan dengan kanak-kanak.
Kan. 853 - Air yang harus dipergunakan dalam menerimakan baptis, diluar keadaan terpaksa, haruslah air yang diberkati menurut ketentuan-ketentuan buku liturgi.
Kan. 854 - Baptis hendaknya dilaksanakan entah dengan dimasukkan ke dalam air entah dengan dituangi air, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Konferensi para Uskup.
Kan. 855 - Hendaknya orangtua, wali baptis dan pastor paroki menjaga agar jangan memberikan nama yang asing dari citarasa kristiani.
Kan. 856 - Meskipun baptis dapat dirayakan pada hari apapun, namun dianjurkan agar pada umumnya dirayakan pada hari Minggu atau, jika dapat, pada malam Paskah.
Kan. 857 - § 1. Diluar keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa.
§ 2. Pada umumnya hendaknya orang dewasa dibaptis di gereja parokinya sendiri, sedangkan kanak-kanak di gereja paroki orang-tuanya, kecuali bila alasan wajar menganjurkan lain.
Kan. 858 - § 1. Setiap gereja paroki hendaknya memiliki bejana baptis, dengan tetap ada hak kumulatif yang telah diperoleh gereja-gereja lain.
§ 2. Ordinaris wilayah, setelah mendengarkan pastor paroki setempat, demi kemudahan umat beriman, dapat mengizinkan atau memerintahkan, agar disediakan juga bejana baptis di gereja atau ruang doa lain dalam batas-batas paroki.
Kan. 859 - Jika calon baptis, karena jarak jauh atau keadaan lain, tidak dapat datang atau dibawa tanpa kesulitan besar ke gereja paroki, atau gereja lain atau ruang doa yang disebut dalam kan. 858, § 2, baptis dapat dan harus dilaksanakan di gereja atau ruang doa lain yang lebih dekat, atau juga di tempat lain yang layak.
Kan. 860 - § 1. Diluar keadaan darurat, baptis jangan diberikan di rumah pribadi, kecuali bila Ordinaris wilayah atas alasan yang berat mengizinkannya.
§ 2. Kecuali Uskup diosesan menentukan lain, baptis jangan diberikan di rumah sakit diluar keadaan darurat atau atas alasan pastoral lain yang mendesak.
BAB II
PELAYAN BAPTIS
Kan. 861 - § 1. Pelayan biasa baptis adalah Uskup, imam dan diakon, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 530, 10.
§ 2. Bilamana pelayan biasa tidak ada atau terhalang, baptis dilaksanakan secara licit oleh katekis atau orang lain yang oleh Ordinaris wilayah ditugaskan untuk fungsi itu, bahkan dalam keadaan darurat oleh siapapun yang mempunyai maksud yang semestinya; hendaknya para gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, memperhatikan agar umat beriman kristiani diberitahu tentang cara membaptis yang betul.
Kan. 862 - Diluar keadaan darurat, tak seorang pun boleh melayani baptis di wilayah lain tanpa izin yang semestinya, bahkan juga kepada orang-orang bawahannya sendiri.
Kan. 863 - Baptis orang-orang dewasa, sekurang-kurangnya mereka yang telah berusia genap empatbelas tahun, hendaknya dibawa kepada Uskup diosesan agar, bila dinilainya patut, dilaksanakan olehnya.
BAB III
CALON BAPTIS
Kan. 864 - Yang dapat dibaptis ialah setiap dan hanya manusia yang belum dibaptis.
Kan. 865 - § 1. Agar seorang dewasa dapat dibaptis, ia harus telah menyatakan kehendaknya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman dan kewajiban-kewajiban kristiani dan telah teruji dalam hidup kristiani melalui katekumenat; hendaknya diperingatkan juga untuk menyesali dosa-dosanya.
§ 2. Orang dewasa yang berada dalam bahaya maut dapat dibaptis jika memiliki sekadar pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran iman yang pokok, dengan salah satu cara pernah menyatakan maksudnya untuk menerima baptis dan berjanji bahwa akan mematuhi perintah-perintah agama kristiani.
Kan. 866 – Orang dewasa yang dibaptis, jika tak ada alasan berat yang merintanginya, hendaknya segera setelah baptis diberi penguatan serta mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, juga dengan menerima komuni.
Kan. 867 - § 1. Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu.
§ 2. Bila bayi berada dalam bahaya maut, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.
Kan. 868 - § 1. Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
10 orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
20 ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
§ 2. Anak dari orangtua katolik, bahkan juga dari orangtua tidak katolik, dalam bahaya maut dibaptis secara licit, juga meskipun orangtuanya tidak menyetujuinya.
Kan. 869 - § 1. Jika diragukan apakah seseorang telah dibaptis, atau apakah baptisnya telah diberikan secara sah, dan setelah penyelidikan serius keraguan itu masih tetap ada, maka baptis hendaknya diberikan dengan bersyarat.
§ 2. Mereka yang telah dibaptis dalam jemaat gerejawi bukan katolik tidak boleh dibaptis bersyarat, kecuali bila menilik bahan serta rumus kata-kata yang dipergunakan dalam baptis itu, serta menilik maksud orang yang dibaptis dewasa maupun pelayan baptis, terdapat alasan serius untuk meragukan sahnya baptis.
§ 3. Bila dalam kasus yang disebut § 1 dan § 2 penerimaan atau sahnya baptis tetap diragukan, jika ia seorang dewasa, baptis hendaknya diberikan sesudah kepada calon baptis diuraikan ajaran mengenai sakramen baptis, dan kepadanya atau, jika mengenai baptis kanak-kanak, kepada orangtuanya, dijelaskan alasan-alasan keraguan sahnya baptis yang telah diterimakan.
Kan. 870 - Bayi yang dibuang atau ditemukan hendaknya dibaptis, kecuali bila setelah penyelidikan seksama ada kepastian bahwa ia telah dibaptis.
Kan. 871 - Janin keguguran, jika hidup, sedapat mungkin hendaknya dibaptis.
BAB IV
WALI BAPTIS
Kan. 872 - Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orangtua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis, dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisnya dan memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu.
Kan. 873 - Sebagai wali baptis hendaknya diambil hanya satu pria atau hanya satu wanita atau juga pria dan wanita.
Kan. 874 - § 1. Agar seseorang dapat diterima untuk mengemban tugas wali baptis, haruslah:
10 ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;
20 telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian yang atas alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau pelayan baptis;
30 seorang katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Ekaristi mahakudus, lagipula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;
40 tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara legitim;
50 bukan ayah atau ibu dari calon baptis.
§ 2. Seorang yang telah dibaptis dalam suatu jemaat gerejawi bukan katolik hanya dapat diizinkan menjadi saksi baptis bersama dengan seorang wali baptis katolik.
BAB V
PEMBUKTIAN DAN PENCATATAN BAPTIS
YANG TELAH DIBERIKAN
Kan. 875 - Yang melayani baptis hendaknya mengusahakan agar, kecuali sudah ada wali baptis, sekurang-kurangnya ada seorang saksi yang dapat membuktikan baptis itu.
Kan. 876 - Untuk membuktikan baptis yang sudah diberikan, jika tak seorang pun dirugikan karenanya, cukuplah pernyataan satu saksi yang dapat dipercaya atau, jika ia dibaptis pada usia dewasa, sumpah orang yang dibaptis itu sendiri.
Kan. 877 - § 1. Pastor paroki di mana baptis dilaksanakan, harus dengan teliti dan tanpa menunda-nunda mencatat dalam buku baptis nama orang-orang yang dibaptis, dengan menyebut pelayan baptis, orangtua, wali baptis, jika ada juga saksi-saksi, tempat dan tanggal baptis, sekaligus dicatat tanggal dan tempat kelahiran.
§ 2. Jika mengenai anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah, nama ibu haruslah dicantumkan, jika diketahui secara umum keibuannya itu, atau jika ia dari kehendaknya sendiri memintanya secara tertulis atau di hadapan dua orang saksi; demikian pula nama ayahnya harus dicatat, jika kebapakannya dibuktikan oleh suatu dokumen publik atau oleh pernyataannya sendiri di hadapan pastor paroki serta dua orang saksi; dalam hal-hal lain hendaknya ditulis nama orang yang dibaptis tanpa menyebut nama ayah atau orangtuanya.
§ 3. Jika mengenai anak angkat, hendaknya ditulis nama orang-orang yang mengangkatnya, sekurang-kurangnya jika demikian yang terjadi pada catatan sipil wilayah itu, serta juga nama-nama orangtua kandung menurut ketentuan § 1 dan § 2, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan dari Konferensi para Uskup.
Kan. 878 - Jika baptis tidak dilakukan oleh pastor paroki atau tidak dihadiri olehnya, maka pelayan baptis, entah siapapun juga, harus memberitahukan baptis yang dilakukan itu kepada pastor paroki dimana baptis itu telah dilaksanakan, agar pastor paroki ini mencatatnya menurut ketentuan kan. 877, § 1.
JUDUL II
SAKRAMEN PENGUATAN
Kan. 879 - Sakramen penguatan, yang memberikan meterai dan dengannya orang-orang yang telah dibaptis melanjutkan perjalanan inisiasi kristiani dan diperkaya dengan anugerah Roh Kudus serta dipersatukan secara lebih sempurna dengan Gereja, menguatkan dan semakin mewajibkan mereka untuk dengan perkataan dan perbuatan menjadi saksi-saksi Kristus, menyebarkan dan membela iman.
BAB I
PERAYAAN PENGUATAN
Kan. 880 - § 1. Sakramen penguatan diberikan dengan pengurapan krisma pada dahi, yang hendaknya dilakukan dengan penumpangan tangan serta dengan kata-kata yang diperintahkan dalam buku-buku liturgi yang telah disetujui.
§ 2. Krisma yang dipergunakan dalam sakramen penguatan haruslah dikonsekrasi oleh Uskup, meskipun sakramen diberikan oleh seorang imam.
Kan. 881 - Sepatutnya sakramen penguatan dirayakan dalam gereja dan dalam Misa; tetapi atas alasan wajar dan masuk akal, dapat dirayakan diluar Misa dan di tempat manapun yang pantas.
BAB II
PELAYAN PENGUATAN
Kan. 882 - Pelayan biasa sakramen penguatan ialah Uskup; sakramen itu dapat juga diberikan secara sah oleh imam yang memiliki kewenangan itu berdasarkan hukum universal atau pemberian khusus dari otoritas yang berwenang.
Kan. 883 - Demi hukum sendiri memiliki kewenangan melayani penguatan:
10 dalam batas-batas wilayahnya, mereka yang dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan;
20 mengenai orang yang bersangkutan, imam yang berdasarkan jabatannya atau mandat Uskup diosesan membaptis orang setelah lewat masa kanak-kanak atau menerima orang yang telah dibaptis kedalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik;
30 mengenai orang yang berada dalam bahaya maut, pastor paroki bahkan setiap imam.
Kan. 884 - § 1. Uskup diosesan hendaknya menerimakan sakramen penguatan secara pribadi atau mengusahakan agar diberikan oleh Uskup lain; bila kebutuhan menuntut, ia dapat memberikan kewenangan kepada seorang atau beberapa orang imam tertentu, agar menerimakan sakramen itu.
§ 2. Atas alasan yang berat, Uskup demikian pula imam, yang memiliki kuasa melayani penguatan berdasarkan hukum atau pemberian khusus dari otoritas yang berwenang, dalam masing-masing kasus dapat melibatkan imam-imam agar mereka sendiri juga melayani sakramen itu.
Kan. 885 - § 1. Uskup diosesan wajib mengusahakan agar sakramen penguatan itu diberikan kepada bawahannya yang meminta dengan baik dan masuk akal.
§ 2. Imam yang memiliki kewenangan ini harus menggunakan kewenangannya terhadap orang-orang yang dimaksudkan mendapat keuntungan dengan diberikannya kewenangan itu.
Kan. 886 - § 1. Uskup dalam keuskupannya menerimakan sakramen penguatan itu secara legitim juga kepada orang-orang beriman yang bukan bawahannya, kecuali ada larangan jelas dari Ordinaris mereka sendiri.
§ 2. Untuk memberikan penguatan secara licit di keuskupan lain, Uskup membutuhkan izin dari Uskup diosesan, sekurang-kurangnya diandaikan dengan wajar, kecuali mengenai orang-orang bawahannya sendiri.
Kan. 887 - Imam yang memiliki kewenangan melayani penguatan memberikan sakramen itu secara licit di wilayah yang ditentukan baginya kepada orang-orang luar, kecuali ada larangan dari Ordinaris mereka itu sendiri; tetapi di lain wilayah tak seorang imam pun dapat secara sah memberikannya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 883, 30.
Kan. 888 - Di wilayah di mana mereka dapat memberikan penguatan, para pelayan sakramen dapat juga melayaninya di tempat-tempat yang exempt.
BAB III
CALON PENGUATAN
Kan. 889 - § 1. Yang dapat menerima penguatan adalah semua dan hanya yang telah dibaptis serta belum pernah menerimanya.
§ 2. Diluar bahaya maut, agar seseorang dapat menerima penguatan secara licit, bila ia dapat menggunakan akal, dituntut bahwa ia diajar secukupnya, berdisposisi baik dan dapat membarui janji-janji baptis.
Kan. 890 - Umat beriman wajib menerima sakramen itu pada waktunya; para orangtua dan gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, hendaknya mengusahakan agar umat beriman diberi pengajaran dengan baik untuk menerima sakramen itu dan pada waktu yang baik datang menerimanya.
Kan. 891 - Sakramen penguatan hendaknya diberikan kepada umat beriman pada sekitar usia dapat menggunakan akal, kecuali Konferensi para Uskup telah menentukan usia lain, atau jika ada bahaya maut atau, jika menurut penilaian pelayan sakramen, ada alasan berat yang menganjurkan lain.
BAB IV
WALI PENGUATAN
Kan. 892 - Calon penguatan hendaknya sedapat mungkin didampingi oleh seorang wali-penguatan, yang bertugas mengusahakan agar yang telah menerima penguatan bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati dan dengan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang melekat pada sakramen itu.
Kan. 893 - § 1. Agar seseorang dapat mengemban tugas wali penguatan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 874.
§ 2. Dianjurkan agar diterima sebagai wali penguatan orang yang sudah menerima tugas yang sama dalam baptis.
BAB V
PEMBUKTIAN DAN PENCATATAN PENGUATAN
YANG TELAH DIBERIKAN
Kan. 894 - Untuk membuktikan penguatan yang telah diberikan, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 876.
Kan. 895 - Nama-nama penerima penguatan, dengan menyebutkan pelayan, orangtua dan wali penguatan, tempat dan tanggal penerimaan sakramen itu, hendaknya dicatat dalam buku penguatan Kuria keuskupan atau, jika ditentukan oleh Konferensi para Uskup atau Uskup diosesan, dalam buku yang harus disimpan dalam arsip paroki; pastor paroki harus memberitahukan penguatan yang telah diberikan kepada pastor paroki tempat baptis, agar dibuat catatan dalam buku baptis, menurut norma kan. 535, § 2.
Kan. 896 - Jika pastor paroki setempat tidak hadir, hendaknya pelayan sakramen sendiri atau dengan perantaraan orang lain secepat mungkin memberitahukan penguatan yang telah diberikan itu kepada pastor paroki tempat baptis.
JUDUL III
EKARISTI MAHAKUDUS
Kan. 897 - Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan dan disantap, dan melaluinya Gereja selalu hidup dan berkembang. Kurban Ekaristi, kenangan wafat dan kebangkitan Tuhan, dimana Kurban salib diabadikan sepanjang masa, adalah puncak seluruh ibadat dan kehidupan kristiani dan sumber yang menandakan serta menghasilkan kesatuan umat Allah dan menyempurnakan pembangunan tubuh Kristus. Sedangkan sakramen-
sakramen lain dan semua karya kerasulan gerejawi melekat erat dengan Ekaristi mahakudus dan diarahkan kepadanya.
Kan. 898 - Umat beriman kristiani hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besamya terhadap Ekaristi mahakudus, dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan Kurban mahaluhur itu, menerima sakramen itu dengan penuh bakti dan kerap kali, serta menyembah-sujud setinggi-tingginya; para gembala jiwa-jiwa dalam menjelaskan ajaran mengenai sakramen itu hendaknya tekun mengajarkan kewajiban itu kepada umat beriman.
BAB I
PERAYAAN EKARISTI
Kan. 899 - § 1. Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri dan Gereja; di dalamnya Kristus Tuhan, melalui pelayanan imam, mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa dengan kehadiran-Nya secara substansial dalam rupa roti dan anggur, serta memberikan diri-Nya sebagai santapan rohani kepada umat beriman yang menggabungkan diri dalam persembahan-Nya.
§ 2. Dalam Perjamuan Ekaristi umat Allah dihimpun menjadi satu, dibawah pimpinan Uskup atau pimpinan imam dibawah otoritasnya, yang bertindak selaku pribadi Kristus (personam Christi gerere), serta semua umat beriman lain yang menghadirinya, entah klerus entah awam bersama-sama mengambil bagian, masing-masing menurut caranya sendiri sesuai keberagaman tahbisan dan tugas-tugas liturgis.
§ 3. Perayaan Ekaristi hendaknya diatur sedemikian sehingga semua yang mengambil bagian memetik hasil yang berlimpah dari situ; untuk memperoleh itulah Kristus Tuhan mengadakan Kurban Ekaristi.
Artikel 1
PELAYAN EKARISTI MAHAKUDUS
Kan. 900 - § 1. Pelayan, yang selaku pribadi Kristus (in persona Christi) dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah.
§ 2. Secara licit merayakan Ekaristi imam yang tak terhalang oleh hukum kanonik, dengan tetap mengindahkan ketentuan kanon-kanon berikut.
Kan. 901 - Imam berhak penuh mengaplikasikan Misa bagi siapapun, baik yang masih hidup maupun yang meninggal.
Kan. 902 - Kecuali manfaat umat beriman kristiani menuntut atau menyarankan lain, para imam dapat melakukan konselebrasi Ekaristi, tetapi dengan tetap ada hak penuh bagi masing-masing untuk merayakan Ekaristi secara individual, namun tidak pada waktu dimana di dalam gereja atau ruang doa yang sama sedang ada konselebrasi.
