Pengakuan Iman Katolik - Seksi 1
SEKSI I
"AKU PERCAYA" - "KAMI PERCAYA"
26 Apabila kita mengakui iman kita, kita mulai dengan kata-kata:
"Aku percaya" atau "kami percaya". Sebelum kita menguraikan
kepercayaan Gereja seperti yang diakui dalam syahadat, dirayakan dalam liturgi,
dihayati dalam pelaksanaan perintah-perintah dan dalam doa, kita menanyakan
kepada diri sendiri, apa artinya "percaya". Kepercayaan adalah
jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia
dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari
arti terakhir kehidupannya. Secara berturut-turut kita merenungkan pertama
sekali mengenai manusia yang sedang mencari (Bab I), lalu mengenai wahyu ilahi,
yang dengannya Allah menyongsong manusia (Bab II), dan akhirnya mengenai
jawaban kepercayaan (Bab III).
BAB I
MANUSIA
SANGGUP MENEMUKAN ALLAH
I.
Kerinduan akan Allah
27 Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia
karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak
henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya. Hanya dalam Allah manusia dapat
menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus:
"Makna paling luhur martabat manusia terletak pada
panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mulanya
manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup,
karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat
cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia
tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada
Penciptanya" (GS 19,1).
28 Sejak dahulu kala manusia menyatakan melalui pandangan
iman dan pola tingkah laku religius (seperti doa, kurban, upacara, dan
meditasi), atas berbagai cara, usaha mereka untuk menemukan Allah. Cara
pengungkapan itu tidak selalu jelas artinya, tetapi terdapat sekian umum di
antara segala bangsa manusia, sehingga manusia dapat disebut sebagai makhluk
religius:
"Dari satu orang saja [Allah] telah menjadikan semua
bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan la telah
menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya
mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun la
tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita
bergerak, kita ada" (Kis. 17:26-28).
29 Namun "hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah
ini" (GS 19,1) dapat 1 dilupakan oleh manusia, disalahartikan, malahan
ditolak dengan tegas. Sikap yang demilcian itu dapat mempunyai sebab yang
berbeda-beda: protes terhadap kejahatan di dunia, ketidakpahaman religius atau
sikap tidak peduli, kesusahan duniawi dan kekayaan, contoh hidup yang buruk
dari para beriman, aliran berpikir yang bermusuhan dengan agama, dan akhirnya
kesombongan manusia berdosa untuk menyembunyikan diri karena takut akan Tuhan
dan melarikan diri dari Tuhan yang memanggil4.
30 "Semua yang mencari Tuhan, hendaklah
bergembira" (Mzm 105:3). Biarpun manusia melupakan atau menolak Tuhan,
namun Tuhan tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya ia
mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya. Tetapi pencarian itu
menuntut dari manusia seluruh usaha berpikir dan penyesuaian kehendak yang
tepat, "hati yang tulus", dan juga kesaksian orang lain yang mengajar
kepadanya untuk mencari Tuhan.
"Ya Allah, agunglah Engkau dan patut dipuji:
kekuatan-Mu besar dan kebijaksanaan-Mu tanpa batas. Manusia yang sendiri satu
bagian dari ciptaan-Mu, ingin meluhurkan Dikau. Betapapun ia berdosa dan dapat
mati, namun ia ingin memuji Dikau karena ia adalah satu bagian dari ciptaan-Mu.
Untuk itu, Engkau menanamkan hasrat di dalam kami karena Engkau telah
menciptakan kami menurut citra-Mu sendiri. Hati kami tetap tidak tenang sampai
ia menemukan ketenteraman di dalam Engkau" (Agustinus, conf 1,1,1).
II. Jalan-jalan untuk Mengenal Allah
31 Karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan
dipanggil untuk mengenal dan mencintai Allah, ia menemukan "jalan
jalan" tertentu dalam pencarian Allah agar mencapai pengenalan akan Allah.
Orang menamakan jalan jalan ini juga "pembuktian Allah", bukan dalam
arti ihnu pengetahuan alam, melainkan dalam arti argumen-argumen yang cocok dan
meyakinkan, yang dapat menghantar kepada kepastian yang sungguh.
"Jalan-jalan" menuju Allah ini mempergunakan ciptaan - dunia
material dan pribadi manusia - sebagai titik tolak.
32 Dunia. Dari gerak dan perkembangan, dari kontingensi,
dari peraturan dan keindahan dunia, manusia dapat mengenal Allah sebagai sumber
dan tujuan alam semesta.
Santo Paulus menegaskan mengenai orang kafir:
"Karena siapa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka,
sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab spa yang tidak tampak
daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak
kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak
dapat berdalih" (Rm 1:19-20) .
Dan santo Agustinus berkata: "Tanyakanlah keindahan
bumi, tanyakanlah keindahan samudera,tanyakanlah keindahan udara yang
menyebarluas,tanyakanlah keindahan langit .... tanyakanlah semua benda.
Semuanya akan menjawab kepadamu: Lihatlah, betapa indahnya kami. Keindahan
mereka adalah satu pengakuan [confessio]. Siapakah yang menciptakan benda-benda
yang berubah, kalau bukan Yang Indah [Pulcher], yang tidak dapat berubah"
(Sean. 241,2).
33 Manusia. Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan
keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan
dengan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan
akan kebahagiaan, manusia bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya
itu ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. "Karena benih
keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal
dalam materi saja" (GS 18,1), maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan
sebagai sumber.
34 Dunia dan manusia memberi kesaksian bahwa mereka tidak
memiliki sebab mereka yang pertama serta tujuan mereka yang terakhir dalam
dirinya sendiri, tetapi . bahwa mereka hanya mengambil bagian dalam ADA yang
tanpa titik awal dan titik akhir. Jadi melalui "jalan-jalan" yang
berbeda itu manusia dapat sampai kepada pengertian bahwa ads satu realitas,
yang adalah sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya, dan realitas
ini "dinamakan Allah oleh semua orang" (Tomas Aqu., s.th. 1,2,3).
35 Kemampuan manusia menyanggupkannya untuk mengenal
adanya Allah yang berkepribadian. Tetapi supaya manusia dapat masuk ke dalam
hubungan yang akrab dengan Allah, maka Allah hendak menyatakan diri kepada
manusia dan hendak memberikan rahmat kepadanya supaya dengan kepercayaan dapat
menerima wahyu ini. Namun bukti-bukti mengenai adanya Allah dapat menghantar
menuju kepercayaan dan dapat membantu supaya mendapat pengertian bahwa
kepercayaan tidak bertentangan dengan akal budi manusia.
III. Pengetahuan tentang Allah menurut Ajaran Gereja
36 "Bunda Gereja kudus memegang teguh dan mengajar
bahwa Allah, sumber dan tujuan segala makhluk, dapat diketahui dari segala
makhluk ciptaan, melalui sinar kodrati akal budi manusia" (Konsili Vatikan
1: DS 3004) . Tanpa kemampuan ini manusia tidak dapat menerima wahyu Allah.
Manusia memiliki kemampuan ini karena ia diciptakan "menurut citra
Allah".
37 Namun, dalam kondisi sejarah di mana ia berada,
manusia mengalami banyak kesulitan untuk mengenal Allah hanya dengan bantuan
sinar akal budinya.
"Walaupun akal budi manusia, untuk berbicara secara
sederhana saja, melalui kekuatan kodrati dan sinarnya benar-benar dapat sampai
kepada pengertian yang benar dan pasti mengenai satu Allah yang berkepribadian,
yang melindungi dan membimbing dunia ini dengan penyelenggaraannya, namun terdapat
pula halangan yang tidak sedikit bahwa akal budi itu akan mempergunakan secara
berdaya guna dan berhasil, kemampuan yang merupakan bakat pembawaan sejak
lahir. Karena kebenaran yang menyangkut Allah serta hubungan antara Allah dan
manusia sungguh melampaui tata dunia yang kelihatan; kalau diterapkan pada cara
hidup manusia untuk membentuknya, maka kebenarankebenaran itu akan menuntut
pengurbanan diri dan penyangkalan diri. Akan tetapi, akal budi manusia
mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mencari kebenaran-kebenaran yang
demikian itu, bukan hanya karena dorongan pancaindera dan khayalan, melainkan
juga karena nafsu yang salah, yang merupakan akibat dari dosa asal. Maka,
terjadilah bahwa manusia dalam hal-hal yang demikian itu, mudah meyakinkan diri
sendiri bahwa apa yang mereka tidak inginkan sebagai benar adalah palsu atau
paling kurang tidak pasti" (Pius XII, Ens."Humani Generis": DS
3875).