Kan. 903 - Imam hendaknya diizinkan untuk merayakan meskipun ia tidak dikenal oleh rektor gereja, asalkan ia menunjukkan surat rekomendasi (celebret) dari Ordinarisnya atau Pemimpinnya, yang dibuat sekurang-kurangnya dalam tahun itu, atau asal dapat diperkira-kan dengan arif, bahwa ia tidak terhalang untuk merayakan Misa.
Kan. 904 - Para imam, dengan selalu mengingat bahwa dalam misteri Kurban Ekaristi itu karya penebusan dilaksanakan terus, hendaknya kerapkali merayakannya; bahkan sangat dianjurkan perayaan tiap hari, yang juga meskipun tidak dapat dihadiri oleh umat, merupakan tindakan Kristus dan Gereja; dalam melaksanakan itu para imam menunaikan tugasnya yang utama.
Kan. 905 - § 1. Kecuali dalam kasus dimana menurut ketentuan hukum diperbolehkan merayakan Ekaristi atau berkonselebrasi lebih dari satu kali pada hari yang sama, imam tidak boleh merayakan lebih dari satu kali sehari.
§ 2. Jika ada kekurangan imam, Ordinaris wilayah dapat mengizinkan para imam, atas alasan yang wajar, merayakan dua kali sehari, bahkan jika kebutuhan pastoral menuntutnya, juga tiga kali pada hari-hari Minggu dan pada hari-hari raya wajib.
Kan. 906 - Jika tiada alasan yang wajar dan masuk akal, imam jangan merayakan Kurban Ekaristi tanpa ikutsertanya paling tidak satu orang beriman.
Kan. 907 - Dalam perayaan Ekaristi diakon dan awam tidak boleh mengucapkan doa-doa, khususnya doa syukur agung, atau melakukan tugas-tugas yang khas bagi imam yang merayakan Ekaristi.
Kan. 908 - Imam-imam katolik dilarang merayakan Ekaristi bersama-sama dengan imam-imam atau pelayan-pelayan Gereja-gereja atau persekutuan-persekutuan gerejawi yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik.
Kan. 909 - Imam jangan lalai mempersiapkan diri semestinya untuk perayaan Kurban Ekaristi dengan doa, dan sesudahnya bersyukur kepada Allah.
Kan. 910 - § 1. Pelayan biasa komuni suci adalah Uskup, imam dan diakon.
§ 2. Pelayan luar-biasa komuni suci adalah akolit dan juga orang beriman lain yang ditugaskan sesuai ketentuan kan. 230, § 3.
Kan. 911 - § 1. Kewajiban dan hak untuk mengirim Ekaristi mahakudus sebagai Viatikum kepada orang-orang sakit dimiliki oleh pastor paroki dan para pastor-pembantu, kapelan-kapelan, serta Pemimpin komunitas dalam tarekat religius klerikal atau serikat hidup kerasulan terhadap semua yang berada di dalam rumah.
§ 2. Dalam keadaan mendesak atau atas izin yang sekurang-kurangnya diandaikan dari pastor paroki, kapelan atau Pemimpin, yang kemudian harus diberitahu, pelayanan Viatikum harus dilakukan oleh imam siapapun atau oleh pelayan komuni suci lain.
Artikel 2
PARTISIPASI DALAM EKARISTI MAHAKUDUS
Kan. 912 - Setiap orang yang telah dibaptis dan tidak dilarang oleh hukum, dapat dan harus diizinkan untuk menerima komuni suci.
Kan. 913 - § 1 - Agar Ekaristi mahakudus dapat diterimakan kepada anak-anak, dituntut bahwa mereka memiliki pemahaman cukup dan telah dipersiapkan dengan seksama, sehingga dapat memahami misteri Kristus sesuai dengan daya-tangkap mereka dan mampu menyambut Tubuh Tuhan dengan iman dan khidmat.
§ 2. Tetapi anak-anak yang berada dalam bahaya maut dapat diberi Ekaristi mahakudus, bila mereka dapat membedakan Tubuh Kristus dari makanan biasa serta menyambut komuni dengan hormat.
Kan. 914 - Terutama menjadi tugas orangtua serta mereka yang menggantikan kedudukan orangtua dan juga pastor paroki untuk mengusahakan agar anak-anak yang telah dapat menggunakan akalbudi dipersiapkan dengan semestinya dan, sesudah didahului penerimaan sakramen tobat, sesegera mungkin diberi santapan ilahi itu; juga menjadi tugas pastor paroki untuk mengawasi, jangan sampai anak-anak yang tidak dapat menggunakan akalbudi atau yang ia nilai tidak cukup dipersiapkan, maju untuk menerima komuni suci.
Kan. 915 - Jangan diizinkan menerima komuni suci mereka yang terkena ekskomunikasi dan interdik, sesudah hukuman itu dijatuhkan atau dinyatakan, serta orang lain yang berkeras hati membandel dalam dosa berat yang nyata.
Kan. 916 - Yang sadar berdosa berat, tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan, kecuali ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin.
Kan. 917 - Yang telah menyambut Ekaristi mahakudus, dapat menerimanya lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 921 § 2.
Kan. 918 - Sangat dianjurkan agar umat beriman menerima komuni suci dalam perayaan Ekaristi itu sendiri; akan tetapi mereka yang meminta atas alasan yang wajar diluar Misa hendaknya dilayani, dengan mengindahkan ritus liturgi.
Kan. 919 - § 1. Yang akan menerima Ekaristi mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
§ 2. Imam, yang pada hari yang sama merayakan Ekaristi mahakudus dua atau tiga kali, dapat makan sesuatu sebelum perayaan yang kedua atau ketiga, meskipun tidak ada tenggang-waktu satu jam.
§ 3. Mereka yang lanjut usia dan menderita sakit, dan juga mereka yang merawat, dapat menerima Ekaristi mahakudus, meskipun dalam waktu satu jam sebelumnya telah makan sesuatu.
Kan. 920 - § 1. Setiap orang beriman, sesudah menerima Ekaristi mahakudus pertama, wajib sekurang-kurangnya satu kali setahun menerima komuni suci.
§ 2. Perintah ini harus dipenuhi pada masa Paskah, kecuali karena alasan wajar dipenuhi pada lain waktu dalam tahun itu.
Kan. 921 - § 1. Umat beriman kristiani yang berada dalam bahaya maut yang timbul dari sebab apapun, hendaknya diperkuat dengan komuni suci sebagai Viatikum.
§ 2. Meskipun pada hari yang sama telah menerima komuni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut menerima komuni lagi.
§ 3. Kalau bahaya maut itu berlangsung, maka dianjurkan agar komuni suci diterimakan berkali-kali pada hari-hari yang berbeda.
Kan. 922 - Viatikum suci bagi orang sakit jangan terlalu ditunda-tunda; mereka yang bekerja dalam penggembalaan jiwa-jiwa hendaknya senantiasa waspada, agar orang-orang sakit dikuatkan dengan Viatikum itu sementara masih dalam kesadaran penuh.
Kan. 923 - Umat beriman kristiani dapat mengambil bagian pada Kurban Ekaristi dan menerima komuni suci dalam ritus katolik manapun, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 844.
Artikel 3
RITUS DAN UPACARA PERAYAAN EKARISTI
Kan. 924 - § 1. Kurban Ekaristi mahakudus harus dipersembahkan dengan roti dan anggur, yang harus dicampur sedikit air.
§ 2. Roti haruslah dibuat dari gandum murni dan baru, sehingga tidak ada bahaya pembusukan.
§ 3. Anggur haruslah alamiah dari buah anggur dan tidak busuk.
Kan. 925 - Komuni suci hendaklah diterimakan hanya dalam rupa roti atau, menurut norma hukum liturgi, dalam dua rupa; namun bila dibutuhkan, juga hanya dalam rupa anggur.
Kan. 926 - Dalam perayaan Ekaristi, sesuai tradisi Gereja Latin kuno, imam hendaknya menggunakan roti tak-beragi di mana pun ia merayakannya.
Kan. 927 - Sama sekali tidak dibenarkan (nefas est), juga dalam kebutuhan ekstrem yang mendesak, mengkonsekrasi satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrasi keduanya diluar perayaan Ekaristi.
Kan. 928 - Perayaan Ekaristi hendaknya dilaksanakan dalam bahasa latin atau bahasa lain, asalkan teks liturginya sudah mendapat aprobasi secara legitim.
Kan. 929 - Para imam dan diakon dalam merayakan dan melayani Ekaristi hendaknya mengenakan busana suci yang diperintahkan oleh rubrik.
Kan. 930 - § 1. Imam yang sakit atau lanjut usia, bila tidak mampu berdiri, dapat merayakan Kurban Ekaristi sambil duduk, dengan tetap mengindahkan hukum-hukum liturgi, tetapi tidak di hadapan umat, kecuali dengan izin Ordinaris wilayah.
§ 2. Imam yang buta atau menderita salah satu penyakit lain merayakan Kurban Ekaristi secara licit dengan menggunakan teks Misa manapun yang telah disetujui, jika perlu dengan didampingi oleh imam lain atau diakon, atau juga oleh seorang awam yang telah dipersiapkan dengan baik untuk membantunya.
Artikel 4
WAKTU DAN TEMPAT PERAYAAN EKARISTI
Kan. 931 - Perayaan dan pembagian Ekaristi dapat dilakukan pada hari dan jam manapun, kecuali hari-hari yang menurut norma-norma liturgi dikecualikan.
Kan. 932 - § 1. Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus khusus kebutuhan menuntut lain; dalam hal demikian perayaan haruslah di tempat yang pantas.
§ 2. Kurban Ekaristi haruslah dilaksanakan di atas altar yang sudah dikuduskan atau diberkati; di luar tempat suci dapat digunakan meja yang cocok, dengan harus selalu ditutup kain altar dan korporal.
Kan. 933 - Atas alasan yang wajar dan dengan izin jelas dari Ordinaris wilayah, imam boleh merayakan Ekaristi di ruang ibadat suatu Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, asalkan terhindarkan sandungan.
BAB II
MENYIMPAN DAN MENGHORMATI EKARISTI KUDUS
Kan. 934 - § 1. Ekaristi mahakudus:
10 harus disimpan dalam gereja katedral atau gereja yang disamakan dengannya, dalam setiap gereja paroki, serta dalam gereja atau ruang doa yang tergabung pada rumah tarekat religius atau serikat hidup kerasulan;
20 dapat disimpan dalam kapel Uskup, dan dengan izin Ordinaris wilayah, dalam gereja-gereja, ruang doa dan kapel-kapel lain.
§ 2. Di tempat-tempat suci di mana Ekaristi mahakudus disimpan, haruslah selalu ada yang menjaganya, dan sedapat mungkin seorang imam sekurang-kurangnya dua kali sebulan merayakan Misa di situ.
Kan. 935 - Tak seorang pun diperbolehkan menyimpan Ekaristi suci di rumahnya atau membawanya dalam perjalanan, kecuali ada kebutuhan pastoral yang mendesak dan dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan Uskup diosesan.
Kan. 936 - Dalam rumah tarekat religius atau rumah kesalehan lain, Ekaristi mahakudus hendaknya disimpan hanya dalam gereja atau ruang doa utama dari rumah itu; tetapi atas alasan wajar Ordinaris dapat juga mengizinkan untuk disimpan dalam ruang doa lain dari rumah itu.
Kan. 937 - Kecuali dihalangi alasan berat, gereja di mana disimpan Ekaristi mahakudus, hendaknya terbuka bagi umat beriman sekurang-kurangnya selama beberapa jam setiap hari, agar mereka dapat meluangkan waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen mahakudus.
Kan. 938 - § 1. Ekaristi mahakudus hendaknya secara terus-mene-rus disimpan hanya dalam satu tabernakel dari gereja atau ruang doa.
§ 2. Tabernakel, tempat Ekaristi mahakudus di simpan, hendaknya terletak pada suatu bagian gereja atau ruang doa yang mencolok, tampak, dihias pantas, layak untuk doa.
§ 3. Tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan secara terus-menerus, hendaknya bersifat tetap, terbuat dari bahan yang keras yang tak tembus pandang dan terkunci sedemikian sehingga sedapat mungkin terhindarkan dari bahaya profanasi.
§ 4. Atas alasan yang berat Ekaristi mahakudus boleh disimpan di tempat lain yang lebih aman dan pantas, terutama pada malam hari.
§ 5. Yang bertugas menjaga gereja atau ruang doa hendaknya mengusahakan agar kunci tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan, dijaga dengan sangat seksama.
Kan. 939 - Hosti yang sudah dikonsekrasi sejumlah yang mencukupi untuk kebutuhan umat beriman hendaknya disimpan dalam piksis atau sibori, dan seringkali diperbarui setelah yang lama habis disantap dengan semestinya.
Kan. 940 - Di hadapan tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan hendaknya ada lampu khusus yang tetap bernyala untuk menandakan dan menghormati kehadiran Kristus.
Kan. 941 - § 1. Dalam gereja-gereja atau ruang-ruang doa yang diperbolehkan menyimpan Ekaristi mahakudus dapat diadakan penakhtaan atau dalam piksis atau dalam monstrans, dengan mengindahkan norma-norma yang ditentukan dalam buku-buku liturgi.
§ 2. Selama perayaan Misa, dalam gereja atau ruang doa yang sama jangan diadakan penakhtaan Sakramen mahakudus.
Kan. 942 - Dianjurkan agar dalam gereja-gereja dan ruang-ruang doa itu setiap tahun diadakan penakhtaan meriah Sakramen mahakudus yang berlangsung untuk waktu yang layak, meskipun tidak terus-menerus, agar komunitas setempat merenungkan dan bersujud pada misteri Ekaristi secara lebih mendalam; tetapi penakhtaan ini hendaklah hanya dilakukan bila diperkirakan akan dikunjungi oleh umat secara layak dan dengan mengindahkan norma-norma yang ditetapkan.
Kan. 943 - Pelayan penakhtaan Sakramen mahakudus dan berkat Ekaristi adalah imam atau diakon; dalam keadaan-keadaan khusus, pelayan penakhtaan dan pengembalian saja, tetapi tanpa berkat, adalah akolit, pelayan luar-biasa komuni suci atau orang lain yang ditugaskan oleh Ordinaris wilayah, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Uskup diosesan.
Kan. 944 - § 1. Jika menurut penilaian Uskup diosesan dapat dilaksanakan, sebagai kesaksian publik penghormatan terhadap Ekaristi mahakudus, hendaklah diselenggarakan prosesi lewat jalan-jalan umum, terutama pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus.
§ 2. Uskup diosesan bertugas menetapkan peraturan-peraturan mengenai prosesi, dengannya dijamin partisipasi serta kepantasannya.
BAB III
STIPS YANG DIPERSEMBAHKAN UNTUK PERAYAAN MISA
Kan. 945 - § 1. Sesuai kebiasaan Gereja yang teruji, imam yang merayakan Misa atau berkonselebrasi boleh menerima stips yang dipersembahkan, agar mengaplikasikan Misa untuk intensi tertentu.
§ 2. Sangat dianjurkan agar para imam merayakan Misa untuk intensi umat beriman kristiani, terutama yang miskin, juga tanpa menerima stips.
Kan. 946 - Umat beriman kristiani, dengan menghaturkan stips agar Misa diaplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan persembahan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya.
Kan. 947 - Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual-beli stips Misa.
Kan. 948 - Jika untuk masing-masing intensi telah dipersembah-kan dan diterima stips, meskipun kecil, maka Misa harus diaplikasikan masing-masing untuk intensi mereka.
Kan. 949 - Yang terbebani kewajiban merayakan Misa dan mengaplikasikannya bagi intensi mereka yang telah memberikan stips, tetap terikat kewajiban itu meskipun tanpa kesalahannya stips yang telah diterima itu hilang.
Kan. 950 - Jika sejumlah uang dipersembahkan untuk aplikasi Misa tanpa disebut jumlah Misa yang harus dirayakan, jumlah ini diperhitungkan menurut ketentuan hal stips di tempat, dimana pemberi persembahan bertempat-tinggal, kecuali maksudnya harus diandaikan lain secara legitim.
Kan. 951 - § 1. Imam yang pada hari yang sama merayakan beberapa Misa, dapat mengaplikasikan setiap Misa bagi intensi untuknya stips dipersembahkan, tetapi dengan ketentuan bahwa kecuali pada hari raya Natal, hanya satu stips Misa boleh menjadi miliknya, sedangkan yang lain diperuntukkan bagi tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Ordinaris, dengan tetap diizinkan sekadar retribusi atas dasar ekstrinsik.
§ 2. Imam yang pada hari yang sama berkonselebrasi Misa kedua, tidak boleh menerima stips untuk itu atas dasar apapun.
Kan. 952 - § 1. Konsili provinsi atau pertemuan para Uskup seprovinsi berwenang menentukan lewat dekret bagi seluruh provinsi, besarnya stips yang harus dipersembahkan untuk perayaan dan aplikasi Misa, dan imam tidak boleh menuntut jumlah yang lebih besar; tetapi ia boleh menerima stips lebih besar yang dipersembahkan secara sukarela daripada yang ditetapkan untuk aplikasi Misa, juga stips yang lebih kecil.
§ 2. Jika tidak ada dekret semacam itu, hendaknya ditaati kebiasaan yang berlaku di keuskupan.
§ 3. Juga anggota-anggota tarekat religius manapun harus taat pada dekret tersebut atau kebiasaan setempat yang disebut dalam § 1 dan § 2.
Kan. 953 - Tak seorang pun boleh menerima sekian banyak stips Misa untuk diaplikasikan sendiri, yang tidak dapat ia selesaikan dalam satu tahun.
Kan. 954 - Jika dalam gereja-gereja atau ruang doa tertentu diminta merayakan Misa yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat dirayakan di situ, maka perayaannya boleh dilaksanakan di tempat lain, kecuali pemberi persembahan menyatakan secara jelas kehendaknya yang berlawanan.