38 Karena itu, perlu bahwa oleh wahyu ilahi, manusia
tidak hanya diterangi mengenai apa yang mengatasi daya akal budinya, tetapi
juga mengenai "apa yang sebenarnya dapat diterobos oleh akal budi dalam
masalah-masalah agama dan susila", sehingga "juga dalam kondisi umat
manusia dewasa ini hal-hal itu
IV. Bagaimana Berbicara tentang Allah
39 Gereja berkeyakinan, bahwa akal budi manusia dapat
mengenal Allah. Dengan itu, ia memperlihatkan kepercayaan teguh bahwa mungkin
sekali ia berbicara tentang Allah kepada semua manusia dan dengan semua
manusia. Keyakinan itu ast mendasari dialognya dengan agama-agama lain, dengan
filsafat dan dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan kaum tak beriman dan
dengan kaum ateis.
40 Karena pengetahuan kita tentang Allah itu terbatas,
maka pembicaraan kits tentang Allah pun demikian juga. Kita hanya dapat
berbicara tentang Allah dari sudut pandang ciptaan dan sesuai dengan cara
mengerti dan cara berpikir manusiawi kita yang terbatas.
41 Segala makhluk menunjukkan keserupaan tertentu dengan
Allah, terutama manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Karma itu, aneka
ragam kesempurnaan makhluk ciptaan (kebenarannya, kebaikannya, keindahannya)
mencerminkan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas. Maka, berdasarkan
kesempurnaan makhluk ciptaan, kita dapat membuat pernyataan tentang Allah
"sebab orang dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran
dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya" (Keb 13:5).
42 Allah itu agung melebihi setup makhluk. Karena itu,
kita harus membersihkan pembicaraan kita tentang Dia terus-menerus dari segala
keterbatasan, dari segala gambaran, dari segala ketidaksempurnaan, supaya
jangan menggantikan Allah "yang tidak terucapkan, yang tidak dimengerti,
yang tidak kelihatan, yang tidak dibayangkan" (Liturgi Santo Yohanes
Kristostomus, Doa Syukur Agung) dengan gambaran-gambaran manusiawi kita tentang
Dia. Kata-kata manusiawi kita tidak pernah akan mencapai misteri Allah.
43 Kalau kita berbicara tentang Allah dengan cara
demikian, maka bahasa kita memang mengungkapkan diri secara manusiawi, namun
dengan sebenarnya menyangkut Allah sendiri, walaupun tidak mampu menyatakan Dia
dalam kesederhanaan-Nya yang tidak terbatas. Kita harus sadar, bahwa
"antara Pencipta dan ciptaan tidak dapat dinyatakan satu keserupaan tanpa
menegaskan satu ketidakserupaan yang lebih besar lagi" (Konsili Lateran 4:
DS 806). "Mengenai Allah kita tidak dapat memahami Siapa Dia, tetapi hanya
Siapa yang bukan Dia, dan bagaimana semua makhluk yang lain berhubungan dengan
Dia" (Tomas Aqu., s.gent. 1,30).
TEKS-TEKS SINGKAT
44 Manusia menurut kodrat dan panggilannya adalah makhluk
religius. Karena ia datang dari Allah dan berjalan menuju Allah, maka hanya
dalam hubungan sukarela dengan Allah, manusia dapat menghayati kehidupan
manusiawi yang utuh.
45 Manusia diciptakan, supaya hidup dalam persatuan
dengan Allah, di mana ia menemukan kebahagiaannya: "Kalau saya akan
Menggantungkan diri kepada-Mu dengan seluruh kepribadianku, maka tidak akan ada
lagi kesedihan dan kesusahan yang meresahkan aku, dan kehidupanku yang
seluruhnya dipenuhi oleh Engkau barulah menjadi kehidupan yang sebenarnya"
(Agustinus, conf 10,28,39).
46 Apabila manusia mendengarkan kabar makhluk-makhluk
ciptaan dan suara hati nuraninya, 4a dapat sampai kepada kepastian bahwa Allah
berada sebagai sebab dan tujuan dari segala-galanya.
47 Gereja mengajarkan bahwa Allah yang satu-satunya dan
yang benar pencipta dan Tuhan kita, dapat diketahui dengan pasti dari segala
karya-Nya, berkat sinar kodrati akal budi kita.
48 Dengan sesungguhnya kita dapat berbicara tentang
Allah, apabila kita bertitik tolak dari aneka ragam kesempurnaan makhluk
ciptaan, yang olehnya mereka menjadi serupa dengan kesempurnaan Allah yang
tidak terbatas. Namun bahasa kita yang terbatas, tidak dapat menyelami seluruh
misteri-Nya.
49 "Tanpa Sang Pencipta makhluk lenyap
menghilang" (GS 36). Karena itu kaum beriman didorong oleh cinta Kristus
untuk membawa terang Allah yang menghidupkan kepada mereka, yang tidak
mengenal-Nya atau menolak-Nya.
BAB II
ALLAH
MENYONGSONG MANUSIA
50 Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal
Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata
pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni
wahyu ilahi. Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan
memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia Nya yang paling
dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di
dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan Nya
secara penuh, ketika Ia mengutus Putera Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus
Kristus dan Roh Kudus.
ARTIKEL 1: WAHYU Allah
I. Allah Mewahyukan
"Keputusan-Nya yang Berbelaskasihan"
51 "Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan
mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu
manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam
Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi" (DV 2).
52 Allah "yang bersemayam dalam terang yang tak
terhampiri" (1 Tim 6:16) hendak menyampaikan kepada manusia, yang Ia
ciptakan dalam kebebasan, kehidupan ilahi-Nya sendiri, supaya melalui
Putera-Nya yang tunggal Ia mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya. Dengan
mewahyukan Diri, Allah hendak menyanggupkan manusia untuk memberi jawaban
kepada-Nya, mengakui-Nya dan mencintai-Nya atas cara yang jauh melampaui
kemampuan manusia itu sendiri.
53 Keputusan wahyu ilahi itu diwujudkan "dalam
perbuatan dan perkataan yang bertalian batin satu sama lain" (DV2). Di
dalamnya tercakup "kebijaksanaan mendidik" ilahi yang khas: Allah
menyatakan Diri secara bertahap kepada manusia; Ia mempersiapkan manusia secara
bertahap untuk menerima wahyu diri-Nya yang adikodrati, yang mencapai puncaknya
dalam pribadi dan perutusan Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia.
Dengan menggunakan kiasan bahwa Allah dan manusia
seakan-akan saling membiasakan diri satu sama lain, santo Ireneus dari Lyon
berbicara berulang kali tentang pedagogi ilahi ini. "Sabda Allah berdiam
dalam manusia dan menjadi putera manusia, supaya manusia membiasakan diri untuk
menerima Allah, dan Allah membiasakan diri untuk tinggal dalam manusia seturut
perkenanan Bapa" (haer. 3,20,2).
II. Tahap-tahap Wahyu
Allah Membiarkan Diri Dikenal sejak Awal Mula
54 "Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui
Sabda-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya dalam makhluk-makhluk,
senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rm
1:19-20). Lagi pula karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di
surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama"
(DV3). Ia menghimpun mereka dalam suatu persatuan yang erat dengan diri-Nya,
sambil menghiasi mereka dengan rahmat dan keadilan yang gemilang.
55 Wahyu ini tidak diputuskan oleh dosa leluhur kita.
"Karena sesudah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan [Allah]
mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej 3:15). Tiada
putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk mengaruniakan hidup kekal
kepada semua, yang mencari keselamatan dengan bertekun melakukan apa yang baik
(lih. Rm 2:6-7)" (DV 3).
Ketika manusia "kehilangan persahabatan dengan Dikau
karena tidak setia, ia tidak Kaubiarkan merana di bawah kekuasaan maut.
Berulang kali Engkau menawarkan perjanjian kepada mereka" (MR, Doa Syukur
Agung IV, 118).
Perjanjian dengan Nuh
56 Ketika kesatuan umat manusia terpecah belah oleh dosa,
Allah coba meluputkan umat manusia sebagian demi sebagian. Dalam perjanjian
yang Ia lakukan dengan Nuh sesudah air bah, kehendak keselamatan ilahi
dinyatakan kepada "bangsa-bangsa", artinya kepada manusia-manusia,
yang tinggal di "negerinya masing-masing dan mempunyai bahasa serta
suku-sukunya sendiri" (Kej 10:5).
57 Tata aturan bangsa-bangsa yang banyak, yang
dipercayakan oleh penyelenggaraan ilahi kepada pengawalan para malaikat, adalah
sekaligus kosmis, sosial, dan religius. Aturan ini dimaksudkan untuk membendung
kesombongan umat manusia yang sudah jatuh, yang bersatu dalam cita-citanya yang
jahat, untuk membentuk dirinya menjadi kesatuan seturut model Babel. Tetapi
karena dosa, maka aturan sementara ini selalu terancam dan dapat jatuh ke dalam
penyimpangan kafir yakni politeisme dan pendewaan bangsa serta pemimpinnya.