Kan. 955 - § 1. Yang bermaksud menyerahkan kepada orang lain perayaan Misa yang harus diaplikasikan, hendaknya segera menyerahkannya kepada imam-imam yang dapat diterimanya, asal ia merasa pasti bahwa mereka itu dapat dipercaya; seluruh stips yang telah diterima harus diserahkan, kecuali nyata dengan pasti bahwa kelebihan diatas jumlah yang ditetapkan dalam keuskupan itu diberikan atas dasar pribadinya; ia juga wajib mengusahakan perayaan Misa-Misa itu sampai ia menerima kesaksian mengenai kesanggupan serta stips yang telah diterima.
§ 2. Jangka waktu Misa yang harus dirayakan mulai sejak hari imam menerima kesanggupan akan merayakannya, kecuali nyata lain.
§ 3. Yang menyerahkan kepada orang lain Misa-Misa yang harus dirayakan, hendaknya tanpa menunda menuliskan dalam buku baik Misa yang diterima maupun Misa yang diserahkan kepada orang lain, juga dicatat jumlah stipsnya.
§ 4. Setiap imam harus mencatat dengan teliti Misa yang diterima untuk dirayakan, dan yang telah dipenuhinya.
Kan. 956 - Semua dan setiap pengelola lembaga amal-saleh atau siapapun yang wajib mengusahakan perayaan Misa, entah klerus entah awam, hendaknya menyerahkan kepada Ordinarisnya beban Misa yang tidak dapat dipenuhi dalam tahun itu, menurut cara yang ditentukan oleh Ordinaris itu.
Kan. 957 - Kewajiban dan hak untuk mengawasi agar beban Misa dipenuhi, dalam gereja-gereja klerus sekular ada pada Ordinaris wilayah, dalam gereja-gereja tarekat religius atau serikat hidup kerasulan ada pada Pemimpin-pemimpin mereka.
Kan. 958 - § 1. Pastor paroki dan juga rektor gereja atau tempat saleh lain dimana biasa diterima stips Misa, hendaknya mempunyai buku khusus, dimana dicatat dengan teliti jumlah Misa yang harus dirayakan, intensi, stips yang dipersembahkan, serta perayaan yang telah dilaksanakan.
§ 2. Ordinaris wajib setiap tahun memeriksa buku-buku itu, sendiri atau melalui orang lain.
JUDUL IV
SAKRAMEN TOBAT
Kan. 959 - Dalam sakramen tobat umat beriman mengakukan dosa-dosanya kepada pelayan yang legitim, menyesalinya serta berniat untuk memperbaiki diri, lewat absolusi yang diberikan oleh pelayan itu, memperoleh ampun dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sesudah baptis, dan sekaligus diperdamaikan kembali dengan Gereja yang mereka lukai dengan berdosa.
BAB I
PERAYAAN SAKRAMEN
Kan. 960 - Pengakuan pribadi dan utuh serta absolusi merupakan cara biasa satu-satunya, dengannya orang beriman yang sadar akan dosa beratnya diperdamaikan kembali dengan Allah dan Gereja; hanya ketidakmungkinan fisik atau moril saja membebaskannya dari pengakuan semacam itu, dalam hal itu rekonsiliasi dapat diperoleh juga dengan cara-cara lain.
Kan. 961 - § 1. Absolusi tidak dapat diberikan secara umum kepada banyak peniten secara bersama-sama, tanpa didahului pengakuan pribadi, kecuali:
10 bahaya maut mengancam dan tiada waktu bagi imam atau para imam untuk mendengarkan pengakuan masing-masing peniten;
20 ada kebutuhan mendesak, yakni menilik jumlah peniten tidak dapat tersedia cukup bapa pengakuan untuk mendengarkan pengakuan masing-masing dalam waktu yang layak, sehingga peniten tanpa kesalahannya sendiri akan terpaksa lama tidak dapat menikmati rahmat sakramen serta komuni suci; tetapi kebutuhan itu tidak dianggap cukup jika tidak dapat tersedianya bapa pengakuan hanya karena kedatangan jumlah besar peniten, seperti dapat terjadi pada suatu hari pesta besar atau pada suatu peziarahan.
§ 2. Penilaian apakah terpenuhi persyaratan yang dituntut sesuai norma § 1, 20 ada pada Uskup diosesan, yang dapat menentukan kasus kebutuhan semacam itu dengan mempertimbangkan kriteria yang disepakati anggota-anggota Konferensi para Uskup.
Kan. 962 - § 1. Agar seorang beriman kristiani dapat dengan sah menikmati absolusi sakramental yang diberikan secara bersama, dituntut bukan hanya bahwa ia berdisposisi baik, melainkan juga bahwa ia berniat untuk mengakukan dosa-dosa berat satu per satu pada saatnya yang tepat, yang sekarang ini tidak dapat dilakukannya.
§ 2. Umat beriman kristiani, sedapat mungkin juga pada kesempatan menerima absolusi umum, hendaknya diberitahu tentang tuntutan-tuntutan menurut norma § 1, dan sebelum absolusi umum, juga dalam kasus bahaya maut, bila ada waktu, hendaknya didahului ajakan agar masing-masing membangkitkan penyesalan.
Kan. 963 - Dengan tetap berlaku kewajiban yang disebut kan. 989, seseorang yang dosa-dosa beratnya diampuni dengan absolusi umum, hendaknya datang mengaku secara pribadi sesegera mungkin jika ada kesempatan, sebelum menerima absolusi umum lagi, kecuali terdapat alasan yang wajar.
Kan. 964 - § 1. Tempat semestinya untuk menerima pengakuan sakramental adalah gereja atau ruang doa.
§ 2. Mengenai tempat pengakuan, hendaknya dibuat pedoman-pedoman oleh Konferensi para Uskup, tetapi dengan tetap dijaga supaya tempat pengakuan selalu diadakan di tempat terbuka, dilengkapi dengan penyekat yang kokoh antara peniten dan bapa pengakuan; tempat itu dapat digunakan dengan bebas oleh umat beriman, jika mereka menghendakinya.
§ 3. Jangan menerima pengakuan di luar tempat pengakuan, kecuali atas alasan yang wajar.
BAB II
PELAYAN SAKRAMEN TOBAT
Kan. 965 - Pelayan sakramen tobat hanyalah imam.
Kan. 966 - § 1. Untuk sahnya absolusi dosa dituntut bahwa pelayan memiliki, disamping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi.
§ 2. Kewenangan itu dapat dimiliki oleh imam, entah berdasarkan hukum entah berdasarkan pemberian oleh otoritas yang berwenang, sesuai dengan norma kan. 969.
Kan. 967 - § 1. Selain Paus, para Kardinal memiliki dari hukum sendiri kewenangan menerima pengakuan umat beriman kristiani di mana pun di seluruh dunia; demikian pula para Uskup dapat menggunakannya secara licit di mana pun, kecuali Uskup diosesan dalam kasus tertentu melarangnya.
§ 2. Yang secara tetap memiliki kewenangan menerima pengakuan, entah berdasarkan jabatan entah berdasarkan pemberian oleh Ordinaris wilayah dari tempat mereka diinkardinasi atau tempat mereka mempunyai domisili, dapat melaksanakan kuasa itu di mana pun, kecuali Ordinaris wilayah dalam kasus tertentu melarangnya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 974, § 2 dan § 3.
§ 3. Mereka yang demi jabatan atau dari pemberian oleh Pemimpin yang berwenang menurut norma kan. 968, § 2 dan kan. 969, § 2 memiliki kewenangan menerima pengakuan, dari hukum sendiri memiliki kewenangan yang sama di mana pun terhadap para anggota atau orang-orang lain yang siang-malam berdiam di rumah tarekat atau serikat; dan mereka ini mempergunakan kewenangannya secara licit, kecuali seorang Pemimpin tinggi melarangnya mengenai bawahan-bawahannya sendiri dalam kasus tertentu.
Kan. 968 - § 1. Yang berdasarkan jabatan memiliki kewenangan menerima pengakuan dari bawahan masing-masing adalah Ordinaris wilayah, kanonik penitensiaris, serta pastor paroki dan lain-lain yang menggantikan pastor paroki.
§ 2. Berdasarkan jabatan memiliki kewenangan menerima pengakuan bawahan-bawahannya serta orang-orang lain yang tinggal siang-malam di rumah adalah para Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika tarekat itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, yang menurut norma konstitusi memiliki kuasa kepemimpinan eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 630, § 4.
Kan. 969 - § 1. Hanya Ordinaris wilayah berwenang memberikan kewenangan menerima pengakuan umat beriman manapun kepada imam-imam siapapun; akan tetapi para imam yang menjadi anggota dari tarekat-tarekat religius jangan menggunakan kewenangan itu tanpa izin yang sekurang-kurangnya diandaikan dari Pemimpinnya.
§ 2. Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan yang disebut dalam kan. 968, § 2, berwenang memberikan kepada imam-imam siapapun kewenangan menerima pengakuan bawahan-bawahannya dan juga orang-orang lain yang siang-malam tinggal dalam rumah itu.
Kan. 970 - Kewenangan menerima pengakuan jangan diberikan kecuali kepada para imam yang terbukti cakap melalui ujian, atau yang kecakapannya telah nyata dari cara lain.
Kan. 971 – Ordinaris wilayah jangan memberikan kewenangan menerima pengakuan secara tetap kepada seorang imam, meskipun ia memiliki domisili atau kuasi-domisili di wilayahnya, kecuali terlebih dahulu meminta pendapat Ordinaris dari imam tersebut, sejauh mungkin.
Kan. 972 - Kewenangan menerima pengakuan dapat diberikan oleh otoritas yang berwenang yang disebut dalam kan. 969, untuk waktu yang tak ditentukan atau untuk waktu yang ditentukan.
Kan. 973 - Kewenangan menerima pengakuan secara tetap hendaknya diberikan secara tertulis.
Kan. 974 - § 1. Ordinaris wilayah, dan juga Pemimpin yang ber-wenang, janganlah menarik kembali kewenangan menerima pengakuan yang telah diberikan secara tetap kecuali atas alasan yang berat.
§ 2. Jika kewenangan menerima pengakuan ditarik kembali oleh Ordinaris wilayah yang memberinya, menurut kan. 967, § 2, imam tersebut kehilangan kewenangan itu di mana pun; jika kewenangan itu dicabut oleh Ordinaris wilayah lain, ia kehilangan kewenangan itu hanya di wilayah Ordinaris yang mencabutnya itu.
§ 3. Ordinaris wilayah manapun yang mencabut kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan, hendaknya memberitahukan kepada Ordinaris yang atas dasar inkardinasi adalah Ordinaris dari imam itu, atau jika mengenai seorang anggota religius, kepada Pemimpinnya yang berwenang.
§ 4. Jika kewenangan menerima pengakuan dicabut oleh Pemimpin tingginya sendiri, imam itu kehilangan kewenangan menerima pengakuan di mana pun terhadap anggota-anggota dari tarekat itu; tetapi bila kewenangan itu dicabut oleh Pemimpin lain yang berwenang, ia kehilangan kewenangan tersebut hanya terhadap mereka yang menjadi bawahan Pemimpin itu.
Kan. 975 – Selain oleh pencabutan, kewenangan yang disebut dalam kan. 967, § 2 terhenti karena kehilangan jabatan, atau ekskardinasi, atau karena kehilangan domisili.
Kan. 976 - Imam manapun, meski tidak memiliki kewenangan menerima pengakuan, dapat memberi absolusi secara sah dan licit peniten manapun yang berada dalam bahaya maut dari segala censura dan dosa, meskipun hadir juga seorang imam lain yang memiliki kewenangan.
Kan. 977 - Absolusi terhadap rekan-berdosa (absolutio complicis) dalam dosa melawan perintah keenam Dekalog adalah tidak sah, kecuali dalam bahaya maut.
Kan. 978 - § 1. Hendaknya imam ingat bahwa dalam mendengarkan pengakuan ia bertindak sebagai hakim dan sekaligus tabib, pelayan keadilan dan serentak belaskasih ilahi, yang diangkat oleh Allah untuk mengabdi kehormatan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.
§ 2. Bapa pengakuan, selaku pelayan Gereja, dalam menerimakan sakramen hendaknya dengan setia mengikuti ajaran Magisterium serta norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 979 - Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan hendaknya imam bertindak dengan arif dan hati-hati, dengan memperhatikan keadaan serta usia peniten, dan hendaknya menahan diri untuk menanyakan nama rekan-berdosanya.
Kan. 980 - Jika bapa pengakuan tidak ragu-ragu mengenai disposisi peniten, sedangkan peniten minta absolusi, janganlah absolusi ditolak atau ditunda.
Kan. 981 - Bapa pengakuan hendaknya memberikan penitensi yang bermanfaat dan patut, sesuai dengan kualitas dan jumlah dosa, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan peniten; dan peniten sendiri wajib memenuhi penitensi itu.
Kan. 982 - Yang mengaku bahwa ia telah melaporkan secara palsu seorang bapa pengakuan yang tak bersalah kepada otoritas gerejawi mengenai kejahatan solisitasi untuk berdosa melawan perintah keenam Dekalog, janganlah diberi absolusi, kecuali terlebih dahulu secara resmi ia mencabut laporannya yang palsu dan bersedia memperbaiki kerugian yang ditimbulkannya, bila ada.
Kan. 983 - § 1. Rahasia sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain serta atas dasar apapun mengkhianati peniten sekecil apapun.
§ 2. Terikat kewajiban menyimpan rahasia itu juga penerjemah, jika ada, serta semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari pengakuan.
Kan. 984 - § 1. Bapa pengakuan sama sekali dilarang mengguna-kan pengetahuan yang didapatnya dari pengakuan yang memberatkan peniten, juga meskipun sama sekali tidak ada bahaya membocorkan rahasia.
§ 2. Yang memegang otoritas sama sekali tidak dapat menggunakan pengetahuan yang didapatnya tentang dosa-dosa dalam pengakuan untuk kepemimpinan luar.
Kan. 985 - Pembimbing novis dan pembantunya, rektor seminari atau lembaga pendidikan lain hendaknya jangan mendengar pengakuan sakramental para anak didik yang berdiam bersamanya dalam rumah yang sama, kecuali mereka itu dari kehendaknya sendiri memintanya dalam kasus-kasus khusus.
Kan. 986 - § 1. Setiap orang yang berdasarkan tugasnya diserahi reksa jiwa-jiwa, wajib mengusahakan agar dilayani pengakuan umat beriman yang dipercayakan kepada dirinya, jika mereka memintanya dengan wajar, serta agar diberikan kesempatan kepada mereka untuk datang mengaku secara pribadi, pada hari-hari serta jam-jam yang ditentukan demi kemudahan mereka.
§ 2. Dalam kebutuhan mendesak setiap bapa pengakuan wajib menerima pengakuan umat beriman kristiani, dan dalam bahaya maut setiap imam mempunyai kewajiban itu.
BAB III
PENITEN
Kan. 987 - Orang beriman kristiani, agar dapat menikmati bantuan (remedium) yang membawa keselamatan dari sakramen tobat, haruslah bersikap sedemikian sehingga dengan menyesali dosa yang telah ia lakukan dan berniat untuk memperbaiki diri, bertobat kembali kepada Allah.
Kan. 988 - § 1. Orang beriman kristiani wajib mengakukan semua dosa berat menurut jenis dan jumlahnya, yang dilakukan sesudah baptis dan belum secara langsung diampuni melalui kuasa kunci Gereja, serta belum diakukan dalam pengakuan pribadi, dan yang disadarinya setelah meneliti diri secara seksama.
§ 2. Dianjurkan kepada umat beriman kristiani agar juga mengakukan dosa-dosa ringan.
Kan. 989 - Setiap orang beriman, sesudah sampai pada usia dapat membuat diskresi, wajib dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya, sekurang-kurangnya sekali setahun.
Kan. 990 - Tak seorang pun dilarang mengaku dosa lewat penerjemah, dengan menghindari penyalahgunaan dan sandungan, serta dengan tetap berlaku ketentuan kan. 983, § 2.
Kan. 991 – Setiap orang beriman kristiani berhak penuh untuk mengakukan dosa-dosanya kepada bapa pengakuan yang dipilihnya, yakni yang telah disetujui secara legitim, meskipun dari ritus lain.
BAB IV
INDULGENSI
Kan. 992 - Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus.
Kan. 993 - Indulgensi bersifat sebagian atau penuh, tergantung apakah membebaskan sebagian atau seluruh hukuman sementara yang diakibatkan dosa.
Kan. 994 - Setiap orang beriman dapat memperoleh indulgensi, entah sebagian entah penuh, bagi diri sendiri atau menerapkannya sebagai permohonan bagi orang-orang yang telah meninggal.
Kan. 995 - § 1. Selain otoritas tertinggi Gereja, orang-orang yang dapat memberi indulgensi hanyalah mereka yang diakui memiliki kuasa itu oleh hukum atau yang diberi oleh Paus.
§ 2. Tak satu otoritas pun di bawah Paus dapat menyerahkan kuasa untuk memberi indulgensi kepada orang lain, kecuali hal itu secara jelas dianugerahkan oleh Takhta Apostolik.
Kan. 996 - § 1. Agar seseorang mampu memperoleh indulgensi haruslah ia sudah dibaptis, tidak terkena ekskomunikasi, dalam keadaan rahmat sekurang-kurangnya pada akhir perbuatan-perbuatan yang diperintahkan.
§ 2. Namun agar orang yang mampu itu memperolehnya, haruslah ia sekurang-kurangnya mempunyai intensi untuk memperolehnya dan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan, pada waktu yang ditentukan dan dengan cara yang semestinya, menurut petunjuk pemberian itu.
Kan. 997 - Mengenai pemberian dan penggunaan indulgensi ini haruslah disamping itu dipatuhi ketentuan-ketentuan lain yang tercantum dalam peraturan-peraturan Gereja yang khusus.
JUDUL V
SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 998 - Pengurapan orang sakit, dengannya Gereja menyerah-kan kepada Tuhan yang menderita dan dimuliakan umat beriman yang sakit berbahaya, agar Ia meringankan dan menyelamatkan mereka, diberikan dengan mengurapkan minyak kepada mereka serta mengucapkan kata-kata yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi.
BAB I
PERAYAAN SAKRAMEN
Kan. 999 - Selain oleh Uskup, minyak yang dipergunakan dalam pengurapan orang sakit dapat diberkati oleh:
10 yang dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan;
20 dalam keadaan terpaksa, imam manapun tetapi dalam perayaan sakramen itu sendiri.
Kan. 1000 - § 1. Pengurapan hendaknya dilaksanakan secara teliti dengan kata-kata, urutan dan cara yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi; tetapi dalam keadaan terpaksa, cukuplah satu pengurapan pada dahi atau juga pada bagian lain dari tubuh, dengan mengucapkan rumus secara utuh.
§ 2. Pengurapan hendaknya dilakukan oleh pelayan dengan tangannya sendiri, kecuali alasan berat menganjurkan penggunaan suatu alat.
Kan. 1001 – Para gembala jiwa-jiwa dan orang-orang yang dekat dengan yang sakit hendaknya mengusahakan agar mereka yang sakit pada waktu yang tepat diringankan dengan sakramen ini.
Kan. 1002 - Perayaan bersama pengurapan orang-orang sakit, yakni untuk beberapa orang sakit bersama, yang telah dipersiapkan dan berdisposisi baik, dapat dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Uskup diosesan.
BAB II
PELAYAN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 1003 - § 1. Setiap imam dan hanya imam dapat melayani pengurapan orang sakit secara sah.
§ 2. Kewajiban dan hak melayani pengurapan orang sakit dimiliki oleh semua imam, yang ditugaskan untuk penggembalaan jiwa-jiwa, terhadap umat beriman yang diserahkan pada tugas pastoralnya; atas alasan yang masuk akal, setiap imam lain manapun dapat melayani sakramen itu dengan persetujuan yang sekurang-kurangnya diandaikan dari imam yang disebut diatas.
§ 3. Setiap imam manapun boleh membawa minyak yang diberkati, agar dalam keadaan mendesak dapat melayani sakramen pengurapan orang sakit.
BAB III
ORANG-ORANG YANG HARUS DIBERI
PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 1004 - § 1. Pengurapan orang sakit dapat diberikan kepada orang beriman yang telah dapat menggunakan akal-budi, yang mulai berada dalam bahaya karena sakit atau usia lanjut.
§ 2. Sakramen itu dapat diulangi, jika si sakit, setelah sembuh, jatuh sakit berat lagi, atau jika masih dalam keadaan sakit yang sama, bahayanya menjadi semakin gawat.
Kan. 1005 - Dalam keraguan apakah si sakit sudah dapat menggunakan akal-budi, atau apakah sakitnya membahayakan, atau apakah sudah mati, hendaknya sakramen itu diberikan.
Kan. 1006 - Kepada orang-orang sakit, yang sewaktu masih sadar diri memintanya sekurang-kurangnya secara implisit, hendaknya sakramen itu diberikan.
Kan. 1007 - Pengurapan orang sakit hendaknya jangan diberikan kepada mereka, yang membandel dalam dosa berat yang nyata.
JUDUL VI
TAHBISAN
Kan. 1008 - Dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.
Kan. 1009 - § 1. Tahbisan-tahbisan adalah episkopat, presbiterat dan diakonat.
§ 2. Tahbisan-tahbisan diberikan dengan penumpangan tangan dan doa tahbisan, yang ditetapkan dalarn buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat.
BAB I
PERAYAAN PENAHBISAN DAN PELAYANNYA
Kan. 1010 - Penahbisan hendaknya dirayakan dalam Misa meriah, pada hari Minggu atau hari raya wajib, tetapi atas alasan pastoral juga dapat dilaksanakan pada hari-hari lain, tak terkecuali hari-hari biasa.
Kan. 1011 - § 1. Penahbisan pada umumnya hendaknya dirayakan di gereja katedral; tetapi atas alasan-alasan pastoral dapat juga dirayakan di gereja atau ruang doa lain.
§ 2. Pada penahbisan itu haruslah diundang para klerikus dan umat beriman kristiani lain, agar perayaan itu dihadiri oleh sebanyak mungkin orang.
Kan. 1012 - Pelayan penahbisan suci ialah Uskup yang telah ditahbiskan.
Kan. 1013 - Tiada seorang Uskup pun boleh menahbiskan (consecrare) seseorang menjadi Uskup, kecuali sebelumnya nyata adanya mandat kepausan.
Kan. 1014 - Kecuali ada dispensasi dari Takhta Apostolik, Uskup penahbis utama dalam penahbisan Uskup hendaknya dibantu oleh sekurang-kurangnya dua Uskup penahbis; tetapi sangat layak bahwa bersama mereka semua Uskup yang hadir ikut menahbiskan Uskup terpilih.
Kan. 1015 - § 1. Setiap calon untuk presbiterat dan diakonat hendaknya ditahbiskan oleh Uskupnya sendiri atau dengan surat dimisoria yang legitim darinya.
§ 2. Uskupnya sendiri tersebut, jika tidak terhalang secara wajar, hendaklah menahbiskan sendiri orang-orang bawahannya; tetapi ia tidak dapat secara licit menahbiskan bawahannya dari ritus timur, tanpa indult apostolik.
§ 3. Yang dapat memberi surat dimisoria untuk menerima tahbisan, dapat pula secara pribadi memberikan tahbisan itu, jika ia memiliki meterai Uskup.
Kan. 1016 - Dalam hal penahbisan diakonat, Uskupnya sendiri bagi mereka yang mau masuk klerus sekular ialah Uskup keuskupan dimana calon memiliki domisili, atau Uskup keuskupan dimana calon berketetapan untuk mengabdikan diri; dalam hal penahbisan presbiterat, Uskupnya sendiri bagi klerus sekular ialah Uskup keuskupan dimana calon telah diinkardinasi melalui diakonat.
Kan. 1017 - Uskup, di luar wilayah kewenangannya, hanya dapat memberikan tahbisan dengan izin Uskup diosesan.
Kan. 1018 - § 1. Yang dapat memberikan surat dimisoria bagi para calon sekular ialah:
10 Uskupnya sendiri, sebagaimana disebut dalam kan. 1016;
20 Administrator apostolik, dan juga Administrator diosesan dengan persetujuan kolegium konsultor; Pro-vikaris dan Pro-prefek apostolik dengan persetujuan dewan yang disebut dalam kan. 495, § 2.
§ 2. Administrator diosesan, Pro-vikaris dan Pro-prefek apostolik jangan memberikan surat dimisoria bagi mereka yang telah ditolak untuk maju ke tahbisan oleh Uskup diosesan, atau oleh Vikaris maupun Prefek apostolik.
Kan. 1019 - § 1. Pemimpin tinggi tarekat religius klerikal bertingkat kepausan atau serikat klerikal hidup kerasulan bertingkat kepausan berwenang memberikan surat dimisoria untuk tahbisan diakonat dan presbiterat kepada bawahan-bawahannya yang menurut konstitusi telah diterima secara kekal atau definitif pada tarekat atau serikat itu.
§ 2. Penahbisan semua calon lain dari tarekat atau serikat apapun diatur oleh hukum yang berlaku bagi klerus sekular, dengan dicabut kembali indult manapun yang telah diberikan kepada para Pemimpin.
Kan. 1020 - Jangan diberikan surat dimisoria jika belum diperoleh semua kesaksian serta dokumen-dokumen, yang dituntut oleh hukum menurut norma kan. 1050 dan 1051.
Kan. 1021 - Surat dimisoria dapat dikirimkan kepada Uskup manapun yang memiliki kesatuan dengan Takhta Apostolik, terkecuali hanya kepada Uskup yang berlainan ritus dari ritus si calon, tanpa indult apostolik.
Kan. 1022 - Uskup penahbis, setelah menerima surat dimisoria yang legitim, jangan melangkah lebih lanjut ke penahbisan jika tidak terbukti dengan jelas keaslian surat itu.
Kan. 1023 - Surat dimisoria dapat diberi pembatasan-pembatasan atau dicabut kembali oleh si pemberi atau penggantinya, tetapi sekali diberikan tetap berlaku meskipun hak si pemberi telah terhenti.
BAB II
CALON-CALON TAHBISAN
Kan. 1024 - Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima penahbisan suci secara sah.
Kan. 1025 - § 1. Agar tahbisan presbiterat atau diakonat dapat diberikan secara licit, dituntut bahwa calon, setelah menjalani masa probasi menurut norma hukum, memiliki kualitas-kualitas yang semestinya, menurut penilaian Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, tidak terkena suatu irregularitas dan halangan, dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai norma kan. 1033-1039; selain itu ada dokumen-dokumen yang disebut dalam kan. 1050 dan telah dilakukan penyelidikan yang disebut dalam kan. 1051.
§ 2. Selain itu dituntut agar, menurut penilaian Pemimpin yang berwenang tersebut, ia dinilai bermanfaat bagi pelayanan Gereja.
§ 3. Uskup yang menahbiskan bawahannya sendiri, yang diperuntukkan bagi pelayanan keuskupan lain, harus pasti bahwa calon tahbisan itu akan digabungkan dalam keuskupan itu.
Artikel 1
TUNTUTAN-TUNTUTAN DALAM DIRI CALON TAHBISAN
Kan. 1026 - Untuk ditahbiskan, seseorang harus mempunyai kebebasan yang semestinya; sama sekali tidak dibenarkan memaksa seseorang dengan cara apapun dan atas alasan apapun untuk menerima tahbisan, atau menolak calon yang secara kanonik cakap untuk menerima tahbisan itu.
Kan. 1027 - Para calon diakonat dan presbiterat hendaknya dibina dengan persiapan yang seksama, menurut norma hukum.
Kan. 1028 - Uskup diosesan atau Pemimpin yang berwenang hendaknya mengusahakan agar para calon, sebelum diajukan untuk suatu tahbisan, diajar dengan baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tahbisan itu serta kewajiban-kewajibannya.
Kan. 1029 - Untuk tahbisan-tahbisan itu hendaknya hanya diajukan calon-calon yang menurut penilaian arif Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, memiliki iman yang utuh, terdorong oleh maksud yang benar, mempunyai pengetahuan yang semestinya, mempunyai nama baik, integritas moral serta dilengkapi dengan keutamaan-keutamaan yang teruji dan kualitas lain, baik fisik maupun psikis, yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya.
Kan. 1030 - Hanya atas suatu alasan kanonik, meskipun bersifat tersembunyi, Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang dapat melarang para diakon bawahannya yang diperuntukkan bagi presbiterat, untuk maju ke presbiterat, dengan tetap ada kesempatan rekursus menurut norma hukum.
Kan. 1031 - § 1. Presbiterat jangan diberikan kecuali kepada mereka yang telah mencapai umur genap duapuluh lima tahun dan cukup matang, disamping telah terpenuhi tenggang waktu sekurang-kurangnya enam bulan antara diakonat dan presbiterat; yang diperuntukkan bagi presbiterat hendaknya hanya diizinkan menerima tahbisan diakonat setelah berumur genap dua puluh tiga tahun.
§ 2. Calon diakonat permanen yang tidak beristri jangan diizinkan menerima tahbisan itu sebelum berumur sekurang-kurangnya genap duapuluh lima tahun; diakon yang beristri, hanya sesudah berumur sekurang-kurangnya genap tigapuluh lima tahun, serta dengan persetujuan istrinya.
§ 3. Konferensi para Uskup berhak penuh menentukan norma yang menuntut umur lebih tinggi bagi presbiterat dan diakonat permanen.
§ 4. Dispensasi melebihi satu tahun atas umur yang ditentukan sesuai norma § 1 dan § 2 direservasi bagi Takhta Apostolik.
Kan. 1032 - § 1. Calon presbiterat dapat diajukan untuk diakonat hanya setelah selesai mengikuti kurikulum studi filsafat-teologi tahun kelima.
§ 2. Sesudah selesai mengikuti kurikulum studi, diakon hendaknya ambil bagian dalam reksa pastoral sambil melaksanakan tahbisan diakonatnya selama waktu yang layak, yang harus ditetapkan oleh Uskup atau oleh Pemimpin tinggi yang berwenang, sebelum diajukan untuk tahbisan presbiterat.
§ 3. Calon diakonat permanen jangan diajukan untuk menerima itu jika belum menyelesaikan masa pembinaannya.
Artikel 2
SYARAT-SYARAT UNTUK PENAHBISAN
Kan. 1033 - Hanya orang yang telah menerima sakramen penguatan suci dapat secara licit diajukan untuk tahbisan.
Kan. 1034 - § 1. Calon untuk diakonat atau presbiterat janganlah ditahbiskan jika belum terdaftar di antara para calon dengan suatu ritus liturgis penerimaan oleh otoritas yang disebut dalam kan. 1016 dan 1019, sesudah yang bersangkutan mengajukan permohonan yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanganinya, dan yang telah diterima secara tertulis oleh otoritas itu juga.
§ 2. Tidak diwajibkan untuk memperoleh penerimaan itu, mereka yang tergabung dalam tarekat klerikal dengan kaul.
Kan. 1035 - § 1. Sebelum seseorang diajukan untuk diakonat, baik yang permanen maupun sementara, dituntut bahwa ia telah menerima pelantikan lektor dan akolit, serta telah melaksanakannya selama waktu yang layak.
§ 2. Antara pelantikan akolit dan tahbisan diakonat hendaknya ada tenggang waktu sekurang-kurangnya enam bulan.
Kan. 1036 - Agar calon dapat diajukan untuk tahbisan diakonat atau presbiterat, hendaknya ia menyerahkan kepada Uskupnya sendiri atau kepada Pemimpin tinggi yang berwenang pernyataan yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanganinya, bahwa ia secara sukarela dan secara bebas akan menerima tahbisan suci serta akan menyerahkan diri bagi pelayanan gerejawi untuk selamanya, sambil sekaligus meminta agar ia diizinkan untuk menerima tahbisan.
Kan. 1037 - Calon untuk diakonat permanen yang tidak beristri, demikian pula calon untuk tahbisan presbiterat, jangan diizinkan untuk menerima tahbisan diakonat, kecuali secara publik di hadapan Allah dan Gereja menurut upacara yang sudah ditetapkan, telah menerima kewajiban selibat, atau sudah mengucapkan kaul kekal dalam tarekat religius.
Kan. 1038 - Diakon yang menolak untuk diajukan ke presbiterat tidak dapat dihalangi untuk melaksanakan tahbisan yang telah diterimanya, kecuali terdapat suatu halangan kanonik atau alasan berat lain, yang harus dipertimbangkan menurut penilaian Uskup diosesan atau Pemimpin tinggi yang berwenang.
Kan. 1039 - Semua yang hendak menerima suatu tahbisan, hendaknya melakukan retret selama sekurang-kurangnya lima hari, di tempat dan dengan cara yang ditentukan oleh Ordinaris; Uskup, sebelum melangkah ke penahbisan, sudah diberitahu bahwa para calon telah melakukan retret itu dengan baik.
Artikel 3
IRREGULARITAS DAN HALANGAN-HALANGAN LAIN
Kan. 1040 - Hendaknya ditolak dari tahbisan mereka yang terkena oleh suatu halangan, baik yang bersifat tetap yang disebut irregularitas, maupun yang sederhana; tetapi tak satu halangan pun dikenakan, kecuali yang tercantum dalam kanon-kanon berikut ini.
Kan. 1041 - Irregular untuk menerima tahbisan adalah:
10 yang menderita suatu bentuk kegilaan atau penyakit psikis lain, yang sesudah berkonsultasi dengan para ahli, dinilai tidak mampu untuk melaksanakan pelayanan dengan baik;
20 yang telah melakukan tindak-pidana (delictum) kemurtadan, bidaah atau skisma;
30 yang telah mencoba menikah, juga secara sipil saja, entah karena ia sendiri terhalang untuk melangsungkan nikah karena ikatan perkawinan atau tahbisan suci atau kaul publik kekal kemurnian, entah menikah secara tidak sah dengan wanita yang terikat perkawinan sah atau terikat kaul yang sama;
40 yang telah melakukan pembunuhan secara sengaja atau mengusahakan pengguguran kandungan, dan berhasil, dan semua yang bekerja sama secara positif;
50 yang telah melakukan mutilasi secara berat dan dengan maksud jahat pada diri sendiri atau orang lain, atau telah mencoba bunuh diri;
60 yang telah melakukan suatu perbuatan tahbisan yang dikhususkan bagi mereka yang telah mendapat tahbisan Uskup atau imam, atau yang tidak memilikinya, atau dilarang melak-sanakannya karena hukuman kanonik yang telah dinyatakan atau dijatuhkan.
Kan. 1042 - Terhalang secara sederhana untuk menerima tahbisan adalah:
10 laki-laki yang masih mempunyai istri, kecuali secara legitim diperuntukkan bagi diakonat permanen;
20 yang melaksanakan jabatan atau administrasi yang menurut norma kan. 285 dan 286 dilarang bagi klerikus dan masih harus dipertanggungjawabkan, sampai ia menjadi bebas setelah melepaskan jabatan dan administrasi itu serta memberikan pertanggungjawaban;
30 baptisan baru, kecuali menurut penilaian Ordinaris sudah cukup teruji.
Kan. 1043 - Umat beriman kristiani berkewajiban melaporkan halangan-halangan untuk tahbisan suci, jika mengetahuinya, kepada Ordinaris atau pastor paroki sebelum penahbisan.
Kan. 1044 - § 1. Irregular untuk melaksanakan tahbisan-tahbisan yang telah diterimanya:
10 yang meskipun terkena oleh irregularitas untuk menerima tahbisan, menerimanya secara illegitim;
20 yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam kan.1041, 20, jika tindak pidana itu publik;
30 yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam kan. 1041, 30, 40, 50, 60.
§ 2. Terhalang untuk melaksanakan tahbisan:
10 yang meskipun terkena halangan untuk menerima tahbisan, menerimanya secara illegitim;
20 yang menderita kegilaan atau penyakit psikis lain yang disebut dalam kan. 1041, 10, sampai Ordinaris mengizinkan pelaksana-an tahbisan itu, sesudah berkonsultasi dengan seorang ahli.
Kan. 1045 – Ketidaktahuan akan irregularitas dan halangan tidak membebaskan dari padanya.