58 Perjanjian dengan Nuh berlaku selama waktu bangsa-bangsa
sampai kepada pewartaan Injil di seluruh dunia. Kitab Suci menghormati beberapa
tokoh besar dari "bangsa-bangsa": "Abel yang adil", raja
dan imam Melkisedek sebagai lambang Kristus, "Nuh, Daniel, dan Ayub"
yang adil (Yeh 14:14). Dengan demikian Kitab Suci menegaskan kesucian agung
yang dapat dicapai oleh mereka yang hidup tekun sesuai dengan perjanjian Nuh
sambil menantikan Kristus yang akan datang "untuk mengumpulkan dan
mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai" (Yoh 11:52).
Allah Memilih Abraham
59 Supaya mengumpulkan kembali umat manusia yang
tercerai-berai, Allah memilih Abram dan memanggilnya keluar dari negerinya,
dari kaum keluarganya dan dari rumah bapanya, untuk menjadikannya Abraham yang
berarti "bapa sejumlah besar bangsa" (Kej 17:5): "Karena engkau
Aku akan memberkati semua bangsa di bumi" (Kej 12:3 LXX).
60 Bangsa yang berasal dari Abraham menjadi pembawa janji
yang Allah ikrarkan kepada para bapa bangsa, menjadi bangsa terpilih yang
dipanggil dengan maksud mempersiapkan pengumpulan semua anak Allah dalam
kesatuan Gereja. Bangsa ini menjadi akar pohon, yang padanya akan dicangkokkan
orang-orang kafir, kalau mereka sudah percaya.
61 Para bapa bangsa, para nabi dan tokoh-tokoh besar yang
lain dalam Perjanjian Lama dari dulu dan terus dihormati dalam semua tradisi
liturgi sebagai orang-orang kudus.
Allah Membentuk Bangsa-Nya Israel bagi Diri-Nya
62 Dalam waktu sesudah zaman para bapa, Tuhan menjadikan
Israel bangsa-Nya. Ia membebaskannya dari perhambaan di Mesir, mengadakan perjanjian
dengannya di Sinai, dan memberi kepadanya hukum-Nya melalui Musa, supaya
mengakui diri-Nya sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai bapa
penyelenggara dan sebagai hakim yang adil, dan untuk menantikan Juru Selamat
terjanji.
63 Israel adalah bangsa imam-imam Allah, yang telah
diberkati dengan "nama Allah" (Ul 28:10). Itulah bangsa orang-orang,
"yang menerima Sabda Allah sebelum kita" (MR, Jumat Agung, Doa umat
meriah 6), bangsa "kakak-kakak" dalam iman Abraham.
64 Dengan perantaraan para nabi, Allah membina bangsa-Nya
dalam harapan akan keselamatan, dalam menantikan satu perjanjian yang baru dan
kekal, yang diperuntukkan bagi semua orang dan ditulis dalam hati mereka. Para
nabi mewartakan pembebasan bangsa Allah secara radikal, penyucian dari segala
kejahatannya, keselamatan yang mencakup semua bangsa. Terutama orang yang
miskin dan rendah hati di hadapan Allah menjadi pembawa harapan ini.
Wanita-wanita saleh seperti Sara, Ribka, Rahel, Miriam, Debora, Hana, Yudit,
dan Ester tetap menghidupkan harapan akan keselamatan Israel itu; tokoh yang
termurni di antara mereka adalah Maria.
III. Yesus Kristus - Perantara dan Pemenuhan Seluruh Wahyu
Dalam Sabda-Nya Allah telah Mengatakan Segala-galanya
65 "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali
dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan
nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraan Anak-Nya" (Ibr l:l-2). Kristus, Putera Allah yang menjadi
manusia, adalah Sabda Bapa yang tunggal, yang sempurna, yang tidak ada taranya.
Dalam Dia Allah mengatakan segala-galanya, dan tidak akan ada perkataan lain
lagi. Hal ini ditegaskan dengan jelas oleh santo Yohanes dari Salib dalam
uraiannya mengenai Ibrani 1:1-2:
"Sejak Ia menganugerahkan kepada kita Anak-Nya, yang
adalah Sabda-Nya, Allah tidak memberikan kepada kita sabda yang lain lagi. Ia
sudah mengatakan segala sesuatu dalam Sabda yang satu itu ... Karena yang Ia
sampaikan dahulu kepada para nabi secara sepotong-sepotong, sekarang ini Ia
sampaikan dengan utuh, waktu Ia memberikan kita seluruhnya yaitu Anak-Nya. Maka
barang siapa sekarang ini masih ingin menanyakan kepada-Nya atau menghendaki
dari-Nya penglihatan atau wahyu, ia tidak hanya bertindak tidak bijaksana,
tetapi ia malahan mempemalukan Allah; karena ia tidak mengarahkan matanya hanya
kepada Kristus sendiri, tetapi merindukan hal-hal lain atau hal-hal baru"
(Carm. 2,22).
Tidak akan Ada Wahyu yang Lain
66 "Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu
perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu
diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus
Kristus" (DV 4). Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama
sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen,
supaya dalam peredaran zaman lama-kelamaan dapat mengerti seluruh artinya.
67 Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan
"wahyu pribadi", yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan
Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendahaman iman.
Bukanlah tugas mereka untuk "menyempurnakan" wahyu Kristus yang
definitif atau untuk "melengkapinya", melainkan untuk membantu supaya
orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu. Di
bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat
beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan
amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja.
Iman Kristen tidak dapat "menerima" wahyu-wahyu
yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus.
Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga
oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas
"wahyu-wahyu" yang demikian itu.
TEKS-TEKS SINGKAT
68 Allah sudah mewahyukan dan mengaruniakan Diri kepada
manusia karena cinta. Dengan demikian Ia memberi jawaban yang berlimpah dan
definitif atas pertanyaan mengenai arti dan tujuan kehidupan ini yang dihadapi
manusia.
69 Allah mewahyukan Diri kepada manusia dengan cara
menyampaikan misteri-Nya kepadanya secara bertahap melalui perbuatan dan
perkataan.
70 Melampaui kesaksian tentang Diri dalam makhluk
ciptaan, Allah telah menyatakan Diri kepada leluhur kita. Ia berkata-kata kepada
mereka, sesudah jatuh dalam dosa Ia menjanjikan keselamatan dan menawarkan
perjanjian-Nya kepada mereka.
71 Tuhan mengadakan perjanjian kekal dengan Nuh,
perjanjian antara Dia dan segala makhluk hidup. Selama dunia ini berlangsung,
berlangsung pulalah perjanjian ini.
72 Allah memilih Abraham dan mengadakan perjanjian dengan
dia dan dengan keturunannya. Dari mereka itu Ia membentuk satu bangsa bagi
diri-Nya, kepadanya Ia mewahyukan hukum-Nya dengan perantaraan Musa. Ia
mempersiapkan bangsa ini melalui para nabi agar menerima keselamatan yang
dimaksudkan untuk seluruh umat manusia.
73 Allah mewahyukan Diri secara penuh dengan mengutus
Putera-Nya sendiri; di dalam Dia Ia mengadakan perjanjian untuk selama-lamanya.
Kristus adalah Sabda Bapa yang definitif, sehingga sesudah Dia tidak akan ada
wahyu lain lagi.
ARTIKEL 2: PENTRADISIAN WAHYU ILAHI
74 Allah "menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh
pengetahuan akan kebenaran" (1 Tim 2:4), artinya supaya semua orang
mengenal Yesus Kristus. Karena itu Kristus harus diwartakan kepada semua bangsa
dan manusia dan wahyu mesti sampai ke Batas-Batas dunia.
"Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa
apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk
selamanya dan diteruskan kepada segala keturunan" (DV 7).
I. Tradisi Apostolik
75 "Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan
seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor 1:30; 3:16-4:6), memerintahkan
kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para nabi
dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada
semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber
ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagi-bagikan karunia-karunia ilahi
kepada mereka" (DV 7).
Khotbah Apostolik...
76 Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan
Injil atas dua cara:
-- secara lisan "oleh para Rasul, yang dalam
pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa
yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa
yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari";
-- secara tertulis "oleh para Rasul dan tokoh-tokoh
rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat
keselamatan" (DV 7).
... Dilanjutkan dalam Suksesi Apostolik
77 "Adapun, supaya Injil senantiasa terpelihara
secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-Uskup
sebagai pengganti-pengganti mereka, yang `mereka serahi kedudukan mereka untuk
mengajar" (DV 7). Maka, "pewartaan para Rasul, yang secara istimewa
diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai
kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya" (DV
8).
78 Penerusan yang hidup ini yang berlangsung dengan
bantuan Roh Kudus, dinamakan "tradisi", yang walaupun berbeda dengan
Kitab Suci, namun sangat erat berhubungan dengannya. "Demikianlah Gereja
dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua
keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya" (DV 8).
"Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran tradisi
itu yang menghidupkan, dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan
Gereja yang beriman dan berdoa" (DV 8).
79 Dengan demikian penyampaian Diri Bapa melalui
Sabda-Nya dalam Roh Kudus tetap hadir di dalam Gereja dan berkarya di dalamnya:
"Demikianlah Allah, yang dahulu telah bersabda, tiada henti-hentinya
berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang
menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja
dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan
menyebabkan Sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol
3:16)" (DV 8).
II. Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci
Satu Sumber yang Sama ...
80 "Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat
sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan
dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang
sama" (DV 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus
di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya
"sampai akhir zaman" (Mat 28:20) .
... Dua Cara yang Berbeda dalam Mengalihkannya
81 "Kitab Suci adalah pembicaraan Allah sejauh itu
termaktub dengan ilham Roh ilahi".
"Oleh Tradisi Suci Sabda Allah, yang oleh Kristus
Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada
para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan
pewartaan mereka memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia"
(DV 9).
82 "Dengan demikian maka Gereja", yang
dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, "menimba kepastiannya
tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka
dari itu keduanya [baik tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati
dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama" (DV 9).
Tradisi Apostolik dan Gerejani
83 Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para
Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan
yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum
mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri
memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.
Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau
religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat,
bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang
disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi
utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret
itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus.
III. Penafsiran Warisan Iman
Warisan Iman Dipercayakan kepada Seluruh Gereja
84 "Pusaka Suci" iman [depositum fidei] yang
tercantum di dalam Tradisi Suci dan di dalam Kitab Suci dipercayakan oleh para
Rasul kepada seluruh Gereja. "Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat
Suci bersatu dengan para Gembala mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul
dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 Yn). Dengan
demikian dalam mempertahankan, melaksanakan, dan mengakui iman yang diturunkan
itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman" (DV
10).
Wewenang Mengajar [Magisterium] Gereja
85 "Adapun tugas menafsirkan secara otentik Sabda
Allah yang tertulis atau diturunkan itu, dipercayakan hanya kepada Wewenang
Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan alas nama Yesus
Kristus" (DV 10).
86 "Wewenang Mengajar itu tidak berada di alas Sabda
Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang
diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh
Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya
dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang
diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah" (DV
10).
87 Kaum beriman mengenangkan perkataan Kristus kepada
para Rasul: "Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku"
(Luk 10:16) dan menerima dengan rela ajaran dan petunjuk yang diberikan para
gembala kepada mereka dalam berbagai macam bentuk.
Dogma-dogma mengenai Iman
88 Wewenang Mengajar Gereja menggunakan secara penuh
otoritas yang diterimanya dari Kristus, apabila ia mendefinisikan dogma-dogma,
artinya apabila dalam satu bentuk yang mewajibkan umat Kristen dalam iman dan
yang tidak dapat ditarik kembali, ia mengajukan kebenaran-kebenaran yang
tercantum di dalam wahyu ilahi atau secara mutlak berhubungan dengan
kebenaran-kebenaran demikian.
89 Kehidupan rohani kita dan dogma-dogma itu mempunyai
hubungan organis. Dogma-dogma adalah cahaya di jalan kepercayaan kita, mereka
menerangi dan mengamankannya. Sebaliknya melalui cara hidup yang tepat, pikiran
dan hati kita dibuka, untuk menerima cahaya dogma iman itu.
90 Hubungan timbal balik dan kaitan batiniah antara
dogma-dogma terdapat dalam wahyu misteri Kristus secara menyeluruh. Terdapat
"satu tata urutan atau `hierarki kebenaran-kebenaran ajaran Katolik,
karena berbeda-bedalah hubungannya dengan dasar iman Kristen" (UR 11).
Cita Rasa Iman Adikodrati
91 Semua orang beriman turut mengambil bagian dalam
mengerti dan meneruskan kebenaran yang diwahyukan. Mereka telah menerima urapan
Roh Kudus, yang mengajar mereka dan yang membimbing mereka untuk mengenal
seluruh kebenaran.
92 "Keseluruhan kaum beriman, yang telah diurapi
oleh Yang Kudus (lih. l Yoh 5 2:20 dan 27), tidak dapat sesat dalam beriman;
dan sifat mereka yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman
adikodrati segenap umat, bila `dari para Uskup hingga para awani beriman yang
terkecil mereka secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka tentang
perkara-perkara iman dan kesusilaan" (LG 12).
93 "Dengan perasaan iman yang dibangkitkan dan
dipelihara oleh Roh Kebenaran, umat tanpa menyimpang berpegang teguh pada iman,
yang sekali telah diserahkan kepada para kudus (Yud 3); dengan pengertian yang
tepat umat semakin mendalam menyelaminya, dan semakin penuh menerapkannya dalam
hidup mereka" (LG 12).
Tumbuh dalam Pengertian Iman-
94 Berkat bantuan Roh Kudus maka pengertian mengenai
kenyataan, demikian juga formulasi dari pusaka iman dapat bertumbuh dalam
kehidupan Gereja:
- "Karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati
(lih. Luk 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya" (DV 8); terutama
"hendaknya penelitian teologis berusaha mencapai pengertian yang mendalam
tentang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan" (GS 62,7).
- "atas dasar pemahaman yang lebih mendalam sekitar
inti hal-hal rohani yang dialami" (DV 8); "kata-kata ilahi tumbuh
bersama orang yang membacanya" (Gregorius Agung, hom. Ez. 1,7,8);
- "atas dasar pewartaan mereka, yang berdasarkan
pergantian dalam jabatan Uskup, menerima karisma kebenaran yang pasti" (DV
8).
95 "Maka jelaslah Tradisi Suci, Kitab Suci, dan
Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling
berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak ada tanpa
kedua lainnya dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri,
di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan
jiwa-jiwa" (DV 10,3).
TEKS-TEKS SINGKAT
96 Apa yang dipercayakan Kristus kepada para Rasul, telah
diteruskan oleh mereka, yang diilhami oleh Roh Kudus, dalam khotbahnya dan
secara tertulis kepada semua generasi sampai kepada kedatangan kembali Kristus
yang mulia.
97 "Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu
perbendaharaan keramat Sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja " (DV
10). Di dalamnya Gereja yang berziarah memandang Tuhan, sumber segala
kekayaannya, seperti dalam sebuah cermin.
98 "Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta
ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya
seluruhnya, imannya seutuhnya" (DV 8).
99 Berkat cita rasa iman adikodrati, seluruh umat Allah
menerima secara terus-menerus karunia Wahyu ilahi, mempelajarinya lebih dalam
serta menghayatinya secara makin lengkap.
100 Tugas untuk menjelaskan Sabda Allah secara mengikat,
hanya di serahkan kepada Wewenang Mengajar Gereja, kepada Paus dan kepada para
Uskup yang bersatu dengannya dalam satu paguyuban.
ARTIKEL 3: KITAB SUCI
I. Kristus -
Satu-satunya Sabda Kitab Suci
101 Untuk mewahyukan Diri kepada manusia, Allah berbicara
dalam kebaikan-Nya kepada manusia dengan bahasa manusiawi: "Sabda Allah
yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi,
seperti dahulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan
manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia" (DV 13).
102 Melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya mengatakan
satu kata: Sabda-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia Ia mengungkapkan Diri
seutuhnya:
"Sabda Allah yang satu dan sama berada dalam semua
Kitab; Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab
yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada Allah, Ia tidak
membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada waktu"
(Agustinus, Psal. 103,4,1).
103 Dari sebab itu Gereja selalu menghormati Kitab-Kitab
Suci sama seperti Tubuh Kristus sendiri. Gereja tak putus-putusnya menyajikan
kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda
Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus.
104 Di dalam Kitab Suci, Gereja selalu mendapatkan
makanannya dan kekuatannya karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata
manusiawi, tetapi apa yang sebenarnya Kitab Suci itu: Sabda Allah. "Karena
di dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai
para putera-Nya, dan berwawancara dengan mereka" (DV 21).
II. Inspirasi dan Kebenaran Kitab Suci
105 Allah adalah penyebab [auctor] Kitab Suci. "Yang
diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis
dengan ilham Roh Kudus".
"Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para
Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara
keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan
kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr
1:19-21; 3:15-16), dan dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam
keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja" (DV 11).
106 Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis
[auclor] Kitab Suci. "Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah
memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan
kemampuan mereka sendiri, supaya - sementara Dia berkarya dalam dan melalui
mereka - semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh
mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh" (DV 11).
107 Kitab-kitab yang diinspirasi mengajarkan kebenaran.
"Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para
pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai
pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Kitab Suci mengajarkan
dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah
dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita"
(DV 11).