Kan. 1046 - Irregularitas dan halangan menjadi berlipat-ganda dari sebab-sebabnya yang berbagai macam, tetapi tidak oleh sebab sama yang berulang-ulang, kecuali mengenai irregularitas yang timbul dari pembunuhan sengaja atau dari pengguguran terencana jika berhasil.
Kan. 1047 - § 1. Dispensasi dari segala irregularitas direservasi hanya bagi Takhta Apostolik, jika fakta yang menjadi dasar irregularitas itu telah dibawa ke forum pengadilan.
§ 2. Bagi Takhta Apostolik itu juga direservasi dispensasi dari irregularitas dan halangan untuk menerima tahbisan berikut ini:
10 irregularitas dari tindak pidana publik yang disebut dalam kan. 1041, 20 dan 30;
20 irregularitas dari tindak pidana, baik publik maupun tersembunyi, yang disebut dalam kan. 1041, 40;
30 dari halangan yang disebut dalam kan. 1042, 10.
§ 3. Bagi Takhta Apostolik juga direservasi dispensasi dari irregularitas untuk melaksanakan tahbisan yang telah diterima, yang disebut dalam kan. 1041, 30, hanya dalam kasus-kasus publik; dan dalam kanon yang sama 40, juga dalam kasus-kasus tersembunyi.
§ 4. Dari irregularitas dan halangan yang tidak direservasi bagi Takhta Suci, Ordinaris dapat membebaskannya.
Kan. 1048 - Dalam kasus-kasus mendesak yang tersembunyi, jika Ordinaris tak dapat dihubungi, atau jika mengenai irregularitas yang dibicarakan dalam kan. 1041, 30 dan 40 Penitensiaria tidak dapat dihubungi, dan ada bahaya kerugian berat atau bahaya bagi nama baik, orang yang terhalang untuk melakukan tahbisan suci karena irregularitas, dapat melakukannya, tetapi dengan tetap ada kewajiban untuk secepat mungkin menghubungi Ordinaris atau Penitensiaria, dengan merahasiakan nama dan lewat bapa pengakuan.
Kan. 1049 - § 1. Dalam permohonan untuk memperoleh dispensasi dari irregularitas dan halangan-halangan, semua irregularitas dan halangan-halangan harus disebut, tetapi dispensasi umum berlaku juga untuk yang tak dikatakan dengan itikad baik, kecuali irregularitas yang disebut dalam kan. 1041, 40, serta lain-lain yang telah diajukan ke pengadilan; namun tidak berlaku bagi irregularitas yang tidak dikatakan dengan itikad buruk.
§ 2. Jika mengenai irregularitas yang timbul dari pembunuhan yang disengaja atau pengguguran kandungan yang disengaja, juga jumlah tindak pidana harus ditegaskan demi sahnya dispensasi.
§ 3. Dispensasi umum dari irregularitas serta halangan untuk menerima tahbisan berlaku bagi semua tahbisan.
Artikel 4
DOKUMEN-DOKUMEN YANG DITUNTUT DAN PENYELIDIKAN
Kan. 1050 - Agar seseorang dapat diajukan untuk menerima tahbisan suci dituntut dokumen-dokumen sebagai berikut:
l0 surat keterangan mengenai studi yang telah ditempuh dengan baik menurut norma kan. 1032;
20 jika mengenai calon tahbisan presbiterat, surat keterangan mengenai tahbisan diakonat yang telah diterimanya;
30 jika mengenai calon tahbisan diakon, surat keterangan baptis dan penguatan, serta telah menerima pelantikan-pelantikan yang disebut dalam kan. 1035; demikian pula surat keterangan mengenai pernyataan yang telah dibuat yang disebut dalam kan. 1036, dan jika mengenai calon diakonat permanen yang beristri, juga surat keterangan mengenai perkawinan yang telah diteguhkan dan persetujuan istrinya.
Kan. 1051 - Untuk penyelidikan tentang kualitas yang dituntut dalam diri calon tahbisan, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan berikut:
l0 hendaknya ada surat keterangan dari rektor seminari atau rumah pembinaan mengenai kualitas yang dituntut untuk tahbisan yang akan diterima, yakni ajaran yang benar dari si calon, kesalehan yang sejati, moral yang baik, kecakapan untuk melaksanakan pelayanan; demikian pula sesudah diadakan pemeriksaan seperlunya, surat keterangan tentang keadaan kesehatan fisik dan psikis;
20 Uskup diosesan atau Pemimpin tinggi, agar dapat melakukan penyelidikan dengan baik, dapat menggunakan sarana-sarana lain yang ia nilai berguna menurut keadaan waktu dan tempat, seperti surat-surat kesaksian, penerbitan atau informasi-informasi lain.
Kan. 1052 - § 1. Agar Uskup yang dengan haknya sendiri memberikan penahbisan dapat melaksanakannya, haruslah baginya pasti bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam kan. 1050 itu benar-benar ada, dan sesudah diadakan penyelidikan menurut norma-norma hukum, yakin bahwa kecakapan calon telah teruji dengan argumen-argumen yang positif.
§ 2. Agar Uskup dapat melangkah lebih lanjut untuk menahbiskan bawahan orang lain, cukuplah bila surat dimisoria menyatakan bahwa dokumen-dokumen itu ada, bahwa penyelidikan telah dilakukan menurut norma hukum, dan bahwa ada kepastian mengenai kecakapan calon; jika calon itu adalah anggota suatu tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, surat dimisoria itu harus juga menerangkan bahwa calon itu telah diterima secara definitif dalam tarekat atau serikat, serta adalah bawahan Pemimpin yang memberikan surat.
§ 3. Meskipun dalam semua hal itu tidak ada hambatan, jika atas alasan-alasan tertentu Uskup masih ragu-ragu apakah calon cakap untuk menerima tahbisan, janganlah ia menahbiskannya.
BAB III
PENCATATAN DAN SURAT KETERANGAN
MENGENAI PENAHBISAN YANG TELAH DILAKSANAKAN
Kan. 1053 - § 1. Seselesainya tahbisan, nama tiap-tiap orang yang ditahbiskan dan pelayan yang menahbiskannya, tempat dan tanggal penahbisan, hendaknya dicatat dalam buku khusus yang harus disimpan dengan cermat pada kuria tempat penahbisan, dan semua dokumen tiap-tiap penahbisan hendaknya dipelihara secara cermat.
§ 2. Kepada setiap orang yang ditahbiskan, Uskup penahbis hendaknya memberikan surat keterangan otentik mengenai penahbisan yang telah mereka terima; jika mereka ditahbiskan oleh Uskup luar dengan surat dimisoria, keterangan itu hendaknya disampaikan kepada Ordinarisnya sendiri untuk dibuat catatan penahbisan dalam buku khusus yang harus disimpan dalam arsip.
Kan. 1054 - Ordinaris wilayah, jika mengenai klerus sekular, atau Pemimpin tinggi yang berwenang, jika mengenai bawahannya sendiri, hendaknya mengirim berita mengenai setiap penahbisan yang telah dilaksanakan kepada pastor paroki tempat mereka dibaptis, agar hal itu dicatat dalam buku baptis menurut norma kan. 535, § 2.
JUDUL VII
PERKAWINAN
Kan. 1055 - § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
§ 2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Kan. 1056 - Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Kan. 1057 - § 1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
§ 2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan-nya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Kan. 1058 - Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang hukum.
Kan. 1059 - Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
Kan. 1060 - Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya.
Kan. 1061 - § 1. Perkawinan sah antara orang-orang yang dibaptis disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum, bila suami-istri telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara manusiawi yang pada sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menurut kodratnya terarahkan, dan dengannya suami-istri menjadi satu daging.
§ 2. Setelah perkawinan dirayakan, bila suami istri tinggal ber-sama, diandaikan adanya persetubuhan, sampai terbukti kebalikannya.
§ 3. Perkawinan yang tidak sah disebut putatif bilamana dirayakan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak, sampai kedua pihak menjadi pasti mengenai nulitasnya itu.
Kan. 1062 - § 1. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua belah pihak, yang disebut pertunangan, diatur menurut hukum parti-kular yang ditetapkan Konferensi para Uskup dengan mempertim-bangkan kebiasaan serta hukum sipil, bila itu ada.
§ 2. Dari janji untuk menikah tidak timbul hak pengaduan untuk menuntut peneguhan perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk menuntut ganti rugi, bila ada.
BAB I
REKSA PASTORAL DAN HAL-HAL YANG HARUS
MENDAHULUI PERAYAAN PERKAWINAN
Kan. 1063 - Para gembala jiwa-jiwa wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masing-masing memberikan pendampingan kepada umat beriman kristiani, supaya status perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan itu terutama harus diberikan:
10 dengan khotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda serta dewasa, juga dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman kristiani mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani dan tugas suami-istri serta orangtua kristiani;
20 dengan persiapan pribadi untuk memasuki perkawinan, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas dari statusnya yang baru;
30 dengan perayaan liturgi perkawinan yang membawa hasil agar dengan itu memancarlah bahwa suami-istri menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya;
40 dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh.
Kan. 1064 - Ordinaris wilayah harus mengusahakan agar pendam-pingan tersebut diatur dengan semestinya, bila ia memandang baik juga dengan mendengarkan nasihat dari orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang teruji karena pengalaman dan keahliannya.
Kan. 1065 - § 1. Orang-orang katolik yang belum menerima sakramen penguatan, hendaklah menerimanya sebelum diizinkan menikah, bila hal itu dapat dilaksanakan tanpa keberatan besar.
§ 2. Agar dapat menerima sakramen perkawinan dengan membawa hasil, sangatlah dianjurkan agar mempelai menerima sakramen tobat dan sakramen Ekaristi mahakudus.
Kan. 1066 - Sebelum perkawinan dirayakan, haruslah pasti bahwa tak satu hal pun menghalangi perayaannya yang sah dan licit.
Kan. 1067 - Konferensi para Uskup hendaknya menentukan norma-norma mengenai penyelidikan calon mempelai, serta mengenai pengumuman nikah atau cara-cara lain yang tepat untuk melakukan penyelidikan yang perlu sebelum perkawinan; setelah menepati hal-hal tersebut secara seksama, pastor paroki dapat melangkah lebih lanjut untuk meneguhkan perkawinan.
Kan. 1068 - Dalam bahaya maut, bilamana tidak dapat diperoleh bukti-bukti lain, cukuplah, kecuali ada indikasi sebaliknya, pernyataan calon mempelai, jika perlu juga dibawah sumpah, bahwa mereka telah dibaptis dan tidak terkena suatu halangan.
Kan. 1069 - Semua orang beriman wajib melaporkan halangan-halangan yang mereka ketahui kepada pastor paroki atau Ordinaris wilayah sebelum perayaan perkawinan.
Kan. 1070 - Bila orang lain, dan bukan pastor paroki yang sebenarnya bertugas meneguhkan perkawinan, melakukan penyelidikan tersebut, hendaknya ia selekas mungkin memberitahukan hasil penyelidikan itu dengan dokumen otentik kepada pastor paroki.
Kan. 1071 - § 1. Kecuali dalam kasus mendesak, tanpa izin Ordinaris wilayah, janganlah seseorang meneguhkan:
10 perkawinan orang-orang pengembara;
20 perkawinan yang menurut norma undang-undang sipil tidak dapat diakui atau tidak dapat dirayakan;
30 perkawinan orang yang terikat kewajiban-kewajiban kodrati terhadap pihak lain atau terhadap anak-anak yang lahir dari hubungan sebelumnya;
40 perkawinan orang yang telah meninggalkan iman katolik secara terbuka;
50 perkawinan orang yang terkena censura;
60 perkawinan anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk akal tidak disetujui oleh orangtuanya;
70 perkawinan yang akan dilangsungkan dengan perantaraan orang yang dikuasakan, yang disebut dalam kan. 1105.
§ 2. Ordinaris wilayah jangan memberi izin untuk meneguhkan perkawinan orang yang secara terbuka meninggalkan iman katolik, kecuali telah diindahkan norma yang disebut dalam kan. 1125, dengan penyesuaian seperlunya.
Kan. 1072 - Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkan kaum muda dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima.
BAB II
HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN
PADA UMUMNYA
Kan. 1073 - Halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah.
Kan. 1074 - Halangan dianggap publik, bila dapat dibuktikan dalam tata-lahir; bila tidak, tersembunyi.
Kan. 1075 - § 1. Hanya otoritas tertinggi Gereja mempunyai kewenangan untuk menyatakan secara otentik kapan hukum ilahi melarang atau menggagalkan perkawinan.
§ 2. Juga hanya otoritas tertinggi itu berhak menetapkan halangan-halangan lain bagi orang-orang yang dibaptis.
Kan. 1076 - Kebiasaan yang memasukkan halangan baru atau yang berlawanan dengan halangan-halangan yang ada, ditolak.
Kan. 1077 - § 1. Ordinaris wilayah dapat melarang perkawinan dalam kasus khusus bagi bawahannya sendiri di mana pun mereka berada serta bagi semua orang yang sedang berada di wilayahnya, tetapi hanya untuk sementara, atas alasan yang berat dan selama alasan itu ada.
§ 2. Hanya otoritas tertinggi Gereja dapat menambahkan pada suatu larangan klausul yang menggagalkan.
Kan. 1078 - § 1. Ordinaris wilayah dapat memberikan dispensasi kepada bawahannya sendiri di mana pun mereka berada dan kepada semua orang yang sedang berada di wilayahnya, dari semua halangan yang bersifat gerejawi, kecuali halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik.
§ 2. Halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik ialah:
10 halangan yang timbul dari tahbisan suci atau dari kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius bertingkat kepausan;
20 halangan kejahatan yang disebut dalam kan. 1090.
§ 3. Tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua.
Kan. 1079 - § 1. Bila bahaya mati mendesak, Ordinaris wilayah dapat memberikan dispensasi, baik dari tata peneguhan yang seharusnya ditepati dalam perayaan perkawinan, maupun dari semua dan setiap halangan nikah gerejawi, entah yang publik entah yang tersembunyi, kepada bawahannya sendiri di mana pun mereka berada, dan kepada semua orang yang sedang berada di wilayahnya, terkecuali halangan yang timbul dari tahbisan presbiterat suci.
§ 2. Dalam keadaan yang sama sebagaimana disebut dalam § 1, tetapi hanya dalam kasus dimana Ordinaris wilayah tidak dapat dihubungi, kuasa untuk memberikan dispensasi tersebut dimiliki baik oleh pastor paroki, pelayan suci yang mendapat delegasi secara benar, maupun oleh imam atau diakon yang meneguhkan perkawinan menurut norma kan. 1116, § 2.
§ 3. Dalam bahaya maut bapa pengakuan memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi dari halangan-halangan tersembunyi untuk tata-batin, entah didalam entah diluar penerimaan sakramen pengakuan.
§ 4. Dalam kasus yang disebut § 2, Ordinaris wilayah dianggap tidak dapat dihubungi, bila hal itu hanya dapat terjadi lewat telegram atau telepon.
Kan. 1080 - § 1. Setiap kali halangan diketahui sewaktu segala sesuatu sudah siap untuk perayaan perkawinan dan perkawinan tidak dapat ditangguhkan sampai diperoleh dispensasi dari otoritas yang berwenang tanpa bahaya kerugian besar yang mungkin timbul, maka Ordinaris wilayah memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi dari semua halangan terkecuali yang disebut dalam kan. 1078, § 2, 10; dan asalkan kasusnya tersembunyi, kuasa itu juga dimiliki oleh semua yang disebut dalam kan. 1079, §§ 2-3, dengan menepati syarat-syarat yang ditentukan di situ.
§ 2. Kuasa itu berlaku juga untuk mengesahkan perkawinan bila ada bahaya yang sama kalau tertunda, serta tiada waktu untuk menghubungi Takhta Apostolik atau Ordinaris wilayah mengenai halangan-halangan yang dapat didispensasi olehnya.
Kan. 1081 - Pastor paroki atau imam atau diakon yang disebut dalam kan. 1079, § 2, hendaknya segera memberitahu Ordinaris wilayah mengenai dispensasi yang diberikan untuk tata-lahir; dan hendaknya hal itu dicatat di dalam buku perkawinan.
Kan. 1082 - Kecuali reskrip Penitensiaria menyatakan lain, dispensasi yang diberikan dalam tata-batin non-sakramental dari halangan nikah tersembunyi, hendaknya dicatat dalam buku yang harus disimpan dalam arsip rahasia kuria, dan untuk tata-lahir tidak dibutuhkan dispensasi lain, bila kemudian halangan yang tersembunyi itu menjadi publik.
BAB III
HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN
PADA KHUSUSNYA
Kan. 1083 - § 1. Laki-laki sebelum berumur genap enambelas tahun, dan perempuan sebelum berumur genap empatbelas tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah.
§ 2. Konferensi para Uskup berwenang penuh menetapkan usia yang lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.
Kan. 1084 - § 1. Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan dan bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan, entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri.
§ 2. Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum entah keraguan fakta, perkawinan tidak boleh dihalangi dan, sementara dalam keraguan, perkawinan tidak boleh dinyatakan tidak ada (nullum).
§ 3. Sterilitas tidak melarang dan tidak menggagalkan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1098.
Kan. 1085 - § 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum.
§ 2. Meskipun perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputus atas alasan apapun, namun karena itu saja seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sebelum ada kejelasan secara legitim dan pasti mengenai nulitas dan pemutusannya.
Kan. 1086 - § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
§ 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
§ 3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis.
Kan. 1087 - Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Kan. 1088 - Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius.
Kan. 1089 - Antara laki-laki dan perempuan yang diculiknya atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu.
Kan. 1090 - § 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
§ 2. Juga tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan antara mereka yang dengan kerja sama fisik atau moril melakukan pembunuhan terhadap salah satu dari pasangan itu.
Kan. 1091 - § 1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural.
§ 2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat.
§ 3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.
§ 4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.
Kan. 1092 - Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun.
Kan. 1093 - Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak-sah setelah terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang diketahui umum atau publik, dan menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita, dan sebaliknya.
Kan. 1094 - Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.
BAB IV
KESEPAKATAN NIKAH
Kan. 1095 - Tidak mampu melangsungkan perkawinan:
10 yang kekurangan penggunaan akal-budi yang memadai;
20 yang menderita cacat berat dalam kemampuan menegaskan penilaian mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbal-balik;
30 yang karena alasan-alasan psikis tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Kan. 1096 - § 1. Agar dapat ada kesepakatan nikah, perlulah para mempelai sekurang-kurangnya mengetahui bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sama seksual.
§ 2. Ketidak-tahuan itu setelah pubertas tidak diandaikan.
Kan. 1097 - § 1. Kekeliruan mengenai diri orang (error in persona) membuat perkawinan tidak sah.
§ 2. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error in qualitate personae), meskipun memberikan alasan kontrak, tidak membuat perkawinan tidak sah, kecuali kualitas itu merupakan tujuan langsung dan utama.
Kan. 1098 - Orang yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai suatu kualitas dari pihak lain yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup perkawinan, menikah dengan tidak sah.
Kan. 1099 - Kekeliruan mengenai unitas atau indissolubilitas atau mengenai martabat sakramental perkawinan, asalkan tidak menentukan kemauan, tidak meniadakan kesepakatan perkawinan.
Kan. 1100 – Pengetahuan atau pendapat bahwa perkawinan tidak sah tidak perlu meniadakan kesepakatan perkawinan.
Kan. 1101 - § 1. Kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata atau isyarat yang dinyatakan dalam merayakan perkawinan.
§ 2. Tetapi bila salah satu atau kedua pihak dengan tindakan positif kemauannya mengecualikan perkawinan itu sendiri, atau salah satu unsur hakiki perkawinan, atau salah satu proprietas perkawinan yang hakiki, ia melangsungkan perkawinan dengan tidak sah.
Kan. 1102 - § 1. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara sah dengan syarat mengenai sesuatu yang akan datang.
§ 2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan syarat mengenai sesuatu yang lampau atau mengenai sesuatu yang sekarang, adalah sah atau tidak sah tergantung dari terpenuhi atau tidaknya hal yang dijadikan syarat itu.
§ 3. Namun, syarat yang disebut dalam § 2 itu tidak dapat dibubuhkan secara licit, kecuali dengan izin Ordinaris wilayah yang diberikan secara tertulis.
Kan. 1103 - Tidak sahlah perkawinan yang dilangsungkan karena paksaan atau ketakutan berat yang dikenakan dari luar, meskipun tidak dengan sengaja, sehingga untuk melepaskan diri dari ketakutan itu seseorang terpaksa memilih perkawinan.
Kan. 1104 - § 1. Untuk melangsungkan perkawinan secara sah perlulah mempelai hadir secara bersamaan, sendiri atau diwakili oleh orang yang dikuasakan.
§ 2. Para mempelai hendaknya menyatakan kesepakatan nikahnya dengan kata-kata; tetapi jika tidak dapat berbicara, dengan isyarat-isyarat yang senilai.
Kan. 1105 - § 1. Agar perkawinan dengan perantaraan orang yang dikuasakan dapat dilaksanakan secara sah, dituntut:
10 supaya ada mandat khusus untuk melangsungkan perkawinan dengan orang tertentu;
20 supaya orang yang dikuasakan itu ditunjuk oleh pemberi mandat itu sendiri, dan menunaikan tugasnya secara pribadi.
§ 2 Mandat itu, demi sahnya, haruslah ditandatangani oleh pemberi mandat, dan selain itu oleh pastor paroki atau Ordinaris wilayah tempat mandat dibuat, atau oleh imam yang didelegasikan oleh salah satu dari mereka, atau sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi; atau dibuat dengan dokumen otentik menurut norma hukum sipil.
§ 3. Jika pemberi mandat tidak dapat menulis, hendaknya hal itu dicatat dalam surat mandat itu & hendaknya ditambahkan seorang saksi lain yg juga menandatangani surat itu; jika tidak, mandat itu tidak sah.
§ 4. Jika pemberi mandat menarik kembali mandatnya atau menjadi gila sebelum orang yang dikuasakannya melangsungkan perkawinan atas namanya, perkawinan tidaklah sah, meskipun orang yang dikuasakan atau pihak lain yang melangsungkan perkawinan itu tidak mengetahuinya.
Kan. 1106 - Perkawinan dapat dilangsungkan lewat penerjemah; tetapi pastor paroki jangan meneguhkannya, kecuali ia merasa pasti bahwa penerjemah itu dapat dipercaya.
Kan. 1107 - Meskipun perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sah karena halangan atau karena cacat sehubungan dengan tata-peneguhannya, kesepakatan yang telah dinyatakan diandaikan berlangsung terus, sampai jelas ditarik kembali.
BAB V
TATA PENEGUHAN PERAYAAN PERKAWINAN
Kan. 1108 - § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang dinyatakan dalam kanon-kanon di bawah ini, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127, § 1-2.
§ 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.
Kan. 1109 - Bila tidak dijatuhi putusan atau dekret ekskomunikasi, interdik atau suspensi dari jabatan, atau dinyatakan demikian, Ordinaris wilayah dan pastor paroki, karena jabatannya, di dalam batas-batas wilayahnya, meneguhkan dengan sah tidak hanya perkawinan orang-orang bawahannya, melainkan juga perkawinan orang-orang bukan bawahannya, asalkan salah satu pihak adalah dari ritus latin.
Kan. 1110 - Ordinaris dan pastor paroki personal, karena jabatannya meneguhkan perkawinan dengan sah, hanya bila sekurang-kurangnya salah seorang dari kedua calon berada dalam batas-batas kewenangannya.
Kan. 1111 - § 1. Ordinaris wilayah dan pastor paroki, selama mengemban jabatan dengan sah, dapat mendelegasikan kewenangan meneguhkan perkawinan dalam batas-batas wilayahnya, juga secara umum, kepada imam-imam dan diakon-diakon.
§ 2. Agar delegasi kewenangan meneguhkan perkawinan itu sah, haruslah secara jelas diberikan kepada pribadi-pribadi tertentu; jika mengenai delegasi khusus, haruslah diberikan untuk perkawinan tertentu; namun jika mengenai delegasi umum, haruslah diberikan secara tertulis.
Kan. 1112 - § 1. Dimana tiada imam dan diakon, Uskup diosesan dapat memberi delegasi kepada orang-orang awam untuk meneguhkan perkawinan, setelah ada dukungan dari Konferensi para Uskup dan diperoleh izin dari Takhta Suci.
§ 2. Hendaknya dipilih awam yang cakap, mampu memberikan pengajaran kepada calon mempelai dan yang cakap untuk melaksanakan liturgi perkawinan dengan baik.
Kan. 1113 - Sebelum diberikan delegasi khusus, hendaklah telah dibereskan segala sesuatu yang ditentukan oleh hukum untuk membuktikan status bebas.
Kan. 1114 - Peneguh perkawinan bertindak tidak licit bila baginya belum ada kepastian menurut norma hukum mengenai status bebas calon mempelai, dan sedapat mungkin dengan izin pastor paroki, setiap kali ia meneguhkan perkawinan berdasarkan delegasi umum.
Kan. 1115 - Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasi-domisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.
Kan. 1116 - § 1. Jika peneguh yang berwenang menurut norma hukum tidak dapat ada atau tidak dapat dikunjungi tanpa kesulitan besar, mereka yang bermaksud melangsungkan perkawinan yang sejati dapat menikah secara sah dan licit di hadapan saksi-saksi saja:
l0 dalam bahaya maut;
20 di luar bahaya maut, asalkan diperkirakan dengan arif bahwa keadaan itu akan berlangsung selama satu bulan.
§ 2. Dalam kedua kasus tersebut, jika ada imam atau diakon lain yang dapat hadir, haruslah ia dipanggil dan bersama para saksi menghadiri perayaan perkawinan, tanpa mengurangi sahnya perkawinan di hadapan dua orang saksi saja.
Kan. 1117 – Tata peneguhan yang ditetapkan di atas harus ditepati, jika sekurang-kurangnya salah seorang dari mempelai telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.
Kan. 1118 - § 1. Perkawinan antara orang-orang katolik atau antara pihak katolik dan pihak yang dibaptis bukan katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.
§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan perkawinan dirayakan di tempat lain yang layak.
§ 3. Perkawinan antara pihak katolik dan pihak yang tidak dibaptis dapat dirayakan di gereja atau di tempat lain yang layak.
Kan. 1119 - Diluar keadaan mendesak, dalam merayakan perkawinan hendaknya ditepati ritus yang ditentukan dalam buku-buku liturgi yang disetujui oleh Gereja atau diterima oleh kebiasaan yang legitim.
Kan. 1120 - Konferensi para Uskup dapat menyusun ritus perkawinan sendiri, yang harus diperiksa oleh Takhta Suci; tata perayaan yang selaras dengan kebiasaan tempat dan bangsa itu disesuaikan dengan semangat kristiani, tetapi dengan mempertahankan ketentuan bahwa peneguh perkawinan hadir, meminta pernyataan kesepakatan mempelai dan menerima itu.
Kan. 1121 - § 1. Seselesai perayaan perkawinan, pastor paroki tempat perayaan atau yang menggantikannya, meskipun mereka tidak meneguhkan perkawinan itu, hendaknya secepat mungkin mencatat dalam buku perkawinan nama-nama mempelai, peneguh serta para saksi, tempat dan hari perayaan perkawinan, menurut cara yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup atau oleh Uskup diosesan.
§ 2. Setiap kali perkawinan dilangsungkan menurut ketentuan kan. 1116, imam atau diakon yang menghadiri perkawinan itu, atau kalau tidak, para saksi, diwajibkan bersama dengan para mempelai untuk secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dilangsungkan itu kepada pastor paroki atau Ordinaris wilayah.
§ 3. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak katolik, yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.
Kan. 1122 - § 1. Perkawinan yang telah dilangsungkan hendaknya juga dicatat dalam buku baptis, tempat baptis pasangan itu dicatat.
§ 2. Jika pasangan melangsungkan perkawinan tidak di paroki tempat ia dibaptis, pastor paroki dari tempat perayaan hendaknya secepat mungkin mengirim berita tentang perkawinan yang dilangsungkan kepada pastor paroki tempat orang itu dibaptis.
Kan. 1123 - Setiap kali perkawinan disahkan untuk tata-lahir, atau dinyatakan tidak sah, atau diputus secara legitim selain oleh kematian, pastor paroki tempat perayaan perkawinan harus diberitahu, agar dibuat catatan semestinya dalam buku perkawinan dan baptis.
BAB VI
PERKAWINAN CAMPUR
Kan. 1124 - Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Kan. 1125 - Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Kan. 1126 - Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.
Kan. 1127 - § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108; tetapi jikalau pihak katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.
§ 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
§ 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.
Kan. 1128 - Para Ordinaris wilayah serta gembala jiwa-jiwa lain hendaknya mengusahakan agar pasangan yang katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tidak kekurangan bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, serta hendaknya mereka menolong pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.
Kan. 1129 - Ketentuan-ketentuan kan. 1127 dan 1128 harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda agama, yang disebut dalam kan. 1086, § 1.
BAB VII
MERAYAKAN PERKAWINAN SECARA RAHASIA
Kan. 1130 - Atas alasan yang berat dan mendesak Ordinaris wilayah dapat mengizinkan agar perkawinan dirayakan secara rahasia.
Kan. 1131 - Izin merayakan perkawinan secara rahasia membawa-serta:
10 bahwa penyelidikan yang harus diadakan sebelum perkawinan dilaksanakan secara rahasia;
20 bahwa kerahasiaan perkawinan yang telah dirayakan dijaga oleh Ordinaris wilayah, peneguh, para saksi dan pasangan sendiri.
Kan. 1132 - Kewajiban menjaga rahasia yang disebut kan. 1131, 20 dari pihak Ordinaris wilayah terhenti jika dengan dipertahankannya rahasia tersebut timbul bahaya sandungan berat atau ketidakadilan terhadap kesucian perkawinan, dan itu hendaknya diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan sebelum perayaan perkawinan.
Kan. 1133 - Perkawinan rahasia yang sudah dirayakan hendaknya dicatat hanya dalam buku catatan khusus, yang harus disimpan dalam arsip rahasia kuria.
BAB VIII
EFEK PERKAWINAN
Kan. 1134 - Dari perkawinan sah timbul ikatan antara pasangan, yang dari kodratnya tetap dan eksklusif; selain itu dalam perkawinan kristiani pasangan, dengan sakramen khusus ini, diperkuat dan bagaikan dibaktikan (consecrare) untuk tugas-tugas dan martabat statusnya.
Kan. 1135 - Kedua suami-istri memiliki kewajiban dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan.
Kan. 1136 - Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.
Kan. 1137 - Adalah legitim anak yang dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif.
Kan. 1138 - § 1. Ayah ialah orang yang ditunjuk oleh perkawinan yang sah, kecuali bila kebalikannya dibuktikan dengan argumen-argumen yang jelas.
§ 2. Diandaikan legitim anak yang lahir sekurang-kurangnya sesudah 180 hari dari hari perkawinan dirayakan, atau dalam 300 hari sejak hidup perkawinan diputuskan.
Kan. 1139 - Anak yang tidak legitim dilegitimasi melalui perka-winan orangtuanya yang menyusul, entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.
Kan. 1140 - Mengenai efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan dengan anak-anak legitim, kecuali dalam hukum secara jelas dinyatakan lain.
BAB IX
PERPISAHAN PASANGAN
Artikel 1
PEMUTUSAN IKATAN
Kan. 1141 - Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat di-putus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.
Kan. 1142 - Perkawinan non-consummatum antara orang-orang yang telah dibaptis atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua pihak atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.
Kan. 1143 - § 1. Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tak dibaptis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman pihak yang telah menerima baptis, oleh kenyataan bahwa pihak yang telah dibaptis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan pihak yang tak dibaptis pergi.
§ 2. Pihak tak dibaptis dianggap pergi, jika ia tidak mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis atau tidak mau hidup bersama dengan damai tanpa menghina Pencipta, kecuali orang itu setelah baptis yang telah diterimanya memberi alasan wajar kepadanya untuk pergi.
Kan. 1144 - § 1. Agar pihak yang dibaptis dapat melangsungkan perkawinan baru dengan sah, pihak yang tak dibaptis selalu harus diinterpelasi:
10 apakah ia sendiri mau menerima baptis;
20 apakah sekurang-kurangnya ia mau hidup bersama dalam damai dengan pihak yang dibaptis tanpa menghina Pencipta.
§ 2. Interpelasi itu harus terjadi sesudah baptis; tetapi Ordinaris wilayah, atas alasan yang berat, dapat mengizinkan untuk melakukan interpelasi sebelum baptis; bahkan dapat memberikan dispensasi dari interpelasi, entah sebelum atau sesudah baptis, asalkan pasti sekurang-kurangnya dengan cara singkat dan luar pengadilan, bahwa interpelasi tidak dapat dilakukan atau tidak akan ada gunanya.
Kan. 1145 - § 1. Interpelasi hendaklah pada umumnya dilakukan atas otoritas Ordinaris wilayah dari pihak yang bertobat; kepada pihak yang lain, Ordinaris itu dapat memberikan tenggang waktu untuk menjawab, jika ia memintanya, tetapi dengan peringatan bahwa jika tenggang waktu itu lewat tanpa dimanfaatkan, maka sikap diam itu dianggap sebagai jawaban negatif.
§ 2. Juga interpelasi yang dilakukan secara pribadi oleh pihak yang bertobat sendiri adalah valid, bahkan licit, jika bentuk yang ditetapkan di atas tidak dapat ditepati.
§ 3. Dalam kedua kasus tersebut di atas haruslah ada kepastian secara legitim dalam tata-lahir, baik mengenai interpelasi yang telah dilakukan maupun mengenai hasilnya.
Kan. 1146 - Pihak yang dibaptis mempunyai hak untuk melang-sungkan perkawinan baru dengan pihak katolik:
10 Jika pihak yang lain menjawab negatif terhadap interpelasi, atau secara legitim interpelasi tidak dilakukan;
20 jika pihak tak dibaptis, entah sudah diinterpelasi entah tidak, pada mulanya bertahan dalam hidup bersama dalam damai tanpa menghina Pencipta, kemudian tanpa alasan wajar pergi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1144 dan 1145.
Kan. 1147 - Namun Ordinaris wilayah, atas alasan berat, dapat mengizinkan bahwa pihak dibaptis, yang menggunakan privilegium paulinum, melangsungkan perkawinan dengan pihak tak katolik, entah baptis entah tak dibaptis, dengan tetap memperhatikan juga ketentuan-ketentuan kanon mengenai perkawinan campur.
Kan. 1148 - § 1. Seorang tak baptis yang mempunyai lebih dari satu istri tak baptis secara serentak, setelah menerima baptis dalam Gereja katolik, jika berat baginya untuk tetap hidup bersama dengan yang pertama dari istri-istri itu, dapat mempertahankan satu dari mereka, sedangkan yang lain dilepaskan. Hal yang sama berlaku bagi perempuan tak baptis, yang mempunyai lebih dari satu suami tak baptis secara serentak.
§ 2. Dalam kasus-kasus yang disebut § 1, sesudah menerima baptis, perkawinan haruslah dilangsungkan dengan tata peneguhan yang legitim, jika perlu juga dengan memenuhi ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan campur serta ketentuan lain yang menurut hukum perlu ditepati.
§ 3. Ordinaris wilayah, dengan memperhatikan keadaan moral, sosial, ekonomi setempat serta orang-orangnya, hendaknya mengusaha-kan agar cukup terjamin keperluan istri pertama serta istri-istri lain yang dilepaskan, menurut ukuran keadilan, cintakasih kristiani dan kewajaran kodrati.
Kan. 1149 - Seorang tak baptis, yang setelah menerima baptis dalam Gereja katolik, tidak dapat memulihkan kehidupan bersama dengan pasangan karena penahanan atau penganiayaan, dapat melangsungkan perkawinan lain, meskipun pihak yang lain sementara itu sudah dibaptis, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1141.
Kan. 1150 - Dalam keraguan, privilegi iman memperoleh perlindungan hukum.
Artikel 2
BERPISAH DENGAN TETAP ADANYA IKATAN PERKAWINAN
Kan. 1151 - Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim yang membebaskan mereka.