108 Tetapi iman Kristen bukanlah satu "agama
buku". Agama Kristen adalah agama "Sabda" Allah, "bukan
sabda yang ditulis dan bisu, melainkan Sabda yang menjadi manusia dan
hidup" (Bernard, hom. miss. 4,11). Kristus, Sabda abadi dari Allah yang
hidup, harus membuka pikiran kita dengan penerangan Roh Kudus, "untuk
mengerti maksud Alkitab" (Luk 24:45), supaya ia tidak tinggal huruf mati.
III. Roh Kudus Adalah Penafsir Kitab Suci
109 Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia
dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar
melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang
ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka.
110 Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya
diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada
waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya
digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. "Sebab dengan cara yang
berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan
aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis
sastra lainnya" (DV 12,2).
111 Oleh karena Kitab Suci diilhami, maka masih ada satu
prinsip lain yang tidak kurang pentingnya guna penafsiran yang tepat karena
tanpa itu Kitab Suci akan tinggal huruf mati saja: "Akan tetapi Kitab Suci
ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan dalam Roh itu
juga" (DV 12,3).
Untuk penafsiran Kitab Suci sesuai dengan Roh, yang telah
mengilhaminya, Konsili Vatikan II memberikan tiga kriteria:
112 1. Memperhatikan dengan saksama "isi dan
kesatuan seluruh Kitab Suci". Sebab bagaimanapun bedanya kitab-kitab itu,
yang membentuk Kitab Suci, namun Kitab Suci adalah satu kesatuan atas dasar
kesatuan rencana Allah yang pusat dan hatinya adalah Yesus Kristus. Sejak Paska
hati itu sudah dibuka:
"Ungkapan `hati Kristus harus diartikan menurut
Kitab Suci yang memperkenalkan hati Kristus. Hati ini tertutup sebelum
kesengsaraan, karena Kitab Suci masih gelap. Tetapi sesudah sengsara-Nya Kitab
Suci terbuka, agar mereka yang sekarang memahaminya, dapat mempertimbangkan dan
membeda-bedakan, bagaimana nubuat-nubuat harus ditafsirkan" (Tomas Aqu.,
Psal. 21,11).
113 2. Membaca Kitab Suci "dalam terang tradisi
hidup seluruh Gereja". Menurut satu semboyan para bapa "Kitab Suci
lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen [kertas
dari kulit]". Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan
Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab
Suci ... "menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja"
(Origenes, hom. in Lev. 5,5).
114 3. Memperhatikan "analogi iman". Dengan
"analogi iman" dimaksudkan hubungan kebenaran-kebenaran iman satu
sama lain dan dalam rencana keseluruhan wahyu.
Arti Ganda Kitab Suci
115 Sesuai dengan tradisi tua, arti Kitab Suci itu
bersifat ganda: arti harfiah dan arti rohani. Yang terakhir ini dapat saja
bersifat alegoris, moralis, atau anagogis. Kesamaan yang mendalam dari keempat
arti ini menjamin kekayaan besar bagi pembacaan Kitab Suci yang hidup di dalam
Gereja.
116 Arti harfiah adalah arti yang dicantumkan oleh
kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan
penafsiran teks secara tepat. "Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam
arti harfiah" (Tomas Aqu., s.th. 1,1,10 ad 1).
117 Arti rohani. Berkat kesatuan rencana Allah, maka
bukan hanya teks Kitab Suci, melainkan juga kenyataan dan kejadian yang
dibicarakan teks itu dapat merupakan tanda.
1. Arti alegoris.
Kita dapat memperoleh satu pengertian yang lebih dalam mengenai
kejadian-kejadian, apabila kita mengetahui arti yang diperoleh peristiwa itu
dalam Kristus. Umpamanya penyeberangan Laut Merah adalah tanda kemenangan
Kristus dan dengan demikian tanda Pembaptisan.
2. Arti moral.
Kejadian-kejadian yang dibicarakan dalam Kitab Suci harus mengajak kita untuk
melakukan yang baik. Hal-hal itu ditulis sebagai "contoh bagi kita ...
sebagai peringatan" (1 Kor 10:11).
3. Arti anagogis.
Kita dapat melihat kenyataan dan kejadian dalam artinya yang abadi, yang
menghantar kita ke atas, ke tanah air abadi (Yunani: "anagoge").
Misalnya, Gereja di bumi ini adalah lambang Yerusalem surgawi.
118 Sam distikhon dari Abad Pertengahan menyimpulkan
keempat arti itu sebagai berikut:
"Littera gesta docet, quid credas allegoria Moralis
quid agas, quo tendas anagogia"
(Huruf mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya,
alegori; moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan,
anagogi).
119 "Merupakan kewajiban para ahli Kitab Suci:
berusaha menurut norma-norma itu untuk semakin mendalam memahami dan
menerangkan arti Kitab Suci, supaya seolah-olah berkat penyelidikan yang
disiapkan, keputusan Gereja menjadi lebih masak. Sebab akhirnya semua yang
menyangkut cara menafsirkan Kitab Suci itu berada di bawah keputusan Gereja,
yang menunaikan tugas serta pelayanan memelihara dan menafsirkan Sabda
Allah" (DV 12,3).
"Saya tidak akan percaya kepada Injil sekalipun,
seandainya bukan otoritas Gereja Katolik mendorong saya ke arah itu"
(Agustinus, fund. 5,6).
IV. Kanon Kitab Suci
120 Dalam tradisi apostolik Gereja menentukan,
kitab-kitab mana yang harus dicantumkan dalam daftar kitab-kitab suci. Daftar
yang lengkap ini dinamakan "Kanon" Kitab Suci. Sesuai dengan itu
Perjanjian Lama terdiri dari 46 (45, kalau Yeremia dan Lagu-lagu Ratapan
digabungkan) dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab.
Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, dua buku Samuel, dua buku Raja-Raja, dua buku
Tawarikh, Esra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dua buku Makabe, Ayub, Mazmur,
Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Yesus Sirakh, Yesaya, Yeremia,
Ratapan, Barukh, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha,
Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.
Perjanjian Baru: Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan
Yohanes, Kisah para Rasul, suratsurat Paulus: kepada umat di Roma, surat
pertama dan kedua kepada umat Korintus, kepada umat di Galatia, kepada umat di
Efesus, kepada umat di Filipi, kepada umat di Kolose, surat pertama dan kedua
kepada umat di Tesalonika, surat pertama dan kedua kepada Timotius, surat
kepada Titus, surat kepada Filemon, surat kepada orang lbrani, surat Yakobus,
surat pertama dan kedua Petrus, surat pertama, kedua, dan ketiga Yohanes, surat
Yudas, dan Wahyu kepada Yohanes.
Perjanjian Lama
121 Perjanjian Lama adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami secara ilahi dan tetap
memiliki nilainya karena Perjanjian Lama tidak pernah dibatalkan.
122 "Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama
dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia."
Meskipun kitab-kitab Perjanjian Lama Juga mencantum hal-hal yang tidak sempurna
dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang
sejati . ... Kitab-kitab itu mencantum ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah
serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, pun juga
perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung [mereka]
mengemban rahasia keselamatan kita" (DV 15).
123 Umat Kristen menghormati Perjanjian Lama sebagai Sabda
Allah yang benar. Gereja tetap menolak dengan tegas gagasan untuk menghilangkan
Perjanjian Lama, karena Perjanjian Baru sudah menggantikannya [Markionisme].
124 "Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi
keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rm 1:16), dalam kitab-kitab
Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya
kekuatannya" (DV 17). Tulisan-tulisan tersebut memberi kepada kita
kebenaran definitif wahyu ilahi. Tema sentralnya ialah Yesus Kristus, Putera
Allah yang menjadi manusia, karya-Nya, ajaran-Nya, kesengsaraan-Nya, dan
pemuliaan-Nya begitu pula awal mula Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus.
Perjanjian Baru
125 Injil-injil merupakan jantung hati semua tulisan
sebagai "kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda Yang Menjadi
Daging, Penyelamat kita" (DV 18).
126 Dalam penyusunan Injil-injil dapat kita bedakan tiga
tahap:
1. Kehidupan dan
kegiatan mengajar Yesus. Bunda Gereja kudus tetap mempertahankan dengan teguh
dan sangat kokoh, bahwa keempat Injil "yang sifat historisnya diakui tanpa
ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama
hidup-Nya di antara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi
keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis 1:1-2)" (DV
19).
2. Tradisi lisan.
"Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka
apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang
lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia
Kristus dan oleh terang Roh kebenaran" (DV 19).
3. Penulisan
Injil-Injil. "Adapun penulis suci mengarang keempat Injil dengan memilih
berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau
tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan
dengan memperhatikan keadaan Gereja-Gereja; akhirnya dengan tetap
mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu
menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus" (DV 19).
127 Injil berganda empat itu menduduki tempat istimewa di
dalam Gereja. Ini dibuktikan oleh penghormatan terhadapnya di dalam liturgi dan
daya tarik yang tidak ada bandingnya, yang mempengaruhi orang kudus dari setiap
zaman.
"Tidak ada satu ajaran yang lebih baik, lebih
bernilai dan lebih indah daripada teks Injil. Lihatlah dan peganglah teguh, apa
yang tuan dan guru kita Kristus ajarkan dalam kata-kata-Nya dan lakukan dalam
karya-karya-Nya" (Sesaria Muda).
"Terutama Injil sangat mengesankan bagi saya sewaktu
saya melakukan doa batin; di dalamnya saya menemukan segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh jiwa saya yang lemah ini. Di dalamnya saya selalu menemukan
pandangan baru, dan makna yang tersembunyi dan penuh rahasia" (Teresia
dari Anak Yesus. ms autob. A 83v).
Kesatuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
128 Sudah sejak zaman para Rasul dan juga dalam seluruh
tradisi, kesatuan rencana ilahi dalam kedua Perjanjian itu dijelaskan oleh
Gereja melalui tipologi. Penafsiran macam ini menemukan dalam karya Tuhan dalam
Perjanjian Lama "Prabentuk" (tipologi) dari apa yang dilaksanakan
Tuhan dalam kepenuhan waktu dalam pribadi Sabda-Nya yang menjadi manusia.
129 Jadi umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam
terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan tipologis ini menyingkapkan
kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan,
bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri
telah nyatakan tentangnya. Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam
cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian
Lama. Sesuai dengan sebuah semboyan lama Perjanjian Baru terselubung dalam
Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru:
"Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet" (Agustinus, Hept.
2,73).
130 Tipologi berarti adanya perkembangan rencana ilahi ke
arah pemenuhannya, sampai akhirnya "Allah menjadi semua di dalam
semua" (1 Kor 15:28). Umpamanya panggilan para bapa bangsa dan keluaran
dari Mesir tidak kehilangan nilai sendiri dalam rencana Allah, karena mereka
juga merupakan tahap-tahap sementara di dalam rencana itu.
V Kitab Suci dalam Kehidupan Gereja
131 "Adapun sedemikian besarlah daya dan kekuatan
Sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi
putera-putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan
kekal hidup rohani" (DV 21). "Bagi kaum beriman kristiani jalan
menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar" (DV 22).
132 "Maka dari itu pelajaran Kitab Suci hendaklah
bagaikan jiwa teologi suci. Namun dengan sabda Kitab Suci juga pelayanan sabda,
yakni pewartaan pastoral, katekese, dan semua pelajaran kristiani - di
antaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan - mendapat bahan yang
sehat dan berkembang dengan suci" (DV 24).
133 Gereja "menasihati seluruh umat Kristen dengan
sangat, agar melalui pembacaan buku-buku ilahi sampai kepada `pengenalan Yesus
Kristus secara menonjol (Flp 3:8). `Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus (Hieronimus, Is. prol.)" (DV 25).
TEKS-TEKS SINGKAT
134 "Seluruh Kitab Suci adalah satu buku saja dan
buku yang satu ini adalah Kristus, karena seluruh Kitab ilahi ini berbicara
tentang Kristus, dan seluruh Kitab ilahi terpenuhi dalam Kristus. " (Hugo
dari San Victor Noe 2,8).
135 "Kitab Suci mengemban Sabda Allah, dan karena
diilhami, memang sungguh-sungguh Sabda Allah" (D V 24).
136 Allah adalah penyebab Kitab Suci Ia mengilhami
pengarang-pengarang manusia: Ia bekerja dalam mereka dan melalui mereka. Dengan
demikian la menjamin, bahwa buku-buku mereka mengajarkan kebenaran keselamatan
tanpa kekeliruan.
137 Penafsiran buku-buku yang diilhami terutama harus
memperhatikan, apa yang hendak dikatakan Tuhan melalui penulis-penulis kudus
demi keselamatan kita. "Apa yang berasal dari Roh, hanya dapat dimengerti
sepenuhnya oleh karya Roh" (Origenes, hom.in Ex. 4,5).
138 Ke-46 buku Perjanjian Lama dan ke-27 buku Perjanjian
Baru diakui dan dihormati oleh Gereja sebagai diilhami.
139 Keempat Injil menduduki tempat sentral, karena Yesus
Kristus adalah pusatnya.
140 Kesatuan kedua Perjanjian mengalir dari kesatuan
rencana dan wahyu Allah. Perjanjian Lama mempersiapkan yang Baru, sedangkan
yang Baru menyempurnakan yang Lama. Kedua-duanya saling menjelaskan. Kedua
duanya adalah Sabda Allah yang benar
141 "Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan
sendiri selalu dihormati oleh Gereja" (DV 21). Kedua-duanya memelihara dan
mengarahkan seluruh kehidupan Kristen. "Firman-Mu adalah pelita bagi
kakiku, terang untuk menerangi jalanku" (Mzm 119:105).
BAB III
JAWABAN
MANUSIA KEPADA ALLAH
142 Melalui wahyu-Nya, "Allah yang tidak kelihatan
(lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia
sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan
mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan
diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya" (DV 2). Jawaban yang pantas
untuk undangan itu ialah iman.
143 Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan
kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah
yang mewahyukan Diri. Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan
yang mewahyukan Diri itu "ketaatan iman".
ARTIKEL 4 AKU PERCAYA
I. Ketaatan Iman
144 Taat [ob-audire] dalam iman berarti menaklukkan diri
dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin
oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini
Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya
atas cara yang paling sempurna.
Abraham - "Bapa Semua Orang Beriman"
145 Dalam pidato pujian mengenai iman para leluhur, surat
lbrani menonjolkan terutama iman Abraham: "Karena iman, Abraham taat
ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi
milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia
tujui" (1br 11:8). Karena beriman, maka Abraham tinggal sebagai orang
asing di negeri yang dijanjikan Allah kepadanya. Karena beriman, maka Sara
mengandung seorang putera yang dijanjikan. Karena beriman, maka Abraham
mempersembahkan puteranya yang tunggal sebagai kurban.
146 Dengan demikian Abraham meragakan definisi iman yang
diajukan oleh surat Ibrani: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang
kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibr
11:1). "Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal
itu kepadanya sebagai kebenaran" (Rm 4:3) . Karena ia "percaya tanpa
ragu-ragu" (Rm 4:20), maka Abraham "menjadi bapa secara rohani bagi
semua orang yang percaya kepada Allah" (Rm 4:11).
147 Dalam Perjanjian Lama terdapat banyak kesaksian iman
semacam ini. Surat Ibrani menyampaikan pidato pujian tentang iman para leluhur
yang patut dicontoh, iman yang membuat mereka tetap dikenang (lbr 11:2)3.
Tetapi Allah telah "menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita"
(Ibr 11:40): rahmat supaya beriman kepada Putera-Nya Yesus, "yang memimpin
kita dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan" (Ibr
12:2).
Maria - "Berbahagialah Dia, yang Percaya"
148 Perawan Maria menghayati ketaatan iman yang paling
sempurna. Oleh karena ia percaya bahwa bagi Allah "tidak ada yang
mustahil" (Luk 1:37), maka ia menerima pemberitahuan dan janji yang
disampaikan oleh malaikat dengan penuh iman dan memberikan persetujuannya:
"Lihatlah, aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu"
(Luk 1:38). Elisabet memberi salam kepadanya: "Berbahagialah ia yang telah
percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana"
(Luk 1:45). Demi iman ini segala bangsa akan menyatakannya bahagia.
149 Selama seluruh kehidupannya, juga dalam percobaannya
yang terakhir, ketika Yesus, Puteranya, wafat di kayu salib, imannya tidak
goyah. Maria tidak melepaskan imannya bahwa Sabda Allah "akan
terpenuhi". Karena itu Gereja menghormati Maria sebagai tokoh iman yang
paling murni.
II. "Aku Tahu, kepada Siapa Aku Percaya"
Percaya hanya akan Allah
150 Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan
sekaligus, tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas terhadap segala
kebenaran yang diwahyukan Allah. Sebagai ikatan pribadi dengan Allah dan
persetujuan terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, iman Kristen berbeda
dengan kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan diri
seluruhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolut apa yang Ia katakan
adalah tepat dan benar. Sebaliknya adalah sia-sia dan salah memberikan
kepercayaan yang demikian itu kepada seorang makhluk.