Kan. 1152 - § 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui perzinahan itu atau menyebab-kannya atau ia sendiri juga berzinah.
§ 2. Dianggap sebagai pengampunan diam-diam jika pasangan yang tak bersalah, setelah mengetahui perzinahan itu, tetap hidup bersama secara bebas dengan sikap sebagai seorang pasangan; hal itu diandaikan jika ia meneruskan hidup bersama sebagai suami-istri selama enam bulan, tanpa membuat rekursus pada otoritas gerejawi atau sipil.
§ 3. Jika pasangan yang tak bersalah dari kemauannya sendiri memutus kehidupan bersama perkawinan, hendaknya ia dalam waktu enam bulan mengajukan alasan perpisahan itu kepada otoritas gerejawi yang berwenang; otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki segala sesuatunya dan mempertimbangkan apakah pasangan yang tak bersalah itu dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memper-panjang perpisahan untuk seterusnya.
Kan. 1153 - § 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan.
§ 2. Dalam semua kasus itu, bila alasan berpisah sudah berhenti, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.
Kan. 1154 - Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.
Kan. 1155 - Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi; dalam hal demikian ia melepaskan haknya untuk berpisah.
BAB X
KONVALIDASI PERKAWINAN
Artikel 1
KONVALIDASI BIASA (CONVALIDATIO SIMPLEX)
Kan. 1156 - § 1. Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
§ 2. Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.
Kan. 1157 - Pembaruan kesepakatan itu harus merupakan suatu tindakan kehendak baru terhadap perkawinan, yang oleh pihak yang memperbarui diketahui atau dikira sebagai tidak sah sejak semula.
Kan. 1158 - § 1. Jika halangan itu publik, kesepakatan harus diperbarui oleh kedua pihak dalam tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.
§ 2. Jika halangan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah bahwa kesepakatan diperbarui secara pribadi dan rahasia, dan itu oleh pihak yang sadar akan adanya halangan, asalkan pihak yang lain masih bertahan dalam kesepakatan yang pernah dinyatakannya, atau oleh kedua pihak, jika halangan itu diketahui oleh keduanya.
Kan. 1159 - § 1. Perkawinan yang tidak sah karena cacat kesepa-katannya, menjadi sah jika pihak yang tidak sepakat sekarang telah memberikannya, asalkan kesepakatan yang diberikan oleh pihak lain masih berlangsung.
§ 2. Jika cacat kesepakatan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah kalau pihak yang tidak memberikan kesepakatan itu secara pribadi dan rahasia menyatakan kesepakatannya.
§ 3. Jika cacat kesepakatan itu dapat dibuktikan, perlulah bahwa kesepakatan itu dinyatakan dalam tata peneguhan kanonik.
Kan. 1160 - Perkawinan yang tidak sah karena cacat tata pene-guhannya, agar menjadi sah haruslah dilangsungkan kembali dengan tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.
Artikel 2
PENYEMBUHAN PADA AKAR (SANATIO IN RADICE)
Kan. 1161 - § 1. Penyembuhan pada akar suatu perkawinan yang tidak sah ialah konvalidasi perkawinan itu, tanpa pembaruan kesepakatan, yang diberikan oleh otoritas yang berwenang; hal itu mencakup dispensasi dari halangan, jika ada, dan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, jika hal itu dulu tidak ditepati, dan juga daya surut efek kanonik ke masa lampau.
§ 2. Konvalidasi terjadi sejak saat kemurahan itu diberikan; sedangkan daya surut dihitung sejak saat perayaan perkawinan, kecuali bila secara jelas dinyatakan lain.
§ 3. Penyembuhan pada akar jangan diberikan, kecuali besar kemungkinannya bahwa pihak-pihak yang bersangkutan mau bertekun dalam hidup perkawinan.
Kan. 1162 - § 1. Jika pada salah satu atau kedua pihak tidak ada kesepakatan, perkawinan tidak dapat disembuhkan pada akarnya, entah kesepakatan itu sejak semula tidak ada, ataupun pada permulaan ada tetapi kemudian ditarik kembali.
§ 2. Jika kesepakatan semula tidak ada tetapi kemudian di-berikan, penyembuhan dapat diberikan sejak saat diberikan kesepakatan itu.
Kan. 1163 - § 1. Perkawinan yang tidak sah karena halangan atau cacat tata peneguhannya yang legitim, dapat disembuhkan asalkan kesepakatan kedua pihak masih berlangsung.
§ 2. Perkawinan yang tidak sah karena halangan dari hukum kodrati atau hukum ilahi positif hanya dapat disembuhkan sesudah halangan itu terhenti.
Kan. 1164 - Penyembuhan dapat diberikan secara sah juga tanpa sepengetahuan salah satu atau kedua pihak; tetapi jangan diberikan kecuali atas alasan yang berat.
Kan. 1165 - § 1. Penyembuhan pada akar dapat diberikan oleh Takhta Apostolik.
§ 2. Dapat diberikan oleh Uskup diosesan dalam tiap-tiap kasus, juga jika terdapat beberapa alasan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak sah; untuk penyembuhan perkawinan campur harus dipenuhi juga syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125; tetapi tidak dapat diberikan oleh Uskup diosesan, jikalau ada halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik sesuai dengan norma kan. 1078, § 2, atau jika mengenai halangan dari hukum kodrati atau hukum ilahi positif yang telah terhenti.
BAGIAN II
TINDAKAN LAIN IBADAT ILAHI
JUDUL I
SAKRAMENTALI
Kan. 1166 - Sakramentali ialah tanda suci yang dengan cara yang mirip sakramen menandakan hasil-hasil, terlebih yang rohani, yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja.
Kan. 1167 - § 1. Hanya Takhta Apostolik dapat mengadakan sakramentali baru atau memberi tafsiran otentik atas sakramentali yang ada, serta menghapus atau mengubah beberapa daripadanya.
§ 2. Dalam melaksanakan atau melayani sakramentali hendaknya dituruti dengan seksama ritus dan rumusan yang disetujui oleh otoritas Gereja.
Kan. 1168 - Pelayan sakramentali ialah klerikus yang dibekali dengan kuasa yang perlu untuk itu; beberapa sakramentali, sesuai norma buku-buku liturgi, menurut penilaian Ordinaris wilayah, dapat juga dilayani oleh orang awam yang memiliki kualitas yang sesuai.
Kan. 1169 - § 1. Konsekrasi (consecratio) dan persembahan (dedicatio) dapat dilaksanakan secara sah oleh mereka yang dimeteraikan dengan martabat Uskup, dan juga oleh imam-imam yang diizinkan untuk itu oleh hukum atau penugasan yang legitim.
§ 2. Pemberkatan (benedictio) dapat diberikan oleh setiap imam, kecuali yang direservasi bagi Paus atau para Uskup.
§ 3. Diakon hanya dapat memberikan pemberkatan yang dalam hukum secara jelas diizinkan baginya.
Kan. 1170 - Pemberkatan-pemberkatan yang terutama diberikan kepada orang-orang katolik, dapat diberikan pula kepada para katekumen, bahkan juga kepada mereka yang bukan katolik, kecuali hal itu dilarang oleh Gereja.
Kan. 1171 - Hendaknya benda-benda suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi karena dipersembahkan atau diberkati diperlakukan dengan hormat dan jangan dipergunakan untuk pemakaian profan atau yang asing baginya, juga jika benda-benda suci itu milik privat.
Kan. 1172 - § 1. Tak seorang pun dapat dengan legitim melakukan eksorsisme terhadap orang yang kerasukan, kecuali telah memperoleh izin khusus dan jelas dari Ordinaris wilayah.
§ 2. Izin itu oleh Ordinaris wilayah hendaknya diberikan hanya kepada imam yang unggul dalam kesalehan, pengetahuan, kebijak-sanaan dan integritas hidup.
JUDUL II
IBADAT HARIAN
Kan. 1173 - Gereja, dalam melaksanakan tugas imamat Kristus, merayakan ibadat harian; dalam ibadat itu Gereja mendengarkan Allah yang bersabda kepada umat-Nya, merayakan peringatan akan misteri keselamatan, dengan tak henti-hentinya memuji-Nya dengan nyanyian dan doa, serta mendoakan keselamatan seluruh dunia.
Kan. 1174 - § 1. Para klerikus wajib melaksanakan ibadat harian menurut norma kan. 276, § 2, 30; sedangkan para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, menurut norma konstitusi mereka masing-masing.
§ 2. Umat beriman kristiani lain, menurut keadaannya, diajak dengan sangat untuk ambil bagian dalam ibadat harian sebagai suatu kegiatan Gereja.
Kan. 1175 - Dalam melaksanakan ibadat harian itu sedapat mung-kin hendaknya ditepati waktu yang sebenarnya dari setiap ibadat.
JUDUL III
PEMAKAMAN GEREJAWI
Kan. 1176 - § 1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum.
§ 2. Dengan pemakaman gerejawi Gereja mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup; pemakaman itu haruslah dirayakan menurut norma undang-undang liturgi.
§ 3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.
BAB I
MERAYAKAN PEMAKAMAN
Kan. 1177 - § 1. Pemakaman bagi setiap orang beriman yang telah meninggal dunia harus dirayakan pada umumnya dalam gereja parokinya sendiri.
§ 2. Namun setiap orang beriman ataupun mereka yang berwenang mengurus pemakaman seorang beriman yang telah meninggal, boleh memilih suatu gereja lain untuk pemakaman itu, dengan persetujuan orang yang mengepalai gereja, dan setelah memberitahu pastor paroki orang yang meninggal.
§ 3. Jika kematian itu terjadi di luar parokinya sendiri dan jenazah tidak dipindahkan ke sana, sedangkan tidak ada gereja lain yang dipilih dengan legitim untuk pemakamannya, hal itu hendaknya dirayakan di gereja paroki di mana orang itu meninggal, kecuali suatu gereja lain ditunjuk dalam hukum partikular.
Kan. 1178 - Pemakaman Uskup diosesan hendaknya dirayakan di gereja katedralnya sendiri, kecuali Uskup itu telah memilih suatu gereja lain.
Kan. 1179 - Pemakaman para religius atau anggota-anggota serikat hidup kerasulan pada umumnya hendaklah dirayakan di gereja atau tempat ibadatnya sendiri, dilakukan oleh Pemimpin tarekat atau serikat, jika tarekat atau serikat itu bersifat klerikal; jika tidak, dilakukan oleh kapelan.
Kan. 1180 - § 1. Jika paroki memiliki tempat pemakaman sendiri, maka orang-orang beriman yang telah meninggal harus dimakamkan di sana, kecuali suatu tempat pemakaman lain telah dipilih secara legitim oleh orang yang telah meninggal itu atau oleh mereka yang berwenang untuk mengurus pemakamannya.
§ 2. Namun setiap orang boleh memilih tempat pemakamannya, kecuali dilarang oleh hukum.
Kan. 1181 - Mengenai persembahan yang diberikan pada kesem-patan pemakaman itu, hendaknya diindahkan ketentuan-ketentuan kan. 1264; namun hendaknya diusahakan agar dalam pemakaman jangan ada pandang bulu dan orang-orang miskin jangan sampai tidak diberi pemakaman yang semestinya.
Kan. 1182 - Selesai pemakaman, hendaknya dibuat catatan dalam buku orang-orang mati menurut norma hukum partikular.
BAB II
PENGABULAN ATAU PENOLAKAN PEMAKAMAN GEREJAWI
Kan. 1183 - § 1. Sejauh mengenai pemakaman, para katekumen harus diperlakukan sama seperti orang beriman kristiani.
§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan agar anak-anak kecil yang sebenarnya mau dibaptis oleh orangtuanya, namun telah mening-gal dunia sebelumnya, diberi pemakaman gerejawi.
§ 3. Orang-orang dibaptis yang termasuk pada suatu Gereja atau persekutuan gerejawi bukan-katolik, dapat diberi pemakaman gerejawi menurut penilaian arif Ordinaris wilayah, kecuali nyata kehendak mereka yang berlawanan, dan asalkan pelayannya sendiri tidak bisa didapatkan.
Kan. 1184 - § 1. Pemakaman gerejawi harus ditolak, kecuali sebelum meninggal menampakkan suatu tanda penyesalan, bagi:
10 mereka yang nyata-nyata murtad, menganut bidaah dan skisma;
20 mereka yang memilih kremasi jenazah mereka sendiri karena alasan yang bertentangan dengan iman kristiani;
30 pendosa-pendosa nyata (peccatores manifesti) lain yang tidak bisa diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan san-dungan publik bagi kaum beriman.
§ 2. Jika ada suatu keraguan, hal itu hendaknya dikonsultasikan kepada Ordinaris wilayah yang penilaiannya harus dituruti.
Kan. 1185 - Bagi orang yang tidak boleh dimakamkan secara gerejawi, juga tidak boleh dipersembahkan Misa pemakaman apa-pun.
JUDUL IV
MENGHORMATI ORANG KUDUS, GAMBAR, PATUNG DAN RELIKWI SUCI
Kan. 1186 - Untuk memupuk pengudusan umat Allah, Gereja menganjurkan agar umat beriman kristiani secara khusus dan dengan sikap seorang anak menghormati Santa Maria selalu Perawan dan Bunda Allah, yang diangkat oleh Kristus menjadi Bunda semua orang; Gereja juga memajukan penghormatan yang benar dan sejati kepada Orang-orang Kudus lain, yang dengan teladannya umat beriman kristiani dibangun serta dengan pengantaraannya umat itu didukung.
Kan. 1187 - Hanya para hamba Allah yang oleh otoritas Gereja sudah dimasukkan ke dalam daftar nama para Santo atau para Beato boleh dihormati dengan ibadat publik.
Kan. 1188 - Hendaknya dipertahankan praktek untuk menempat-kan gambar atau patung suci dalam gereja-gereja demi penghormatan oleh kaum beriman; namun hendaknya dalam jumlah yang layak serta dengan tata susunan yang wajar, jangan sampai membangkitkan keheranan umat kristiani atau memberikan peluang untuk devosi yang kurang sehat.
Kan. 1189 - Gambar atau arca berharga, yakni yang unggul karena nilai-nilai kekunoan, kesenian ataupun penghormatannya, yang ditempatkan di gereja-gereja atau ruang-ruang doa demi penghormatan oleh kaum beriman, bilamana membutuhkan pemugaran janganlah dilaksanakan tanpa izin tertulis dari Ordinaris, yang hendaknya tidak memberikan izin itu sebelum minta nasihat para ahli.
Kan. 1190 - § 1. Sama sekali tidak dibenarkan menjual relikwi-relikwi suci.
§ 2. Relikwi-relikwi yang bernilai tinggi dan relikwi lain, yang sangat dihormati oleh umat, tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan cara apapun atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin Takhta Apostolik.
§ 3. Ketentuan § 2 itu berlaku juga untuk gambar atau patung suci yang dalam suatu gereja sangat dihormati oleh umat.
JUDUL V
KAUL DAN SUMPAH
BAB I
KAUL
Kan. 1191 - § 1. Kaul, yakni janji yang telah dipertimbangkan dan bebas mengenai sesuatu yang lebih baik dan terjangkau yang dinyata-kan kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan religi.
§ 2. Kecuali dilarang oleh hukum, semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara wajar, mampu mengucapkan kaul.
§ 3. Kaul yang diucapkan karena didorong oleh ketakutan yang berat dan tak adil atau oleh tipu muslihat, adalah tidak sah demi hukum sendiri.
Kan. 1192 - § 1. Kaul adalah publik jika diterima oleh Pemimpin yang sah atas nama Gereja; jika tidak, privat.
§ 2. Meriah, jika diakui demikian oleh Gereja; jika tidak, sederhana.
§ 3. Personal, dengannya dijanjikan suatu kegiatan pengucap kaul; real, dengannya dijanjikan suatu benda; campur, yang mengandung unsur personal dan real.
Kan. 1193 - Dari kodratnya kaul mewajibkan hanya yang mengu-capkannya.
Kan. 1194 - Kaul terhenti karena habisnya waktu yang ditentukan untuk memenuhi kewajiban itu, karena perubahan substansial dari isi yang dijanjikan, karena tak terpenuhi persyaratan yang melekat pada kaul itu atau tiada lagi tujuannya, karena dispensasi atau penggantian kaul.
Kan. 1195 - Yang mempunyai kuasa terhadap isi kaul dapat menangguhkan kewajiban kaul itu selama pemenuhan kaul itu merugikan dirinya.
Kan. 1196 - Selain Paus, yang dapat memberikan dispensasi atas kaul privat karena alasan yang wajar, asalkan tidak melanggar hak yang telah diperoleh orang lain, ialah:
10 Ordinaris wilayah dan pastor paroki sejauh menyangkut semua bawahan mereka sendiri dan juga para pendatang;
20 Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika mereka itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, sejauh menyangkut anggota-anggota, para novis serta orang-orang yang siang-malam tinggal dalam rumah tarekat atau serikat itu;
30 mereka yang diberi delegasi kuasa memberikan dispensasi oleh Takhta Apostolik atau oleh Ordinaris wilayah.
Kan. 1197 - Karya yang dijanjikan dalam kaul privat dapat diganti oleh orangnya sendiri dengan sesuatu yang baik yang lebih besar atau yang sama; tetapi hanya dapat diganti dengan sesuatu yang baik yang lebih kecil oleh orang yang berkuasa untuk memberi dispensasi, menurut norma kan. 1196.
Kan. 1198 - Kaul-kaul yang diucapkan sebelum profesi religius ditangguhkan selama pengucap kaul tinggal dalam tarekat religius.
BAB II
SUMPAH
Kan. 1199 - § 1. Sumpah, yakni menyerukan Nama ilahi sebagai saksi kebenaran, tidak dapat diberikan, kecuali dalam kebenaran, penilaian dan keadilan.
§ 2. Sumpah yang dituntut atau diizinkan oleh kanon-kanon, tidak dapat diberikan secara sah dengan perantaraan seorang yang di-kuasakan.
Kan. 1200 - § 1. Yang dengan bebas bersumpah bahwa akan berbuat sesuatu, berdasarkan keutamaan religi terikat kewajiban khusus untuk melaksanakan apa yang diperkokoh dengan sumpahnya.