Percaya akan Yesus Kristus, Putera Allah
151 Untuk seorang Kristen, iman akan Allah berhubungan
erat dengan iman akan Dia, yang diutus-Nya, "Putera-Nya terkasih",
yang berkenan kepada-Nya (Mrk 1:11) dan Dia yang harus kita dengarkan. Tuhan
sendiri berkata kepada murid-murid-Nya: "Percayalah kepada Allah dan
percayalah kepada-Ku juga" (Yoh 14:1). Kita dapat percaya kepada Yesus
Kristus karena Ia sendiri Allah, Sabda yang menjadi manusia: "Tidak
seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di
pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya" (Yoh 1:18). Karena Ia sudah
"melihat Bapa" (Yoh 6:46), Ia adalah satu-satunya yang mengenal Bapa
dan dapat mewahyukan-Nya.
Percaya akan Roh Kudus
152 Orang tidak dapat percaya akan Yesus Kristus, tanpa
berpartisipasi pada Roh-Nya: Roh Kudus menyatakan kepada manusia, siapa Yesus.
"Tidak seorang pun dapat mengaku: `Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh
Kudus" (1 Kor 12:3). "Roh Allah itu menyelidiki segala sesuatu,
bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah ... Demikian pulalah tidak ada
orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah"
(1 Kor 2:10-11). Hanya Allah yang mengenal Allah secara menyeluruh. Kita
percaya akan Roh Kudus karena Ia Allah.
Gereja mengakui tanpa henti-hentinya imannya akan satu
Allah, Bapa, Putera dan Roh Kudus.
III. Ciri-ciri Iman
Iman Adalah Rahmat
153 Ketika Petrus mengakui bahwa Yesus adalah Mesias,
Putera Allah yang hidup, berkatalah Yesus kepadanya: "Bukan manusia yang
menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang ada di surga" (Mat 16:17).
Iman adalah satu anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan
oleh-Nya. "Supaya orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah
yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan
menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai
kebenaran" (DV 5).
Iman Adalah Suatu Kegiatan Manusiawi
154 Hanya dengan bantuan rahmat dan pertolongan batin Roh
Kudus, manusia mampu percaya. Walaupun demikian, iman adalah satu kegiatan
manusiawi yang sebenar-benarnya. Percaya kepada Allah dan menerima
kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh-Nya, tidak bertentangan baik dengan
kebebasan maupun dengan pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia pun tidak
bertentangan dengan martabat kita, kalau kita percaya apa yang orang lain
katakan kepada kita mengenai diri mereka sendiri dan mengenai maksudnya, dan
memberi kepercayaan kepada penjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan
wanita kawin) dan dengan demikian masuk ke dalam persekutuan dengan mereka.
Maka dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan martabat kita, "dalam
iman memberikan kepada Allah yang mewahyukan, ketaatan pikiran dan kehendak
secara utuh" (Konsili Vatikan 1: DS 3008) dan dengan demikian masuk ke
dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya.
155 Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja
sama dengan rahmat ilahi: "Iman adalah satu kegiatan akal budi yang
menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah
dengan perantaraan rahmat" (Tomas Aqu., s.th. 2-2, 2,9).
Iman dan Akal Budi
156 Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan
bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi
kodrati kita. Kita percaya "karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang
tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan" (Konsili Vatikan 1: DS
3008). Namun, "supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka
Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti
lahiriah bagi wahyu-Nya" (DS 3009). Maka mujizat Kristus dan para kudus,
ramalan, penyebaran dan kekudusan Gereja, kesuburannya dan kelanjutannya,
"dengan sesungguhnya adalah tanda-tanda wahyu ilahi yang jelas dan sesuai
dengan daya tangkap semua orang" (DS 812, 3009), alasan-alasan bagi
kredibilitas, yang menunjukkan bahwa "penerimaan iman sekali-kali bukanlah
suatu gerakan hati yang buta" (DS 3010).
157 Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian
manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang
kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman
manusiawi, tetapi "kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada
kepastian melalui cahaya akal budi alamiah" (Tomas Aqu., s.th.2-2,171,5
obj.3). "Ribuan kesukaran dan kesulitan tidak sama dengan
kebimbangan" (J.H. Newman, apol.).
158 Iman berusaha untuk mengerti (Anselmus prod. prooem).
Orang yang benar-benar percaya, berusaha untuk mengenal lebih baik dia, kepada
siapa ia telah memberikan kepercayaannya, dan untuk mengerti lebih baik apa
yang telah dinyatakannya. Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan
membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta.
Rahmat iman membuka "mata hati" (Ef 1:18) menuju suatu pengertian
yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhan rencana Allah dan
misteri iman, demikian juga hubungannya antara yang satu dengan yang lain dan
dengan Kristus, pusat misteri yang diwahyukan. "Supaya semakin mendalamlah
pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman
melalui karunia-karunia-Nya" (DV 5). Maka, benar apa yang dikatakan santo
Agustinus: "Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya
lebih baik" (serm. 43,7,9).
159 Iman dan ilmu pengetahuan. "Meskipun iman itu
melebihi akal budi,namun tidak pernah bisa ada satu pertentangan yang sesungguhnya
antara iman dan akal budi: karena Allah yang sama, yang mewahyukan
rahasia-rahasia dan mencurahkan iman, telah menempatkan di dalam roh manusia
cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan
tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar" (Konsili
Vatikan 1: DS 3017). "Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang
ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah
kesusilaan, tidak akan pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal
profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa
dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam,
kendati tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah yang
melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya" (GS
36,2).
Kebebasan Iman
160 Supaya iman itu manusiawi, "manusia wajib secara
sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu, tak seorang pun boleh
dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman. Sebab pada hakikatnya
kita menyatakan iman kita 2106 dengan kehendak yang bebas" (DH 10).
"Allah memanggil manusia untuk mengabdi diri-Nya dalam roh dan kebenaran.
Maka ia juga terikat dalam suara hati, tetapi tidak dipaksa ... Adapun itu
nampak paling unggul dalam Kristus Yesus" (DH 11). Kristus memang
mengundang untuk beriman dan bertobat, tetapi sama sekali tidak memaksa.
"Sebab Ia memberi kesaksian akan kebenaran, tetapi tidak mau memaksakannya
kepada mereka yang membantahnya. Kerajaan-Nya tidak dibela dengan menghantam
dengan kekerasan, tetapi dikukuhkan dengan memberi kesaksian akan kebenaran
serta mendengarkannya. Kerajaan itu berkembang karena cinta kasih, cara Kristus
yang ditinggikan di salib menarik manusia kepada diri-Nya" (DH ll).
Perlunya Iman
161 Percaya akan Yesus Kristus dan akan Dia yang
mengutus-Nya demi keselamatan kita adalah perlu supaya memperoleh keselamatan.
"Karena tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr 11:6)
dan sampai kepada persekutuan anak-anak-Nya, maka tidak pernah seorang pun
dibenarkan tanpa Dia, dan seorang pun tidak akan menerima kehidupan kekal,
kalau ia tidak `bertabahan sampai akhir (Mat 10:22; 24:13) dalam iman"
(Konsili Vatikan 1, DS 3012)3.
Ketabahan dalam Iman
162 Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan
kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo
Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal itu: "Hendaklah engkau
memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni.
Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu
kandaslah iman mereka" (1 Tim 1:18-19). Supaya dapat hidup dalam iman,
dapat tumbuh dan dapat bertahan sampai akhir, kita harus memupuknya dengan
Sabda Allah dan minta kepada Tuhan supaya, menumbuhkan iman itu. Ia harus
"bekerja oleh kasih" (Gal 5:6), ditopang oleh pengharapan dan berakar
dalam iman Gereja.
Iman - Awal Kehidupan Abadi
163 Iman membuat kita menikmati sebelumnya kegembiraan
dan cahaya pandangan Allah yang menyelamatkan, yang adalah tujuan dari
perjalanan duniawi kita. Lalu kita akan melihat Allah "dari muka ke
muka" (1 Kor 13:12) "dalam keadaannya yang sebenarnya" (1 Yoh
3:2). Dengan demikian iman adalah awal kehidupan abadi.
"Kita mengharapkan kenikmatan dari hal-hal yang
dijanjikan kepada kita karena rahmat. Kalau kita memandangnya dalam iman
sebagai dalam cermin, hal-hal itu sudah hadir bagi kita" (Basilius, Spir,
15,36).
164 Tetapi sekarang kita hidup "berdasarkan iman
kepada Kristus, bukan berdasarkan spa yang kelihatan" (2 Kor 5:7), dan
kita melihat Allah sebagai bayangan yang kabur bagaikan dalam cermin. Iman
diterangi oleh Allah kepada-Nya iman itu ditujukan; namun ia sering dihayati
dalam kegelapan. Iman dapat diuji atas cara yang berat. Dunia, di mana kita
hidup, rupanya masih sangat jauh dari apa yang dijamin oleh iman bagi kita.
Pengalaman mengenai yang jahat dan kesengsaraan, ketidakadilan dan kematian,
rupa-rupanya bertentangan dengan kabar gembira. Mereka dapat menggoyahkan iman
dan dapat menjadi percobaan baginya.
165 Lalu kita perlu berpaling kepada saksi-saksi iman:
Abraham, yang terus saja "berharap dan percaya meskipun tidak ada dasar
untuk berharap lagi" (Rm 4:18); Perawan Maria yang "maju dalam ziarah
iman" (LG 58) malahan masuk "dalam kegelapan iman" (RM 18),
dengan mengambil bagian dalam kesengsaraan dan kegelapan makam Puteranya dan
masih banyak lagi saksi-saksi iman: "Karena kita mempunyai banyak saksi,
bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan
dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan
yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju
kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu
kepada kesempurnaan" (Ibr 12:1-2).
ARTIKEL 5 : KAMI PERCAYA
166 Iman adalah satu perbuatan pribadi: jawaban bebas
manusia atas undangan Allah yang mewahyukan Diri. Tetapi iman bukanlah satu
perbuatan yang terisolir. Tidak ada seorang pun dapat percaya untuk dirinya
sendiri, sebagaimana juga tidak ada seorang yang dapat hidup untuk dirinya
sendiri. Tidak ada seorang yang memberikan iman kepada diri sendiri,
sebagaimana juga tidak ada seorang yang memberi kehidupan kepada diri sendiri.
Yang percaya menerima kepercayaan dari orang lain; ia harus melanjutkannya
kepada orang lain. Cinta kita kepada Yesus dan kepada sesama mendorong kita
supaya berbicara kepada orang lain mengenai iman kita. Dengan demikian, setiap
orang yang percaya adalah anggota dalam jalinan rantai besar orang-orang
beriman. Saya tidak dapat percaya, kalau saya tidak didukung oleh kepercayaan
orang lain dan oleh kepercayaan saya, saya mendukung kepercayaan orang lain.
167 "Aku percaya" (pengakuan iman apostolik):
itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi,
terutama pada waktu Pembaptisan. "Kami percaya" (pengakuan iman dari
Nisea-Konstantinopel Yn.): itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang
berkumpul dalam konsili itu mengakui atau lebih umum, sebagaimana umat beriman
mengakui dalam liturgi. "Aku percaya": demikianlah juga Gereja, ibu
kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita
berkata: "aku percaya", "kami percaya".
I. "Tuhan, Perhatikanlah Iman Gereja-Mu"
168 Pertama-tama Gerejalah, yang percaya dan dengan
demikian menopang, memupuk dan mendukung iman saya. Pada tempat pertama
Gerejalah yang mengakui Tuhan di mana-mana ("Kepadamu Gereja kudus
beriman, tersebar di seluruh dunia", demikian kita menyanyi dalam madah Te
Deum), dan bersama dia dan dalam dia, kita juga mengakui: "aku
percaya", "kami percaya". Melalui Gereja kita menerima dalam
Pembaptisan iman dan kehidupan baru dalam Kristus. Dalam ritus Romawi, pemberi
Pembaptisan bertanya kepada yang menerima Pembaptisan: "Apa yang kau minta
dari Gereja Allah?" Jawabannya: "Iman" - "Iman memberi apa
kepadamu?" - "Kehidupan kekal" (RR. OBA).
169 Keselamatan datang hanya dari Allah, tetapi karena
kita menerima kehidupan iman melalui Gereja, maka ia adalah ibunda kita:
"Kita mengimani Gereja sebagai ibu kelahiran kembali kita, dan bukan kita
percaya akan Gereja, seakan-akan dialah pangkal keselamatan kita" (Faustus
d. Riez, Spir. 1,2). Sebagai ibunda kita, ia juga adalah pendidik kita dalam
iman.
II. Bahasa Iman
170 Kita tidak percaya kepada rumus-rumus, tetapi kepada
kenyataan yang diungkapkannya dan yang dapat kita "raba" oleh karena
iman. "Perbuatan orang beriman mempunyai tujuan bukan pada pengungkapan,
melainkan pada kenyataan [yang diungkapkan] (Tomas Aqu., s.th. 2-2,1,2 ad 2).
Tetapi kita mendekati kenyataan-kenyataan ini dengan bantuan rumus-rumus iman.
Formula ini memungkinkan untuk menyatakan dan merumuskan iman, untuk merayakan
bersama, untuk menjadikannya milik kita dan untuk semakin hidup darinya.
171 Sebagai "tiang dan dasar kebenaran" (1 Tim
3:15), Gereja menyimpan dengan setia "iman yang sudah satu kali diberikan
Allah untuk selama-lamanya kepada umatnya" (Yud 3). Ia menyimpan kata-kata
Kristus dalam ingatannya; ia meneruskan pengakuan iman para Rasul dari generasi
ke generasi. Sebagai seorang ibu yang mengajarkan anak-anaknya berbicara dan
dengan demikian juga mengerti dan hidup bersama, Gereja, ibu kita, mengajarkan
bahasa iman kepada kita supaya menghantar kita masuk ke dalam pengertian dan
kehidupan iman.
III. Hanya Satu Iman
172 Sejak berabad-abad Gereja mengakui di dalam sekian
banyak bahasa, kebudayaan, bangsa, dan negara imannya yang satu-satunya, yang
diterimanya dari Tuhan yang satu, yang diteruskannya oleh Pembaptisan yang
satu, yang berakar dalam keyakinan bahwa semua manusia hanya mempunyai satu
Allah dan Bapa. Santo Ireneus dari Lyon, seorang saksi iman itu, menerangkan:
173 "Gereja hadir di seluruh dunia sampai ke
batas-batas bumi terjauh. Ia telah menerima iman dari para Rasul dan
murid-murid mereka ... dan menyimpan [pesan ini dan iman ini] sebagaimana yang
diterimanya, seakan-akan ia tinggal dalam satu rumah saja; ia percaya demikian
kepadanya, seakan-akan ia hanya mempunyai satu jiwa dan satu hati, dan
memaklumkan dan meneruskan pengajarannya dengan suara bulat, seakan-akan ia
hanya mempunyai satu mulut" (haer. 1,10,1-2).
174 "Meskipun di atas bumi ini terdapat aneka ragam
bahasa, namun wibawa tradisi hanyalah satu dan sama. Gereja-gereja yang
didirikan di Germania percaya dan meneruskan iman yang sama seperti
Gereja-gereja di Spanyol atau pada orang Kelt, sama seperti mereka di kawasan
timur atau di Mesir, di Libya atau di tengah bumi ... " (ibid.)
"Pesan Gereja itu benar dan dapat dipercaya karena padanya tampil di
seluruh jagat jalan yang satu dan sama menuju keselamatan" (haer. 5,20,1).
175 "Kita memelihara dengan penuh perhatian, iman
yang telah kita terima dari Gereja. Sebagai harta yang berharga, yang disimpan
dalam satu bejana yang sangat baik, iman itu selalu diremajakan oleh karya Roh
Kudus dan dengan demikian diremajakan pula bejana yang
menyimpannya"(haer.3,24,1).
TEKS-TEKS SINGKAT
176 Iman adalah satu ikatan pribadi manusia seutuhnya
kepada Allah yang mewahyukan Diri. Di dalamnya terdapat persetujuan akal budi
dan kehendak terhadap wahyu Diri Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya.
177 Dengan demikian `percaya" mempunyai hubungan
ganda: hubungan dengan pribadi dan hubungan dengan kebenaran; kegiatan iman
berhubungan dengan kebenaran melalui kepercayaan kepada pribadi yang memberi
kesaksian tentang kebenaran itu.
178 Kita tidak boleh percaya akan orang lain selain akan
Allah, Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
179 Iman adalah anugerah adikodrati dari Allah. Supaya
dapat percaya, manusia membutuhkan pertolongan batin dari Roh Kudus.
180 "Beriman " adalah kegiatan manusia yang
sadar dan bebas, yang sesuai dengan martabat pribadi manusiawi.
181 "Beriman " adalah satu kegiatan gerejani.
Iman Gereja mendahului iman kita, memberi kesaksian, menopangnya dan
memupuknya. Gereja adalah ibu semua orang beriman. "Tidak seorang pun
dapat mempunyai Allah sebagai Bapa, kalau is tidak mempunyai Gereja sebagai ibu
" (Siprianus, unit.eccl.).
182 "Kita mengimani segala sesuatu, yang terdapat
dalam Sabda Allah yang tertulis atau yang diwariskan dan yang disampaikan oleh
Gereja supaya diimani sebagai kebenaran yang diwahyukan Allah " (SPF 20).
183 Iman itu perlu untuk keselamatan. Tuhan sendiri
berkata: " Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa
yang tidak percaya akan dihukum " (Mrk 16:16).
184 "Iman adalah prarasa dari pengetahuan, yang akan
membuat kita bahagia dalam kehidupan yang akan datang" (Tomas Aqu., comp.
1,2).
Post a Comment