§ 2. Sumpah yang didesakkan dengan muslihat, paksaan atau ketakutan besar, tidaklah sah demi hukum sendiri.
Kan. 1201 - § 1. Sumpah-janji mengikuti hakikat dan syarat-syarat yang dibubuhkan padanya.
§ 2. Jika tindakan yang secara langsung merugikan orang lain atau kesejahteraan umum atau keselamatan kekal dibubuhi sumpah, tindakan itu tidak diperkokoh oleh sumpah itu.
Kan. 1202 - Kewajiban yang muncul dari suatu sumpah-janji berhenti:
10 jika dihapuskan oleh dia yang dimaksudkan mendapat keuntungan dari sumpah itu;
20 jika hal yang disumpahkan itu sendiri sudah berubah secara substansial, atau, karena perubahan keadaan, menjadi buruk atau tanpa nilai sama sekali atau bahkan menghalangi sesuatu yang lebih baik;
30 dengan tiadanya tujuan atau syarat yang mungkin dicantumkan pada sumpah itu;
40 dengan dispensasi, pengubahan menurut norma kan. 1203.
Kan. 1203 - Mereka yang dapat untuk menangguhkan, memberi dispensasi atau mengubah suatu kaul, mempunyai kuasa yang sama dan dengan dasar yang sama terhadap sumpah-janji; tetapi jika dispensasi dari sumpah itu mengakibatkan kerugian bagi orang lain yang menolak menghapuskan kewajiban itu, maka hanya Takhta Apostoliklah yang dapat memberi dispensasi.
Kan. 1204 - Sumpah harus ditafsirkan secara ketat menurut hu-kum dan menurut maksud orang yang mengucapkan sumpah itu; atau, jika orang ini melakukannya dengan maksud menipu, sumpah itu harus ditafsirkan menurut maksud orang yang dituju dengan sumpah itu.
BAGIAN III
TEMPAT DAN WAKTU SUCI
JUDUL I
TEMPAT SUCI
Kan. 1205 - Tempat-tempat suci ialah tempat yang dikhususkan untuk ibadat ilahi atau pemakaman kaum beriman yang dipersembah-kan atau diberkati sesuai dengan buku-buku liturgi yang ditetapkan.
Kan. 1206 - Mempersembahkan suatu tempat untuk ibadat menjadi wewenang Uskup diosesan dan mereka yang dalam hukum disamakan dengannya; mereka ini dapat menyerahkan kepada Uskup siapapun atau, dalam kasus-kasus kekecualian, kepada seorang imam untuk melakukan tugas itu di wilayahnya.
Kan. 1207 - Tempat-tempat suci diberkati oleh Ordinaris; sedangkan pemberkatan gereja-gereja direservasi bagi Uskup diosesan; namun keduanya dapat mendelegasikan kepada seorang imam lain untuk itu.
Kan. 1208 - Mengenai dipersembahkannya dan diberkatinya gereja yang telah dilangsungkan, demikian pula mengenai diberkatinya tempat pemakaman, hendaknya dibuat dokumen: satu eksemplar disimpan dalam kuria keuskupan dan satu eksemplar disimpan dalam arsip gereja.
Kan. 1209 - Dipersembahkannya atau diberkatinya suatu tempat, asalkan tidak merugikan seseorang, cukuplah dibuktikan dengan satu orang saksi saja yang terpercaya.
Kan. 1210 - Dalam tempat suci hanya dapat diizinkan hal-hal yang berguna bagi pelaksanaan atau peningkatan ibadat, kesalehan dan keagamaan, serta dilarang segala sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu. Namun Ordinaris dapat sesekali memberi izin untuk penggunaan lain, asalkan tidak bertentangan dengan kesucian tempat itu.
Kan. 1211 - Tempat-tempat suci dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang secara berat sangat merugikan yang dilakukan di sana dengan menimbulkan sandungan bagi kaum beriman dan yang menurut penilaian Ordinaris wilayah sedemikian berat dan sedemikian berlawanan dengan kesucian tempat sehingga tidak boleh lagi diselenggarakan ibadat di sana sampai kerugian itu diperbaiki dengan suatu upacara tobat menurut norma buku-buku liturgi.
Kan. 1212 - Tempat-tempat suci kehilangan nilai-dipersembah-kannya atau nilai-diberkatinya, jika sebagian besar dari padanya hancur atau jika tempat-tempat itu dengan dekret Ordinaris yang berwenang atau menurut kenyataannya telah dialihkan untuk penggunaan profan secara tetap.
Kan. 1213 - Di tempat-tempat suci otoritas gerejawi menjalankan kuasa serta tugas-tugas mereka secara bebas.
BAB I
GEREJA
Kan. 1214 - Dengan sebutan gereja dimaksudkan bangunan suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi dimana kaum beriman berhak untuk masuk melaksanakan ibadat ilahi, terutama ibadat yang dilangsungkan secara publik.
Kan. 1215 - § 1. Tak satu gereja pun boleh didirikan tanpa perse-tujuan jelas Uskup diosesan yang diberikan secara tertulis.
§ 2. Hendaknya Uskup diosesan tidak memberikan persetujuannya kecuali ia, sesudah mendengarkan dewan imam dan rektor gereja-gereja tetangga, berpendapat bahwa gereja baru itu akan dapat bermanfaat bagi kebaikan jiwa-jiwa dan bahwa sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pembangunan gereja dan penyelenggaraan ibadat ilahi tidak akan berkekurangan.
§ 3. Juga tarekat-tarekat religius, meskipun telah memperoleh persetujuan dari Uskup diosesan untuk mendirikan rumah baru dalam keuskupan atau kota, namun sebelum membangun gereja di suatu tempat tertentu harus memperoleh izin dari padanya.
Kan. 1216 - Dalam membangun atau memugar gereja-gereja, selain nasihat-nasihat para ahli hendaknya diindahkan asas-asas dan norma-norma liturgi serta seni suci.
Kan. 1217 - § 1. Setelah pembangunan selesai dengan semestinya, hendaknya gereja baru selekas mungkin dipersembahkan atau sekurang-kurangnya diberkati dengan mengindahkan undang-undang liturgi suci.
§ 2. Hendaknya gereja-gereja dipersembahkan dengan ritus meriah, terutama gereja-gereja katedral dan gereja-gereja paroki.
Kan. 1218 - Setiap gereja harus mempunyai nama (titulus) yang, sesudah dipersembahkannya, tidak dapat diubah.
Kan. 1219 - Dalam gereja yang telah dipersembahkan atau diber-kati secara legitim, dapat dilaksanakan semua kegiatan ibadat ilahi, dengan tetap menghormati hak-hak paroki.
Kan. 1220 - § 1. Hendaknya semua orang yang bersangkutan berusaha agar di gereja-gereja dipelihara kebersihan dan keindahan yang layak bagi rumah Allah dan agar segala sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu dijauhkan dari padanya.
§ 2. Untuk melindungi benda-benda suci dan berharga hendaknya dipergunakan cara pemeliharaan yang biasa dan sarana-sarana penga-manan yang tepat.
Kan. 1221 - Masuk ke dalam gereja pada saat perayaan-perayaan suci hendaknya bebas dan gratis.
Kan. 1222 - § 1. Jika suatu gereja sama sekali tidak dapat diper-gunakan lagi untuk ibadat ilahi dan juga tidak ada kemungkinan untuk memperbaikinya, gereja itu dapat diubah oleh Uskup diosesan untuk penggunaan profan, tetapi bukan penggunaan kotor.
§ 2. Bila alasan-alasan berat lain menganjurkan agar suatu gereja tidak lagi dipakai untuk ibadat ilahi, Uskup diosesan sesudah mendengarkan dewan imam dapat mengubah gereja itu untuk penggunaan profan yang tidak kotor, tetapi dengan persetujuan mereka yang secara legitim mempunyai hak terhadap gereja itu; dan asalkan hal itu tidak merugikan kebaikan jiwa-jiwa.
BAB II
RUANG DOA DAN KAPEL PRIVAT
Kan. 1223 - Dengan sebutan ruang doa dimaksudkan suatu tempat yang dengan izin Ordinaris diperuntukkan bagi ibadat ilahi untuk kegunaan suatu komunitas atau kelompok umat beriman yang berkumpul di situ, sedangkan umat beriman lain dengan persetujuan Pemimpin yang berwenang juga dapat masuk.
Kan. 1224 - § 1. Hendaknya Ordinaris jangan memberi izin yang dibutuhkan untuk menjadikan suatu tempat sebagai ruang doa, kecuali sebelumnya ia sendiri atau wakilnya mengunjungi tempat yang diperuntukkan bagi ruang doa itu dan mendapatkannya dibangun secara layak.
§ 2. Namun sesudah izin itu diberikan, ruang doa itu tidak dapat diubah untuk penggunaan profan tanpa otoritas Ordinaris yang sama.
Kan. 1225 - Di ruang-ruang doa yang dibangun secara legitim dapat dilangsungkan semua perayaan suci, kecuali perayaan yang dikesampingkan oleh hukum atau oleh ketentuan Ordinaris wilayah, atau terhalang oleh norma-norma liturgi.
Kan. 1226 - Dengan sebutan kapel privat dimaksudkan suatu tempat yang dengan izin Ordinaris wilayah diperuntukkan bagi ibadat ilahi untuk kegunaan satu atau beberapa orang.
Kan. 1227 - Para Uskup dapat membuat kapel pribadi bagi dirinya; dan kapel itu mempunyai hak-hak seperti halnya ruang doa.
Kan. 1228 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1227, untuk menyelenggarakan perayaan Misa atau perayaan-perayaan suci lain di dalam suatu kapel privat, dituntut izin dari Ordinaris wilayah.
Kan. 1229 - Patutlah bahwa ruang doa dan kapel-kapel privat diberkati menurut ritus yang ditentukan dalam buku-buku liturgi; tetapi tempat-tempat itu harus dikhususkan hanya untuk ibadat ilahi dan bebas dari semua penggunaan rumahtangga.
BAB III
TEMPAT ZIARAH (SANCTUARIUM)
Kan. 1230 - Dengan sebutan tempat ziarah (sanctuarium) dimaksudkan gereja atau tempat suci lain yang dengan persetujuan Ordinaris wilayah sering dikunjungi kaum beriman untuk berziarah karena suatu alasan kesalehan yang khusus.
Kan. 1231 - Agar tempat ziarah itu dapat dikatakan nasional, harus ada persetujuan dari Konferensi para Uskup; agar dapat dikatakan internasional, dituntut persetujuan dari Takhta Suci.
Kan. 1232 - § 1. Untuk mengesahkan statuta tempat ziarah diosesan, kewenangan ada pada Ordinaris wilayah; untuk statuta tempat ziarah nasional ada pada Konferensi para Uskup; untuk statuta tempat ziarah international ada pada Takhta Suci saja.
§ 2. Dalam statuta itu hendaknya ditentukan terutama tujuan, otoritas rektor, hak milik, dan pengelolaan harta-benda.
Kan. 1233 - Kepada tempat-tempat ziarah itu dapat diberikan beberapa privilegi, setiap kali keadaan tempat, jumlah para peziarah dan terutama kesejahteraan umat beriman tampak menganjurkannya.
Kan. 1234 - § 1. Di tempat-tempat ziarah itu hendaknya disediakan sarana-sarana keselamatan bagi umat beriman secara lebih berlimpah dengan rajin mewartakan sabda Allah, membina dengan tepat hidup liturgi, terutama dengan perayaan sakramen Ekaristi dan tobat, dan juga dengan memelihara bentuk-bentuk kesalehan rakyat yang teruji.
§ 2. Ungkapan syukur kerakyatan atas nazar (votiva artis popularis) dan kesaksian-kesaksian kesalehan di tempat-tempat ziarah atau tempat-tempat yang berhubungan dengan itu hendaknya dipasang secara tampak dan dijaga dengan aman.
BAB IV
ALTAR
Kan. 1235 - § 1. Altar atau meja tempat Kurban Ekaristi dirayakan disebut tetap, jika dibuat sedemikian sehingga menjadi satu dengan lantai, dan karena itu tidak dapat dipindahkan; disebut dapat dipindahkan, jika dapat digeser.
§ 2. Sebaiknya dalam setiap gereja ada altar yang tetap; sedangkan di tempat-tempat lain yang diperuntukkan bagi perayaan-perayaan suci ada altar tetap atau altar yang dapat dipindahkan.
Kan. 1236 - § 1. Menurut kebiasaan yang diwariskan Gereja, meja altar-tetap hendaknya dibuat dari batu, bahkan dari satu batu alami; tetapi menurut penilaian Konferensi para Uskup dapat juga dipergunakan bahan lain yang pantas dan kokoh. Sedangkan kaki atau bagian bawah dari altar dapat dibuat dari bahan apapun.
§ 2. Altar yang dapat dipindahkan bisa dibuat dari bahan apapun yang kuat, yang cocok untuk penggunaan liturgis.
Kan. 1237 - § 1. Altar-tetap haruslah dipersembahkan, sedangkan altar yang dapat dipindahkan dipersembahkan atau diberkati, menurut ritus yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi.
§ 2. Hendaknya tradisi kuno untuk meletakkan relikwi-relikwi para Martir atau orang-orang Kudus lain di bawah altar-tetap, dipertahankan menurut norma-norma yang diberikan dalam buku-buku liturgi.
Kan. 1238 - § 1. Altar kehilangan nilai-dipersembahkannya atau diberkatinya menurut norma kan. 1212.
§ 2. Jika suatu gereja atau tempat suci lain diubah untuk kegunaan profan, altar, baik yang tetap maupun yang dapat dipindahkan, tidak kehilangan nilai-dipersembahkannya atau diberkatinya.
Kan. 1239 - § 1. Baik altar-tetap maupun yang dapat dipindahkan hanya boleh dipakai bagi ibadat ilahi saja, dan sama sekali tidak boleh dipakai untuk kegunaan profan apapun.
§ 2. Di bawah altar tidak boleh dimakamkan jenazah; kalau ada jenazahnya, Misa tidak boleh dirayakan di atas altar itu.
BAB V
TEMPAT PEMAKAMAN
Kan. 1240 - § 1. Hendaknya Gereja mempunyai tempat pema-kaman sendiri kalau hal itu mungkin, atau sekurang-kurangnya ada bagian tertentu dari pemakaman umum yang diperuntukkan bagi orang beriman yang meninggal; bagian itu harus diberkati secara semestinya.
§ 2. Namun kalau hal itu tidak mungkin, hendaknya setiap kali makam satu demi satu diberkati sewajarnya.
Kan. 1241 - § 1. Paroki dan tarekat religius dapat memiliki tempat pemakamannya sendiri.
§ 2. Juga badan hukum lain atau keluarga dapat memiliki tempat pemakaman atau makam khusus, yang menurut penilaian Ordinaris wilayah harus diberkati.
Kan. 1242 - Dalam gereja-gereja jangan dimakamkan jenazah-jenazah, kecuali Paus atau para Kardinal atau Uskup diosesan, juga yg sudah purnabakti, yang harus dimakamkan di dalam gerejanya sendiri.
Kan. 1243 - Hendaknya dengan hukum partikular ditetapkan norma-norma yang cocok mengenai disiplin yang harus diindahkan di tempat-tempat pemakaman, terutama untuk melindungi serta menjaga sifat suci tempat pemakaman yang bersangkutan.
JUDUL II
WAKTU SUCI
Kan. 1244 - § 1. Hanya otoritas tertinggi Gereja, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1246, § 2, berhak menetapkan, memindahkan, dan menghapus hari-hari raya, demikian juga hari-hari tobat yang umum berlaku bagi seluruh Gereja.
§ 2. Uskup diosesan hanya secara kasus demi kasus dapat menetapkan hari raya atau hari tobat yang khusus bagi keuskupan atau wilayahnya.
Kan. 1245 - Dengan tetap berlaku hak para Uskup diosesan yang disebut dalam kan. 87, pastor paroki, dengan alasan yang wajar dan menurut ketentuan Uskup diosesan, dapat memberi dispensasi kasus demi kasus dari kewajiban untuk menaati hari raya atau hari tobat, atau menggantinya dengan karya saleh lain; hal itu juga dapat dilakukan oleh Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika mereka itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, terhadap bawahannya sendiri serta orang lain yang siang-malam tinggal dalam rumah itu.
BAB I
HARI RAYA
Kan. 1246 - § 1. Hari Minggu, menurut tradisi apostolik, adalah hari dirayakannya misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib primordial di seluruh Gereja. Begitu pula harus dipertahankan sebagai hari-hari wajib: hari Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Penampakan Tuhan, Kenaikan Tuhan, Tubuh dan Darah Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah, Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda dan Santa Perawan Maria diangkat ke surga, Santo Yusuf, Rasul Santo Petrus dan Paulus, dan akhirnya hari raya Semua Orang Kudus.
§ 2. Namun Konferensi para Uskup dengan persetujuan sebelum-nya dari Takhta Apostolik, dapat menghapus beberapa dari antara hari-hari raya wajib itu atau memindahkan hari raya itu ke hari Minggu.
Kan. 1247 - Pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa; selain itu, hendaknya mereka tidak melakukan pekerjaan dan urusan-urusan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Allah atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga.
Kan. 1248 - § 1. Perintah untuk ambil bagian dalam Misa dipenuhi oleh orang yang menghadiri Misa di manapun Misa itu dirayakan menurut ritus katolik, entah pada hari raya itu sendiri atau pada sore hari sebelumnya.
§ 2. Jika tidak ada pelayan suci atau karena alasan berat lain tidak mungkin ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan agar kaum beriman ambil bagian dalam liturgi Sabda, jika hal itu ada di gereja paroki atau di tempat suci lain, yang dirayakan menurut ketentuan Uskup diosesan; atau hendaknya secara perorangan atau dalam keluarga atau jika mungkin beberapa keluarga bersama, meluangkan waktu untuk berdoa selama waktu yang pantas.
BAB II
HARI TOBAT
Kan. 1249 - Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 1250 - Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
Kan. 1251 - Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
Kan. 1252 - Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.
Kan. 1253 - Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.
Post a Comment